Wednesday, July 17, 2024

Arti Penting atau Manfaat Persepsi Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support)

 


Pada dasarnya, dukungan organisasi yang diberikan kepada
karyawan menunjukkan komitmen organisasi kepada karyawan.
Dukungan tersebut dibalas oleh karyawan dalam bentuk
meningkatkan kinerjanya ketika melakukan pekerjaan. Dukungan
organisasi yang berupa pemberian kompensasi, promosi, pelatihan,
keamanan dalam bekerja akan dipersepsikan karyawan sebagai
tanda kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan.
Dengan demikian, karyawan membalas dukungan organisasi dalam
bentuk kepercayaan dan mengembangkan perilaku positif terhadap
organisasi.
Jika karyawan memiliki persepsi bahwa organisasi benar-
benar memperhatikan kesejahteraan karyawan dan memiliki
keinginan untuk berbagi advantage maka akan muncul
kepercayaan karyawan terhadap organisasi. Karyawan juga akan
meningkatkan kinerja dengan bekerja keras karena karyawan
mengharapkan organisasi untuk sukses. Persepsi dukungan
organisasi pada saat-saat krisis dapat sangat bermanfaat dalam hal
mengembangkan serta meningkatkan hasil kerja perorangan
ataupun hasil kerja organisasi.

Definisi Persepsi Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support)

 


Persepsi dukungan organisasi (perceived organizational
support) adalah semua tentang persepsi karyawan bahwa organisasi
menghargai kontribusi mereka dan peduli tentang kesejahteraan
mereka (Neves & Eisenberger, 2014). Ketika karyawan memegang
persepsi bahwa pekerjaan mereka dihargai dan dipedulikan oleh
organisasi akan mendorong karyawan untuk menyatukan
keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri
mereka.
Menurut (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa,
1986), persepsi dukungan organisasi (perceived organizational
support) adalah keyakinan karyawan terhadap organisasi tempat
kerja karyawan yang dapat mendorong persepsi karyawan
mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi karyawan
dan peduli terhadap kesejahteraan dirinya.
Persepsi dukungan organisasi (perceived organizational
support) menurut (Rhoades & Eisenberger, 2002) adalah
kepercayaan bahwa organisasi menghargai kontribusi karyawannya
melalui pekerjaan mereka dan menunjukkan kepedulian terhadap
kesejahteraan mereka.
Berdasarkan paparan dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi (perceived
organizational support) merupakan semua tentang persepsi
karyawan yang ditandai dengan sikap positif karyawan mengenai
sejauh mana organisasi menghargai kontribusinya dan
mempedulikan kesejahteraan karyawan

Monday, July 15, 2024

Indikator Impulsive Buying

 


Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel impulse buying yang
dikembangkan oleh Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) terdiri dari empat
indikator, yaitu:

  1. Spontanitas pembelian
    Pembelian produk terjadi secara tidak diharapkan, tidak terduga, dan
    memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga, seringkali dianggap
    sebagai respon terhadap visual yang berlangsung di tempat penjualan.
  2. Kekuatan dan Intensitas
    Adanya motivasi untuk mengesampingkan hal-hal lain dan
    bertindak seketika.
  3. Kegairahan dan Stimulasi
    Desakan atau keinginan mendadak untuk membeli disertai oleh
    adanya emosi yang dikarakteristikan dengan perasaan yang tidak terkendali.
  4. Ketidakpedulian akan Akibat.
    Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga
    akibat negatif yang mungkin terjadi diabaikan

Aspek – Aspek Impulsive Buying

 


Terdapat aspek-aspek dalam pembelian impulsif (impulsive buying)
menurut Verplanken dan Herabadi (2001) dikutip oleh Sri (2017) mengatakan
bahwa terdapat dua aspek penting dalam pembelian impulsif (impulsive buying),
yaitu

  1. Kognitif
    Aspek ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu
    yang meliputi:
     Tidak mempertimbangkan harga dan kegunaan suatu produk.
     Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian produk.
     Tidak melakukan perbandingan produk yang akan dibeli dengan produk
    yang mungkin lebih berguna.
  2. Emosional
    Aspek ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi:
     Timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian.
     Timbulnya perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian 

Definisi Impulsive Buying


Menurut Wahdiniwaty, R., & Susilawati, E. (2017:17) Impulse Buying
adalah stimulus yang muncul secara tiba-tiba, sering kali tidak bisa ditahan atau
secara spontan ketika melihat suatu barang, merek tertentu tanpa berpikir panjang
untuk membeli produk tersebut dengan adanya stimulasi yang kuat tentunya
konsumen akan bericepat membeli product yang merka inginkan. Pembelian yang
impulse buying dapat diartikan perilaku pembelian terbilang unik.
Menurut Zhang, Z., Zhang, N., & Wang, J. (2022) “defines impulse
buying as a consumer who is spontaneous and temporarily out of control, and has
a strong desire to buy. Impulse buying behavior is very common”. Mendefinisikan
pembelian impulsif sebagai konsumen yang spontan dan lepas kendali sementara,
dan memiliki keinginan yang kuat untuk membeli. Perilaku pembelian impulsif
sangat umum.
Menurut Engel, et al (1995) dalam Simanjuntak, G. N. (2018) “Impulse
buying is a sudden, strong, persistent and unplanned impulse to buy something
outright, without much regard for the consequences”. Pembelian implusif
merupakan suatu desakan hati secara tiba-tiba dengan penuh kekuatan, bertahan
dan tidak direncanakan untuk membeli sesuatu secara langsung, tanpa banyak
memperhatikan akibatnya.
Pengertian lainnya menurut Darmawan & Gatheru (2021) Impulse buying
merupakan aktivitas pembelian yang dilakukan oleh calon pelanggan yang sudah
berada di toko tersebut, dan ketika terkena rangsangan eksternal, timbul keinginan
mendesak dalam diri mereka untuk segera membeli produk tersebut.
Sedangkan Menurut Raeny Dwi Santy (2018) Pembelian impulsif dapat
dikatakan sebagai kegiatan yang dilakukan konsumen untuk menghabiskan uang
yang tidak terkontrol, kebanyakan pada barangbarang yang tidak diperlukan.
Barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif) lebih banyak
pada barang yang diinginkan untuk dibeli, dan kebanyakan dari barang itu tidak
diperlukan oleh pelanggan. 

Indikator Shopping Lifestyle

 Menurut Tirmizi et al. (2009:524) mengemukakan indikator shopping lifestyle sebagai berikut:

  1. Kegiatan rutin memenuhi semua kebutuhan.
  2. Kegiatan sosial untuk bisa berhubungan dengan orang lain.
  3. Berbelanja dengan memilih tempat berbelanja menunjukan status sosial
    konsumen
    Adapun menurut Sumarwan (2011:45) gaya hidup seseorang dapat di
    gambarkan atau di ukur dalam tiga macam indikator, yaitu sebagai berikut:
  4. Kegiatan (activities)
    Yaitu cara hidup yang didefinisikan oleh bagaimana seseorang
    menghabiskan waktu mereka.
  5. Minat (interest)
    Meliputi bagaimana konsumen memilih sesuatu yang di anggap
    penting (preferensi dan prioritas) menurutnya kedua hal ini berkaitan
    dengan motivasi.
  6. Opini (opinions)
    Persepsi di sini meliputi proses dari individu yang mengatur dan
    menginterprestasikan kesan-kesan yang di tangkap oleh sensori mereka
    yang memunculkan dampak pada nilai, pengalaman, pendidikan dan lain
    sebagainya.

Faktor – Faktor Shopping Lifestyle

 


Menurut Utami (2012: 49) ada enam faktor Gaya Hidup (Shopping
Lifestyle), antara lain:

  1. Adventure Shopping
    Konsumen berbelanja karena adanya sesuatu yang dapat
    membangkitkan gairah belanja, merasa bahwa berbelanja adalah suatu
    pengalaman dan dengan berbelanja mereka merasa memiliki dunia sendiri.
  2. Social Shopping
    Konsumen beranggapan bahwa kenikmatan dalam berbelanja akan
    tercipta ketika mereka menghabiskan waktu bersama-sama dengan
    keluarga atau teman. Selain itu juga ada yang merasa bahwa berbelanja
    adalah suatu kegiatan sosialisai, baik itu antar konsumen maupun dengan
    para pegawai. Selain itu juga mereka beranggapan bahwa dengan
    berbelanja dengan keluarga ataupun teman, akan memberikan banyak
    informasi lebih mengenai produk yang akan dibeli.
  3. Gratification Shopping
    Konsumen beranggapan bahwa berbelanja merupakan salah satu
    alternative untuk mengatasi stress, mengatasi suasana hati yang sedang
    buruk dan berbelanja sebagai sesuatu yang special untuk dicoba dan
    sebagai sarana untuk melupakan masalah yang sedang dihadapi.
  4. Idea Shopping
    Konsumen berbelanja untuk mengituti trend fashion baru, dan untuk
    melihat produk serta inovasi baru. Biasanya konsumen berbelanja karena
    melihat sesuatu yang baru di iklan.
  5. Role Shopping
    Konsumen lebih suka berbelanja untuk orang lain daripada untuk
    dirinya sendiri. Mereka merasa bahwa berbelanja untuk orang lain sangat
    menyenangkan daripada untuk dirinya sendiri.
  6. Value Shopping
    Konsumen menganggap bahwa berbelanja merupakan suatu
    permainan yaitu pada saat tawar-menawar maupun pada saat mencari
    tempat berbelanja yang menawarkan diskon, obral, atau tempat berbelanja
    dengan harga yang murah