Monday, July 1, 2024

Faktor-faktor yang mempengaruhi Authentic Leadership

 


Menurut Budiharto (2006) Authentic Leadership dipengaruhi oleh
beberapa faktor yakni:

  1. Konsep diri yang positif dan kecerdasan emosi. Pemimpin dengan
    konsep diri yang positif serta kecerdasan emosi yang tinggi akan
    mempunyai self-awareness yang lebih baik. Pemimpin yang lebih
    sadar diri akan mempunyai keunggulan dari berbagai hal positif.
  2. Integritas dan orientasi pembelajaran. Pemimpin dengan integritas
    tinggi berfokus pada proses pembelajaran informasi lebih seimbang
    dan tidak bias. Pemimpin lebih akurat menjalankan tugas yang
    dilakukan dan lebih baik untuk menaksir kemampuan yang dimiliki
    untuk menyelesaikan permasalahan, serta bertemu dengan situasi yang
    dapat menciptakan banyak tantangan.
  3. Harga diri dan evaluasi diri. Pemimpin yang tidak mudah terpengaruh
    orang lain akan cenderung mampu memperlihatkan perilaku lebih
    otentik.
  4. Interaksi positif sebelumnya dan perilaku positif sebelumnya.
    Pemimpin yang lebih banyak relasi positif dan berperilaku positif
    ketika usia anak-anak dan remaja, cenderung berperilaku otentik

Aspek Authenthic Leadership

 


Menurut Walumbwa et al. (2008) Authentic Leadership mempunyai
empat aspek yakni:

  1. Self-awareness, pemimpin memahami bagaimana cara menganggap serta
    memahami diri sendiri seperti keunggulan serta kelemahan dirinya sendiri
    serta merencanakan tujuan hidup, sehingga memperoleh wawasan terkait
    dirinya sendiri menurut perspektif orang lain. Kesadaran diri mengacu
    pada tingkat kesadaran pemimpin akan kemampuan atau keterampilan,
    keterbatasan, dan bagaimana pemimpin berdampak pada orang lain.
  2. Balanced Processing, pemimpin secara objektif melaksanakan analisis
    data yang relevan sebelum memutuskan dan mengumpulkan pandangan
    yang menantang posisi yang dipegang teguh, menunjukkan proses
    pengambilan keputusan yang adil. Contohnya saat pemimpin hendak
    menentukan keputusan, maka memandang dari banyak perspektif dan
    melaksanakan analisis pada berbagai informasi.
  3. Internalized Moral Perspective, pemimpin menetapkan standar yang tinggi
    untuk perilaku moral dan etika. Authentic Leadership menunjukkan dan
    peduli terhadap etika dan dipandu oleh standar moral dan nilai-nilai
    bahkan terhadap tekanan kelompok, organisasi dan masyarakat dan
    pemimpin mengambil keputusan sesuai standar nilai moral ditentukan.
  4. Relational Transparency berarti bahwa pemimpin memberikan ketulusan
    dan mencerminkan penghargaan dan berinteraksi dengan orang lain secara
    transparansi bukan pencitraan diri. Misalnya pemimpin yang megeakui
    kesalahannya

Authentic Leadership

 


Authentic Leadership ialah gaya kepemimpinan yang etis, transparan,
memberdayakan serta melibatkan karyawan untuk mengambil keputusan
(Avolio et al., 2009). Menurut Khan (2010) Authentic Leadership
mengutamakan untuk mengembangkan rekan kerja untuk menjadi pemimpin
dimana memiliki sifat yang percaya diri, penuh harapan, optimis, ulet,
bermoral, dan berorientasi pada masa depan. Pemimpin memberikan etika dan
kepercayaan kepada rekan kerja sehingga meningkatkan adanya kepercayaan
kepada pemimpin (Avolio dan Walumbwa, 2004). Authentic Leadership
berinteraksi dengan rekan kerja secara terbuka dan memiliki wawasan luas,
dengan adanya interaksi yang baik meningkatkan adanya dorongan dalam
perubahan dan termasuk suatu hal yang utama untuk memperoleh pengetahuan
yang diperlukan (Panjaitan dan Setiorini, 2018).
Studi menunjukkan pemimpin dengan gaya Authentic Leadership akan
memperhatikan nilai sosial yang baik dan penting demi keberhasilan
organisasi(George dan Sims, 2007). Walumbwa et al. (2008) mengartikan
Authentic Leadership sebagai pola perilaku pemimpin yang memanfaatkan
dan mengembangkan keterampilan, produktivitas, kemampuan karakteristik
dan lingkungan yang lebih positif, untuk meningkatkan self-awareness,
balanced processing, internalized moral perspective, dan relational
transparency antara pemimpin dan pengikutnya.

Dampak Servant Leadership

 


Seorang Servant Leadership mempunyai komitmen untuk untuk
membantu pengikutnya mengembangkan dan bertumbuh (Giampetro-
Meyer et al., 1998 dalam Yoshida et al., 2013). Dengan adanya keinginan
untuk mengembangkan pengikutnya, menyebabkan timbulnya sikap
Servant Leadership yang melayani serta bertanggung jawab (Cooper dan
Thatcher, 2010) dan mementingkan dalam memastikan bahwasanya
pengikutnya menjadi lebih bijak, bebas, dan mandiri (Greenleaf, 1970).
Seorang Servant Leadership mendorong pengikutnya untuk meningkatkan
keterampilan dan terlibat dalam kesempatan yang ada.
Berdasarkan penelitian terdahulu, Servant Leadership memberi
berbagai hal positif mengenai kemajuan karyawan dan organisasi. Servant
Leadership bisa menciptakan lingkungan organisasi yang mendukung,
sehingga bisa menghadirkan perasaan positif dan karyawan berkomitmen
pada organisasi (Bobbio et al., 2012). Lingkungan yang positif ini dapat
meningkatkan kepuasan karyawan pada pemimpin dan organisasi,
sehingga meningkatkan keinginan karyawan dalam “membayar”
organisasi (Blau, 1964 dalam Hunter et al., 2013). Dengan kata lain,
tingkat turn over pada karyawan menjadi menurun. Servant Leadership
hadir sebagai konstruk kepemimpinan yang penting bagi kreativitas.
Dimana seorang Servant Leadership memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kepercayaan pengikutnya dan dapat menghasilkan
peningkatan inovasi tim dan kreativitas (Yoshida et al., 2013)

Aspek dalam Servant Leadership

 


Menurut (Spears, 2010) ada 10 karakter dari Servant Leadership :

  1. Mendengarkan (Listening) Seorang Servant Leadership mampu untuk
    memberikan ruang bicara bagi karyawannya dan mendengarkan segala
    masukan dan kritik dari karyawan. Seorang Servant Leadership juga
    berusaha untuk mengidentifikasi masalah dari mendengarkan keluh
    kesah dari karyawannya.
  2. Empati (Empathy) Servant Leadership mencoba untuk memahami dan
    berempati dengan rekan kerjanya.
  3. Penyembuhan (Healing) mampu menciptakan suasana yang tenang,
    membantu dalam menyelesaikan masalah anggota organisasi.
  4. Kesadaran (Awareness) memiliki kesadaran dalam lingkungan kerja
    atau permasalahan yang ada dalam organisasi. Kesadaran dapat diukur
    dari kesadaran pemimpin dalam mengidentifikasi masalah di
    lingkungan kerja. Sehingga pemimpin dapat melihat sudut pandang
    yang berbeda.
  5. Perusasi (Persuasion) meyakinkan orang lain dengan tidak
    menggunakan pemaksaan.
  6. Konseptualisasi (Conceptualization) berarti pemimpin mampu untuk
    berfikir secara jangka panjang untuk kepentingan organisasi.
  7. Kejelian (Foresight) pemahaman yang akurat atau menyeluruh dalam
    memahami realita, mampu untuk menciptakan ruang bagi karyawan
    dalam mewujudkan visi.
  8. Keterbukaan (Stewardship) memiliki sifat terbuka kepada karyawan
    untuk meningkatkan kepercayaan.
  9. Komitmen untuk pertumbuhan (Commitment to the Growth of People)
    bertanggungjawab dalam perkembangan dan pertumbuhan karyawan
    dalam organisasi.
  10. Membangun komunitas (Building Community) mampu untuk
    melakukan identifikasi dan membangun komunikasi dengan rekan
    kerja atau karyawan.
    Ada beberapa dimensi yang bisa dipergunakan dalam mengetahui
    ukuran Servant Leadership. Menurut Dierendonck dan Nuijten (2011)
    mengindentifikasi tujuh dimensi Servant Leadership berikut:
    a. Empowerment, sebuah konsep motivasi yang fokus pada
    menumbuhkan dan meningkatkan sikap pemberdayaan pada
    pengikutnya yang bertujuan untuk untuk menumbuhkan kepercayaan
    diri dan inisiatif. Empowerment misalnya mendorong dalam
    mengambil keputusan mandiri, saling membagikan informasi, dan
    pembinaan untuk kinerja yang inovatif.
    b. Accountability, bertanggung jawab dalam mengawasi kinerja. Hal ini
    menjadikan accountability menjadi salah satu tanggung jawab atas apa
    yang akan dilakukan oleh individu ataupun tim. c. Standing back, seberapa jauh pemimpin dalam mementingkan
    kepentingan orang lain dan memberikan penghargaan yang dibutuhkan.
    d. Humility, Servant Leadership mengakui adanya keterbatasan dan
    dengan aktif berupaya menemukan kontribusi orang lain dalam
    menyelesaikan keterbatasan tersebut. Humility dalam Servant
    Leadership berfokus pada keberanian untuk mengakui bahwasanya
    manusia tidak sempurna dan bisa berbuat kesalahan.
    e. Authenticity, berelasi dekat dengan menunjukkan diri sendiri yaitu
    mengutarakan ekspresi diri secara konsisten dengan pikiran dan
    perasaan.
    f. Courage, meningkatkan inovasi dan kreativitas dengan berani
    mengambil risiko dan mencoba pendekatan baru.
    g. Interpersonal acceptance, adalah kemampuan dalam memahami
    perasaan orang lain, menunjukkan rasa empati, menerima perspektif
    psikologis dan memberikan perasaan hangat. Kemampuan ini dapat
    mempermudah dalam pengembangan kualitas hubungan interpersonal
    yang baik melalui pemahaman yang lebih baik dari perilaku orang lain.
    Selain itu, Interpersonal Acceptance mampu untuk memaafkan saat
    dihadapkan dengan pelanggaran, argument, dan kesalahan. Servant
    Leadership tidak pendendam atau ingin membalas dendan, ini
    menciptakan suasana yang baik untuk sekitar.

Pengertian Servant Leadership

 


Robert Greenleaf mengenalkan konsep Servant Leadership
pertama kali dalam literatur kepemimpinan pada tahun tahun 1970.
Menurut Greenleaf (2002) Servant Leadership merupakan gaya
kepemipinan yang memperhatikan perkembangan dan dinamika kehidupan
pengikut atau pegawai. Servant Leadership merupakan pemimpin yang
memiliki rasa menjadikan dirinya pelayan terlebih dahulu, berawal dari
prinsip bahwasanya jika berkeinginan memperoleh layanan maka melayani
terlebih dahulu (Spears, 2010). Gaya kepemimpinan ini berasal dari
peasaan dalam diri untuk melayani. Dalam pandangannya, karakteristik
dari perilaku Servant Leadership membentuk nilai dan keyakinan
seseorang yang dapat mempengaruhi produktivitas organisasi yang
dipimpinnya. Servant Leadership merupakan orientasi yang berdasarkan
pengetahuan, partisipatif, tanggung jawab dalam proses, etika dan sosial
bisa meminimalisir konflik internal organisasi. Menurut Trompenaars dan
Voerman (2010) Servant Leadership merupakan gaya kepemimpinan di
mana kepemimpinan dan pelayanan berinteraksi secara harmonis dan
bijaksana dengan lingkungan. Dalam pendekatan Servant Leadership
seorang pemimpin mementingkan membangun hubungan yang baik
dengan orang lain daripada dirinya sendiri, sehingga akan tercipta
hubungan yang harmonis di antara keduanya. Model kepemimpinan ini
menekankan pelayanan kepada orang lain dengan adanya pendekatan pada
pekerjaan, rasa kemasyarakatan dan pengambilan keputusan yang diambil
secara bersama atau musyawarah. Servant Leadership bertujuan memberi
pelayanan serta memenuhi kebutuhan pihak lain, yakni dengan optimal
harus menjadi motivasi kepemimpinan (Baker et al., 2013).
Pemimpin mengamati karyawan melaksanakan tugas, mendorong
dan melakukan segala kemungkinan untuk mengembangkan karyawan
mereka menjadi karyawan berkinerja tinggi di masa depan. Servant
Leadership ialah individu yang berkeinginan kuat memberi pelayanan dan
memimpin, serta mampu mengkombinasikan keduanya sebagai kesatua
yang saling menguatkan secara positif. Servant Leadership akan terjun
langsung pada situasi nyata, mengerti dan memahami kondisi bawahan
atau lingkungannya, dengan demikian pemimpin dapat mengambil
langkah-langkah untuk menyesuaikan diri sesuai dengan kondisi di
lingkungannya dan memotivasi serta mendorong lingkungan tersebut
bersama-sama mencapai tujuan bersama.
Semua pendekatan kepemimpinan dilakukan untuk kebutuhan
karyawan, mempercayai kemampuan mereka, dan mendorong mereka
untuk membuat keputusan secara mandiri. Servant Leadership dengan
tulus berfokus pada kepentingan dan pertumbuhan orang lain di atas
kepentingan pemimpin atau organisasi (Yoshida et al., 2014). Cooper dan
Tharcher (2010) mendukung gagasan Greenleaf dengan menyampaikan
bahwasanya Servant Leadership memiliki orientasi melayani serta
mengembangkan pengikutnya, mementingkan keamanan serta
keselamatan, dan mempunyai perspektif bahwasanya pemimpin mereka
berkaitan dengan perilaku normatif yang diinginkan, Servant Leadership
memperlihatkan komitmen yang berkelanjutan dan membantu pengikutnya
supaya tumbuh (Giampetro-Meyer et al., 1998 dalam Yoshida et al., 2013).
Servant Leadership ialah pemimpin yang membantu pengikutnya supaya
terus berkembang, baik itu dalam hal kemampuan serta berkontribusi
dalam membangun pengikut supaya menjadi orang yang berhasil dan
bermanfaat (Neuschel, 2008)

Kepemimpinan

 


Thoha (2010) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan
mempengaruhi perilaku individu lain baik supaya meraih visi maupun
serangkaian tujuan. Menurut Chaplin (dalam Kartono, 2010) kepemimpinan
diartikan sebagai penerapan otoritas, kontrol, arahan serta pengaturan terhadap
perilaku individu lain; sementara kualitas kepribadian dan pelatihan yang
mengarah pada keberhasilan dalam mengarahkan dan mengontrol individu
lainnya. Dari berbagai pengertian kepemimpinan disajikan, disimpulkan
bahwasanya kepemimpinan merujuk pada sifat atau metode yang dimiliki
seseorang dalam usaha memandu dan mempengaruhi individu atau kelompok
untuk bersedia berkolaborasi, berkomitmen dan setia dalam menjalankan
segala aktivitas berdasarkan tugas serta tanggung jawab, dengan tujuan meraih
target organisasi.
Kepemimpinan menjadi faktor penting dalam sebuah perusahaan untuk
suatu perusahaan karena hal itu mampu membuat perbedaan. Kepemimpinan
tidak hanya tentang seseorang mempengaruhi dirinya sendiri maupun orang
lain sebagai penggerak supaya bisa bekerja dengan efektif dan efisien.
Pemimpin melalui teladan mereka bisa mempengaruhi para pengikutnya dan
membuat sebuah perbedaan bagi kehidupan arah pengikutnya.
Badu dan Djafri (2017) menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif
sangat penting bagi sebuah perusahaan, contohnya seperti pemimpin berperan
dalam memaksimalkan produktivitas karyawan melalui motivasi bekerja dan
berkontribusi secara tepat, pemimpin harus memastikan lingkungan kerja yang
baik dan bersikap sesuai untuk meningkatkan kepuasan serta seorang
pemimpin harus menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk membuat suatu
keputusan dan mengoordinasikan upaya secara keseluruhan.
Wells dan Peachey (2011) menjelaskan bahwa kepemimpinan berfokus
pada perilaku efektif pemimpin yang di dalamnya terdapat ide-ide
kontemporer dengan menggabungkan kekuatan perilaku kepemimpinan,
pengaruh pemimpin dan pengikut mereka. Sedangkan Bass, Kotter, dan Rost
dalam Rosari (2019) memiliki sudut pandang kepemimpinan yang berbeda.
Bass mendefinisikan kepemimpinan seperti apa yang diinginkan pemimpin,
Kotter mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh dan Rost
mendefinisikan kepemimpinan sebagai hubungan.