Saturday, July 20, 2019

Faktor Penyebab Kecemasan (skripsi dan tesis)

Dalam uraian di atas disebutkan bahwa individu/kelompok mengalami kecemasan setelah dalam merespon terhadap ancaman yang tidak jelas atau non spesifik. Hal ini mengindikasikan bahwa factor-faktor yang berkaitan dengan penyebab kecemasan sangatlah beraneka ragam serta memiliki perbedaan respon bagi setiap individu. Melalui berbagai penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik suatu garis besar yang menghubungkan suatu factor yang mempengaruhi kondisi kecemasa sesseorang secara rata.
Kecemasan dirasakan oleh individu yang akan lebih terkait dengan perubahan sosial, misalnya kecemasan akan indentitas sosial, perasaan takut diasingkan dan cemas karena merasa tidak mampu bersosialisasi lebih luas. Oleh karenanya sebagai bagian menghadapi perubahan dalam kehidupannya maka proses menghadapi kematian menyebabkan seseorang lebih mudah mengalami kecemasan. Termasuk diantaranya adalah para penderita gagal ginjal.[1]
Menurut Mighwar (2006), secara psikologis, kecemasan tersebut merupakan pengembangan-pengembangan negatif berbagai masalah sebelumnya yang semakin menguat yang diakibatkan oleh tiga hal, yaitu :
  1. Kurangnya pengetahuan sehingga kurang mampu menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangannya serta tidak mampu menerima apa yang dialaminya.
  2. Kurangnya dukungan dari orangtua, teman sebaya atau lingkungan masyarakat sekitar.
  3. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan yang ada.
Menurut Mighwar, secara psikologis, kecemasan tersebut merupakan pengembangan-pengembangan negatif berbagai masalah sebelumnya yang semakin menguat yang diakibatkan oleh tiga hal, yaitu [2]:
  1. Kurangnya pengetahuan sehingga kurang mampu menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangannya serta tidak mampu menerima apa yang dialaminya.
  2. Kurangnya dukungan dari orangtua, teman sebaya atau lingkungan masyarakat sekitar.
  3. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tekanan yang ada.
Menurut Stuart dan Sundeen, faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah :
  1. Usia
Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin tinggi usia semakin  baik tingkat kematangan emosi seseorang serta kemampuan dalam menghadapi berbagai persoalan
  1. Status kesehatan jiwa dan fisik
Kelelahan fisik dan penyakit dapat menurunkan mekanisme pertahanan alami seseorang
  1. Nilai-nilai budaya dan spiritual
Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran seseorang. Religiusitas yang tinggi menjadikan seseorang berpandangan positif atas masalah yang dihadapi
  1. Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan, semakin tingkat pendidikannya tinggi akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir
  1. Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab tersedianya perilaku patologis.
  1. Dukungan sosial
Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan dan lingkungan mempengaruhi area berfikir seseorang
  1. Tahap perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tiap perkembangan berbeda. Pada tingkat perkembangan individu membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor.
  1. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghadapi stresor yang sama
  1. Pengetahuan
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi masalah
Demikian pula Wikjosastro yang mengidentifikasikan faktor-faktor yang mendukung kecemasan: [3]
  1. Umur
Wikjosastro menspesifikasikan umur ke dalam tiga kategori, yaitu : kurang dari 30 tahun (tergolong muda), 20-30 tahun(tergolong menengah), dan lebih dari 30 tahun (tergolong tua), umur yang lebih muda menderita stres daripada umur tua.
  1. Status ekonomi
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kecemaan adalah stres psikososial, yang termasuk stres klinik adalah kemelaratan. Status ekonomi yang tinggi pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut tidak mudah mengalami stres dan kecemasan
  1. Tingkat pendidikan
Status pendidikan yang rendah akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stres. Stres dan kecemasan ini biasa terjadi pada orang yang tingkat pendidikannya rendah, disebebkan kurangnya informasi yang dapat didapat orang tersebut.
  1. Keadaan Fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi, abortus dan cacat badan akan mengalami cemas dan stres.
  1. Sosial Budaya
Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat mempengaruhi timbulnya kecemasan. Individu yang mempunyai cara hidup yang telatur dan falsafah hidup yang jelas pada umumnya lebih sukar mengalami kecemasan.
Secara spesifik, maka disebutkan beberapa faktor yang menyebabkan kecemasan pada pasien. Menurut Kaplan dan Sadock, faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien antara lain [4]:
  1. Faktor-faktor intrinsik, antara lain:
    • Usia pasien
Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.
  • Pengalaman pasien menjalani pengobatan
Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang pengobatan gagal ginjal kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan ke cemasan saat menghadapi tindakan pengobatan.
  • Konsep diri dan peran
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. [5] Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga kese larasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan
situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.
  1. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain:
  • Kondisi medis (diagnosis penyakit)
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan klien. Sebaliknya pada pa sien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan.
2) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan.  Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus.[6]
3) Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan pengobatan terdiri dari tujuan, proses, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi[7].
4) Proses adaptasi
Kozier and Oliveri mengatakan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi [8]. Individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Dokter serta tenaga kesehatan lainnya merupakan sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau mencapai ke seimbangandiri dalam meng hadapi lingkungan yang baru.
5) Tingkat sosial ekonomi
Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan kecemasan pada klien menghadapi tindakan pengobatan.
6) Jenis tindakan pengobatan
Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat men datangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa seseorang Semakin mengetahui tentang tindakan pengobatan, akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien.[9]
7) Komunikasi terapeutik
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih bagi pasien yang akan menjalani proses pengobatan. Hampir sebagian besar pasien yang tindakan pengobatan terutama hemodialisa mengalami kecemasan. Pasiensangat mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik diantara
mereka akan menentukan tahap pengobatan selanjutnya. Pasien yang cemas saat akan menjalani hemodialisa kemungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan.
Demikian pula terdapat beberapa konsep mengenai kecemasan pada pasien yang sedang menjalani tindakan pengobatan. Berikut merupakan uraian faktor berdasarkan tipe kepribadian sebagai berikut:
  1. Faktor predisposisi
    • Teori psikoanalitik
Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu Id,
Ego, dan Super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang, sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari Id dan super ego. Ansietas merupakan konflik emosional antara id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi
  • Teori Interpersonal
Ansietas terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal. Hal ini juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami ansietas yang berat.
  • Teori Perilaku
Ansietas merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini menyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan ansietas yang berat pada kehidupan masa dewasanya [10]
  1. Faktor Presipitasi
Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dielakkan pada kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman ansietas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal.
 Ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien :
  1. Faktor eksternal :
  • Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).
  • Ancaman sistem diri antara lain : ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status/peran
  1. Faktor Internal :
Menurut Stuart & Sundeen kemampuan individu dalam merespon terhadap penyebab kecemasan ditentukan oleh :
  • Potensi Stressor.
Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi
  • Maturitas
Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan [11]
  • Pendidikan dan status ekonomi.
Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah padan seseorang akan menycbabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru ( Stuart & Sundeen, 1998 ).[12]
  • Keadaan fisik
Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami kecemasan, di samping itu orang yang mengalami kelelahan fisik lebih mudah mengalami kecemasan. [13]
  • Tipe Kepribadian.
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan orang dengan tipe kepribadian B mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe kepribadian A. Karena tipe kepribadian B adalah orang yang penyabar, tenang, teliti, dan rutinitas
  • Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang bisa dia tempati
  • Umur
Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya ( Varcoralis, 2000 ).
  • Jenis kelamin.
Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yag ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik. Ganguan ini lebih sering dialami wanita daripada pria (Varcoralis, 2000 ).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.[14]
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan dalam menghadapi kematian pada individu yang mengalami penyakit kronis diantaranya adalah selalu memikirkan penyakit yang dideritanya, kendala ekonomi, waktu berkumpul dengan keluarga yang dimiliki sangat sedikit sering merasa kesepian, kadang sulit tidur dan kurangnya nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit yang dideritanya




Sikap Terhadap Kecemasan Menghadapi Kematian (skripsi dan tesis)

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sartre (dalam Hasan 1973) memandang kematian sebagai kefaktaan yang terakhir. Setiap eksisitensi harus di akhiri dengan maut atau kematian, sehingga kematian menjadi salah satu halangan kebebasan manusia.
Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang menghadapi kematian tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat. Demikian pula konsep kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuh kembangkan semangat pengabdian. [1]
Menurut pandangan agama Kristen, kematian membuat hidup manusia berhenti. Menurut theolog Kristen Yohanes Calvin, pada saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Tubuh yang fana (mortal body) identik dengan tubuh yang penuh dosa (sinful flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan individu yang percaya pada Tuhan dalam peperangan menghadapi keinginan-keinginan duniawi. Setelah kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu kebangkitan tubuh. [2]Agama Islam berpendapat bahwa mati adalah perpisahan roh atau jiwa dari jasad. Surat Al-Zumar ayat 47 menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Roh atau jiwa tanpa tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam barzakh sebelum seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka, oleh sebab itu, Al-quran mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama hidupnya.[3]
Perbedaan pandangan agama mengenai sikap menghadapi kematian tentu akan mempengaruhi kondisi masyarakat tersebut. Oleh karenanya terdapat keterkaitan antara nilai religiusitas dengan persepsi masyarakat mengenai kematian. Sikap budaya dan agama terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari usia tertentu memandang kematian.[4] Sikap agama yang dianut individu dapat menjadi prediktor penting untuk menentukan sikap individu terhadap kematian. Religiusitas secara positif berhubungan dengan sikap positif terhadap kematian dan secara negatif berkaitan dengan sikap negatif terhadap kematian. [5]Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Oleh karenanya religiusitas dapat mempengaruhi seseorang dalam melewati kecemasan dalam kematian.
Demikian pula sikap kecemasan menghadapi kematian dalam perspektif perkembangan pemikiran individu akan bervariasi sepanjang siklus kehidupan manusia. Kita akan memiliki harapan-harapan yang berbeda tentang kematian. Hal ini seiring dengan perkembangan serta sepanjang masa hidup manusia sendiri. Dengan demikian kita akan memiliki sikap yang berbeda terhadap kematian pada fase berbeda dalam perkembangan diri.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, menghadapi kematian merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana manusia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua. Oleh karenanya berkembang dua sikap yang dibangun atas kecemasan terhadap kematian yaitu: Pertama, kematian akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, manusia yang menghadapi kematian dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya kematian, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada. [6]
Rocfouhauld memberikan ungkapan bahwa kematian secara utuh merupakan cerminan manusia modern terhadap persoalan yang sangat menggugah dan sekaligus menakutkan. Maut atau kematian merupakan suatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa maut merupakan sesuatu pengharapan.[7] Manusia tidak bisa memilih tibanya kematian dan kematian merupakan sumber utama kecemasan.Selama belum menemukan alasan yang logis dan rasional mengenai bayangan kematian, maka bayangan tersebut akan berubah menjadi penyakit yang mengakar kuat di dasar perasaan manusia. Penyakit ini merupakan kecemasan dan ketakutan. Dan pada akhirnya akan menimbulkan penyakit kejiwaan yang paling kritis dan sulit, yang sering kali menguasai emosi dan perilaku manusia. [8]
Oleh karenanya menurut Kalish, orang-orang dewasa muda yang mengalami gagal ginjal sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusia lebih tua. Orang-orang dewasa muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa uang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut mereka merasa kehilangan apa yang telah mereka miliki.[9]
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya individu yang mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang.[10]
Elizabeth Kubler Ross membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang mengalami kecemasan menghadapi kematian menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan [11]:
  1. Penolakan dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler Ross di mana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Orang tersebut mungkin berkata “tidak”, “itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi namunpenolakan merupakan baian dari pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan dengan beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
  2. Kemarahan (anger) merupakan fase ke dua di mana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa benc, marah dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada diri orang yang sekarat adalah “mengapa saya?”. Pada titik ini seseorang makin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada dokter, perawat anggota keluarga juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar dan mereka yang menjadi symbol dari kehidupan, energi dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
  3. Tawar menawar (bargaining) merupakan fase ketiga menjelang kmetian di masa seseorang mengmebngkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang ytawar menawar atau negoisasi seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kematian. Secara psikologis seseorang berkata “Ya, saya , tapi…” dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain
  4. Depresi (depression) merupakan fase keempat menjelang kematian di mana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini satu periode depresi atau persiapan berduka mungkin akan muncul. Orang yang menjelang kemtiannya mungkin akan menjadi pendiam serta menghabiskan waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kemtianya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut untuk merenungkan ancaman kematian
  5. Penerimaan (acceptance) merupakan fase kelima menjelang kematian di mana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir dan dan dalam beberapa hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Tidak ada satu orang pun yang dapat mengkonfirmasikan bahw seseorang akan secara pasti melewati fase yang digambarkan Kubler Ross. Oleh karenanya terdapat variasi pada setiap inividual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian namun urutan yang telah dikemukakan secara optimal akan sesuai.
Kecemasan terhadap kematian justru akan memperpanjang fase seseorang dalam fase penolakan. Pemahaman terhadap kontrol dapat bekerjasama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa yang sedang menghadapi kematian. Pada individu yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol kejadian seperti kecemasan menghadapi kematian akan menjadi lebih waspada dan ceria. Hal ini akan membawa perubahan diantaranya peningkatan kondisi tubuh serta penerimaan diri. [12]




Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sikap seseorang ketika menghadapi kematian secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sikap yaitu menerima dan menolak kematian itu sendiri. Namun berdasarkan proses Penolakan dan isolasi (denial and isolation), Kemarahan (anger), Tawar menawar (bargaining), Depresi (depression) dan  Penerimaan (acceptance). Selain itu, sikap terhadap kematian meliputi sikap tentang diri individu pada saat sekarat, sikap tentang kematian diri, sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian, serta sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai.

Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian (skripsi dan tesis)

Kecemasan dalam pengertiannya selalu dikaitkan dengan suatu kondisi perubahan yang harus dihadapi oleh seseorang. Perubahan tersebut pada umumnya bersifat sesuatu yang mengejutkan dan tidak bisa dikontrol oleh individu tersebut. Perbandingan tingkat atau besarnya suatu faktor yang menyebabkan seseorang dianggap cemas tersebut sangat subjektif. Dimana factor yang sama tentu akan mengakibatkan tingkat kecemasan yang berbeda pula bagi setiap individu. Hal inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi penelitian mengenai kecemasan yaitu menarik kesimpulan secara rata-rata apakah factor yang sama akan memberikan perbedaan tingkat atau efek kecemasan bagi seseorang. Pada akhirnya respon tersebut muncul dalam gejala-gejala psikologis maupun fisiologis.
Secara umum maka dalam bahasan tulisan mengenai kecemasan maka tidak akan terpisah dari respon, factor serta tingkat kecemasan itu sendiri. Khususnya pada pengertian kecemasan maka terdapat beberapa perbedaan pembahasan. Beberapa tokoh hanya menyebutkan bahwa kecemasan hanya menyangkut mengenai perasaan yang mendatangkan ketidaknyamanan bagi seseorang sedangkan beberapa tokoh lain secara utuh menyebutkan bahwa kecemasan merupakan respon secara psikologis maupun fisiologis yang dihadapi setelah seseorang mengalami perubahan.
Dalam pengertian yang menyebutkan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan yang mendatangkan ketidaknyamanan maka beberapa tokoh dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, menurut Nettina bahwa kecemasan adalah perasaan kekhawatiran subyektif dan ketegangan yang dimanifestasikan untuk tingkah laku psikologis dan berbagai pola perilaku.[1] Hal yang sama diutarakan oleh Hurlock yaitu kecemasan adalah bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan. Biasanya perasaan-perasaan ini disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah.[2] Demikian pula Bryne yang mengutarakan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang dialami individu, seperti apabila ia mengalami ketakutan. Pada kecemasan perasaan ini bersifat kabur, tidak realistis atau tidak jelas obyeknya sedangkan pada ketakutan obyeknya jelas. [3] Dalam pengertian dari ketiga tokoh ini maka diambil kesamaan bahwa kecemasan adalah suatu perasaaan yang dimanifestasikan dalam bentuk perasaan-perasaan yang mendatangkan ketidaknyamanan. Pernyataan diatas berujung pada suatu pendapat bahwa kecemasan hanya menyangkut perasaan saja tapi tidak mengkaitkan dengan suatu kondisi pencetus kecemasan itu sendiri.
Berbeda dengan pernyataan yang ada dalam uraian di atas maka uraian di bawah menjelaskan keterkaitan antara kondisi kecemasan sebagai suatu proses. Dengan demikian kecemasan merupakan suatu kondisi yang dihadapi seorang individu ketika menghadapi perubahan dalam hidupnya. Kecemasan seringkali lekat dengan perasaan takut karena pada awalnya kecemasan timbul bersamaan dengan rasa takut menghadapi sesuatu yang tidak diinginkan oleh individu tersebut. Kecemasan dirasakan oleh individu yang akan lebih terkait dengan perubahan sosial, misalnya kecemasan akan indentitas sosial, perasaan takut diasingkan dan cemas karena merasa tidak mampu bersosialisasi lebih luas. [4] Dalam hal ini bisa saja adalah proses menghadapi kematian.
Dalam pernyataan lain diutarakan bahwa kecemasan adalah keadaan dimana seseorang mengalami perasaan gelisah atau cemas dan aktivitas sistem saraf otonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas dan tidak spesifik. Ditambahkan bahwa kecemasan sendiri diartikan sebagai keadaan dimana individu/kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi system syaraf autonom keadaan. Dimana individu/kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi system saraf autonom dalam merespon terhadap ancaman yang tidak jelas atau non spesifik. [5]
Menurut Ramaiah, kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. [6] Teori psikoanalitis klasik menyatakan bahwa pada saat individu menghadapi situasi yang dianggapnya mengancam, maka secara umum ia akan memiliki reaksi yang biasanya berupa rasa takut. Kebingungan menghadapi stimulus yang berlebihan dan tidak berhasil diselesaikan oleh ego, maka ego akan diliputi kecemasan. Kecemasan sebagai syarat bagi ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat.[7]
Kecemasan juga didefinisikan sebagai suatu bagian dari pengalaman. Kecemasan adalah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan, datang dari dalam dan bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu. Perasaan ini disertai oleh komponen somatik, fisiologik, otonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku. [8]
Di luar dua perbedaan mengnai kecemasan maka dalam pendapat lain juga memberikan pandangan mengenai keterkaitan antara kecemasan dengan stress. Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Dengan demikian pernyataan ini mengkaitkan kecemasan dengan kondisi stress suatu individu. Dimana stress dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan factor etiologi dalam pengembangan kecemasan[9].
Kecemasan merupakan pengalaman emosional yang berlangsung singkat dan merupakan respon yang wajar, pada saat individu menghadapi tekanan atau peristiwa yang mengecam kehidupanya.[10] Menurut Post, kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat.[11] Freud menggambarkan dan mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan sebuah reaksi fisiologis, yaitu reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. [12]
Lefrancois menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan, namun pada kecemasan bahaya hal ini bersifat kabur, misalnya ada ancaman, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi, ataupun adanya perasaan-perasaan tertekan yang muncul dalam kesadaran. Kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain[13]
Pemikiran tentang kematian merupakan bagian yang penting pada tahap akhir kehidupan bagi banyak individu. Dengan kata lain kematian merupakan proses yang pasti dilewati seorang individu. Dalam kenyataannya, kematian mendatangkan kecemasan bagi seseorang. Apalagi bagi seseorang yang sedang mengalami penyakit. Hal ini berbeda dengan kecemasan yang dihadapi oleh seseorang yang menghadapi proses kematian karena usia lanjut.. Pada usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan mengenai kematian meningkat, perkembangan integritas pun meningkat melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian. [14]
Kematian sendiri mempunyai beberapa pengertian namun secara umum kematian dikaitkan dengan hilangnya kemampuan biologis seseorang. Oleh karenanya muncul berbagai pendapat yang mengkaitkan natra kematian dengan ketidakberfungsian tubuh. Misalkan, Papalia yang menyatakan bahwa kematian secara umum dipandang sebagai proses musnahnya tubuh. [15] Kematian dapat disebabkan empat faktor, yaitu berhentinya pernafasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri. Individu dinyatakan mati menurut Sunatrio bilamana fungsi spontan pernafasan atau paru-paru dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian pada batang otak. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya kerja paru-paru, jantung dan otak secara total pada manusia.[16]
Dalam pernyataan lain maka kematian juga dikaitkan dengan keberakhiran eksistensi manusia dalam kehidupan. Kematian mengandung arti berakhirnya eksistensi manusia atas keadaan yang nyata di dunia ini dan putusnya relasi atas sesama manusia di dunia sementara relasi dengan yang di alam seberang belum diketahui. [17]Kematian adalah suatu siklus kehidupan yang alami yang akan dihadapi manusia seperti juga kelahiran. Masyarakat di sepanjang sejarah peradaban manusia memiliki keyakinan filosofis atau kepercayaan keagamaan yang berkaitan dengan kematian. [18] Moody  mengartikan kematian sebagai tidak adanya tanda-tanda kehidupan secara klinis, tidak ada kegiatan gelombang otak dan hilangnya fungsi-fungsi penting yang tidak bisa di ubah.[19] Menurut Harvard Medical School, konsep kematian sendiri menyangkut hilangnya lima kemampuan dasar individu, yaitu ketidakmampuan menerima dan merespon stimulus, tidak memiliki kemampuan dalam hal gerak atau pernafasan, tidak mempunyai reflek, EEG datar, dan tidak adanya sirkulasi dalam otak.[20]




Dalam pengertian lain maka definisi kata ‘mati’  sebagai suatu proses. Dimana pengertian mati dalam kamus yaitu transisi antara kehidupan dan ketiadaan hidup. [21]Namun dalam pengertian lain selain membahas kematian secara biologis penting maka terdapat pengertian menyangkut konsep kematian secara psikologis terjadi ketika pikiran seseorang berhenti untuk berfungsi. Menurut Aiken, kematian secara sosial terjadi ketika orang lain melakukan tindakan untuk orang yang sudah dinyatakan meninggal.[22]

Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Kontrol diri pada Penderita Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Diabetes mellitus bisa disebabkan faktor keturunan atau genetik, obesitas atau kegemukan, kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi serat, tinggi lemak, merokok, hiperkolesterol dan lain-lain. Diabetes mellitus yang tidak tertangani dengan baik, dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi misalnya jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf. Tetapi menderita diabetes bukanlah akhir dari segalanya. Diabetes mellitus dapat dikendalikan antara lain dengan kontrol gula darah secara teratur, makan dengan gizi seimbang dan terencana, tidak merokok, karena merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin serta berolahraga secara teratur. .Jika penderita diabetes dapat menjaga berat badan, menjaga pola makannya, dan menjaga agar terhindar dari stress, kemungkinan untuk mengalami komplikasi yang lebih parah sangat kecil.
Kontrol diri dapat diartikan sebagai perasaan bahwa mereka dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan hasil yang diinginkan dan menghindari hasil yang tidak diinginkan (Sarafino, 1998). Menurut Heteringthon (1984) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk melarang atau mengarahkan tingkah laku sesuai dengan aturan atau norma sosial.  Kontrol diri ini tidak hanya sebatas pada kontrol perilaku dan sikap saja, pasien tidak hanya mengendalikan perilakunya untuk tidak makan makanan manis tetapi juga meliputi kontrol informasi berupa segala sesuatu mengenai diabetes mellitus, kontrol kognitif, kontrol putusan untuk memilih diantara prosedur alternatif dan kontrol retrospektif.
Shaffer (2001), mengatakan bahwa kontrol diri adalah sesuatu yang sangat penting. Jika seseorang tidak mampu mengatasi segala tekanan dan mengontrol dirinya, maka yang terjadi adalah perilaku yang tidak diinginkan. Kontrol diri mempunyai peran yang penting terhadap diri seseorang karena merupakan suatu pegangangan dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif tersebut, dibutuhkan suatu pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan kognitif seseorang. Pertimbangan yang berhubungan dengan kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan.
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa, apabila pengetahuan seseorang telah positif terhadap objek yang diketahui, maka akan terbentuk pula sikap yang positif terhadap objek yang sama dan sebaliknya. Apabila pengetahuan tentang sesuatu itu lebih banyak negatifnya, maka akan terbentuk pula sikap yang negative terhadap suatu objek yang sama.
Hal ini didukung dari beberapa hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan dengan sikap dan perilaku atau kontrol diri dari beberapa peneliti sebelumnya yaitu mengenai hubungan tingkat pengetahuan bahaya rokok dengan perilaku merokok pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia angkatan 2004 didapat hasil 97,3% memiliki pengetahuan yang tinggi dan 86% memiliki perilaku tidak merokok (Budi Setyo, 2007). Selain itu ada pula hasil penelitian dari Endang Setyaningsih (2007) mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap anak jalanan tentang NAPZA di rumah singgah Girlan Nusantara Yogyakarta mendapatkan hasil 51,2% dari 43 koresponden memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan 55,8% sikap anak jalanan tentang NAPZA adalah mendukung terhadap pernyataan yang diberikan. Muaman Aqib (2010) juga membuktikan bahwa ada hubungannya antara tingkat pengetahuan ibu dengan sikap ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada balita di desa Sidokarto kecamatan Godean, Kabupaten Sleman yang didapatkan hasil ibu-ibu dengan tingkat pengetahuan rendah dan sikap kurang sebanyak 28,3% orang, ibu-ibu dengan tingkat pengetahuan rendah dan sikap baik sebanyak 12,9% orang, ibu-ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi dan sikap kurang sebanyak 22,3% orang dan ibu-ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi dnegan sikap baik sebanyak 36,4% orang.
 Dalam hal ini, pengetahuan diartikan sebagai sesuatu yang diketahui atau diketahui berkenaan dengan sesuatu hal (Poerwadarminta,1983). Sedangkan pengetahuan tentang diabetes mellitus adalah segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang, dalam hal ini adalah pasien diabetes mellitus, dimana tubuh penderitanya tidak dapat secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya, penderita diabetes tidak dapat memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah.
Sebelum pasien diabetes mellitus tersebut merubah perilakunya, mereka harus mengetahui terlebih dahulu apa manfaat yang dapat diambil dari perubahan perilaku tersebut, apa akibat yang dapat ditimbulkan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain jika mereka tidak merubah perilakunya dan tetap pada kebiasaan-kebiasaan lamanya, bagaimana cara pengobatan dan pencegahan agar penyakit diabetes mellitus tersebut tidak menjadi bertambah parah. Setelah terbentuk pengetahuan baru mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakitnya, proses selanjutnya adalah bagaimana pasien akan menilai atau mensikapi penyakit tersebut, bagaimana penilaian atau pendapat pasien mengenai gejala, tanda, penyebab, cara pengobatan dan cara pencegahan dari diabetes mellitus. Proses terakhir, setelah pasien mengetahui dan mengadakan penilaian terhadap penyakit diabetes mellitus adalah berupa tindakan, apakah pasien akan melaksanakan kontrol diri ataukah pasien tidak melaksanakan kontrol diri (Notoatmodjo, 2007).
Seseorang yang memiliki penyakit diabetes mellitus, pasti akan memperoleh informasi dari dokter atau keluarga mengenai penyakitnya itu. Bahkan dia mencari informasi sendiri mengenai diabetes, baik itu gejalanya, penyebabnya, cara pengobatannya sampai cara pencegahannya. Pengetahuan ini akan membawa pasien untuk berpikir dan berusaha agar penyakitnya tidak bertambah parah. Di sini pasien mengadakan penilaian mengenai segala sesuatu tentang diabetes mellitus. Pasien memiliki sikap tertentu terhadap penyakit diabetes. Sikap ini yang akan membuat pasien dapat mengambil keputusan untuk memilih dengan sengaja tindakan apa yang akan dilakukan oleh pasien berdasarkan informasi yang diperoleh. Jika pasien bersikap positif terhadap penyakitnya, dia akan berusaha mencegah penyakitnya bertambah parah dengan menghindari segala sesuatu yang dapat memicu kenaikan kadar gula darah, ini menunjukkan bahwa pasien memiliki kontrol diri yang tinggi, sehingga dapat terhindar dari komplikasi seperti jantung, ginjal, kebutaan dan lain-lain. Sebaliknya, jika pasien bersikap negatif terhadap penyakitnya, dia cenderung menghiraukan penyakitnya, tidak berusaha untuk mencegah agar tidak bertambah parah dan tetap melaksanakan kebiasaan-kebiasaan yang dapat memicu kenaikan kadar gula darah, ini menunjukkan bahwa pasien memiliki kontrol diri yang rendah, yang pada akhirnya dapat terjadi komplikasi yang lebih parah

Pengobatan Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang akan semakin berkurang.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olahraga dan diet. Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes mellitus tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolahraga secara teratur.
Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan. Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olahraga untuk mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya komplikasi.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa diabetes mellitus dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan berat badan yang normal sesuai dengan umur dan tinggi badan serta olahraga teratur sesuai umur dan kemampuan.
Tujuan pengobatan penderita diabetes mellitus adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan berat badan bagi yang kegemukan dan mencegah terjadinya komplikasi.
  1. Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari prenatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :
  1. Memberikan semua unsure makanan esensial (misalnya vitamin, mineral)
  2. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
  3. Memenuhi kebutuhan energi
  4. Mencegah fluktasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
  5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
Penderita diabetes mellitus sangat dianjurkan untuk menjalankan diet sesuai yang dianjurkan, yang mendapat pengobatan anti diuretic atau insulin, harus mentaati diet terus menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi, dan waktu makan harus diatur.
Diet diabetes merupakan langkah kedisiplinan bagi penderitanya untuk mengontrol diabetes dengan baik. Diet diabetes yang ideal mencakup karbohidrat 60%, lemak harus tidak lebih dari 30%, serta protein sekitar 15%.
  1. Obat-obatan
Pengobatan diabetes dilakukan dengan cara obat oral dan melalui. Obat oral biasanya diberikan oleh dokter sesuai dengan dosis yang telah di tentukan.
  1. Terapi insulin
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini terutama untuk mempertahankan gluukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal dan menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kroni diabetes. Penyuntikkan insulin ini bias dilakukan sendiri oleh pasien atau dengan bantuan orang lain. Tempat penyuntikkannya bisa dilakukan di lengan, perut atau paha. Bila penyuntikkan dilakukan oleh orang lain, penyuntikkan dilakukan di lengan. Sedangkan penyuntikkan dilakukan diri  sendiri, lakukan di perut atau dipaha. Jarak suntikan dengan suntikan berikutnya haruslah 2 cm. sedangkan pada penyuntikkan di perut harus berjarak sekitar 5 cm dari pusar.
  1. Olahraga
Dengan olahraga teratur, sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik, sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama ½ - 1 jam perhari minimal 3 kali/minggu.
Dengan demikian dapat disimpulkan Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis, yang ditandai dengan kadar gula (glukosa) di dalam darah yang tinggi melebihi kadar gula yang normal. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian tentang Diabetes Mellitus menggunakan pendapat dari Notoatmodjo (2007).

Komplikasi Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Penyakit Diabetes Mellitus memiliki komplikasi yang dapat muncul secara akut dan secara kronik, yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap Diabetes Mellitus (Askandar, 2002). Adapun komplikasi Diabetes mellitus menurut Askandar (2002) yaitu sebagai berikut :
  1. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
Dua komplikasi akut Diabetes Mellitus yang paling sering adalah reaksi hipoglikemia dan koma diabetik, yaitu :
  • Reaksi Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda : rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing, dan sebagainya. Dalam keadaan hipoglikemia, penderita harus segera diberi roti atau pisang. Apabila tidak tertolong, berilah minuman manis dari gula, satu atau dua gelas. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita tidak akan sadarkan diri, karena koma ini disebabkan oleh kurangnya glukosa dalam darah, koma tersebut disebut “Koma Hipoglikemia” (Askandar, 2002).
  • Koma Diabetik
Berlawanan dengan koma hipoglikemik, koma diabetik ini timbul karena kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi dan biasanya lebih dari 600 mg/dl. Gejala koma diabetik yang sering timbul adakah nafsu makan menurun (biasanya pasien Diabetes Mellitus mempunyai nafsu makan yang besar), haus, minum banyak, kencing banyak, yang kemudian disusul dengan rasa mual, muntah, nafas pasien menjadi cepat dan dalam, serta berbau aseton, sering disertai panas badan karena biasanya ada infeksi, serta pasien koma diabetik harus segera dibawa ke Rumah Sakit (Askandar, 2002).
  1. Komplikasi kronis Diabetes Mellitus
Pada pasien yang lengah komplikasi Diabetes Mellitus dapat menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai ujung kaki termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sebaliknya, komplikasi tersebut tidak akan muncul jika perawatan Diabetes Mellitus dilaksanakan dengan baik, tertib dan teratur serta pasien koma diabetik harus segera dibawa Rumah Sakit (Askandar, 2002).
Komplikasi kronik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan dalam dinding pembuluh darah, sehingga terjadi atherosclerosis yang khas yaitu Mikroangiopati. Mikroangiopati ini mengenai pembuluh darah di seluruh tubuh yang terutama menyebabkan retinopati, glamerulosklerosis, neoropati, dan dapat pula timbul infeksi kronik yaitu tuberkolosis yang secara umum terjadi komplikasi tersebut yaitu kardiovaskuler (Infark miokaid, Insufisiensi koroner), mata (Reinopati diabetika, katarak), saraf (Neuropati diabetika), paru-paru (TBC), ginjal (Pielonefritis, glumerulosklerosis), kulit (gangrene, furunkel, karbunkel, ulkus), hati (sirosis hepatitis) (PERKENI, 2002).

Gejala Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Diabetes Mellitus memiliki gejala dan tanda penyakit itu sendiri. Gejala dan tanda-tanda penyakit Diabetes Mellitus dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Askandar, 2002). Adapun gejalan Diabetes Mellitus sebagai Berikut :
  1. Gejala akut Penyakit Diabetes Mellitus
Gejala penyakit Diabetes Mellitus antara penderita dengan yang lain tidaklah selalu sama. Gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi dengan gejala yang lain. Bahkan ada pasien Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai pada saat tertentu banyak makanan (polifagia), banyak kencing (Polyuria), banyak minum (Poliydipsi). Penderita akan mengalami peningkatan berat badan yang cenderung naik karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi, bila keadaan tersebut diatas tidak segera diobati, maka akan timbul gejala yang disebabkan oleh kemunduran kerja insulin dan tidak lagi Polyfagia, Polydipsia, Polyuria (3P) lagi melainkan hanya 2P saja yaitu nafsu makan mulai berkurang dan kadang-kadang disusul dengan mual, banyak minum, banyak kencing, mudah dicapai atau lelah, berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) (Askandar, 2002).
  1. Gejala kronik Penyakit Diabetes Mellitus
Kadang-kadang pasien Diabetes Mellitus tidak menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit Diabetes Mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan, kulit terasa panas, rasa tebal dikulit, kram, mudah capai, mata kabur, gatal disekitar kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seks menurun atau impoten, para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Askandar, 2002).
Selain itu, ada pula sumber lain menyebutkan, gejala diabetes mellitus tergantung pada tipe diabetes yang dideritanya, yaitu :
  1. Penderita Diabetes Mellitus tipe I
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat kedalam suatu keadaan yang disebut ketoasidosis diabetikum. Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan kencing yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stress akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
  1. Penderita Diabetes Mellitus tipe II
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbulah gejala yang berupa sering kencing dan sering merasa haus. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1000 mg/dl, biasanya terjadi akibat stress, misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing kejang.
(http://medicastore.com , diakses 13 Maret 2011)\