Tuesday, June 25, 2024

Fungsi Loyalitas Merek Bagi Perusahaan

 


Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty
juga dapat memberikan suatu keuntungan bagi perusahaan. Beberapa
potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan
menurut Hasan (2014:78) “antara lain, mengurangi biaya pemasaran,
dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah
mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk
mendapatkan pelanggan baru. Jadi biaya pemasaran akan lebih
mengecil jika brand loyalty meningkat. Dengan brand loyalty juga
dapat meningkatkan perdagangan, loyalitas yang kuat terhadap suatu
merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat
keyakinan perantara pemasaran”. Dapat disimpulkan bahwa pembeli
ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka
selama ini. Selain itu, brand loyalty juga dapat menarik minat
pelanggan baru, dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang
merasa puas pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin
bagi calon pelanggan untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama
jika pembelian yang mereka lakukan mengandung resiko tinggi.
Yang terakhir, dengan brand loyalty dapat memberikan waktu
untuk merespon ancaman persaingan, brand loyalty akan memberi
waktu pada perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Jika salah
satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang
loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk
memperbahurui produknya dengan menyesuaikannya

Kategori Loyalitas

 


Menurut Hasan (2014:89), “terdapat dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mempelajari loyalitas merek yaitu pendekatan
instrumental conditioning dan pendekatan kognitif. Pertama,
pendekatan instrumental conditioning atau juga dikenal dengan
pendekatan behavioral, pendekatan ini memandang bahwa pembelian
yang konsisten sepanjang waktu adalah menunjukan loyalitas merek.
Perilaku pengulangan pembelian diasumsikan merefleksikan
penguatan atau stimulus yang kuat. Jadi, pengukuran bahwa konsumen
itu loyal atau tidak dilihat dari frekuensi dan konsistensi perilaku
pembeliannya terhadap satu merek. Pendekatan yang kedua yaitu
didasarkan pada teori kognitif. Menurut pendekatan ini, loyalitas
menyatakan komitmen terhadap merek yang mungkin tidak hanya
direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus”

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Brand Loyalty

 


Menurut Hurriyati (2015:29), faktor-faktor yang mempengaruhi
brand loyalty adalah:
1) Brand Equity
Nilai tambah yang diberikan merek pada produk; ekuitas
merek ada jika merek itu memberikan nilai tambah, tetapi jika
tidak memberikan nilai tambah apalagi mengurangi nilai
produk, berarti tidak ada ekuitas merek dari produk yang
dihasilkan.
2) Brand Awareness
Sejauh mana suatu merek dikenal atau tinggal dalam benak
konsumen.
3) Brand Personality
Seperangkat sifat dari karakteristik manusia yang disifati
pada sebuah produk seolah produk tersebut adalah manusia.
c. Ciri-Ciri Konsumen yang Loyal
Menurut Swastha (2011:56), “terdapat beberapa ciri-ciri konsumen
yang memiliki loyalitas terhadap merek antara lain konsumen memiliki
komitmen terhadap merek tersebut, mereka juga berani membayar
lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan merek yang lain,
konsumen yang loyal akan merekomendasikan merek tersebut pada
orang lain, tidak melakukan pertimbangan dalam melakukan
pembelian kembali produk tersebut, selalu mengikuti informasi yang
berkaitan merek tersebut dan mereka dapat menjadi semacam juru
bicara dari merek tersebut dan mereka selalu mengembangkan
hubungan dengan merek tersebut”

Pengertian Brand Loyalty

 Menurut Alma (2015), brand loyalty adalah suatu ukuran

keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek yang terdiri dari pembeli
yang puas dan konsumen yang menyukai merek. Menurut Griffin
(2013:34), “kesetiaan merek (brand loyalty) dipandang sebagai sejauh
mana seorang pelanggan menunjukan sikap positif terhadap suatu
merek, mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk
terus membelinya dimasa depan”. Menurut Hurriyati (2015:25)
berpendapat bahwa “loyalitas merek menunjukan pola pembelian yang
konsisten terhadap merek tertentu sepanjang waktu dan juga sikap
menyenangkan terhadap sebuah merek. Loyalitas merek berkembang
ketika merek sesuai dengan personalitas atau ketika merek
menawarkan kepuasan dan keuntungan unik yang dicari konsumen”.
Sedangkan menurut Sangadji (2013:78) menyebutkan “loyalitas
merek adalah pilihan yang dilakukan konsumen untuk membeli merek
tertentu dibandingkan merek yang lain dalam satu kategori produk. Hal
ini terjadi karena konsumen merasa bahwa merek menawarkan fitur
produk yang tepat, gambar atau tingkat kualitas diharga yang tepat”.
Sedangkan menurut Ratminto (2011:31) “loyalitas merek (brand
loyalty) sebagai sikap menyenangi suatu merek yang diwujudkan
dalam pembelian yang konsisten terhadap merek itu sepanjang waktu”.
Menurut Kotler dan Keller (2007:37), menyebutkan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap brand loyalty adalah sebagai berikut: nilai
(harga dan kualitas), citra (baik dari kepribadian dan reputasi dari
merek tersebut), kenyamanan dan kemudahan untuk mendapatkan
merek, kepuasan yang dirasakan oleh konsumen, pelayanan, garansi
dan jaminan yang diberikan oleh merek

Dimensi brand personality

 


Menurut Abdurrahman (2015:47), “Jennifer Aaker
mengembangkan suatu model brand personality yang terdiri dari lima
dimensi yakni, sincerity, excitement, competence, sophistication, dan
ruggedness untuk mengukur sifat dari brand personality. Meskipun
terdapat beberapa model brand personality lain yang dikembangkan
peneliti lainnya, namun model brand personality Aaker lebih populer
serta cukup valid dalam mengukur sifat dari brand personality”.
Menurut Griffin (2013:73), “Berdasarkan hal itu, konsep skala brand
personality yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sebagai
berikut:
1) Sicerity (Ketulusan)
Dimensi sincerity adalah ketulusan, kejujuran atau kesungguh-
sungguhan. Dimensi ini terdiri dari beberapa indikator, seperti:
down-to-earth (rendah hati), honest (jujur), wholesome (bijak), dan
cheerful (gembira).
2) Excitement (Kegembiraan)
Dimensi excitement menunjukkan kepribadian yang
menyenangkan atau bahkan menggairahkan, yang termasuk
indikator dalam dimensi ini adalah daring (berani), spirited
(semangat), imaginative (penuh imajinasi), dan up-to-date
(modern).
3) Competence (Kompetensi)
Dimensi competence menggambarkan kepribadian yang dapat
diandalkan atau memiliki kemampuan. Dimensi ini terdiri dari
indikator reliable (terpercaya), intelligent (pandai), dan successful
(sukses).
4) Sophistication (Kecanggihan)
Dimensi sophistication merupakan dimensi kepribadian
pembentuk pengalaman yang memuaskan, indikatornya antara lain
adalah upperclass (kelas atas/berkelas), charming (memikat),
smooth (halus), dan good looking (enak dipandang).
5) Ruggedness (Kepribadian)
Dimensi ruggedness menggambarkan kepribadian yang
tangguh dan keras. Indikator dari dimensi ini adalah masculine
(jantan), outdoorsy, western (kebarat baratan), tough (tangguh),
dan rugged (keras).

Signifikansi Brand personality

 


Menurut Lamb (2015:67) “Pada faktanya brand personality serupa
dengan karakteristik sifat manusia yang menggambarkan sebuah merek
dengan membedakan sekaligus menempelkan karakteristik sifat
manusia padanya. Lebih lanjut, personality bisa menciptakan suatu
peluang bagi sebuah merek untuk membentuk suatu persepsi tertentu
dalam pikiran konsumen. Banyak marketer yang menggunakan konsep
yang berhubungan dengan kepribadian (self-concept atau self-image).
Ide ini menunjukan bahwa kepemilikan orang berkontribusi serta
merefleksi terhadap identitas mereka, oleh karena itu dikatakan “we
are what we have”. Dengan demikian, untuk memahami perilaku
konsumen, para marketer pertama kali harus memahami hubungan
antara self concept dan kepemilikan konsumen (personality)”.
Menurut Lamb (2015:69) “Suatu produk yang menciptakan dan
mengkomunikasikan suatu brand personality khusus dapat bertahan
dalam persaingan dan bertahan secara bertahun tahun dalam loyalitas.
Analisis atas personality membantu para marketer untuk
mengidentifikasi kelemahan suatu merek yang sedikit dapat membantu
kualitas dari fungsi produk. Proses ini dapat disamakan dengan konsep
Animisme, yaitu suatu praktek dari suatu tradisi dimana masyarakat
mensifati suatu benda mati dengan sifat-sifat yang seolah-olah
membuatnya seperti hidup”.
Dalam pengertian ini, brand personality merupakan sebuah
pernyataan tentang posisi suatu merek dalam pasar. Memahami hal
tersebut merupakan keharusan dalam strategi pemasaran, khususnya
jika para konsumen tidak melihat suatu merek sebagaimana yang
dimaksudkan oleh pembuatnya terhadap merek tersebut, dan mereka
harus berusaha untuk melakukan reposition (memposisikan ulang)
produk tersebut (yak

Sejarah konsep Brand personality

 


Menurut Griffin (2013:72), “Sebuah merek memiliki kepribadian,
yaitu suatu sifat yang secara gradual membentuk watak atau
kepribadian. Merek pada produk barang atau jasa menunjukan seperti
apa sifat atau kepribadian merek tersebut apabila merek itu merupakan
manusia. Para ahli periklanan dan praktisi pemasaran yang pertama
kali memunculkan istilah “brand personality”, sebelum para akademisi
melakukan penelitian dan menerima konsep tersebut. Pada awal tahun
1958, Martineau menggunakan istilah tersebut kepada suatu dimensi
non-material yang membuat sebuah penjualan took menjadi spesial,
yakni tokoh karakternya. King menulis bahwa cara orang-orang
memilih merek mereka adalah seperti mereka memilih teman mereka,
sebagai tambahan dari kemampuan dan karakteristik fisik, mereka
menyukainya seolah merek tersebut adalah manusia. Kemudian
penelitian dari agen periklanan J. Walter Thompson menunjukan
bahwa konsumen cenderung mensifati aspek kepribadian (personality)
terhadap merek dan sering membicarakan tentang aspek ini”.
Menurut Griffin (2013:74), “Brand Personality telah menjadi
perhatian utama dalam periklanan suatu merek pada tahun 1970.
Sejumlah agen di Amerika menggunakannya sebagai prasyarat untuk
segala bentuk komunikasi. Hal ini menjelaskan mengapa ide untuk
memiliki tokoh karakter yang terkenal yang merpresentasikan suatu
merek menjadi tersebar dimana-mana. Cara yang paling mudah untuk
menciptakan suatu karakter adalah untuk memberikan bagi merek
tersebut seorang juru bicara (spokeperson), atau seorang figur utama,
apakah secara nyata atau hanya secara simbolis. Pepsi Cola seringkali
menggunakan metode ini, begitu pula semua merek parfum atau merek
siap pakai lainnya”.
Menurut Griffin (2013:78), “Apabila ditinjau dari aspek identity,
maka brand bukan merupakan nama suatu produk. Brand merupakan
visi yang mendorong diciptakannya produk barang dan jasa dengan
atas nama brand tersebut. Visi tersebut adalah kunci yang diyakini oleh
brand serta nilai intinya disebut dengan identity. Dengan demikian
brand identity adalah suatu keyakinan dan nilai inti dari suatu produk.
Brand Physical atau Physique adalah suatu aspek brand yang terdiri
dari kombinasi fitur yang ditonjolkan oleh produk yaitu fitur yang
seketika muncul dalam pikiran ketika nama merek tersebut disebutkan,
seperti, gambaran konkrit merek, ciri khas kegunaan merek, atau
penampilan fisik merek. Suatu merek harus memiliki kulturnya yang
dimana setiap produknya diperoleh darinya. Kultur dalam pengertian
ini adalah seperangkat nilai yang berkontribusi dalam menciptakan
aspirasi dari suatu merek. Facet kultural merujuk kepada prinsip-
prinsip dasar yang mengatur brand dari aspek (ide) produk dan
komunikasi. Brand merupakan relationship. Merek kadang-kadang
juga memperhatikan transaksi dan pertukaran pada masyarakat, hal ini
benar berlaku secara khusus pada merek yang menawarkan jasa. Aspek
ini sangat penting bagi merek yang bergerak dalam bidang jasa seperti
perbankan. Facet relationship berperan dalam mendefinisikan perilaku
kinerja yang paling dikenal pada merek. Hal ini memberikan implikasi
terhadap perilaku merek, pelayanan yang diberikan, penghubungan
kepada konsumennya. Brand merupakan refleksi konsumen. Ketika
orang-orang ditanya mengenai suatu merek mobil, maka mereka
dengan segera menjawabnya berdasarkan klien yang diterima oleh
merek tersebut, seperti suatu brand khusus untuk kalangan muda,
orangtua, untuk pamer, dan sebagainya. Self-concept atau self-image
adalah sebuah gambaran kepribadian yang kompleks yang dimiliki
setiap orang. Dasar self-concept adalah bahwa kepemilikan benda oleh
seseorang berkontribusi dan merefleksikan identitas mereka, oleh
karena itu dikatakan: “we are what we have” kita adalah apa yang kita
miliki”