Geografi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari hubungan kasual gejala-gejala muka bumi dan peristiwa yang
terjadi di permukaaan bumi baik fisik maupun yang menyangkut mahluk hidup
beserta permaslahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks
wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (
Bintarto, 1983 )
Pembangunan keruangan biasanya
dicirikan dengan adanya pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial
yang membawa tekanan-tekanan tak terelakkan terhadap kebijaksanaan regional
tergantung dari tingkatan atau tahapan pembangunan dan pengorganisasian tata
ruang yang bersangkutan. Pentingnya kebijaksanaan regional dan jenis-jenis
permasalahan yang harus dihadapi akan berubah-ubah ( Fisher, 1975 ). Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sebagai
tempat kegiatan diperlukan adanya penataan ruang agar dicapai penyebaran yang
efisisen.
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan memenuhi peningkatan permintaan
pelayanan di kota sekunder negara dunia ketiga sangatlah rendah selama dua dekade
belakangan. Penelitian Osborn di bebcrapa kota menengah di Indonesia
membuktikan bahwa pelayanan infrastruktur dan kebutuhan dasar seperti sekolah,
rumah sakit, air bersih, drainase, dan bangunan fisik sangatlah kurang (Osbom
dalam Rondinelli, 1983). Sisi lain diungkapkan oleh Conyers (1982) yang
menyatakan bahwa fasilitas pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan di negara
dunia keliga menyerap lebih banyak sumber dana dan tenaga kerja dibandingkan
jenis pelayanan sosial lainnya.
Bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas
utama dalam kebijakan pembangunan, dimana investasi di bidang ini tersebar luas
di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun secara kualitas dalam bidang
kesehatan kurang mendapat perhatian, akibatnya kota-kota besar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding kota-kota kecil. Hal ini
dapat terlihat dari variasi jumlah dan jenis dokter spesialis yang tersedia
(Atmodirono, 1974).
Kekurangan fasilitas pelayanan pendidikan telah mendorong pemerintah untuk
segera melakukan pembangunan fasilitas secara cepat. Presiden Republik
Indonesia secara khusus di tahun 70-an mengeluarkan instruksi (yang kemudian
dikenal dengan inpres) untuk menyediakan bangunan Sekolah Dasar setiap tahunnya
dengan dana berasal dari penjualan ekspor minyak bumi. Hingga tahun 1978 telah
dibangun 24.065 Sekolah Dasar Inpres dengan total proporsi 30% dari keselumhan
Sekolah dasar di negeri ini. Tahun 1979-1980 saja telah dibangun 10.000 Sekolah
Dasar baru, 15.000 kelas baru, dan perbaikan 15.000 bangunan Sekolah Dasar
lainnya. Untuk tingkat menengah, pembangunan dikonsentrasikan pada pengembangan
laboratorium sains dimana selama tahun 1974-1975 telah berdiri 1000
laboratorium baru bagi tingkat SLTP dan 200 lainnya untuk tingkat SLTA
(Postlethwaite, 1980).
Hal yang terjadi kemudian adalah sistem sentralistik dalam pengelolaan dan
alokasi program pendidikan terjadi bukan hanya dalam hal pengadaan sarana dan
prasarana, tapi ke semua aspek program, sehingga telah membentuk sikap tertentu
kepada pengelola pendidikan baik di pusat maupun di daerah. Salah satu sikap
yang selama ini terbentuk adalah adanya ketergantungan pengelola pendidikan
baik di daerah dan sekolah kepada pemerintah pusat dalam hal orientasi program
pendidikan dan penyediaan dana pendidikan (Indryamo, 1998).
No comments:
Post a Comment