Monday, July 1, 2024

Tahapan Kinerja Kreatif

 


Mumford dan kolega (dalam Mesquita, 2011) mengembangkan satu model
tahapan kinerja kreatif yang disebut sebagai the eight-stage process model.
Kedelapan tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahap konstruksi masalah (problem construction stage). Tahapan pertama
dimana seseorang mengambil masalah yang pada mulanya ambigu dan
mencoba untuk mendefinisikan secara lebih spesifik.
b. Tahap pengumpulan informasi (information gathering stage). Tahapan kedua
dimana informasi tambahan yang relevan dengan masalah tersebut diperoleh.
c. Tahap menyeleksi konsep (concept selection stage). Tahapan ketiga dimana
informasi baru terorganisir dan elemen yang paling relevan dengan masalah
saat ini diidentifikasi untuk digunakan nanti.
d. Tahap kombinasi konseptual (conceptual combination stage). Tahapan
keempat dimana potongan-potongan yang bervariasi dari informasi yang
mungkin berharga lebih lanjut diperiksa dan dikelompokkan ke dalam
konfigurasi baru yang mungkin baru dan berguna.
e. Tahap pembangkitan ide (idea generation stage). Tahapan kelima ini
merupakan tahapan dimana kombinasi dari konsep yang dikembangkan lebih
lanjut sebagai dasar untuk solusi potensial untuk masalah tertentu.
f. Tahap mengevaluasi ide (idea evaluation stage). Tahapan keenam dimana
perancang ide menilai secara kritis ide-ide baru dan menentukan hal yang
harus direvisi, dieksplorasi lebih lanjut, atau dibuang.
g. Tahap perencanaan implementasi (implementation planning stage). Tahapan
ketujuh dimana gagasan-gagasan terbaik selanjutnya disempurnakan dan
dievaluasi, sebelum akhirnya diberlakukan.
h. Tahap monitoring (monitoring stage). Ini merupakan tahapan terakhir dimana
ide-ide yang telah dilaksanakan akan dievaluasi dan berpotensi untuk
dipertahankan, disempurnakan, atau disingkirkan. Hal ini bergantung pada
umpan balik dari kinerja mereka

Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kreatif

 


Kinerja kreatif individu harus dipahami sebagai hasil dari persimpangan atau
pertukaran yang kompleks antara faktor individu dan konteks mereka (Oldham &
Cummings, 1996; Woodman, dkk., 1993, dalam Choi, 2004). Faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
Faktor Individual
Choi (2004) memaparkan beberapa faktor individual yang mempengaruhi
kinerja kreatif. Faktor individual yang mempengaruhi kinerja kreatif individu adalah
kemampuan kognitif, motivasi intrinsik dan creative personality. Salah satu
kemampuan kognitif tersebut adalah berpikir divergen yang dalam penelitian Tierney
(1999, dalam Choi, 2004) terbukti menjadi prediktor kinerja kreatif. Amabile (1996,
dalam Choi, 2004) membuktikan bahwa motivasi intrinsik mempengaruhi kinerja
kreatif. Terakhir, Flynn, Goldsmith, Gough, Oldham, dan Cummings membuktikan
bahwa creative personality (contoh: innovativeness dan openness to experience)
memiliki hubungan positif dengan kinerja kreatif (dalam Choi, 2004).
Faktor Kontekstual
Choi (2004) juga memaparkan beberapa faktor kontekstual yang
mempengaruhi kinerja kreatif. Pertama, Amabile, dkk. (dalam Choi, 2004)
mengidentifikasi kondisi-kondisi lingkungan yang merupakan kunci menumbuhkan
kreativitas, seperti pekerjaan yang menantang, dorongan organisasi, dukungan
kelompok kerja, kebebasan, tidak adanya hambatan organisasi, dorongan supervisor,
sumber daya yang cukup, dan tekanan beban kerja. Lalu, Glynn (1996, dalam Choi,
2004) dalam penelitiannya menyajikan model yang komprehensif untuk menjelaskan
kreativitas individu dan inovasi organisasi dengan menggunakan sejumlah variabel
individual (motivasi, kepribadian, harapan), pekerjaan (kebaruan, tantangan), dan
organisasi (struktur, budaya, teknologi)

Komponen Kinerja Kreatif

 Terdapat beberapa pendapat mengenai komponen kinerja kreatif sebagai

berikut. Pertama, komponen kinerja kreatif dalam Survey of Creative and Innovative
Performance (SCIP). Komponen kinerja kreatif ini didasarkan pada penelitian produk
kreatif (product-oriented) oleh Besemer & O’Quin, Besemer & Triffenger yang telah
dikembangkan oleh Puccio, Talbot, dan Joniak (2000), komponen tersebut terdiri atas
Novelty, dan Resolution. Penjelasan mengenai definisi dari kedua komponen tersebut
terdapat dalam Besemer dan Treffinger (1981) adalah sebagai berikut:
a. Novelty: Derajat yang memusatkan pada kebaruan dan originalitas dari hasil
atau produk. Sebuah Ide yang baru atau berbeda bila dibandingkan dengan
ide-ide sebelumnya atau yang sudah ada.
b. Resolution: Derajat yang memusatkan pada pemecahan masalah dari tujuan
awal pembuatan produk tersebut. Sebuah ide yang dicetuskan merupakan
respon yang sesuai dari suatu masalah serta sejauh mana produk cocok atau
memenuhi kebutuhan dari situasi yang bermasalah.
Kedua, terdapat komponen kinerja kreatif menurut Massetti (1996).
Komponen kinerja kreatif menurut Massetti (1996) adalah sebagai berikut:
a. Novelty: sejauh mana masing-masing respon dinilai sebagai baru, unik, dan
berbeda.
b. Value: sejauh mana masing-masing respon dinilai realistis atau berharga.
Terakhir, terdapat komponen kinerja kreatif menurut Oldham dan Cummings
(1996). Komponen kinerja kreatif menurut Oldham dan Cummings (1996) terdiri atas
tiga indikator sebagai berikut:
a. Original and practical work: Mengacu pada pengembangkan ide-ide, metode,
atau produk yang baik benar-benar unik dan sangat berguna untuk organisasi.
b. Adaptive and practical work: Mengacu pada penggunakan informasi atau
material yang ada untuk mengembangkan ide-ide, metode, atau produk yang
berguna untuk organisasi.
c. Kreativitas: Mengacu pada sejauh mana karyawan mengembangkan ide-ide,
metode, atau produk yang asli dan berguna untuk organisasi

Empat Perspektif Kreativitas

 


Plucker dan Renzulli (1999) menyatakan bahwa muncul empat perspektif
pengukuran kreativitas dalam perkembangan penelitian tentang kreativitas. Empat
perspektif tersebut, yaitu investigasi mengenai proses kreatif (perspektif proses
kreatif), kepribadian dan perilaku yang berhubungan dengan kreativitas (perspektif
individu kreatif), karakteristik dari produk kreatif (perspektif produk kreatif), dan
atribut dari pembinaan kreativitas dalam lingkungan (perspektif lingkungan kreatif).
Penelitian ini berfokus pada perspektif produk kreatif. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan bahwa pada setting organisasi, banyak peneliti kontemporer dan
teoritikus telah mengadopsi sebuah definisi yang berfokus pada produk atau outcome
dari sebuah proses pengembangan produk (Amabile, Shalley, Pareek, dalam Mishra
& Singh, 2010). Lalu, definisi product-oriented, daripada definisi lain, adalah paling
tepat dan sebagian besar didukung oleh peneliti yang bergerak di bidang psikologi
organisasi karena pendekatan lain memiliki kompleksitas dalam observasi dan
assessment (Amabile, dalam Mishra & Singh, 2010). Selanjutnya, Tierney dan
Farmer (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk memperoleh kinerja
kreatif, mereka mengandalkan definisi product-oriented yang telah digunakan dalam
studi empiris, yang memposisikan kreativitas sebagai pembangkitan dari domain-
spesifik, hasil yang novel dan berguna.

Perbedaan antara Kinerja Kreatif dan Perilaku Inovatif

 


Yuan dan Woodman (2010, dalam Hsu, Sheng-Tsung, & Sueh-Liang, 2011)
berpendapat bahwa kreativitas dalam konteks organisasi dapat dianggap sebagai jenis
perilaku inovatif yang tidak hanya mencakup menghasilkan ide-ide yang baru dan
berguna, tetapi juga memperkenalkan kepada organisasi.
Namun, De Jong dan Den Hartog (2007) menyatakan bahwa terdapat
perbedaan antara kreativitas karyawan dengan perilaku inovatif. De Jong dan Den
Hartog (2007) berpendapat bahwa perilaku inovatif terkait erat dengan kreativitas
karyawan. Garis batasan antara keduanya kabur, karena beberapa peneliti telah
mengusulkan model kreativitas yang juga memperhatikan pelaksanaan ide-ide kreatif.
Dalam hal ini, West (2002, dalam De Jong & Den Hartog, 2007) mempertegas bahwa
kreativitas dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku inovatif yang paling jelas dalam
tahap pertama dari proses inovasi, dimana masalah atau kesenjangan kinerja diakui
dan ide-ide yang dihasilkan dalam menanggapi kebutuhan yang dirasakan untuk
inovasi.
Selanjutnya, De Jong dan Den Hartog (2008) kembali menekankan perbedaan
konstruk diantara perilaku kerja inovatif dan kreativitas karyawan meskipun
kaitannya sangat erat. Mengutip dari pendapat beberapa peneliti, De Jong dan Den
Hartog (2008) menyatakan bahwa kreativitas didefinisikan sebagai produksi ide-ide
baru dan berguna mengenai produk, jasa, proses dan prosedur. Tidak seperti
kreativitas, perilaku kerja inovatif secara eksplisit dimaksudkan untuk memberikan
manfaat. Komponen yang diterapkan lebih jelas dan diharapkan dapat menghasilkan
output yang inovatif. Kreativitas dapat dilihat sebagai komponen krusial dari perilaku
kerja inovatif paling jelas di awal proses inovasi, ketika masalah atau kesenjangan
kinerja diakui dan ide-ide yang dihasilkan dalam menanggapi kebutuhan yang
dirasakan untuk inovasi (West, dalam De Jong dan Den Hartog, 2008).
Mengutip dari pendapat beberapa peneliti, Mishra dan Singh (2010)
memperkuat pendapat bahwa kinerja kreatif menunjuk pada produk, ide, dan
sebagainya diproduksi pada tingkat individu, sedangkan inovasi menunjuk pada
implementasi yang sukses dari produk-produk pada tingkat organisasi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti membatasi kinerja kreatif pada
tingkat individu sebagai perwujudan perilaku atas potensi kreativitas dimana
kreativitas adalah pembangkitan dari produk baru atau ide yang original dimana
produk tersebut berguna dan relevan

Definisi Kinerja Kreatif

 


Kreativitas secara sederhana didefinisikan sebagai produksi dari sesuatu yang
baru, ide-ide yang tepat dalam ranah aktivitas manusia, dari ilmu pengetahuan, untuk
seni, pendidikan, bisnis, dan kehidupan sehari-hari (Amabile, 1997). Oldham dan
Cummings (1996) mendefinisikan kinerja kreatif sebagai produk, ide, atau prosedur
yang memenuhi dua kondisi. Pertama, mereka baru dan original. Kedua, mereka
berpotensi relevan, atau bermanfaat untuk sebuah organisasi. Lalu, dari kedua definisi
tersebut, Choi (2004) kembali mendefinisikan kreativitas sebagai pembangkitan dari
produk baru atau ide yang original dimana produk tersebut berguna dan relevan,
sedangkan kinerja kreatif merupakan manifestasi perilaku dari potensi kreativitas.
Selain itu, Luthans, Avey, dan Luthans (2011) bahwa kinerja kreatif
melibatkan perilaku dimana potensi kreatif seseorang terwujud. Lalu, Williams
(2004) mendefinisikan kinerja kreatif adalah sejauh mana ide-ide tersampaikan,
metode kerja yang digunakan, dan output pekerjaan yang dihasilkan adalah produk
yang baru serta berguna. Selanjutnya, mengutip dari pendapat beberapa peneliti,
Eisenberger dan Armeli (1997) menyatakan bahwa kinerja kreatif menunjuk pada
perilaku novel yang bertemu sebuah standar dari kualitas atau utilitas. Ketiga definisi
dari para ahli tersebut kembali mempertegas bahwa kinerja kreatif merupakan
perwujudan perilaku untuk membuat ide baru mengenai output, metode, dan produk
yang baru serta berguna.
Zhou dan George (2001) dalam penelitiannya berpendapat bahwa kinerja
kreatif diukur dengan sejauh mana perilaku-perilaku kinerja kreatif tersebut menjadi
karakteristik atau menggambarkan diri karyawan. Pendapat Zhou dan George (2001)
ini mempertegas bahwa kinerja kreatif bukan berpusat pada intensitas kemunculan
perilaku tersebut. Namun, pada sejauh mana perwujudan-perwujudan perilaku
tersebut menjadi karakteristik atau menggambarkan diri seseorang. Dalam konteks
organisasi berarti bagaimana perwujudan perilaku dari potensi kreativitas menjadi
karakteristik atau menggambarkan diri karyawan.

Pengaruh Servant Leadership dan Motivasi Intrinsik terhadap Kreativitas Karyawan

 


Untuk mempermudah memahami dinamika hubungan yang terjadi antar
variabel penelitian (servant leadership, motivasi intrinsik, dan kreativitas
karyawan), sebelum mengkaji hubungan teoritis antar variabel, penulis terlebih
dahulu merangkum sejumlah garis besar dari tinjauan pustaka yang telah
dipaparkan sebelumnya. Penulis memulainya dengan konsep kreativitas karyawan
serta peran motivasi intrinsik yang mempengaruhinya. Kemudian beralih pada
gaya kepemimpinan atasan sebagai faktor yang mempengaruhi kreativitas.
Selanjutnya barulah membahas tentang pengaruh servant leadership dan motivasi
intrinsik terhadap kreativitas karyawan.
Kreativitas memiliki peran yang sangat penting bagi keberlangsungan
perusahaan dalam menghadapi persaingan usaha. Agar dapat tetap unggul dalam
menghadapi persaingan usaha, perusahaan dituntut untuk terus berinovasi. Dalam
rangka inovasi, ide kreatif dari sumber daya manusia yang terdapat dalam
organisasi sangatlah dibutuhkan oleh organisasi. Oleh sebab itu, tantangan yang
dihadapi oleh perusahaan terutama bagi perusahaan yang tergabung dalam sektor
industri kreatif adalah bagaimana menjaga dan meningkatkan kreativitas sumber
daya manusianya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kreativitas karyawan adalah
motivasi intrinsik karyawan. Untuk menjadi kreatif, karyawan harus memiliki
ketertarikan kepada masalah dan / atau hasil tertentu, serta memiliki ketertarikan
dalam mencari cara untuk memecahkan masalah atau mencapai hasil yang
diinginkan (Coelho dkk., 2011). Karyawan menjadi paling kreatif ketika mereka
mengalami tingkat motivasi intrinsik yang tinggi, yaitu ketika mereka
bersemangat tentang kegiatan kerja dan tertarik untuk terlibat di dalamnya demi
kegiatan itu sendiri (Amabile, 1983, 1987; Shalley, 1991 dalam Oldham dan
Cummings, 1996). Di bawah kondisi ini, karyawan bebas dari kekhawatiran asing
dan cenderung mengambil risiko untuk mengeksplorasi jalur kognitif baru, dan
bermain dengan ide-ide dan bahan (Amabile dkk., 1990 dalam Oldham dan
Cummings, 1996). Mereka juga cenderung untuk lebih fokus pada sifat tugas
secara internal dan bekerja lebih lama pada ide atau masalah. Situasi yang
mendorong eksplorasi dan ketekunan ini dapat meningkatkan kemungkinan
kinerja kreatif.
Gaya kepemimpinan atasan / supervisor juga menjadi faktor yang
mempengaruhi kreativitas karyawan. Pemimpin dapat mempengaruhi ketiga
komponen kreativitas, yaitu keahlian, keterampilan berfikif kreatif, dan motivasi.
Namun dalam mempengaruhi komponen keahlian dan keterampilan berpikir
kreatif, akan lebih sulit dan membutuhkan banyak waktu dibandingkan dengan
mempengaruhi komponen motivasi (Amabile, 1998)