Saturday, July 20, 2019

Sikap Terhadap Kecemasan Menghadapi Kematian (skripsi dan tesis)

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sartre (dalam Hasan 1973) memandang kematian sebagai kefaktaan yang terakhir. Setiap eksisitensi harus di akhiri dengan maut atau kematian, sehingga kematian menjadi salah satu halangan kebebasan manusia.
Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang menghadapi kematian tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat. Demikian pula konsep kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuh kembangkan semangat pengabdian. [1]
Menurut pandangan agama Kristen, kematian membuat hidup manusia berhenti. Menurut theolog Kristen Yohanes Calvin, pada saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Tubuh yang fana (mortal body) identik dengan tubuh yang penuh dosa (sinful flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan individu yang percaya pada Tuhan dalam peperangan menghadapi keinginan-keinginan duniawi. Setelah kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu kebangkitan tubuh. [2]Agama Islam berpendapat bahwa mati adalah perpisahan roh atau jiwa dari jasad. Surat Al-Zumar ayat 47 menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Roh atau jiwa tanpa tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam barzakh sebelum seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka, oleh sebab itu, Al-quran mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama hidupnya.[3]
Perbedaan pandangan agama mengenai sikap menghadapi kematian tentu akan mempengaruhi kondisi masyarakat tersebut. Oleh karenanya terdapat keterkaitan antara nilai religiusitas dengan persepsi masyarakat mengenai kematian. Sikap budaya dan agama terhadap kematian mempengaruhi bagaimana individu dari usia tertentu memandang kematian.[4] Sikap agama yang dianut individu dapat menjadi prediktor penting untuk menentukan sikap individu terhadap kematian. Religiusitas secara positif berhubungan dengan sikap positif terhadap kematian dan secara negatif berkaitan dengan sikap negatif terhadap kematian. [5]Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Oleh karenanya religiusitas dapat mempengaruhi seseorang dalam melewati kecemasan dalam kematian.
Demikian pula sikap kecemasan menghadapi kematian dalam perspektif perkembangan pemikiran individu akan bervariasi sepanjang siklus kehidupan manusia. Kita akan memiliki harapan-harapan yang berbeda tentang kematian. Hal ini seiring dengan perkembangan serta sepanjang masa hidup manusia sendiri. Dengan demikian kita akan memiliki sikap yang berbeda terhadap kematian pada fase berbeda dalam perkembangan diri.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, menghadapi kematian merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana manusia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua. Oleh karenanya berkembang dua sikap yang dibangun atas kecemasan terhadap kematian yaitu: Pertama, kematian akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, manusia yang menghadapi kematian dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya kematian, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada. [6]
Rocfouhauld memberikan ungkapan bahwa kematian secara utuh merupakan cerminan manusia modern terhadap persoalan yang sangat menggugah dan sekaligus menakutkan. Maut atau kematian merupakan suatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa maut merupakan sesuatu pengharapan.[7] Manusia tidak bisa memilih tibanya kematian dan kematian merupakan sumber utama kecemasan.Selama belum menemukan alasan yang logis dan rasional mengenai bayangan kematian, maka bayangan tersebut akan berubah menjadi penyakit yang mengakar kuat di dasar perasaan manusia. Penyakit ini merupakan kecemasan dan ketakutan. Dan pada akhirnya akan menimbulkan penyakit kejiwaan yang paling kritis dan sulit, yang sering kali menguasai emosi dan perilaku manusia. [8]
Oleh karenanya menurut Kalish, orang-orang dewasa muda yang mengalami gagal ginjal sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusia lebih tua. Orang-orang dewasa muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa uang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut mereka merasa kehilangan apa yang telah mereka miliki.[9]
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya individu yang mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang.[10]
Elizabeth Kubler Ross membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang mengalami kecemasan menghadapi kematian menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan [11]:
  1. Penolakan dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler Ross di mana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Orang tersebut mungkin berkata “tidak”, “itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi namunpenolakan merupakan baian dari pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan dengan beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
  2. Kemarahan (anger) merupakan fase ke dua di mana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa benc, marah dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada diri orang yang sekarat adalah “mengapa saya?”. Pada titik ini seseorang makin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada dokter, perawat anggota keluarga juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar dan mereka yang menjadi symbol dari kehidupan, energi dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
  3. Tawar menawar (bargaining) merupakan fase ketiga menjelang kmetian di masa seseorang mengmebngkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang ytawar menawar atau negoisasi seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kematian. Secara psikologis seseorang berkata “Ya, saya , tapi…” dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain
  4. Depresi (depression) merupakan fase keempat menjelang kematian di mana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini satu periode depresi atau persiapan berduka mungkin akan muncul. Orang yang menjelang kemtiannya mungkin akan menjadi pendiam serta menghabiskan waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kemtianya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut untuk merenungkan ancaman kematian
  5. Penerimaan (acceptance) merupakan fase kelima menjelang kematian di mana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir dan dan dalam beberapa hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Tidak ada satu orang pun yang dapat mengkonfirmasikan bahw seseorang akan secara pasti melewati fase yang digambarkan Kubler Ross. Oleh karenanya terdapat variasi pada setiap inividual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian namun urutan yang telah dikemukakan secara optimal akan sesuai.
Kecemasan terhadap kematian justru akan memperpanjang fase seseorang dalam fase penolakan. Pemahaman terhadap kontrol dapat bekerjasama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa yang sedang menghadapi kematian. Pada individu yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol kejadian seperti kecemasan menghadapi kematian akan menjadi lebih waspada dan ceria. Hal ini akan membawa perubahan diantaranya peningkatan kondisi tubuh serta penerimaan diri. [12]




Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sikap seseorang ketika menghadapi kematian secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sikap yaitu menerima dan menolak kematian itu sendiri. Namun berdasarkan proses Penolakan dan isolasi (denial and isolation), Kemarahan (anger), Tawar menawar (bargaining), Depresi (depression) dan  Penerimaan (acceptance). Selain itu, sikap terhadap kematian meliputi sikap tentang diri individu pada saat sekarat, sikap tentang kematian diri, sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian, serta sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai.

No comments:

Post a Comment