Sunday, July 14, 2024

Pembelian Impulsif

 


Engel et al. (2006:91) mengatakan pembelian impulsif merupakan pembelian
tidak terencana yang dipacu oleh display produk atau promosi penjualan. Menurut
Ghani dan Ali (2011), “Impulse buying occurs when a consumer experiences a
sudden, often powerful and persistent urge to buy something immediately.”
Didefinisikan bahwa pembelian impulsif biasanya terjadi saat konsumen merasakan
adanya motivasi atau keinginan yang kuat secara tiba – tiba untuk membeli sesuatu
dengan segera. Sedangkan menurut Denny dan Yohanes dalam Temaja (2015),
impulse buying adalah kegiatan pembelian mendadak tanpa ada perencanaan terlebih
dahulu pada saat memasuki suatu toko. Pembelian yang tidak direncanakan ini
timbul dari keinginan tiba – tiba untuk membeli suatu produk ketika berbelanja
(Jones et al., 2003). Pembelian secara impulsif ini terjadi secara tidak direncanakan
karena keputusan baru dibuat ketika sedang berbelanja, walaupun individu tidak
secara aktif mencari suatu produk, tidak ada rencana pembelian sebelumnya untuk
membeli produk tersebut, dan tidak sedang terikat dengan tugas berbelanja. Jones et
al. (2003) juga mengatakan individu yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi
atau individu yang mengalami respon emosi yang kuat terhadap suatu kategori
produk, lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian impulsif. Dapat
disimpulkan bahwa pembelian impulsif merupakan pembelian yang terjadi secara
tiba – tiba yang tidak direncanakan sebelumnya dan keputusan baru dibuat ketika
sedang berbelanja.
Menurut Rook dan Hock dalam Vishnu (2013) ada dasar - dasar penting yang
mempengaruhi perilaku pembelian impulsif antara lain, perilaku instan, sedang
dalam kondisi dis-equilibrium emosional, mulainya benturan psikologis, dan
bergerak dengan segera. Namun bila dikategorikan, faktor yang mempengaruhi
pembelian impulsif ada faktor internal dan eksternal. Sedangkan Stern (1962)
mengatakan faktor eksternal yang mempengaruhi pembelian impulsif seperti
ekonomi, kepribadian, waktu, lokasi, dan budaya. Keinginan untuk melakukan
pembelian impulsif juga berhubungan dengan karakteristik demografi konsumen
seperti usia (Kacen dan Lee, 2002). Suatu penelitian di Amerika mendapati hasil
bahwa di antara usia 18 tahun hingga 39 tahun, ada kenaikan terjadinya pembelian
impulsif namun kemudian menurun. Konsumen yang berusia 35 tahun ke bawah
lebih cenderung melakukan pembelian impulsif dibanding dengan konsumen yang
berusia 35 tahun ke atas. Selain itu budaya juga mempengaruhi terjadinya pembelian
impulsif, individualisme dan kolektivisme menyebabkan beberapa pandangan yang
berhubungan dengan perilaku pembelian impulsif meliputi identitas diri, pengaruh
normatif, penindasan emosi, dan penundaan kepuasan secara instan (Kacen dan Lee,
2002).
Terdapat dua elemen penting dalam pembelian impulsif yaitu:

  1. Kognitif
    Elemen ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif individu yang meliputi:
    a. Tidak mempertimbangkan harga dan kegunaan suatu produk
    b. Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian produk
    c. Tidak melakukan perbandingan produk yang akan dibeli dengan produk yang
    mungkin lebih berguna
  2. Emosional
    Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi:
    a. Timbulnya dorongan atau perasaan untuk segera melakukan pembelian
    b. Timbul perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian
    Menurut Stern (1962), tipe – tipe pembelian impulsif antara lain:
  3. Pure Impulse Buying (pembelian impulsif murni)
    Tipe pembelian impulsif ini terjadi dimana konsumen membeli tanpa
    pertimbangan atau dengan pola yang berbeda dari yang biasa dilakukan. Tipe ini
    dapat dinyatakan sebagai novelty / escape buying.
  4. Suggestion Impulse Buying (pembelian impulsif karena sugesti)
    Pembelian yang didasarkan dari sugesti yang muncul pada konsumen yang tidak
    mempunyai pengetahuan yang cukup tentang suatu produk namun ketika
    konsumen melihat produk tersebut untuk pertama kali, konsumen tetap
    membelinya.
  5. Reminder Impulse Buying (pembelian impulsif karena pengalaman masa lalu)
    Pembelian impulsif yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dimana pembeli
    melihat produk tersebut dan diingatkan bahwa persediaan produk tersebut perlu
    ditambah atau persediaan yang ia miliki telah habis.
  6. Planned Impulse Buying (pembelian impulsif tergantung pada kondisi penjualan)
    Pembelian impulsif ini terjadi ketika kondisi penjualan tertentu diberikan,
    dimana konsumen memasuki toko dengan harapan dan intensi untuk melakukan
    transaksi berdasarkan promo, penjualan produk tertentu dengan harga
    khusus/diskon, pemberian kupon, dan lain - lain

Gaya Hidup Berbelanja

 


Solomon (2013:493) mengatakan gaya hidup adalah “a pattern of comsuption
that reflects a person’s choices of how to spend his or her time and money” dimana
merupakan pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagaimana
ia menggunakan waktu dan uangnya. Gaya hidup seseorang dapat terlihat pada saat
mereka mengemukakan pendapatnya terhadap objek tertentu. Gaya hidup seseorang
dalam menggunakan uang menjadikan sebuah sifat dan karakteristik baru seorang
individu.
Menurut Levy dalam Prastia (2013) gaya hidup berbelanja adalah gaya hidup
yang mengacu pada bagaimana seseorang hidup, bagaimana mereka menghabiskan
waktu dan uang mereka, kegiatan pembelian yang dilakukan, sikap dan pendapat
mereka tentang dunia dimana mereka tinggal. Shopping lifestyle menunjukkan cara
yang dipilih oleh seseorang untuk mengalokasikan pendapatan, baik dari segi alokasi
dana untuk berbagai produk dan layanan, serta alternatif-alternatif tertentu dalam
pembedaan kategori serupa (Zablocki dan Kanter dalam Japarianto, 2011). Dengan
kata lain menurut Betty Jackson dalam Japarianto (2011), shopping lifestyle
merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam berbelanja yang mencerminkan
perbedaan status sosial. Cara kita berbelanja mencerminkan status, martabat, dan
kebiasaan.
Gaya hidup berbelanja juga didefinisikan sebagai perilaku yang ditujukan
oleh pembeli sehubungan dengan serangkaian tanggapan dan pendapat pribadi
tentang pembelian produk (Cobb dan Hoyer dalam Tirmizi et al., 2009). Hasil
penelitian tersebut menemukan bahwa gaya hidup berbelanja dan pembelian impulsif
berkaitan erat.
Berdasarkan definisi – definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya
hidup berbelanja adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uang mereka
dari kegiatan – kegiatan yang dapat mencerminkan status, martabat, dan kebiasaan
seorang individu.
Gaya hidup berbelanja dikemukakan dalam beberapa indikator untuk
mengetahui hubungan antara gaya hidup berbelanja terhadap pembelian impulsif,
menurut Park dan Sullivan (2009) indikator tersebut antara lain:

Keterlibatan Fashion

 


Menurut O'Cass dalam Park et al. (2006), “involvement is the motivational
state of arousal or interest evoked by a particular stimulus or situation, and
displayed through properties of drive”. Atau dengan kata lain, involvement adalah
minat atau bagian motivasional yang ditimbulkan oleh stimulus atau situasi tertentu,
dan ditujukan melalui ciri penampilan. Menurut Solomon (2013:153), “involvement
is a person’s perceived relevance of the object based on their inherent, needs, values,
and interests.” yang berarti involvement adalah hubungan yang dirasakan seseorang
terhadap suatu objek berdasarkan sifat, kebutuhan, nilai, dan minat.
Engel et al. (2006:93) mengatakan “involvement is the level of perceived
personal importance and interest evoked by a stimulus wihtin a specific situation.”
yang berarti keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan dan
minat yang ditimbulkan oleh stimulus sehubungan dengan situasi tertentu. “The
degree of involvement is determined by how important consumers perceive the
product or service to be” yang artinya tingkat keterlibatan itu ditentukan dari
seberapa penting konsumen mempersepsikan suatu produk atau jasa (Engel et al.,
2006:93).
Keterlibatan atau involvement juga adalah status motivasi yang
menggerakkan serta mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saat
mereka membuat keputusan. Jika keterlibatan terhadap suatu produk tinggi, maka
konsumen akan mengalami tanggapan pengaruh yang lebih kuat seperti emosi dan
perasaan yang kuat (Dwiastuti, 2012:56). Secara umum, keterlibatan didefinisikan
sebagai keterkaitan antara manusia (customer) dengan produk (shape)

Perilaku Konsumen

 


Menurut Schiffman dan Kanuk (2007:3) perilaku konsumen diartikan sebagai
“the behavior that consumers display in searching for, purchasing, using, evaluating,
and disposing of products, services, and ideas” dimana berarti perilaku konsumen
adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam rangka mencari, membeli,
memakai, mengevaluasi, dan membuang suatu produk, jasa, dan ide.
Kotler dan Keller (2012:151) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai
“the study of how individuals, groups, and organizations select, buy, use, and dispose
of goods, services, ideas, or experiences to satisfy their needs and wants.” Yang
mendefinisikan bahwa perilaku konsumen adalah studi mengenai bagaimana
individu, kelompok, dan organisasi menyeleksi, membeli, menggunakan, dan
membuang produk, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginannya.
Menurut Engel et al. (2006:4), perilaku konsumen adalah “activities people
undertake when obtaining, consuming, and disposing of products and services.”
yang berarti merupakan aktivitas yang manusia lakukan ketika memperoleh,
mengkonsumsi, dan membuang produk dan jasa. Perilaku konsumen juga dapat
dijelaskan sebagai bidang studi yang fokus pada aktivitas konsumen.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
konsumen adalah semua kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh individu atau
organisasi yang berkaitan dengan proses pengambilam keputusan pada saat sebelum
membeli, saat membeli, mengkonsumsi, menghabiskan produk, dan melakukan
evaluasi.
Model perilaku konsumen merupakan salah satu model yang dapat
menggambarkan bagaimana proses keputusan konsumen dalam membeli suatu
barang atau jasa. Mangkunegara dalam Chusniasari (2015) mengartikan model
perilaku konsumen sebagai suatu skema atau kerangka kerja yang disederhanakan
untuk menggambarkan aktivitas – aktivitas konsumen. 

Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan

 


Persaingan dibidang transportasi saat ini telah menunjukkan persaingan
yang kompetitif. Sejumlah perusahaan yang bergerak dibidang transportasi
berusaha keras agar tidak kehilangan pelanggan. Contohnya di era millenium ini
masyarakat lebih mengenal moda transportasi udara ketimbang moda transportasi
laut, hal ini juga dibuktikan sejak adanya program low cost carrier yang
diterapkan di industri penerbangan komersial. Hal itu mengakibatkan
pengembangan bisnis PELNI mengahadapi tantangan yang nyata. Terlebih saat ini
tiket pesawat antar-maskapai yang tengah bersaing ketat, serta telah dibukanya
rute-rute penerbangan yang bersinggungan dengan rute kapal PELNI.
Hal tersebut menjadi hal penting yang harus dihadapi oleh PELNI dalam
menghadapi persaingan lintas moda transporatsi ini, PELNI juga harus berani
menyusun sejumlah strategi untuk menarik minat masyarakat agar tetap
menggunakan jasa kapal laut PELNI.
Adanya persaingan yang semakin ketat ini, perusahaan berusaha untuk
merebut perhatian masyarakat lokal maupun mancanegara terutama turis yang
ingin menyaksikan keindahan alam tropis di Indonesia, dengan hal itu perusahaan
memandang perlunya mengencarkan strategi komunikasi pemasaran dan
berlomba-lomba mencari cara untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat
membuat konsumen merasa puas dengan pelayanan yang diberikan kepada
konsumen.
Perusahaan menyadari bahwa kepuasaan konsumen menjadi hal yang
sangat penting dalam mengahadapi persaingan di era millinieum ini, karena
pelanggan yang puas cenderung lebih loyal, tidak mudah tergoda untuk beralih ke
pemasok yang menawarkan harga yang lebih murah dan beroerientasi untuk
menyebarluaskan pengalaman positifnya kepada orang lain, sebaliknya konsumen
yang merasa tidak puas akan beralih kepada moda transportasi lainnya serta
menyebarkan word of mouth negative yang akan mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan tersebut (Tjiptono, 2014). 

Manfaat Kepuasan Pelanggan

 


Adapun manfaat-manfaat yang dapat diraih ketika pelanggan merasa puas
adalah sebagai berikut (Tjiptono, 2008):

  1. Hubungan antar perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis.
    Fokus pada kepuasan pelanggan akan mempertahankan pelanggan dari
    serangan gencar para pesaing. Banyak pelanggan yang bersedia membayar
    lebih mahal untuk mendapatkan kualitas kepuasan yang lebih.
  2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang.
    Berbagai studi menunjukkan bahwa mempertahankan dan memuaskan
    pelanggan saat ini lebih murah bila dibandingkan dengan memprospek
    pelanggan baru secara terus menerus.
  3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan
    Upaya mempertahankan loyalitas pelanggan dalam waktu yang lama bisa
    menghasilkan anuitas yang lebih besar daripada pembelian individual.
  4. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang
    menguntungkan bagi perusahaan.
    Dalam banyak industri, pendapat atau opini teman jauh lebih persuative dan
    kredibel dibandingkan dengan iklan

Tipe-Tipe Kepuasan dan Ketidakpuasan Pelanggan

 


Stauss dan Neuhaus (dalam Tjiptono, 2005) membedakan tiga tipe
kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan, yakni:
a. Demanding customer satisfaction
Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Adanya emosi positif dari
konsumen, yakni optimisme dan kepercayaan.
b. Stable customer satisfaction
Konsumen dengan tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku
yang menuntut. Emosi positifnya terhadap penyedia jasa bercirikan
steadiness dan trust dalam relasi yang terbina saat ini. Konsumen
menginginkan segala sesuatunya tetap sama.
c. Resigned customer satisfaction
Konsumen dalam tipe ini juga merasa puas. Namun, kepuasannya bukan
disebabkan oleh 24 pemenuhan harapan, namun lebih didasarkan pada
kesan bahwa tidak realistis untuk berharap lebih.
d. Stable customer dissatisfaction
Konsumen dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerjanya, namun mereka
cenderung tidak melakukan apa-apa.
e. Demanding dissatisfaction
Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku menuntut. Pada
tingkat emosi, ketidakpuasannya menimbulkan protes dan oposisi