Monday, July 15, 2024

Leader Member Exchange (LMX)

 


Leader member exchange (LMX) atau pertukaran pemimpin anggota merupakan
sebuah dimensi yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi agar dapat tercipta
komunikasi yang baik, sehingga hubungan personal antar pemimpin dan bawahannya
dapat harmonis (Zakiy, 2015). Teori leader member exchange berfokus pada hubungan
dyadic, yakni hubungan antara seorang pemimpin dengan setiap personal bawahannya
dan setiap hubungan antara sepasang leader-member ini memiliki kualitas yang
berbeda (Putri dan Nurul, 2010).
LMX merupakan sebuah teori yang mendukung pemimpin menciptakan adanya
in-group dan out-group; bawahan dengan status in-group akan mendapatkan tingkat
kinerja yang tinggi; less turnover; dan kepuasan kerja yang lebih besar (Robbins dan
Judge, 2013: 377).
Kualitas hubungan ini akan membentuk in group dan out group. Dimana para
bawahan yang menjadi anggota in-group akan diberikan tanggung jawab, penghargaan
dan perhatian yang lebih banyak daripada bawahan yang berada di out group.
Sebaliknya, anggota out group akan memiliki hubungan yang lebih formal dengan
pemimpinnya. Sehingga, adanya perbedaan antara in group dan out group ini akan
menentukan kualitas dalam sebuah organisasi.
Leader member exchange terbagi menjadi empat dimensi (Liden dan Maslyn,
1998), yaitu:
a. Affect (Afeksi)
Afeksi mengacu pada keakraban antara satu individu dengan individu lainnya.
Keakraban ini sendiri tidak memandang stasus sosial. Interaksi dapat terbentuk
oleh hubungan karyawan dan pimpinan, pimpinan dengan pimpinan maupun
karyawan dengan karyawan. Aspek afeksi dapat menjadi unsur paling dominan
maupun tidaknya dapat bergantung kepada jenis hubungan yang ada di tempat kerja.
Waktu yang diperlukan oleh pemimpin dengan bawahan untuk menjalin hubungan
cenderung berbeda dari satu dengan yang lainnya, ada yang bisa menjalin
hubungan baik dalam waktu yang singkat, namun ada juga yang tidak. Hubungan
saling menyukai antara pimpinan dan karyawan sendiri sangat dibutuhkan untuk
keberlangsungan LMX.
b. Contribution (Kontribusi)
Dimensi kontribusi adalah persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas
ditingkat tertentu antara pemimpin dan karyawan untuk mencapai tujuan bersama.
Level kontribusi dari seseorang dapat dilihat dari seberapa banyak pekerjaan dan
informasi yang didapat. Adanya kualitas kontribusi yang tinggi menyebabkan
karyawan rela berkorban demi pemimpin, rekan kerja dan perusahaan. Semakin
tingginya level kontribusi karyawan maka kualitas hubungan LMX juga semakin
baik.
c. Loyalty (Loyalitas)
Loyalitas adalah bagaimana pemimpin maupun karyawan saling mendukung aksi
dan karakter satu sama lainnya dalam segala situasi. Pemimpin akan lebih
menyukai untuk memberikan tugas kepada karyawan loyal. Loyalitas karyawan
maupun pemimpin disebuah perusahaan sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan
LMX yang nantinya berdampak terhadap kinerja perusahaan.
d. Professional Respect (Respek/Hormat)
Professional respect mengacu pada rasa hormat atau kagum pada pekerjaan yang
dilakukan orang lain. Rasa kagum dapat didasarkan berbagai hal keinginan untuk
bisa menjadi orang tersebut atau karena pencapaian yang dicapai oleh orang yang
dikagumi. Rasa kagum seseorang karyawan dapat disebabkan karena reputasi yang
dimilik oleh pemimpinnya. Reputasi dapat dibentuk melalui data sejarah mengenai
seorang pribadi, seperti pengalaman pribadi, komentar yang didapat melalui
perseorangan maupun dari luar organisasi dan penghargaan yang diberikan
terhadapnya. Karyawan yang menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap performa
maupun interaksi dari pemimpin diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai baik
tersebut dalam kesehariannya bekerja. Seorang karyawan yang mampu
menerapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh pemimpin dapat mewujudkan
transisi yang baik di organisasi

Pengertian Perilaku Konsumen


Menurut Setiadi (2019) “Perilaku konsumen adalah suatu
tindakan-tindakan nyata individu atau kumpulan individu, misalnya
suatu oraganisasi yang dipengaruhi oleh aspek eksternal dan internal
yang mengarahkan mereka untuk memilih dan mengkonsumsi barang
atau jasa yang diinginkan.”
Arianty, et al., (2019) “perilaku konsumen dapat diartikan
adalah tindakan yang dilakukan oleh konsumen dalam pengambilan
keputusan berdasarkan keinginan yang ada pada dirinya dan
memoeroleh manfaat setelah mengkonsumsi terhadap pilihan dari
keputusan yang telah diambil, manfaat itu dipaparkan menjadi dua
bentuk yaitu nilau guna cardinal dan nilai guna ordinal atau dapat
dikatakan nilai guna yang kepuasannya dapat dihitung, dan nilai guna
yang kepuasannnya tidak dapat dihitung.”
Menurut Kotler dan Keller (2016:179), “perilaku konsumen
adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi
memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, ide,
atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.”
Perilaku konsumen dibagi menajdi perilaku yang rasional dan
irasional. Kedua jenis perilaku tersebut dijelaskan sebagai berikut ini
(Wirapraja et al., 2021):

  1. Perilaku bersifat rasional adalah perilaku konsumen ketika
    melakukan pembelian barang lebih mengedepankan pada
    pemikiran logis dan bersifat secara umum. Konsumen dengan
    perilaku rasional seperti membeli barang sesuai dengan kebutuhan
    seperti kebutuhan mendesak, kebbutuhan primer, memilih barang
    yang memberikan kegunaan yang optimal atau yang dapat
    memberikan kepuasan, membeli barang yang memiliki kualitas
    baik, membeli barang sesuai dengan kemampuan keuangan
    konsumen. Ciri-ciri perilaku bersifat rasional seperti:
    a. Pemilihan barang disebabkan karena kebutuhan primer atau
    mendesak
    b. Barang memberikan kegunaan optimal
    c. Barang yang memiliki mutu yang terjamin
    d. Konsumen memilih barang sesuai dengan harga dan
    kemampuan konsumen
  2. Perilaku bersifat irasional adalah perilaku konsumen ketika
    membeli barang tidak didasarkan pada pemikiran logis namun
    karena adanya faktor lain seperti diskon, hadiah, iming-iming lain
    yang ditawarkan begian pemasaran kepada konsumen, seperti
    pembelian prosuk karena daya Tarik iklan, pembelian produk
    karena merek, dan pembelian produk karena lifestyle dan status
    sosial. Ciri-ciri dari perilaku bersifat irasional seperti:
    a. Tertarik karena adanya iklan dan promosi yang menarik
    b. Melihat produk yang bermerek dan dikenal masyarakat
    c. Memilih produk karena prestise dan gengsi

Tipe-tipe Perilaku Keputusan Pembelian

 


Perilaku dalam keputusan membeli oleh konsumen sangat berbeda
untuk setiap produk yang akan dibelinya, semakin kompleks keputusan,
biasanya akan semakin banyak pertimbangan, evaluasi dan semakin
banyak pihak yang terlibat. Kotler (2009) membedakan empat jenis
perilaku konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli sebagai
berikut:

  1. Perilaku pembelian yang kompleks
    Perilaku pembelian konsumen dalam situasi yang bercirikan
    keterlibatan tinggi konsumen dalam pembelian dan perbedaan besar
    dengan yang dirasakan diantara merk. Seseorang akan melalui proses
    pembelajaran, yang pertama akan mengembangakan keyakinan
    dengan produk, kemudian sikapnya, dan selanjutnya membuat pilihan
    pembelian yang dikembangkan dari pikiran yang matang. Pemasar
    harus membantu konsumen belajar dan mengetahui mengenai atribut
    kelas produk dan kepentingan relatif masing-masing, dan mengenai
    penawaran produk merek tertentu seperti menguuraikan secara detail
    tentang keunggulan masing-masing melalui media tertentu.
  2. Perilaku pembelian yang bertujuan mengurangi desonasi
    Berbeda dengan perilaku pembelian yang kompleks, perilku
    konsumen yang mengurangi desonasi (ketidaksesuain) terjadi ketika
    konsumen terlibat dalam pembelian barang yang berkelas, jarang
    dibeli dan cenderung beresiko, namun melihat sedikit perbedaan
    merek.
  3. Perilaku pembelian menurut kebiasaan
    Konsumen yang melakukan pembelian menurut kebiasaanya,
    mempunyai keterlibatan yang rendah dengan kebanyakan produk yang
    mempunyai harga relatif rendah dan sering dibeli. Konsumen tidak
    terlalu mencari informasi secara ekstensif mengenai merek mana yang
    akan dibeli. Dalam makna konsumen bertingkah pasif terhadap
    informasi pada media-media tertentu. Konsumen juga cenderung tidak
    mengevaluasi pilihan produknya.
  4. Perilaku pembelian yang mencari variasi
    Keterlibatan konsumen cenderung rendah namun konsumen
    yang mencari variasi lebih membandingkan perbedaan merek. Dalam
    kategori produk seperti ini, ada perbedaan bagi pemimpin pasar dan
    untuk merek yang kurang ternama. Perusahaan akan menciptakan
    dorongan konsumen untuk mencari variasi dengan menawarkan harga
    yang lebih rendah, penawaran khusus, discount, program, dan iklan
    untuk konsumen agar mencoba sesuatu yang baru.
    Menurut Schiffman dan Kanuk (2005), istilah model perilaku
    pembelian konsumen menunjukkan kepada cara pandang umum terhadap
    bagaimana dan mengapa konsumen berperilaku seperti yang
    ditampilkannya. Cara pandang tersebut dibagi menjadi empat pandangan
    meliputi :
    a. Economic man, seseorang yang membuat keputusan secara rasional
    b. Passive man, konsumen yang patuh terhadap keinginan dan promosi
    dari pemasar.
    c. Cognitive man, konsumen yang cenderung mencari dan mengevaluasi
    merek dan toko eceran.
    d. Emotional man, konsumen seperti ini cenderung memperhatikan dan
    mencari informasi dengan lebih memperhatikan perasaan dan suasana
    pribadi

Social Exchange (Pertukaran Sosial)

 


Teori pertukaran sosial adalah teori yang membahas pertukaran sumber daya,
material maupun simbolik antara dua orang atau lebih. Zafirovski (2005) menjelaskan
teori pertukaran sosial didasarkan pada premis bahwa perilaku manusia atau interaksi
sosial adalah pertukaran aktivis, baik berwujud maupun tidak berwujud, khususnya
imbalan dan biaya. Hal ini memberikan pertukaran manfaat, terutama memberi orang
lain sesuatu yang lebih berharga bagi mereka daripada yang mahal untuk memberi dan
sebaliknya, sebagai hal yang mendasari atau membuka rahasia tentang perilaku
manusia dan jadi fenomena dalam kehidupan sosial.
Wayne, Bommer dan Tetrick (2002) menyatakan bahwa teori pertukaran sosial
telah diterapkan dalam pengelolaan organisasi yang memberikan dasar untuk
memahami peran organisasi dan manajer dalam menciptakan perasaan kewajiban
imbalan dan perilaku pro-organisasi. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan
bahwa pertukaran sosial memiliki persamaan dengan LMX, yaitu untuk menganalisis
adanya kualitas hubungan antara seorang pemimpin dan karyawannya

Proses Keputusan Pembelian

 


Proses keputusan pembelian adalah tahapan-tahapan konsumen
dalam mengambil keputusan untuk membeli. Untuk memudahkan
perusahaan dalam mengetahui proses keputusan pembelian, maka
digunakan model tahapan proses keputusan pembelian. Menurut Kotler
dan Keller (2009) ada lima tahapan konsumen dalam mengambil
keputusan pembelian terhadap suatu produk atau jasa yaitu : pengenalan
masalah, mencari informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian,
perilaku pasca pembelian.

  1. Pengenalan masalah
    Pengenalan masalah adalah tahap awal konsumen dimana
    konsumen akan mengenali masalah atau kebutuhan. Kebutuhan atau
    masalah tersebut akan memulai sebuah proses dorongan untuk
    membeli. Kebutuhan tersebut dapat ditimbulkan dari rangsangan
    internal atau eksternal. Para pemasar harus mengidentifikasi penyebab
    kebutuhan tertentu dengan cara mengumpulkan informasi dari sejumlah
    konsumen, untuk mengetahui stimulus yang mana yang
    membangkitkan minta akan suatu produk.
  2. Pencarian informasi
    Konsumen yang merespon kebutuhannya dan tertarik akan
    terdorong mencari informasi. Sumber informasi yang didapat oleh
    konsumen tersebut dikelompokkan menjadi 4 yaitu:
    a. Sumber pribadi : keluarga, teman, kenalan dan orang terdekat
    b. Sumber komersial : iklan, wiraniaga, penyalur dan kemasan
    c. Sumber publik : media massa, media online
    d. Sumber pengalaman : pemakaian produk dan pengkajian
    Pemasar perlu menerapkan strategi yang dapat memasukkan
    produknya ke dalam kelompok informasi, kumpulan pilihan, dan
    kumpulan kesadaran agar menjadikan produk tersebut pilihan
    konsumen.
  3. Evaluasi alternatif
    Informasi yang diterima oleh konsumen akan menjadi bahan
    evaluasi alternatif dalam satu susunan pilihan. Susunan alternatif
    tersebut, konsumen berusaha memenuhi kebutuhannya, mencari
    manfaat tertentu dari solusi produk, dan membandingkan masing-
    masing produk sebagai sekumpulan produk dengan kemampuan
    konsumen.
  4. Keputusan pembelian
    Tahap keputusan pembelian merupakan tahap konsumen benar-
    benar menetapkan keputusan untuk membeli pilihan produk. Pada tahap
    evaluasi, konsumen membentuk sekumpulan pilihan dan
    membandingkan dengan kemampuan pemenuhannya. Kemudian
    konsumen tersebut menciptakan niat untuk membeli produk pilihannya.
  5. Perilaku pasca pembelian
    Perilaku pasca pembelian adalah proses keputusan pembelian
    dimana konsumen mengambil tindakan lebih lanjut setelah membeli
    pilihan produknya. Tindakan ini berdasarkan kepuasan atau
    ketidakpuasan yang telah dirasakan. Pemasar juga harus memperhatikan
    perilaku pasca pembelian konsumen untuk bahan evaluasi

Perilaku Konsumen

 


Perilaku konsumen adalah perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen
dalam proses mencari, menukar, menggunakan, menilai, dan mengatur
sebuah produk pemuas kebutuhan mereka (Wibowo & Supriadi, 2013).
Setiap kegiatan pemasaran bertujuan untuk memuaskan keinginan dan
kebutuhan dari konsumen. Oleh karena itu, dalam perusahaan konsumen
mempunyai posisi penting bagi kelangsungan kegiatan perusahaan. Dalam
memahami perilaku konsumen sangat tidak mudah, karena setiap
konsumen dalam membeli suatu produk mempunyai latar belakang
pendapatan, usia, pendidikan, dan selera yang berbeda. Perusahaan akan
mampu mengidentifikasi keinginan konsumen melalui pemahaman dalam
perilaku konsumen.
Perilaku konsumen merupakan studi dalam proses pertukaran dan
pembelian yang melibatkan konsumsi dan pembuangan produk,
pengalaman, dan ide-ide (Mowen & Minor, 2002). Menurut Kotler &
Keller (2009) perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana
seseorang, kelompok, atau organisasi untuk membeli, memilih,
mengkonsumsi, dan bagaimana produk, ide, dan pengalaman dalam
memuaskan keinginan dan kebutuhan merek

Defenisi Store Atmosphere

 


Menurut Levy dan Weitz (2012: 613) “Store atmosphere is the
combination of store characteristics (such as architecture, layout, signs and
displays, colors, lighting, temperature, sound, and smell), which together create an
image in the minds of customers". Store atmosphere adalah kombinasi dari
karakteristik toko (seperti arsitektur, tata letak, tanda-tanda dan tampilan, warna,
pencahayaan, suhu, suara, dan bau), yang bersama-sama membuat gambar dalam
pikiran pelanggan.
Menurut Berman dan Evans (2010) “Store Atmosphere is a physical
characteristic for a store, it is important to highlight the physical appearance, the
store atmosphere is useful for building an image and attracting customer interest”.
Store Atmosphere merupakan karakteristik fisik bagi sebuah toko, penting untuk
menonjolkan tampilan fisik, suasana toko berguna untuk membangun citra dan
menarik minat pelanggan.
Menurut Kotler dan Keller (2013:177) “Store atmosphere is another
weapon element that the store has. Each store has a physical layout that makes it
easy or bridges the buyer to go around in it. Each store has an appearance. Store
must establish a planned atmosphere that suits its target market and which can
attract consumers to buy”. Store atmosphere merupakan unsur senjata lain yang
dimiliki toko, setiap toko mempunyai tata letak fisik yang memudahkan atau
menyulitkan pembeli untuk berputar-putar didalamnya. Setiap toko mempunyai
penampilan. Toko harus membentuk suasana terencana yang sesuai dengan pasar
sasarannya dan yang dapat menarik konsumen untuk membeli.
Adapun pengertian store atmosphere menurut Nurcaya dan Rastini (2018)
berpendapat bahwa store atmosphere adalah karakteristik yang paling penting bagi
setiap bisnis ritel karena store atmosphere bertujuan untuk memenuhi persyaratan
fungsional sambil melayani pengalaman berbelanja yang menyenangkan.
Sedangkan menurut Rizka Meliyani (2017) Suasana toko adalah penataan
interior (instore) dan ruang luar (outstore) yang dapat menciptakan kenyamanan
bagi pelanggan toko, identitas sebuah toko dapat tersampaikan kepada konsumen
dengan suasananya. Sehingga store atmosphere merupakan secret communication
yang dapat menunjukkan kelas sosial produk di dalamnya.