Wednesday, July 3, 2024

Teori Motivasi

 


Motivasi merupakan suatu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan
atau mencapai suatu tujuan. Motivasi sebagai sebuah proses untuk tercapainya
suatu tujuan. Menurut Herzberg dalam Miner (2005), ada dua jenis faktor yang
mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan diri. Dua faktor itu
disebutnya faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik memotivasi
seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk di dalamnya adalah
achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dan sebagainya, sedangkan
faktor ekstrinsik memotivasi seseorang dari luar untuk mencapai kepuasan,
termasuk di dalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi
lingkungan, dan sebagainya.
Maslow (1965) mengatakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki
kebutuhan pokok. Salah satu diantaranya yaitu aktualisasi diri dimana kebutuhan
akan aktualisasi diri itu sendiri dengan mendapatkan kepuasan dan menyadari
potensi yang ada. McGregor (1966) mengemukakan mengenai dua pandangan
manusia yaitu teori X (negatif) dan teori Y (positif), Menurut teori X beberapa
pengandaian yang dipegang manajer yaitu : 1) karyawan tidak menyukai kerja
mereka harus diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan 2)
karyawan akan menghindari tanggung jawab 3) kebanyakan karyawan menaruh
keamanan diatas semua faktor yang dikaitkan dengan kerja. Kontras dengan
pandangan negatif ini mengenai kodrat manusia ada empat teori Y : 1) karyawan
dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti istirahat dan bermain 2)
orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit
pada sasaran 3) rata-rata orang akan menerima tanggung jawab 4) kemampuan
untuk mengambil keputusan inovatif.
Dari beberapa filosofi tersebut dapat dianalogikan bahwa dengan adanya motivasi
baik intrinsik maupun ekstrinsik sebagai wujud dari aktualisasi diri akan
mendorong karyawan untuk bekerja lebih untuk menuju kesuksesan dan
menghindari kegagalan. Dengan kata lain motivasi dapat membuat karyawan
mengeksplorasi pemikiran mereka dengan membuat ide-ide baru dengan
kreativitas mereka untuk mencapai suatu tujuan

Teori Kognitif

 


Teori kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget pada tahun 1896-1980. Piaget
berpendapat bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual
dari konkret menuju abstrak. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Kognitif itu sendiri dapat diartikan sebagai potensi
intelektual yang terdiri dari tahapan; pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehension), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis),
evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan
untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Teori kognitif ini lebih menekankan pada proses atau upaya dalam
memaksimalkan pekerjaannya. Kognitif teori merupakan teori yang jelas, dimana
orang akan bekerja dengan baik apabila tujuan dari pekerjaan itu jelas.
Pengukuran kinerja non-finansial memberikan arahan yang jelas apa yang harus
dilakukan ketika karyawan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Maka dari
itu kognitif lebih menekankan pada proses dalam pencapaian tujuan dan dengan
dasar dari teori kognitif ini pula dapat dikembangkan bagaimana pengaruh
pengukuran non-finansial tehadap pembentukan kreativitas karyawan

Price Earning Ratio (PER)

 


Price Earning Ratio (PER) adalah rasio yang mengukur antara stock
price dengan profit dari para pemegang saham. Semakin besar nilai
PER menyebabkan pertumbuhan pertumbuhan semakin meningkat,
sehingga nilai perusahaan dapat meningkat pula. PER dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Kariyoto, 2017):
π‘ƒπ‘Ÿπ‘–π‘π‘’ πΈπ‘Žπ‘Ÿπ‘›π‘–π‘›π‘”π‘  π‘…π‘Žπ‘‘π‘–π‘œ = π»π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘Ž π‘ƒπ‘Žπ‘ π‘Žπ‘Ÿ π‘π‘’π‘Ÿ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š
πΏπ‘Žπ‘π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿ π‘™π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘Ÿ π‘ π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š

Aspek-Aspek Gaya Kepemimpinan Transformasional

 


Aspek-aspek gaya kepemimpinan transformasional merupakan indikator
yang menunjukkan cara pemimpin dalam memotivasi kinerja bawahannya.
Menurut Bass (1985), aspek-aspek pembentuk gaya kepemimpinan
transformasional adalah kharismatik (charisma), perhatian pada individu
(individual consideration), perangsangan intelektual (intellectual stimulation),
dan motivasi inspirasional (inspirational motivation). Keempat aspek tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kharismatik (charisma)
Aspek ini menunjukkan kewibawaan seorang pemimpin dalam
mengarahkan dan memotivasi bawahannya. Pemimpin kharismatik merupakan
pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi bawahannya. Pemimpin
kharismatik berusaha melibatkan kekuatan emosional dalam mempengaruhi
bawahannya.
b. Perhatian pada individu (individual consideration)
Dalam kepemimpinan transformasional, bawahan selalu dilibatkan
secara langsung dalam setiap masalah organisasi yang sedang dihadapi. Hal ini
menunjukkan bahwa pemimpin transformasional memiliki perhatian sekaligus
memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengembangkan diri dan
berperan aktif dalam memajukan organisasi. Perhatian dan kesempatan yang
diberikan dapat mendukung dan memperkuat kinerja bawahan.
c. Perangsangan intelektual (intellectual stimulation)
Aspek ini menjelaskan usaha pemimpin meningkatkan kesadaran
bawahan untuk terlibat dalam pengelolaan organisasi sehingga dapat mengatasi
permasalahan yang dihadapi secara bersama. Segala permasalahan organisasi
akan dianalisis dari berbagai sudut pandang yang melibatkan pemimpin dan
bawahan secara langsung. Dalam proses tersebut, pemimpin memberikan
kesempatan dan kebebasan yang sama kepada bawahan untuk mengemukakan
pendapat sesuai dengan perspektif dan pola pikirnya.
d. Motivasi inspirasional (inspirational motivation)
Aspek ini menjelaskan kemampuan pemimpin memotivasi bawahannya
dengan memberikan penjelasan mengenai gagasan dan pandangan kerjanya
melalui contoh pengalaman. Hal ini dimaksudkan agar bawahan dapat
memperoleh gambaran mengenai nilai-nilai kerja yang positif dan model
perilaku yang tepat. Gambaran tersebut membantu bawahan memahami makna
dan manfaat dari tugas-tugas yang akan dijalaninya. Pemimpin transformasional
yang lebih menekankan pada kontrak sosial memiliki banyak cara untuk
memotivasi bawahannya.

Gaya Kepemimpinan Transformasional

 


Menurut Burns (dalam Yukl 2010) “Kepemimpinan transformasional
menyerukan nilai-nilai moral dari pada pengikut dalam upayanya untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis dan untuk memobilisasi
energi dan sumber daya mereka untuk mereformasi institusi.”
Sedangkan menurut O’Leary (2001), “Kepemimpinan transformasional
adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seorang manajer bila ia ingin
suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja atau mencapai
serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru”.
Bass (1985) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan yang berlangsung melebihi dari sekedar pertukaran atau imbalan
bagi kinerja yang ditampilkan oleh pengikut tetapi lebih didasarkan pada
kepercayaan dan komitmen (Jung dan Avolio, 1999 dalam Sunarsih 2001).
Kepemimpinan transformasional menurut Gibson (1996) merupakan
kemampuan seorang pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi pada
bawahannya untuk mencapai hasil lebih baik dari yang direncanakan.
Penerapan gaya kepemimpinan ini lebih menekankan pada proses
perubahan persepsi, sikap, dan perilaku bawahan ke arah peningkatan
pengetahuan, wawasan dan kemampuan dalam menjalankan organisasi Barling
(1996). Penekanan pada proses perubahan tersebut tidak hanya dimaksudkan
untuk menghadapi kondisi saat ini saja tetapi juga masa yang akan datang.

Pengertian Kepemimpinan

 


Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
pencapaian kinerja organisasi. Kepemimpinan digunakan untuk mengarahkan
individu-individu pada tujuan organisasi. Suatu organisasi yang dijalankan tanpa
kepemimpinan akan mengalami kelemahan dan kesulitan untuk mencapai
tujuan. Kesulitan tersebut timbul karena tidak ada pihak yang menghubungkan
tujuan individu dengan organisasi (Reksohadiprodjo dan Handoko, 2001).
Kepemimpinan didefinisikan Gitosudarmo dan Sudita (2000) sebagai
suatu proses yang mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok untuk
mencapai tujuan. Dari definisi tersebut tampak bahwa kepemimpinan bukan
menunjuk pada orang melainkan proses, sedangkan orang yang menjalankan
kepemimpinan adalah pemimpin.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kinerja

 Efektivitas kinerja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Danim

(2004) efektivitas kinerja dipengaruhi oleh interaksi antar-sesama yang
mencakup hal-hal berikut:
a. Gaya kepemimpinan, dapat mempengaruhi efektivitas kinerja di antaranya:
otoriter, demokratis, pseudo demokratis, situasional, paternalistis, orientasi
pemusatan, dan lain-lain.
b. Ketergantungan, dapat mempengaruhi efektivitas kinerja misalnya:
ketergantungan penuh, ketergantungan sebagian, ketergantungan situasional,
dan tidak ada ketergantungan.
c. Hubungan persahabatan dapat mempengaruhi efektivitas kinerja misalnya:
kaku, longgar, situasional, berpusat pada seseorang, dan berpusat secara
kombinasi.
d. Kultur dapat mempengaruhi efektivitas kinerja seperti: menghambat dan
menunjang.
e. Kemampuan dasar setiap orang untuk berinteraksi misalnya ada yang cepat
dan ada yang lambat, situasional, dan tidak berinteraksi sama sekali.
f. Sistem nilai dapat mempengaruhi efektivitas nilai misalnya: terbuka, tertutup,
dan prasangka.
Soeprihanto (2001) mengatakan efektivitas kinerja berkaitan erat dengan
prestasi kerja seseorang. Efektivitas kinerja dan prestasi tidak hanya dinilai dari
hasil secara fisik tetapi juga mencakup pelaksanaan kerja secara keseluruhan
yang meliputi kemampuan kerja, hubungan kerja, disiplin kerja, prakarsa dan
kepemimpinan. Kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan
tujuan dan sasaran yang ditetapkan merupakan salah satu indikator kinerja yang
efektif dan prestasi yang tinggi. Perencanaan efektivitas kinerja dan prestasi
didahului dengan perencanaan cara mencapainya dan menetapkan tujuan yang
akan dicapai. Fungsi pengorganisasian menjelaskan tanggung jawab dan
wewenang individu dalam organisasi sedangkan fungsi pengarahan menjelaskan
panduan pencapaian hasil dalam bentuk interaksi yang lebih berorientasi pada
psikologi individu dalam organisasi. Sementara fungsi pengendalian
menjelaskan kemampuan individu untuk menjamin konsistensi hasil aktual
dengan yang telah direncanakan.
Gibson (1996) menambahkan kemampuan mengelola individu dalam
organisasi secara efektif merupakan kunci peningkatan efektivitas kinerja.
Pendapat lain dikemukakan Kuswadi (2004) yang mengatakan
efektivitas kinerja merupakan kesesuaian antara kompetensi individu dengan
persyaratan kerja atau kebutuhan tugas yang diharapkan organisasi
(competencies and job demands). Keterbatasan kompetensi individu dapat
menghambat pelaksanaan pekerjaan atau tugas-tugas seseorang.
Ketidakmampuan seseorang mencapai sasaran atau tujuan yang ditetapkan
mencerminkan kinerja individu yang kurang baik.