Thursday, July 11, 2024

Pengaruh Gaya Hidup Hedonik Terhadap Pembelian Impulsive

 


Gaya hidup hedonisme adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya hanya
untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar
rumah lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli
barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Pokok ajaran hedonism adalah pencapaian kesenangan (pleasure) dan menjauhkan
dari rasa sakit ( pain), baik kesenangan itu yang menyangkut jasmani dan rohani.
Namun titik tekan hedonism adalah paham yang mementingkan pemenuhan
kesenangan jasmani. (Adhipratama, 2013).
Gaya hidup hedonis akan menjadi suatu gaya hidup yang negatif apabila
berkembang mencapai pada tahap yang berat kemudian digambarkan sebagai
seseorang yang gemar hura-hura dan kehidupannya hanya diartikan sebagai
kesenangan belaka dan tidak ada kerja keras, seperti jalan-jalan ke tempat hiburan
dan pusat perbelanjaan yang bertujuan untuk mencari kesenangan Solomon
(2009).  

Ease Of Use

 


Menurut Harlan (2014) Ease Of Use diartikan sebagai kepercayaan
individu dimana jika mereka menggunakan teknologi tertentu maka akan bebas
dari upaya. Sedangkan menurut Goodwin dan Silver dalam Sakti, dkk. (2013)
menyatakan bahwa intensitas penggunaan dan interaksi antara pengguna (user)
dengan sistem juga dapat menunjukkan kemudahan penggunaan.
Faktor Ease Of Use ini terkait dengan bagaimana operasional bertransaksi
secara online. Pada saat pertama kali bertransaksi online biasanya calon pembeli
akan mengalami kesulitan, karena faktor keamanan dan tidak tahu cara
bertransaksi secara online pembeli cenderung mengurungkan niatnya untuk
berbelanja online (Adityo, 2011). Disisi lain ada juga beberapa calon pembeli
yang berinisiatif untuk mencoba karena pembeli telah mendapatkan informasi
tentang cara bertransaksi online. Dengan menyediakan layanan dan petunjuk
bagaimana cara bertransaksi online, mulai dari cara pembayaran, dan fitur
pengisian form pembelian akan mempermudah konsumen untuk berbelanja secara
online (Amijaya, 2010)

Gaya hidup hedonik

 


Menurut Setiadi (2003) gaya hidup secara luas didefinisikan sebagai cara
hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana seseorang menghabiskan waktu
mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya,
(ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga
dunia disekitarnya (pendapat). Menurut Kotler (dalam Widjaja, 2009) gaya hidup
adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat
dan opini. Hal senada juga diungkapkan oleh Widjaja (2009) yang menyatakan
bahwa gaya hidup sebagai pola hidup yang mengambarkan kegiatan, ketertarikan,
dan opini individu yang berinteraksi dengan orang-orang yang menganut aliran
ini, dengan sendirinya menganggap atau menjadikan kesenangan sebagai tujuan
hidupnya.

Pembelian Impusif ( Impulse buying)

 


Menurut Utami (2015) Pembelian impulsif ( Impulse buying ) adalah
pembelian yang terjadi ketika konsumen melihat produk atau merek tertentu,
kemudian konsumen menjadi tertarik untuk mendapatkannya, biasanya karena
adanya ransangan yang menarik dari toko tersebut.
Menurut Sterns (1962) Impulse buying is a purchase that made by
consumers without being in-tentionally planned before yang berarti belanja
Impulsif adalah suatu pembelian yang dilakukan konsumen tanpa direncanakan
sebelumnya (Bong, 2011)
Impulse buying adalah perilaku yang dilakukan secara tidak sengaja dan
kemungkinan besar melibatkan berbagai macam motif yang tidak disadari, serta
dibarengi oleh respon emosional yang kuat (Astrid Gisela Herabadi, 2003: 59).
Perilaku pembelian secara impulsif memiliki tingkatan yang berbeda pada setiap
orang. Akan tetapi semua tergantung dari individu tersebut, apakah dia dapat
mengontrol diri dalam pembelian impulsif atau tidak.
Menurut (Verplanken, B., & Sato, A., 2011) mengatakan bahwa terdapat
dua dimensi dalam pembelian impulsif (impulsive buying), yaitu:

Hubungan Visual Merchandise Terhadap Impulse Buying

 


Visual merchandise menggambarkan teknik dalam menyajikan
tampilan produk untuk menarik minat konsumen (Sudarsono, 2017). Perilaku
konsumen yang impulsif dapat dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat di gerai
ritel. Toko ritel perlu mengatur tampilan toko agar terlihat menarik bagi
konsumen. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kesan yang baik dan
kenyamanan ketika konsumen berbelanja sehingga mempengaruhi emosi
pembeli untuk membeli secara impulsif

Visual Merchandise

 


Visual merchandising adalah presentasi produk yang efektif yang
berdampak pada pembelian. Menurut Maymand & Ahmadinejad (2012) visual
merchandising adalah penyajian toko atau merek dan barang dagangan kepada
pelanggan melalui tim kerja dari iklan toko, display atau tampilan, event
tertentu, koordinasi fashion, dan merchandising department untuk menjual
barang dan jasa yang ditawarkan oleh toko. Visual merchandising merupakan
teknik dalam merepresentasikan tampilan produk yang dijual dengan menarik,
eyechatching, dan ditujukan pada pelanggan potensial (Jain et al., 2018).
Visual merchandising disebut sebagai “the silent salesperson” namun
dapat menyampaikan pesan penjualan melalui rangsangan visual (Jain, 2013).
Stimulus atau rangsangan ini sebagian besar dikumpulkan melalui mata. Hal
ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dilihat pelanggan, eksterior atau
interior, menciptakan dampak positif pada pelanggan. Tujuan dari visual
merchandising adalah mengedukasi pelanggan dalam meningkatkan citra
toko/perusahaan dan mendorong beberapa penjualan dengan menunjukkan
pakaian bersama dengan aksesoris (Frings, 2014). Dengan demikian, setiap
toko mencoba untuk meningkatkan citranya dan untuk melakukannya dengan
komoditas yang menarik bagi konsumen dan membuat konsumen setia kepada
merk tersebut, sehingga hal tersebut dapat mendorong perilaku pembelian
(Pancaningrum, 2017). Frings (2014) menyatakan bahwa konsumen biasanya
menganalisis kasus di dalam dan di luar gerai, di mana manekin, susunan
barang dagangan, dan merk komersial yang sangat penting diakses oleh
konsumen. Adapun fungsi visual merchandise menurut (Bell & Ternus, 2012)
antara lain:

  1. Mendukung penjualan
  2. Medukung strategi retail
  3. Komunikasi dengan pelanggan
  4. Membentu dalam mengkomunikasikan brand image
  5. Mendukung tren dalam ritel
    Menurut Mehta & Chugan (2013), untuk mengukur visual merchandise
    terdapat beberapa indicator yang digunakan, yakni:
    1) Window display
    Merupakan tampilan bagian depan toko berupa tampilan pintu masuk,
    tampilan jendela, serta tampilan logo.
    2) In-Store form/mannequin display
    Merupakan alat untuk memamerkan atau menjelaskan tren fashion saat
    ini, menjelaskan fungsi produk yang lebih detail dan menarik perhatian
    pelanggan.
    3) Floor merchandising
    Untuk mempermudah konsumen ketika bergerak saat berbelanja dan
    memudahkan konsumen untuk mencoba produk
    4) Promotional Signage
    Merupakan informasi fungsi dari produk untuk memudahkan pelanggan
    mengatahui kegunaan dari produk berupa tulisan yang menjelaskan
    kegunaan produk, tanda promosi, serta tanda yang menunjukkan diskon
    atau bonus tertentu.
    Dengan menggunakan visual merchandise, informasi sebuah toko dapat
    disampaikan dalam bentuk visual. Konsumen cukup memahami informasi
    yang disampaikan melalui visual merchandising yang disajikan. Konsumen
    yang penasaran akan tertarik memasuki gerai tersebut dan melakukan
    pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya.

Store atmosphere

 


Store atmosphere (suasana toko) adalah kesan keseluruhan yang
disampaikan oleh dekorasi, tata letak toko, dan lingkungan sekitarnya (Lamb
et al., 2001). Store atmosphere merupakan salah satu elemen bauran pemasaran
ritel yang berkaitan dengan penciptaan suasana belanja. Store atmosphere
berperan penting untuk memikat pembeli, membuat pelanggan nyaman dalam
memilih barang belanjaan, dan mengingatkan pelanggan produk apa yang perlu
dimiliki (Ma’ruf, 2006). Menurut Levy & Weitz (2001) store atmosphere
adalah desain lingkungan melalui komunikasi visual, pencahayaan, warna,
musik, dan wangi-wangian untuk menstimulasi persepsi dan respon emosional
konsumen dan akhirnya mempengaruhi perilaku kosumen dalam membeli
barang.
Mowen & Minor (2002) mengemukakan bahwa store atmosphere atau
suasana toko merupakan istilah umum daripada tata ruang toko dan dapat
berhubungan dengan cara para manager dapat memanipulasi desain bangunan,
ruang interior, tata ruang lorong-lorong, tekstur karpet, dinding, bau, warna,
bentuk, dan suara yang dialami pelanggan untuk mencapai pengaruh tertentu.
Berman & Evans (1992) menjelaskan bahwa suasana mengacu pada
karakteristik fisik toko yang digunakan untuk mengembangkan citra dan
menarik pelanggan. Sedangkan definisi store atmosfer menurut Kotler &
Keller (2007) merupakan unsur lain yang dimiliki setiap toko dan digunakan
untuk mempertahankan dan sebagai pembeda toko. Setiap toko memiliki tata
letak fisik atau penampilan yang berbeda. Atmosfer setiap toko harus sesuai
dengan pasar sasarannya dan memikat hati pelanggan untuk melakukan
pembelian.
Berdasarkan dari beberapa teori terkait definisi store atmosphere, maka
dapat disimpulkan bahwa store atmosphere adalah karakter unik dan berbeda
yang dimiliki suatu toko dengan tujuan untuk mengembangkan citra toko,
menarik konsumen agar mengunjungi dan merasakan kenyamanan gerai
tersebut. Karakteristik toko dapat dinilai dari segi desain interior, eksterior,
pencahayaan, aroma, music, tata letak, dan lain-lain yang dapat dirasakan oleh
panca indera (Fahimah et al., 2015).
Atmosfer merupakan kunci dalam memikat konsumen dan membuat
terkesan dengan pengalaman belanjanya di dalam gerai (Coley & Burgess,
2003). Pengusaha ritel harus mampu mengelola atmosfer toko sedemikian rupa
sehingga tujuan meningkatkan kunjungan pelanggan, meningkatkan penjualan,
dan menstimuli citra positif pelanggan dapat tercapai (Pancaningrum, 2017).
Menurut Levy & Weitz (2001) terdapat beberapa indicator yang
digunakan untuk mengukur store atmosphere, yaitu:
1) Pencahayaan
Pencahayaan yang baik di toko berfungsi untuk menerangi
ruangan, menyoroti produk yang dijual, memahat ruang, menangkap
suasana hati atau perasaan yang meningkatkan citra toko dan untuk
mengecilkan fitur permanen yang terlihat kurang menarik.
2) Komunikasi visual
Komunikasi visual terdiri dari grafis, papan tanda yang digunakan
untuk membantu meningkatkan penjualan dengan memberikan
informasi mengenai produk dan menyarankan item atau pembelian
khusus.
3) Warna
Penggunaan kreatif warna dapat meningkatkan citra peritel dan
membantu meningkatkan suasan hati (mood).
4) Music
Musik dapat berdampak positif maupun negative dari pelanggan
karena music dapat membuat pelanggan tinggal lebih lama dan membeli
lebih banyak barang atau malah lebih cepat meninggalkan toko. Selain
itu music juga mengontril lalu lintas toko, menciptakan image, dan
menarik serta mengarahkan perhatian pelanggan.
5) Aroma
Penciuman memiliki dampak terbesar pada emosi manusia. Bau
tertentu dapat menempatkan konsumen dalam suasan hati yang lebih baik
atau membuat mereka berlama-lama di toko