Thursday, July 11, 2024

Impulse Buying

 


Perilaku pembelian tidak direncanaan atau impulse buying adalah
pembelian yang dilakukan tanpa banyak berfikir terlebih dahulu. Hal itu
dilakukan tanpa melibatkan evaluasi dari beberapa hal seperti kebutuhan,
kemampuan untuk membeli, harga, dan lain-lain. Deskripsi dari perilaku
impulse buying adalah spontan, intens, dan dorongan untuk membeli (Rook,
1987). Konsumen hanya berfokus untuk menikmati keinginan dalam membeli
suatu produk yang diinginkan daripada mengatasi permasalahan atau
memuaskan kebutuhan prasyarat mereka (Youn & Faber, 2000).
Menurut Rook & Gardner (1993), impulse buying adalah pembelian
yang tidak direncanakan yang ditandai dengan pengambilan keputusan secara
cepat. Penelitian menunjukkan efek dari impulse buying adalah suasana hati
(mood) dan keadaan afektif. Selain itu konsumen yang memiliki suasana hati
(mood) positif akan mendukung untuk melakukan pembelian tidak
direncanakan daripada konsumen yang tidak memiliki susasana hati (mood)
positif. Beatty & Ferrel (1998) mengemukakan bahwa pembelian impuls
mengacu pada pembelian langsung tanpa tujuan pra-belanja baik untuk
membeli kategori produk tertentu atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Sedangkan Bayley & Nancarrow (1998) mendefinisikan impulse
buying sebagai perilaku pembelian yang "tiba-tiba, menarik, dan kompleks
secara hedonik dimana cepatnya proses keputusan impuls menghalangi
pertimbangan informasi dan pilihan alternatif yang bijaksana dan disengaja."
Perilaku hedonik ditandai dengan kesenangan, berbeda dengan perilaku
utilitarian di mana pembeli mencari manfaat fungsional dan nilai ekonomis
dalam proses belanja.
Block & Morwitz (1999) menjelaskan definisi pembelian impuls
sebagai konsumen yang membeli barang dengan sedikit atau tanpa dipikirkan
setelah hasil dari dorongan yang tiba-tiba dan kuat. Kacen & Lee (2002)
menyatakan bahwa perilaku impulsif lebih membangkitkan dan tidak
tertahankan tetapi kurang dipertimbangkan terlebih dahulu jika dibandingkan
dengan perilaku pembelian yang direncanakan.
Menurut Engel & Blackwell (1982) impulse buying adalah tindakan
yang dilakukan tanpa sebelumnya telah dilakukan secara sadar atau niat
membeli yang dibentuk sebelum memasuki gerai. Berdasarkan beberapa
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa impulse buying merupakan salah satu
perilaku konsumen dimana konsumen tersebut melakukan pembelian yang
dilakukan diluar rencana belanja, secara spontan, dan tanpa dipikirkan terlebih
dahulu.
Stern (1962) mengklasifikasikan perilaku pembelian impulsif sebagai
berikut:

  1. Planned Impulse Buying
    Merupakan pembelian yang terjadi ketika konsumen membeli produk
    berdasarkan harga special dan produk produk tertentu. Dengan demikian
    planned impulse buying merupakan pembelian yang dilakukan tanpa
    direncanakan dan tidak sedang memerlukannya dengan segera.
  2. Reminded Impulse Buying
    Merupakan pembelian yang terjadi karena konsumen tibatiba mengingat
    untuk melakukan pembelian suatu produk. dengan demikian konsumen
    telah pernah melakukan pembelian sebelumnya atau telah pernah melihat
    produk tersebut dalam iklan.
  3. Suggestion Impulse Buying
    Merupakan pembelian yang terjadi pada saat konsumen melihat produk,
    melihat tata cara penggunaan, dan memutuskan untuk melakukan
    pembelian.
  4. Pure Impulse Buying
    Merupakan pembelian karena adanya luapan emosi dari konsumen
    sehingga melakukan pembelian terhadap produk di luar kebiasaan
    pembeliannya

Pengaruh Persepsi Keamanan terhadap Pembelian Impulsif

 Menurut Wilson et al. (2021) persepsi keamanan adalah penilaian pengguna mengenai

sejauh mana keamanan untuk melakukan transaksi menggunakan sistem atau teknologi yang
ditawarkan suatu perusahaan. Darmawan & Putra (2022) menyatakan bahwa inti dari transaksi
online adalah keamanan. Dalam konteks e-commerce, persepsi konsumen mengenai keamanan
dalam transaksi memiliki kaitan dengan tingkat kepercayaan bahwa sistem yang digunakan
terjamin aman (Wilson et al., 2021). Lebih lanjut, Kinasih & Albari (2012) menyatakan bahwa
keamanan merupakan faktor yang berperan dalam membentuk keyakinan pengguna dengan
memastikan tidak ada tindakan manipulasi data pribadi dan transaksi pengguna. Darmawan &
Putra (2022) mengungkapkan bahwa keyakinan pengguna terhadap keamanan penggunaan
suatu sistem menjadi faktor yang mendorong terjadinya pembelian impulsif di e-commerce.
Hal ini sejalan dengan Rossa & Ashfath (2022) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh
persepsi keamanan terhadap belanja impulsif,

Pengaruh Persepsi Manfaat terhadap Pembelian Impulsif

 


Persepsi manfaat merupakan kepercayaan seseorang terhadap seberapa bergunanya
suatu sistem dalam menyelesaikan pekerjaannya (Nurohman & Qurniawati, 2021). Budiantara
et al. (2019) menyatakan bahwa pengguna akan menggunakan suatu sistem jika memang dirasa
penggunaan tersebut berguna. Do et al. (2020) mengungkapkan bahwa persepsi manfaat
merupakan reaksi kognitif yang timbul untuk mengevaluasi kinerja pengguna saat terjadi
interaksi antara pengguna dan sistem. Berlyanti (2022) menyatakan bahwa ketika adanya kesan
manfaat dari penggunaan sistem, pengguna cenderung merasa senang menggunakan sistem
tersebut. Hal ini dapat menstimulasi pengguna untuk melakukan tindakan pembelian secara
spontan atau tanpa terencana (Berlyanti, 2022). Do et al. (2020) yang meneliti tentang pengaruh
aplikasi augmented reality seluler terhadap perilaku pembelian impulsif, menemukan bahwa
persepsi manfaat merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pembelian impulsif.

Pengaruh Persepsi Kemudahan terhadap Pembelian Impulsif

 


Persepsi kemudahan memiliki makna bebas dari kesulitan atau tidak memerlukan usaha
yang besar. Prajogo (2021) mengemukakan bahwa persepsi kemudahan merujuk pada
keyakinan seseorang terhadap suatu sistem, tentang seberapa mudah sistem tersebut dapat
digunakan tanpa harus mengeluarkan usaha yang besar. Budiantara et al. (2019) menyebutkan
bahwa saat pengguna merasakan kemudahan ketika menggunakan sebuah sistem, maka sistem
akan dianggap bermanfaat dan pengguna akan melanjutkan penggunaan sistem tersebut.
Namun, sebaliknya jika konsumen merasakan kesulitan saat menggunakan sistem, maka sistem
akan dianggap kurang bermanfaat dan pengguna mungkin akan meninggalkan sistem tersebut.
Darmawan & Putra (2022) mengungkapkan bahwa kemudahan penggunaan berkaitan dengan
penerimaan dan cara pengoperasian suatu sistem yang tidak membutuhkan upaya yang lebih.
Ying et al. (2018) mengemukakan bahwa kemudahan yang dirasakan konsumen memengaruhi
emosi berbelanja, sehingga membangkitkan perilaku belanja impulsif. Akram et al. (2018)
mengungkapkan bahwa seringkali tindakan impulsif yang dilakukan konsumen saat melakukan
pembelian dipicu oleh kemudahan yang dirasakan.

Persepsi Keamanan

 


Persepsi keamanan menurut Kinasih & Albari (2012) mengacu pada kemungkinan
kepercayaan seseorang atas terjaminnya keamanan transaksi dan terjaganya informasi pribadi
saat menggunakan suatu sistem atau teknologi. Darmawan & Putra (2022) mendefinisikan
persepsi keamanan sebagai keyakinan seseorang bahwa keamanan informasi dan data transaksi
terjamin untuk meminimalisir kekhawatiran saat menggunakan suatu teknologi. Oleh karena
itu, kesimpulan yang dapat diambil dari dua definisi tersebut, yakni persepsi keamanan
merupakan tingkat kepercayaan seseorang dalam menggunakan suatu sistem dengan perasaan
aman saat membagikan informasi dan data pribadi.
Persepsi keamanan dapat diukur menggunakan beberapa indikator (Kinasih & Albari,
2012), yaitu:

  1. Integritas mengacu pada adanya mekanisme transmisi informasi pengguna untuk
    memastikan kemustahilan data pengguna dimanipulasi atau dimodifikasi.
  2. Otentifikasi yaitu segala bentuk aktivitas dalam sistem dilakukan setelah adanya
    proses identifikasi indentitas pengguna.
  3. Kerahasiaan, yaitu informasi pengguna hanya dapat diakses oleh pihak yang
    berwenang.
  4. Catatan transaksi, yaitu adanya konfirmasi keberhasilan dari suatu aktivitas.

Persepsi Manfaat

 


Persepsi manfaat merupakan tingkat kepercayaan suatu individu bahwa penggunaan
sistem tertentu mampu memberikan manfaat, serta dapat meningkatkan kinerja pekerjaannya
(Sheng & Zolfagharian, 2014). Ramadany & Artadita (2022) mendefinisikan persepsi manfaat
sebagai seberapa dalam keyakinan seseorang bahwa teknologi atau sistem yang digunakan
mampu meningkatkan performa pekerjaannya. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa persepsi manfaat mengacu pada tingkat kepercayaan seseorang bahwa sistem atau
teknologi yang digunakan mampu memberikan manfaat, serta membantu meningkatkan
performa pekerjaannya.
Persepsi manfaat dapat diukur menggunakan beberapa indikator (Fataron, 2020), yaitu:

  1. Improved performance mengacu pada kondisi dimana pengguna akan mengalami
    peningkatan kinerja ketika menggunakan suatu sistem.
  2. Increased productivity, yaitu keadaan dimana terjadinya peningkatan produktivitas
    bagi pengguna saat menggunakan suatu sistem.
  3. Enhanced effectiveness, yaitu kondisi dimana suatu aktivitas atau tujuan tertentu
    tercapai lebih cepat dengan adanya penggunaan suatu sistem.
  4. Useful merupakan keadaan dimana adanya dampak positif dari penggunaan suatu
    sistem terhadap suatu aktivitas tertentu yang dilakukan oleh pengguna

Pembelian Impulsif

 


Menurut Parsad et al. (2019) pembelian impulsif merupakan perilaku pembeli secara
tiba-tiba yang timbul akibat dorongan tak tertahankan yang dirasakan untuk membeli sesuatu
dengan cepat. Impulse buying menurut Kazempour & Lotfizadeh (2017) merupakan keinginan
seseorang untuk melakukan pembelian tanpa perencanaan dan dilakukan secara spontan tanpa
berpikir panjang saat mengambil keputusan. Pembelian impulsif mencakup perasaan ingin
melakukan pembelian secara spontan, melakukan pembelian secara tidak sengaja, bertindak
secara mendadak, cenderung langsung melakukan pembelian setelah melihat suatu produk, dan
melakukan pembelian secara tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang matang (Feng et al., 2023).
Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa impulse buying adalah pembelian tanpa
perencanaan sebelumnya yang konsumen lakukan karena adanya desakan atau dorongan yang
dirasakan secara spontan, sehingga konsumen mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang
matang.
Menurut Rook & Fisher (1995) dalam Sari (2021) terdapat empat indikator pembelian
impulsif, yaitu:

  1. Spontanitas, yaitu perasaan tidak terduga yang muncul saat individu melihat suatu
    produk dan ingin membelinya pada waktu tersebut.
  2. Kekuatan dan intensitas, yaitu perilaku pengambilan keputusan tanpa adanya
    pertimbangan akan hal lainnya dan segera bertindak.
  3. Kegairahan dan stimulasi, yaitu dorongan secara spontan yang timbul untuk
    melakukan pembelian dan acapkali diikuti emosi mendebarkan dan stimulasi.
  4. Mengabaikan konsekuensi, yaitu keinginan untuk membeli membuat seseorang
    mengabaikan akibat yang mungkin saja muncul