Thursday, July 11, 2024

Word-of-mouth (WOM)

 


Kebanyakan komunikasi yang dilakukan oleh manusia adalah komunikasi
word-of-mouth atau yang sering disebut komunikasi dari mulut ke mulut.
Komunikasi dari mulut ke mulut merupakan suatu komunikasi informal dimana si
pengirim informasi tidak berbicara sebagai seorang profesional, tetapi cenderung
sebagai teman.
Komunikasi dari mulut ke mulut mengacu pada pertukaran komentar,
pemikiran, atau ide-ide di antara dua konsumen atau lebih yang tidak satupun dari
mereka merupakan sumber pemasaran (Mowen dan Minor, 2002: 180). Menurut
Word of Mouth Marketing Association (WOMMA), komunikasi dari mulut ke mulut
didefinisikan sebagai usaha pemasaran yang memicu konsumen untuk
membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan, hingga menjual merek
kepada calon konsumen lainnya. Komunikasi dari mulut ke mulut terjadi ketika
konsumen saling membagi informasi dengan teman tentang produk dan atau
promosi seperti tawaran menarik produk tertentu, kupon menarik dalam surat kabar,
atau banting harga di sebuah toko eceran (Peter dan Olson, 2000: 318).
Menurut Prasetijo dan Ihalauw (2005: 211), komunikasi dari mulut ke mulut
adalah proses di mana informasi yang didapatkan oleh seseorang mengenai suatu
produk dari media massa, interaksi sosial, maupun pengalaman pribadi diteruskan
kepada orang lain dan kemudian informasi itu menyebar ke mana – mana.
Komunikasi jenis ini cenderung lebih persuasif dan lebih dipercaya dari pada iklan
di media massa karena sumber komunikasinya adalah teman atau keluarga yang
pastinya tidak mendapat imbalan dari perusahaan.
Sebagaimana dikutip Permadi et al. (2014), WOMMA membedakan
komunikasi dari mulut ke mulut menjadi dua model yaitu:

New Product Knowledge

 


Ketika melakukan suatu pembelian, seorang konsumen sering mengandalkan
ingatan ataupun pengalaman untuk membuat suatu keputusan. Konsumen memiliki
tingkat pengetahuan produk yang berbeda, yang dapat dipergunakan untuk
menerjemahkan informasi baru dan membuat pilihan pembelian (Peter dan Olson,
2000: 67).
Beatty dan Smith (1987) dalam Lin dan Lin (2007) mendefinisikan
pengetahuan produk (product knowledge) sebagai persepsi yang dimiliki konsumen
terhadap produk tertentu, termasuk pengalaman sebelumnya menggunakan produk
tersebut. Menurut Engel et al. (1994), pengetahuan produk adalah informasi yang
disimpan di dalam ingatan mengenai kategori produk, seperti merek di dalam
kategori produk tersebut, terminologi produk, atribut produk, dan keyakinan
mengenai kategori produk dan merek spesifik. Flynn dan Goldsmith (1999) dalam
Harmancioglu et al. (2009) mengatakan, terdapat tiga tipe dasar pengetahuan
konsumen, yaitu:

  1. Pengetahuan subyektif, yaitu informasi yang diyakini konsumen telah ia
    miliki mengenai suatu perusahaan maupun produk-produknya.
  2. Pengetahuan obyektif, yaitu informasi yang benar-benar tersimpan dalam
    memori konsumen mengenai suatu perusahaan maupun produk-produknya.
  3. Pengetahuan berdasar pengalaman, merupakan pengalaman sebelumnya
    dari pembelian atau penggunaan produk

Consumer’s excitement

 


Perilaku pembelian impulsif ditandai dengan adanya kebutuhan untuk
bersenang-senang juga mencoba sesuatu yang baru. Bagi sebagian orang, kegiatan
berbelanja merupakan bentuk reward atau hadiah untuk diri sendiri dan tidak ada
manfaat yang dihasilkan dari pembelian tersebut. Pembelian impulsif dilakukan
untuk memuaskan hasrat hedonis dan menciptakan kesenangan serta kegembiraan
(Harmancioglu et al., 2009).
Menurut Wijoyo (2013), excitement merupakan keinginan konsumen untuk
mencari kegembiraan atau kesenangan ketika berbelanja. Excitement juga dapat
dikatakan sebagai suatu perasaan emosional positif dan dapat menjadi faktor yang
meningkatkan niat beli seseorang karena perasaan senang yang ditimbulkan pada
saat berbelanja. Hausman (2000) juga mengatakan bahwa pengalaman berbelanja
dapat mendorong suatu emosi positif seperti meningkatkan suasana hati dan
semangat.
Menurut Harmancioglu et al. (2009), konsumen dikatakan memiliki excitement
dalam berbelanja apabila mementingkan kegembiraan atau kesenangan, menuruti
kehendak pribadi dan memiliki semangat saat berbelanja. Hasrat dan keinginan
konsumen untuk mendapatkan kegembiraan telah mendorong konsumen untuk
memiliki niat dan melakukan pembelian impulsif pada produk baru. Konsumen
yang lebih responsif terhadap afeksi daripada kognitif (lebih peka terhadap emosi
dan perasaan) diketahui memiliki dorongan yang kuat untuk segera membeli dan
terlibat dalam pembelian impulsif. Konsumen wanita yang merasa lebih gembira,
antusias, bahagia, dan terinspirasi dengan kegiatan berbelanja lebih mungkin
melakukan pembelian yang tidak direncanakan (Saad dan Metawie, 2015)

Consumer’s esteem

 Self-esteem merupakan aspek evaluatif dari konsep diri yang merupakan

pandangan keseluruhan bahwa diri sendiri berharga atau tidak (Baumeister et al.,
2003). Evaluasi menggambarkan bagaimana penilaian individu tentang dirinya
sendiri, menunjukan penghargaan dan pengakuan atau tidak, serta menunjukkan
sejauh mana individu tersebut merasa mampu, sukses dan berharga.
Self-esteem merupakan salah satu kebutuhan manusia. Berdasar Maslow’s
hierarchy of needs, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan dalam hidup, yaitu:
1) Kebutuhan fisiologis, 2) Kebutuhan akan rasa aman, 3) Kebutuhan sosial, 4)
Kebutuhan akan penghargaan, dan 5) Kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan akan
penghargaan oleh Maslow dibagi menjadi dua bagian yaitu:

  1. Penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, yang merefleksikan
    kebutuhan individu akan penerimaan terhadap diri sendiri (self-
    acceptance), menghargai diri sendiri (self-esteem), kesuksesan, dan
    kepuasan pribadi.
  2. Penghargaan dari orang lain, meliputi kebutuhan akan status, reputasi,
    gengsi, dan pengakuan dari orang lain
    Ketika kebutuhan yang paling dasar sudah terpenuhi (kebutuhan fisiologis), maka
    manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan yang ada di tingkat selanjutnya
    (Schiffman dan Wisenblit, 2015: 91)

Impulsive Buying Behavior

 


Impulsive buying (pembelian impulsif) adalah suatu pembelian yang tidak
terencana, yang dicirikan dengan keputusan pembelian yang relatif cepat, dan
keinginan untuk segera memiliki barang tersebut. Tipe pembelian ini juga diikuti
dengan adanya dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan
adanya perasaan yang intens, yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian
karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera, merasakan
kepuasan, dan mengabaikan konsekuensi negatif (Rook, 1987).
Menurut Beatty dan Ferrell (1998), pembelian impulsif merupakan suatu
pembelian yang tiba-tiba dan langsung tanpa ada niat belanja sebelumnya, baik
untuk membeli suatu produk tertentu atau untuk memenuhi suatu kewajiban
tertentu. Bayley dan Nancarrow (1998) dalam Muruganantham dan Bhakat (2013)
mendefinisikan pembelian impulsif sebagai suatu pembelian yang tiba-tiba, dan
mendesak di mana kecepatan dalam mengambil keputusan menghalangi berbagai
pertimbangan bijaksana dan pencarian pilihan alternatif lain. Keputusan membeli
dalam pembelian impulsif sangatlah cepat, karena waktu yang dibutuhkan dari
melihat produk sampai membeli adalah pendek.
Menurut Rook dan Fisher (1995), kecenderungan untuk membeli sesuatu
secara spontan atau tanpa terencana ini umumnya dapat menghasilkan pembelian
ketika konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar. Berdasar
penelitian - penelitian yang telah dilakukan, maka perilaku pembelian impulsif
dapat dideskripsikan sebagai perilaku yang spontan, intens, bergairah, kuatnya
keinginan membeli, dan biasanya pembeli mengabaikan konsekuensi dari
pembelian yang dilakukan. Menurut Peter dan Olson (2000: 20) perilaku (behavior)
mengacu kepada tindakan nyata konsumen yang dapat diobservasi secara langsung.
Pada awalnya, kegiatan belanja yang dilakukan oleh konsumen dimotivasi oleh
motif yang bersifat rasional, yakni berkaitan dengan manfaat yang diberikan oleh
suatu produk. Akan tetapi, saat ini kebanyakan konsumen di Indonesia lebih
berorientasi pada nilai hedonis dimana konsumen banyak yang mementingkan
aspek kesenangan, kenikmatan, dan hiburan saat berbelanja. Sebagian orang
menganggap kegiatan belanja dapat menjadi alat untuk menghilangkan stres, dan
dapat mengubah suasana hati (Semuel, 2005).
Beatty dan Ferrell (1998) mengatakan, sebanyak 27% - 62% pembelian di
department store merupakan pembelian yang tidak direncanakan. Survei yang
dilakukan AC Nielsen pada tahun 2007 juga menyebutkan bahwa 85% konsumen
ritel di Indonesia cenderung berbelanja sesuatu yang tidak direncanakan (Sekarsari,
2013). Produk-produk yang pada umumnya sering dibeli tanpa terencana (produk
impulsif) adalah produk baru dengan harga murah yang tidak terduga. Selain itu,
produk yang yang dekat dengan diri sendiri dan juga penampilan seperti pakaian,
perhiasan, dan aksesoris juga dilaporkan menjadi produk yang paling sering dibeli
tanpa terencana (Semuel, 2005). 

Hubungan Positive Emotion terhadap Impulsif Buying

 


Leba (2015) Positive emotion diartikan sebagai suasana hati seseorang
(senang, bahagia, dan gembira) yang dirasakan seseorang sehingga
mempengaruhi impulsif buying terhadap suatu produk. Menurut Anggriawan,
Suardana dan Sendra, (2016) ketika konsumen merasakan emosi positif, maka
emosi positif tersebut akan mendorong konsumen untuk melakukan pembelian
dengan tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu, dan sebaliknya jika
konsumen merasakan emosi negatif, maka emosi tersebut tidak mendorong
untuk melakukan pembelian secara impulsif. Pendapat ini juga didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan Imbayani & Novarini (2018) yang
menyatakan bahwa variabel positif emotion berpengaruh terhadap impulse
buying behavior.

Hubungan Shopping lifestyle terhadap impulsif buying

 


Engel et al., (2019) menjelaskan bahwa shopping lifestyle merupakan
pola seseorang dalam menghabiskan waktu dan uangnya. Menurut penelitian
Sopiyan, Kusumadewi (2020) Shopping lifestyle berpengaruh positif dan
signifikan terhadap impulsif buying. Pada dasarnya impulsif buying
merupakan suatu pembelian yang tidak terencana dan dilakukan secara
spontan Prastia (2013). Zaman milenial sekarang yang paling digemari
sesorang yaitu Shopping, kini shopping sudah menjadi lifestyle, seseorang rela
mengorbankan sesuatu demi mendapatkan produk disenangi dan dinginkan.
Hal tersebut cenderung mengakibatkan impulsif buying. Apabila shopping
lifestyle masyarakat tinggi maka akan meningkatkan impulsif buying