Showing posts with label Konsultasi Tesis Jogja. Show all posts
Showing posts with label Konsultasi Tesis Jogja. Show all posts

Sunday, November 12, 2023

Faktor – Faktor yang memengaruhi Disiplin Kerja

 


Pada umumnya bahwa pemimpin mempunyai pengaruh langsung atas
sikap kebiasaan yang diperoleh karyawan. Kebiasaan itu ditentukan oleh
pemimpin, baik dengan iklim atau suasana kepemimpinan maupun melalui contoh
diri pribadi. Untuk mendapat disiplin yang baik, maka pemimpin harus
memberikan kepemimpinan yang baik pula.
Helmi dalam Hartatik (2018:197) merumuskan faktor-faktor yang
memengaruhi disiplin kerja menjadi dua, yaitu :
a. “Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang
dianut berkaitan langsung dengan disiplin. Sistem nilai akan terlihat dari sikap
seseorang, dimana sikap ini diharapkan akan tercermin dalam perilaku seperti
disiplin karena kepatuhan, disiplin karena identifikasi, dan disiplin karena
internalisasi.
b. Faktor Lingkungan
Sikap disiplin dalam diri seseorang merupakan produk interaksinya dengan
lingkungan, terutama lingkungan sosial. Oleh karena itu, pembentukan
disiplin tunduk pada kaidah-kaidah proses belajar. Pemimpin yang merupakan
agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsio konsisten, adil, bersikap
positif, dan terbuka”.
Menurut Singodimedjo dalam Sutrisno (2019:89) mengemukakan
beberapa faktor-faktor yang memengaruhi disiplin karyawan adalah :

Jenis-Jenis Disiplin Kerja

 


Disiplin merupakan suatu kegiatan manajemen untuk menjalankan standar
dan prosedur organisasi. Kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen
sumber daya manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin kerja
karyawan maka semakin tinggi prestasi kerja yang dicapai. Kurangnya
kedisiplinan karyawan akan membuat perusahaan sulit mencapai hasil kerja yang
optimal.
Sutrisno (2019:86) menyebutkan beberapa bentuk disiplin yang baik yang
tercermin pada suasana, sebagai berikut :
a. “Tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan
perusahaan.
b. Tingginya semangat dan gairah kerja dan inisiatif para karyawan dalam
melakukan pekerjaan.
c. Besarnya rasa tanggung jawab para karyawan untuk melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya.
d. Berkembangnya rasa memiliki dan rasa solidaritas yang tinggi di kalangan
karyawan.
e. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja para karyawan”.

Pengertian Disiplin Kerja

 


Disiplin kerja sangatlah penting bagi suatu perusahaan atau instansi
pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Tanpa adanya disiplin
kerja yang baik sulit bagi suatu perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya tanggung jawab seseorang terhadap
tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Kedisiplinan merupakan fungsi sumber daya manusia yang keenam dari
fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting karena semakin
banyak disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya.
Tanpa disiplin kerja karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan mencapai hasil
kerja yang optimal.
Hasibuan (2019:193), “kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku”.
Latainer dalam Sutrisno (2019:87) mengartikan “disiplin sebagai suatu
kekuatan yang berkembang di dalam tubuh karyawan dan menyebabkan karyawan
dapat menyesuaikan diri dengan sukarela pada keputusan, peraturan, dan nilainilai yang tinggi dari pekerjaan dan perilaku”.
Salah satu upaya untuk mengatasi penyebab tindakan indispliner yang
bertujuan untuk pertumbuhan organisasi yaitu memotivasi karyawan agar dapat
mendisiplinkan diri dalam melaksanakan pekerjaan baik secara perorangan
maupun kelompok. Adanya disiplin kerja sangat bermanfaat dalam mendidik
karyawan untuk mematuhi peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku pada
perusahaan tersebut sehingga akan menghasilkan kinerja yang optimal.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

 


Pengertian pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2008 Pasal 1 butir 1 adalah proses yang integral pada tindakan
dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
SPIP terdiri atas unsur:
a) lingkungan pengendalian;
b) penilaian risiko;
c) kegiatan pengendalian;
d) informasi dan komunikasi; dan
e) pemantauan pengendalian intern.
COSO I : 1992 Pasal 3 ayat (1) PP 60/2008
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan”.
Sistem Pengendalian Intern juga diterapkan pada instansi pemerintah
yang kita kenal dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP
adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (PP 60/2008, Bab I Pasal. 1
butir 2). Tujuan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah untuk
memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya:
1) Efektivitas dan Efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan;
2) Keandalan Laporan Keuangan;
3) Pengamanan aset negara;
4) Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

Kepuasan Kerja

 


Davis (1985:96) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu
perasaan menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan
dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Kepuasan kerja menjadi hal yang
penting, karena memiliki pengaruh yang besar bagi organisasi. Mangkunegara
(2005:118) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/perusahaan. Luthans (2011:141) menyatakan bahwa kepuasan timbul
dari evaluasi terhadap suatu pengalaman, atau pernyataan secara psikologis
akibat suatu harapan dihubungkan dengan apa yang mereka peroleh.
Ada beberapa teori kepuasan kerja, antara lain teori keadilan (equity
theory) dari Adam, terori perbedaan (discrepancy theory) dari Porter, teori
pemenuhan kebutuhan (need fulfillment theory) dari Schaffer, teori pandangan
kelompok social (social reference group theory) dari Alferder, teori pengharapan
(expected theory) dari Victor Vroom, dan teori dua faktor (two factor theory) dari
Herzberg. Penelitian ini dikarenakan menggunakan teori dua faktor dari
Herzberg, maka yang akan diulas hanyalah teori tersebut.
Menurut Two Factors Theory dari Herzberg (dalam Mangkunegara, 2005)
terdapat dua faktor yang dapat menyebabkan kepuasan maupun ketidakpuasan
yang dapat dialami oleh seorang pegawai, yaitu (1) kepuasan ekstrinsik atau
dissatisfies (hygiene factors) dan (2) kepuasan intrinsik atau satisfies. Adapun
penjelasan tiap faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Apabila faktor ini tidak terpenuhi, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan
absensi pegawai, bahkan dapat menyebabkan pegawai keluar.
b) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika faktor-faktor
tersebut terpenuhi, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan terpenuhi.

Kompetensi Pegawai

 


Kompetensi menurut Spencer and Spencer (1993:9) merupakan
karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakter
pribadi (ciri khusus/khas), nilai-nilai, konsep diri, pengetahuan atau keahlian
yang dimiliki seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat
kerja. Sedangkan kompetensi menurut Peraturan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 7 tahun 2013 diartikan sebagai karakteristik dan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai tugas
dan / atau fungsi jabatan.
Menurut Kamus Kompetensi Kementerian Keuangan, Kompetensi
pegawai dapat diartikan sebagai kemampuan (capability) atau keahlian
(expertise) yang lebih dari sekedar keterampilan (skill) belaka, namun
merupakan hasil dari pengalaman yang melibatkan pemahaman/pengetahuan,
tindakan nyata, serta proses mental yang terjadi dalam bidang tertentu.
Kompetensi dapat pula untuk menggambarkan pengelompokan pengetahuan,
keahlian dan perilaku yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seseorang
dalam pekerjaan (Peraturan Sekretaris Jenderal Nomor 55/SJ/2008).

Penilaian Kinerja Institusi Pemerintahan

 Salah satu yang menjadi sasaran dalam penerapan reformasi birokrasi

adalah mewujudkan instansi yang akuntabel. Instansi pemerintah diwajibkan
melakukan pengelolaan kinerja yang dimulai dari perencanaan kinerja,
pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, sampai evaluasi kinerja (Permenpan
Nomor 11 Tahun 2011). Hal ini dilakukan agar instansi pemerintah terukur
capaian kinerjanya sehingga dapat diketahui efektivitas dari pencapaian visi,
misi, tugas dan fungsi pokok instansi pemerintah tersebut. Kinerja di dalam
Peraturan Presiden Nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah (SAKIP) merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat
dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan, pengukuran,
pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja
pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan
kinerja instansi pemerintah.
Keberhasilan suatu program yang dijalankan, diukur berdasarkan
indikator kinerja yang merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari
kinerja program dan kegiatan yang telah direncanakan (Perpres Nomor 29 tahun
2014). Indikator kinerja terbagi atas tiga hal, yaitu:
1) Indikator Kinerja Program (IKP) yang merupakan ukuran atas hasil (outcome)
dari suatu program yang merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
suatu kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh
satuan kerja/SKPD.
2) Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) adalah ukuran atas keluaran (output) dari
suatu kegiatan yang terkait secara logis dengan Indikator Kinerja Program
(IKP).
3) Indikator Kinerja Utama (IKU) merupakan ukuran keberhasilan organisasi
dalam mencapai tujuan dan merupakan ikhtisar hasil berbagai program dan
kegiatan sebagai penjabaran tugas dan fungsi organisasi.

Kinerja Organisasi

 


Mulyadi (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan keberhasilan yang
dicapai personel, tim atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik
yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Bastian
(2006:274) berpendapat bahwa kinerja adalah gambaran pencapaian atas
pelaksanaan dari suatu kegiatan/kebijakan/ program dalam rangka mewujudkan
visi, misi, tujuan organisasi, dimana apa yang ingin dicapai tertuang dalam
perumusan perencanaan strategik (strategic planning) organisasi. Kinerja dapat
juga diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam suatu periode
tertentu. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) menyatakan bahwa kinerja merupakan
keluaran/hasil dari kegiatan/program yang telah atau hendak dicapai sehubungan
dengan penggunaan anggaran dengan kualitas dan kuantitas yang terukur.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kinerja, terdapat dua hal
pokok yang terkandung dalam pengertian kinerja, yaitu: (1) hasil akhir dari
keseluruhan kegiatan yang dilakukan organisasi yang disesuaikan dengan
kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan, dan (2) kinerja mencerminkan
prestasi yang dicapai oleh organisasi

Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Herzberg

 


kepuasan kerja atau sering dikenal dengan sebutan Two Factor Theory (teori
dua faktor) yang dikemukakan oleh Herzberg tahun 1996. Situasi yang
memengaruhi sikap puas atau tidaknya seseorang terhadap pekerjaan terbagi
dalam dua kelompok (Mangkunegara, 2015:121-122), yaitu:
a) Kepuasan intrinsik atau satisfies merupakan faktor-faktor atau situasi yang
dipandang sebagai sumber kepuasan kerja, yakni: pekerjaan itu sendiri (work
it self), adanya kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya
tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu yang
didukung oleh pengakuan (recognition) serta promosi. Jika seorang individu
memenuhi faktor-faktor tersebut, rasa kepuasan terhadap pekerjaannya akan
terpenuhi.
b) Kepuasan ekstrinsik atau dissatisfies (hygiene factors) merupakan faktorfaktor atau situasi yang dipandang sebagai sumber ketidakpuasan, yakni
gaji/upah, pengawasan pimpinan, tatakelola dan kebijakan organisasi,
hubungan antarpribadi, kondisi dan keamanan kerja serta status/kedudukan.
Kedua kelompok teori di atas, yakni satisfies dan dissatisfies akan
digunakan dalam penelitian ini karena keduanya dianggap sebagai sumber
kepuasan yang akan mempengaruhi kinerja pegawai dan pada akhirnya kinerja
organisasi.

Teori Agensi

 


Teori keagenan pada dasarnya merupakan teori yang muncul karena
adanya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Teori ini mengasumsikan
bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya
sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan dan berkewajiban untuk memberikan imbalan kepada agen
sedangkan agen berkewajiban melakukan pengelolaan sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan dan bertanggungjawab atas tugas yang dibebankan
kepadanya (Jensen dan Meckling, 1976:29).
Teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi yaitu (a) asumsi tentang
sifat manusia; (b) asumsi tentang keorganisasian dan (c) asumsi tentang
informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki
sifat mementingkan diri sendiri (self interest) memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion). Asumsi
keorganisasian menekankan adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas. Asimetri informasi (asimmetric information)
merupakan informasi yang tidak seimbang karena perbedaan distribusi informasi
antara prinsipal dan agen (Jensen dan Meckling, 1976:38-41). Teori keagenan
akan terjadi pada berbagai organisasi termasuk dalam organisasi pemerintahan
dan berfokus pada persoalan ketimpangan/asimetri informasi antara pengelola
(agen/pemerintah) dan publik (diwakili prinsipal/dewan perwakilan rakyat).
Prinsipal harus memonitor kerja agen, agar tujuan organisasi dapat dicapai
dengan efisien serta tercapainya akuntabilitas publik (Mustikawati, 2004).
Akuntabilitas publik sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agen) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya
kepada pihak pemberi amanah (prinsipal) yang memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.

Teori Goal Setting

 


Goal Setting Theory yang dikemukakan oleh Locke, 1978 menjelaskan
hubungan antara tujuan yang ditetapkan dengan prestasi kerja (kinerja). Konsep
dasar teori ini adalah seseorang yang memahami tujuan (apa yang diharapkan
organisasi kepadanya) akan mempengaruhi perilaku kerjanya. Goal-Setting
Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan
(Mangkunegara, 2014: 73). Jika seorang individu memiliki komitmen untuk
mencapai tujuannya, maka komitmen tersebut akan mempengaruhi tindakannya
dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Salah satu hal penting yang dapat
menentukan kinerja, baik kinerja individu yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap kinerja organisasi adalah kompetensi yang dimiliki individu di dalam
organisasi (Mangkunegara, 2015:67). Seorang individu yang berkomitmen untuk
memberikan kinerja yang terbaik pada organisasi akan berusaha meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja (kompetensi) yang dimilikinya. Hal tersebut
sebagai konsekuensi yang harus dicapai, bila seorang individu tersebut ingin
meraih hasil kinerja yang optimal.
Teori Goal Setting ini juga menyatakan bahwa perilaku individu diatur oleh
ide (pemikiran) dan niat seseorang. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/
tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Penetapan tujuan yang
menantang (sulit) namun dapat diukur hasilnya akan dapat meningkatkan
prestasi kerja (kinerja). Capaian atas sasaran (tujuan) mempunyai pengaruh
terhadap perilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi. Berdasarkan
pendekatan goal setting theory ini, kinerja organisasi yang maksimal merupakan
tujuan yang ingin dicapai, sedangkan kompetensi pegawai dan kepuasan kerja
merupakan faktor penentu. Semakin tinggi faktor penentu tersebut, maka akan
semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya.

Teori Sikap dan Perilaku (Theory of Attitude and Behavior)

 


Teori sikap dan perilaku (theory of attitude and behavior) yang
dikembangkan oleh Triandis di tahun 1971 menyatakan bahwa perilaku
ditentukan oleh untuk apa sesuatu hal dilakukan (sikap), pedoman atas suatu hal
yang dilakukan (aturan-aturan sosial), dan apa yang biasa dilakukan (kebiasaan)
yang menentukan terbentuknya suatu perilaku.
Sikap terdiri dari komponen kognitif yang berkaitan dengan keyakinan, dan
komponen afektif yang berkaitan dengan konotasi suka atau tidak suka, serta
komponen perilaku yakni bagaimana seseorang ingin berperilaku terhadap sikap.
Gibson, dkk di tahun 1982 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mangkunegara
(2008:16) menyebutkan bahwa sikap seseorang didorong oleh faktor-faktor
stimulus, seperti gaji, tunjangan, gaya manajer, rangsangan pekerjaan, teknologi
dan kebijakan perusahaan. Faktor-faktor stimulus tersebut menentukan apakah
suatu perasaan positif yang menimbulkan kesukaan atau malahan perasaan
negatif yang menimbulkan ketidaksukaan terhadap suatu pekerjaan. Perasaan
positif dan negatif tersebut pada akhirnya yang menentukan kepuasan atau
ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya, yang pada akhirnya
menentukan perilaku seseorang di dalam organisasi. Mangkunegara (2015:117-
119) menyebutkan kepuasan kerja seseorang memiliki dampak terhadap
organisasi antara lain yaitu tingkat turn over, tingkat kehadiran pegawai, tingkat
kesehatan pegawai, tingkat efektivitas penyelesaian pekerjaan, pengembangan
ide dan inovasi, tingkat kesalahan, sampai rasa kebanggaan terhadap
organisasi/ perusahaan yang diwujudkan dalam komitmen dan loyal terhadap
organisasi/ perusahaan.
Aturan-aturan sosial yang merupakan pedoman atas suatu hal yang
dilakukan seorang individu di dalam organisasi, ditentukan oleh nilai-nilai yang
dianut oleh suatu organisasi yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang
merupakan embrio dari suatu budaya yang dimiliki oleh organisasi. Susanto
(1997:21), budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menjadi pedoman
sumber daya manusia di dalam organisasi untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan dan berusaha untuk melakukan penyesuaian integrasi ke dalam
tubuh organisasi. Masing-masing individu di dalam organisasi harus memahami
nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku dan
berperilaku di dalam organisasi.
Nilai-nilai organsasi menjadi petunjuk (guidance) dan pedoman bagi
individu di dalam organisasi dalam berperilaku serta berinteraksi dengan individu
lainnya, baik di dalam maupun di luar organisasi. Nilai-nilai organisasi menjadi
hal yang penting dan ditanamkan secara kokoh dan kuat serta harus diterima
secara luas di semua kalangan dalam organisasi. Semakin tinggi penerimaan
anggota organisasi terhadap nilai-nilai pokok organisasi, maka kesetiaan, dan
kinerja seseorang kepada organisasi semakin besar yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Yuliana, 2014).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

 Menurut Wirawan (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi OCB

diantaranya antara lain kepribadian, budaya organisasi, iklim organisasi,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepemimpinan transformasional
&servant leadership, tanggung jawab sosial pegawai, umur pegawai,
keterlibatan kerja, kolektivisme serta keadilan organisasi.
Organ dan Sloat (dalam Ahdiyana, 2010) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi OCB sebagai berikut :
a. Budaya dan iklim organisasi
Menurut Novliadi (2007) iklim Organisasi dan budaya organisasi dapat
menjadi penyebab kuat atas berkembangnya OCB dalam suatu organisasi.
Di iklmi organisasi yang positif, karyawan merasa lebih ingin melakukan
pekerjaan melebihi apa yang telah diisyaratkan dalam pekerjaan, dan akan
selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlukan oleh para
atasan dengan sportif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa
mereka diperlukan secara adil oleh organisasi.
b. Kepribadian dan Suasana Hati (mood)
Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya
perilaku OCB secara individual maupun kelompok.
c. Persepsi terhadap dukungan organisasi
Pekerja yang merasa bahwa mereka didukung oleh organisasi akan
memberikan timbal balinya dan menurunkan ketidakseimbangan dalam
hubungan tersebut dengan terlibat dalam perilaku citizenship. 
1) Persepsi terhadap kualitas hubungan/ interaksi atasan bawahan
2) Masa kerja
3) Jenis Kelamin

Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior

 


Organ (1995) megatakan bahwa orang yang melakukan
Organizational Citizenship Behavior dieknal sebagai tentara yang baik.
Terdapat lima dimensi Organizational Citizenship Behavior menurut Organ
adalah sebagai berikut :
a. altruism adalah perilaku yang merefleksikan atau membantu orang lain
dalam menghadapi masalah pekerjaan.
b. Conscientiousness adalah mengacu pada perilaku seseorang yang tepat
waktu, tingkat kehadiran tinggi, dan berada di atas pesyratan normal yang
diharapkan.
c. Civic virtue adalah berkomitmen fungsi – fungsi adminitratif seperti
menghadiri pertemuan, menyampaikan pendapat dan aktif berpartisipasi
dalam kegiatan organisasi. d. Sportsmanship yaitu menunjukkan perilaku seseorang yang tidak suka
memprotes atau mengajukan ketidakpuasan terhadap masalah-masalah
kecil.
e. Courtesy adalah perilaku bersikap sopan santun, hormat, dan sesuai aturan
yang ditunjukkan dalam setiap perilaku

Pengertian Organizational Citizenship Behavior

 


Konsep Organizational Citizenship Behavior pertama kali
diperkenalkan oleh Bateman dan Organ, dan telah dibahas secara detail oleh
Organ tahun (1995). Namun jauh sebelum tahun tersebut Bernard
mempergunakan konsep Organizational Citizenship Behavior dan
menyebutnya sebagai kerelaan bekerjasama. Pada tahun 1964, Katz
menggunakan konsep serupa dan menyebutkan sebagai inovatif dan perilaku
spontan (Triyanto, 2009).
Organizational Citizenship Behavior dapat dikatakan sebagai
perilaku-perilaku yang menyumbang pada pemeliharaan dan perbaikan baik
secara social maupun psikologikal untuk mendukung job performance
(Organ, 1995). Organizational Citizenship Behavior berperan penting bagi
upaya meningkatkan kinerja organisasi karena, Organizational Citizenship
Behavior dapat mengurangi kebutuhan akan sumber daya-sumber daya yang
langka/mahal untuk fungsi-fungsi perawatan/perbaikan dalam organisasi,
meningkatkan produktifitas hubungan kerja atau manajerial, meningkatkan
kemampuan organisasi untuk menarik minat dan mempertahankan orang- orang terbaiknya untuk bekerja disitu dengan menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan (Organ, 1995).
Berdasarkan definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku karyawan yang
dilakukan secara sukarela dan melebihi tuntutan pekerjaannya. Perilaku
tersebut dilakukan tanpa mengharapkan pamrih dari organisasi dan berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Terdapat kesepakatan luas bahwa
budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang
dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang membedakan
organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem pengertian bersama ini,
dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan serangkaian karakter
penting menjadi nilai bagi suatu organisasi. Menurut Robbins (2003)
menyatakan bahwa terdapat tujuh karakter utama, yang kesemuanya menjadi
elemen-elemen penting suatu budaya organisasi.
a. Inovasi dan pengambilam risiko, yaitu tingkat daya pendorong karyawan
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
b. Perhatian terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk
mampu memperlihatkan ketetapan, analisis, dan perhatian terhadap detail.
c. Orientasi terhadap hasil, yaitu tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk
lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada
teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
d. Orientasi terhadap individu, yaitu tingkat keputusan manajemen dalam
mempertimbangkan efek- efek hasil terhadap individu yang ada di dalam
organisasi.
e. Orientasi terhadap tim, yaitu tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam
tim, bukan secara perorangan
f. Agresivitas, yaitu tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku
agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
g. Stabilitas, yaitu tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam
mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterlibatan Kerja

 


Menurut Harnoto (2002) faktor-faktor keterlibatan kerja dilihat dari
sejauh mana seorang karyawan ikut berpartisipasi dengan seluruh
kemampuannya dalam membuat peningkatan kesuksesan suatu organisasi
atau perusahaan.
Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan
kerja seorang karyawan yaitu :
a. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat menunjukkan bahwa seorang
karyawan terlibat dalam pekerjaanya (job involment). Aktif berpartisipasi
adalah perhatian yang dicurahkan seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat
atensi inilah dapat diketahui seberapa perhatian dan kepeduliaan yang
dimiliki oleh seseorang pekerja.
b. Menunjukkan pekerjaan adalah yang utama
Seseorang karyawan yang merasa bahwa pekerjaannya adalah hal yang
utama akan selalu berusaha memberi serta melakukan yang terbaik untuk
pekerjaannya dan menganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik
dalam hidup dan pantas untuk diutamakan.
c. Melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang penting untuk harga diri
Keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap seorang karyawan dalam
pikiran mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan dalam pikiran
mengenai pekerjaannya, dimana seorang karyawan menganggap pekerjaan
itu penting bagi harga dirinya. Harga diri merupakan perpaduan antara
kepercayaan diri dan penghormatan diri, mempunyai harga diri yang kuat
artinya merasa cocok dengan kehidupan dan penuh keyakinan, yaitu
mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalah-masalah
kehidupan. Harga diri menurut Harnoto (2002) merupakan evaluasi
individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif. Apabila
pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara materi
dan psikologis bagi karyawan tersebut maka karyawan tersebut akan
menghargai dan melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Dengan begitu
keterlibatan kerja dapat tercapai, dan karyawan tersebut merasa bahwa
pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya.

Aspek-aspek keterlibatan kerja


Menurut Saleh dan Hosek (1976) keterlibatan kerja merupakan
konsep yang kompleks berdsarkan aspek kongnitif, aspek tindakan dan aspek
perasaan adalah derajat dimana individu dikenal dari pekerjaannya,
berpartisipasi aktif didalamnya dan menganggap prestasi penting untuk harga
diri yaitu :
a. Pekerjaan adalah minat hidup yang utama
Keterlibatan kerja akan muncul bila pekerjaan dirasakan sebagai
sumber utama terhadap harapan individu dan sumber kepuasan dari
kebutuhan-kebutuhan yang menonjol individu. Kebutuhan yang menonjol
ini akan menguat bila pekerjaan dipersepsikan mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sehingga akan membuat invidu menghabiskan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk pekerjaan.
b. Berpartisipasi aktif dalam pekerjaan
Partisipasi aktif akan terjadi bila seseorang diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya dalam bekerja seperti kesempatan mengerluarkan ide-ide,
membuat keputusan yang berguna untuk kesuksesan perusahaan,
kesempatan untuk belajar, mengeluarkan keahlian dan kemampuan dalam
bekerja, sehingga partisipasi aktif ini akan berpengaruh pada hasil kerja
dan hasil yang memuaskan akan mempengaruhi rasa berharga pada diri.
c. Menganggap performa sebagai hal yang penting bagi harga diri. Seberapa jauh performa kerja individu mempengaruhi harga diri. Usaha
kerja yang ditampilkan menggambarkan seberapa jauh seseorang yang 
terlibat pada pekerjaan akan menganggap penting pekerjaan tersebut bagi
harga diri atau rasa keberhargaan diri pada diri seseorang. Hal ini bisa
terlihat dari seberapa sering karyawan memikirkan tentang pekerjaan yang
belum terselesaikan setelah jam kerja selesai, masalah yang belum selesai
menjadi pusat konsep diri yang berlaku dalam hati.
d. Menganggap kinerja konsisten dengan konsep diri
Seseorang yang terlibat dalam pekerjaan akan memiliki konsentrasi
terhadap unjuk kerja sehingga mempengaruhi konsistensi seseorang
dengan konsep diri. Hal ini dapat terlihat dari seseorang memiliki prinsip
terhadap pekerjaan, unjuk kerja konsisten dengan kemampuan yang
dimiliki.

Pengertian Keterlibatan Kerja

 


Keterlibatan pekerjaan mengukur derajat sejauh mana seseorang
memihak secara psikologis pada pekerjaannya dan menganggap tingkat
kinerjanya yang dipersepsikan sebagai penting untuk harga diri (Robbins,
2003). Dapat dinyatakan bahwa aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat
menunjukkan seseorang pekerja terlibat dalam pekerjaan. Aktif paritisipasi
adalah perhatian seorang terhadap seseuatu. Keterlibatan kerja merupakan
faktor penting dalam sikap kerja lain yang terkait dengan kinerja. Orang
dengan keterlibatan kerja tinggi memfokuskan sebagian sebagian besar pada
pekerjaan mereka sehingga menjadi benar - benar tenggelam dan menikmati
pekerjaan tersebut (Suharti 2013).
Keterlibatan kerja merupakan suatu ukuran sampai dimana karyawan
dapat berpatisipasi dalam dalam pekerjaan secara psikologis dan mengagap
pekerjaan dan kinerjanya penting. Menurut Hao et al. (2009), seseorang
memiliki involvement yang tinggi jika (1) meyakini bahwa pekerjaannya
memiliki manfaat; (2) memiliki kontrol terhadap pencapaian pekerjaan; (3)
memelihara norma-norma perilaku; (4) memberikan umpan balik atas
penyelesaian pekerjaan; dan (5) adanya hubungan baik dengan atasan maupun
rekan kerja. Lebih jauh lagi Hao et al. (2009) menyatakan bahwa karyawan
dengan keterlibatan kerja tinggi akan berupaya keras dalam mencapai tujuantujuan organisasi. Sedangkan menurut Gibson (2000) Keterlibatan kerja pada
setiap individu adalah berbeda yaitu dalam hal sejauh mana: (1) Pekerjaan
merupakan pusat perhatian hidup, (2) Mereka secara aktif turut serta dalam
pekerjaan, (3) Mereka memandang pekerjaan sebagai pusat harga diri, dan (4)
Mereka memandang pekerjaan sesuai dengan konsep pribadi. Orang yang
tidak terlibat dalam pekerjaannya tidak dapat diharap untuk mencapai
kepuasan yang sama dengan mereka yang terlibat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja

 


Menurut Wirawan (2013) dalam kinerja, terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah :

a. Organizational Citizenship Behavior (OCB), bila seorang karyawan dalam
melakukan segala sesuatu, tidak selalu digerakkan oleh hal-hal yang
menguntungkan bagi dirinya, namun dikarenakan karyawan tersebut akan
mempunyai perasaan puas jika dapat membantu atau mengerjakan sesuatu
yang lebih perannya.
b. Deskripsi pekerjaan, spesifikasi pekerjaan yang standar kinerja pekerjaan.
Karena pekerjaan yang berbeda mempunyai deskripsi pekerjaan yang
berbeda, program evaluasi kinerja haruslah menyediakan cara yang
sistematik untuk mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ini dan
memastikan evaluasi yang konsisten di seluruh pekerjaan dan karyawan
yang mendudukinya.
c. Keterlibatan kerja adalah mengimpilkasikan suatu pernyataan positif dan
lengkap dari ketertarikan aspek inti pada diri sendiri dalam pekerjaan.
Sehingga keterlibatan kerja akan meningkatkan produktivitas.
d. Tujuan-tujuan penilaian kinerja. Tujuan – tujuan penilaian kinerja secara
mendasar dapat digolongkan kepada dua bagian besar yaitu evaluasi dan
pengembangan.
e. Sikap para pekerja dan atasan terhadap evaluasi
Menurut Gibson (2000) faktor – faktor yang mempengaruhi kinerja
sebagai berikut :
a. Faktor Individu. Faktor individu meliputi : kemampuan, keterampilan,
latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi
seseorang.


b. Faktor Psikologis. Faktor – faktor psikologis terdiri dari : persepsi, peran,
sikap, kepribadian motivasi lingkungan kerja dan kepuasan kerja.
c. Faktor Organisasi. Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan
dan imbalan
Menurut Siagian (2008) faktor – faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja seseorang karyawan yang mempunyai karater baik apabila:
a. Mempunyai keahlian yang tinggi
b. Kesediaan untuk bekerja
c. Lingkungan kerja yang mendukung
d. Adanya imbalam yang layak dan mempunyai harapan masa depan

Metode Penilaian Kinerja

 


Menurut Wiraman (2013) setiap perusahaan mempunyai metode
sistem penilaian kinerja yang berbeda. Di bawah ini uraian tentang metode- metode penilaian kinerja di perusahaan.
a. Esai tertulis yaitu, metode yang paling mudah untuk menilai suatu kinerja
adalah dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan,
kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran – saran mengenai
seorang karyawan untuk perbaikan. Esai tertulis ini tidak membutuhkan
bentuk format yang rumit atau latihan. Tetapi hasil tulisan itu seringkali
menggambarkan kemampuan penulisnya. Baik atau buruknya sebuah
penilaian sama-sama ditentukan oleh keterampilan menulis si penilai dan
tingakat aktual kinerja seorang pekerja.
b. Keadaan kritis yaitu, metode keadaan kritis memfokuskan perhatian si
penilai pada perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan
anatara sebuah pekerjaan efektif atau yang tidak efektif. Si penilai menulis
anekdot yang menggambarkan apa-apa saja yang dilakukan para pekerja
dengan efektif atau tidak efektif. Disini yang menjadi kunci adalah
perilaku yang sifatnya khusus, dan bukan sifat-sifat personal yang samar,
melainkan yang disebutkan. Sebuah daftar keadaan kritis memuat
serangkaian contoh-contoh, dimana dengan daftar ini para pekerja dapat
meliahat perilaku-perialku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang
membutuhkan penegembangan.
c. Grafik skala penilaian yaitu, salah satu metode tertua dan terpopuler untuk
penilaian adalah dengan menggunakan grafik skala penilaian. Di dalam
metode ini, dicatat faktor-faktor kinerja, seperti kualitas dan kuantitas
kerja, tingkat pengetahuan,kerja sama, loyalitas, kehadiran, kejujuran dan
inisiatif. Selanjutnya, si penilai memeriksa daftar tersebut dan menilai
setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan. Skala-skala tersebut
menghasilkan spesifikasi berdasarkan lima poin, sehingga sebuah faktor
seperti pengetahuan kerja bisa dinilai 1 hingga 5.
d. Skala peningkatan perilaku yaitu, skala peningkatan perilaku telah
dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini.
Skala ini mengkombinasikan elemen penting dari metode keadaan kritis
dengan metode pendekatan grafik skala penilaian
e. Skala peningkatan perilaku yaitu, menentukan dengan pasti, bersifat dapat
diamati, dan dapat mengukur perilaku kerja. Contoh perilaku di dalam
bekerja dan dimensi kinerja ditemukan dengan meminta para peserta untuk
memberiksan ilustrasi spesifik tentang efektif atau tidak efektifnya sebuah
perilaku berdasarkan dimensi kinerja. Contoh-contoh perilaku tersebut
selanjutnya diterjamahkan ke dalam sebuah perangkat dimensi kerja,
setiap dimensi memiliki bermacam-macam tingkat kinerja. Hasil dari
proses ini merupakan deskripsi perilaku, seperti antisipasi perencanaan,
pelaksanaan, pemecahan masalah, menjalankan perintah yang mendesak
dan penanganan situasi darurat.
f. Perbandingan multipersonal yaitu, metode perbandingan multipersonal
mengevaluasi satu kinerja individu dengan membandingkannya dengan
individu atau individu- individu lainnya. Cara ini bersifat relatif, bukan
sebagai alat pengukur yang absolut. Tiga pembanding yang sangat populer
adalah peringkat urutan kelompok, peringkat individu, dan perbandingan
berpasangan.