Dalam era otonomi daerah konflik pengelolaan kawasan hutan mengalami
pergeseran paradigma yang berpotensi mempercepat proses menipisnya sumber daya
hutan dan degradasi lahan hutan yang berakibat pada penurunan fungsi dan daya
dukung kawasan hutan. Konflik ini
terjadi secara akumulatif terhadap sejumlah permasalahan yang belum
terselesaikan dengan baik di era Orde Baru (ORBA) di masa lalu. Selain itu, faktor pemahaman dan penanganan
sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal sekitar kawasan hutan
serta belum diakunya hak Adat/Hak Ulayat di beberapa lapisan masyarakat walaupun
secara turun-temurun masih diakui keberadaannya dalam tatanan sosial di
masyarakat. Penunjukan kawasan hutan ketika itu, masih bersifat sepihak dan Top down tanpa memperhatikan hak-hak
keberadaan masyarakat lokal terutama ganti rugi atau kompensasi kepemilikan
atas tanah hutan.
Konflik diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih
yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, nilai, status, penguasaan
sepihak dan kelangkaan sumberdaya. Menipisnya persediaan sumber daya hutan akan
berakibat pada penurunan produktivitas berupa hasil hutan yang berwujud berupa
kayu dan non kayu serta nilai jasa hutan lainnya. Konflik dapat timbul antar
individu, antar kelompok atau antar lembaga. Konflik pengelolaan sumberdaya
hutan yang sering terjadi yakni konflik antara masyarakat di dalam atau pinggir
hutan dengan berbagai pihak di luar hutan yang dianggap memiliki otoritas dalam
mengelola sumberdaya hutan.
No comments:
Post a Comment