Sunday, March 31, 2024

Aspek-Aspek Keadilan Distributif

 


Aspek-aspek yang digunakan untuk mengukuran keadilan distributif
menggunakan item pengukuran yang dikembangkan oleh Colquitt (2001: 389),
aspek-aspek keadilan distributif yaitu sebagai berikut.
a. Persamaan, menunjukkan bahwa imbalan yang didapatkan mencerminkan
usaha yang diberikan untuk pekerjaan.
b. Kelayakan, menunjukkan bahwa kelayakan imbalan yang didapatkan telah
sesuai dengan penyelesaian pekerjaan.
c. Kontribusi, menunjukkan bahwa imbalan yang didapatkan sudah
mencerminkan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.
d. Kinerja, menunjukkan bahwa imbalan yang didapatkan telah sesuai dengan
kinerja yang dihasilkan.

Pengertian Keadilan Distributif

 


Menurut Baron and Byrne (2005: 201) keadilan distributif yaitu mengacu
pada penilaian individual mengenai apakah mereka menerima bagian yang adil
dari hasil akhir yang proporsional dengan kontribusi mereka pada kelompok atau
pada hubungan sosial manapun. Kemudian Robbins and Judge (2009: 249)
keadilan distributif adalah keadilan tentang jumlah dan pemberian penghargaan
diantara individu-individu. Menurut Noe et al., (dalam Kristanto, 2013: 21)
menyebutkan keadilan distributif sebagai penilaian yang dibuat orang terkait
imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima orang lain yang
menjadi acuannya. Gibson, et al., (2012: 148) mendefinisikan keadilan distributif
adalah persepsi keadilan sumber daya dan imbalan dalam sebuah organisasi.
Sedangkan menurut Yamagishi (dalam Faturochman, 2012: 34)keadilan
distributif dalam psikologi meliputi segala bentuk distribusi diantara anggota
kelompok dan pertukaran antarpasangan. Dijelaskan juga bahwa keadilan
distributif yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi
juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran.Tujuan dari
adanya distributif adalah kesejahteraan sehingga didistribusikan biasanya
berhubungan dengan sumber daya, ganjaran atau keuntungan.Kesejahteraan yang
dimaksudkan meliputi aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi dan sosial.

Model-Model Keadilan Prosedural

 


Ada dua model keadilan prosedural, model pertama dikenal dengan
dengan model keadilan pribadi (self interest model) menurut Thibaut & Walker
(dalam Faturochman, 2012: 25). Sedangkan model kedua adalah model nilai-nilai
kelompok (group value model) yang dikemukakan oleh Lind & Tyler (dalam
Faturochman, 2012: 25). Berikut pembahasan dari model kepentingan pribadi dan
model kepentingan kelompok .
a. Model Kepentingan Pribadi
Pembahasan tentang keadilan prosedural dalam psikologi sosial, antara lain
muncul karena konflik. Pengambilan Keputusan yang melibatkan lebih dari
satu orang sering buntu karena tidak ada kesepakatan. Tiap-tiap pihak tidak
mau mengalah karena tidak ingin kehilangan peluang untuk mendapatkan
sesuatu yang diinginkan. Lebih dari itu, orang lebih sering berupaya untuk
tidak sekedar mendapatkan keinginannya, tetapi juga berusaha untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam melakukan interaksi
atau transaksi. Sifat egosentris seperti ini merupakan gejala yang banyak
ditemukan diberbagai tempat dan diberbagai kesempatan. Untuk
mendapatkan itu semua, orang yang terlibat dalam proses sosial berusaha
untuk mengontrolnya. Keadilan prosedural berkaitan dengan kecilnya tingkat
konflik dan ketidakharmonisan dalam kelompok, organisasi atau institusi
sosial. Hal ini merupakan pandangan dari sisi keadilan prosedural objektif.
Secara subjektif, prosedur dikatakan adil bila dapat mengakomodasikan
kepentingan individu.
b. Model Nilai-Nilai Kelompok
Berbeda dengan asumsi model kepentingan pribadi, model kedua ini
menganggap bahwa individu tidak dapat lepas dari kelompoknya. Di dalam
kelompok, individu pada dasarnya lebih mengutamakan kebersamaan dari
pada mementingkan dirinya sendiri. Prinsip-prinsip partisipasi, kooperasi dan
altruisme akan lebih menonjol dibandingkan dengan egoisme individu
meskipun egoisme ini tidak bisa hilang sama sekali. Model ini juga
menganggap bahwa prosedur merupakan norma-norma yang mengatur
perlakuan, struktur dan proses sosial. Keadilan prosedural menurut model ini
pada prinsipnya adalah kesesuaian antara nilai-nilai kelompok dengan
prosedur kelompok. Bila keadaan ini telah tercipta di dalam keadilan
prosedural tercakup juga unsur kepatuhan terhadap prosedur. Oleh karena itu,
dari sisi anggota kelompok, keadilan ini berpengaruh pada penilaian terhadap
pimpinan dan lembaga. Pada sisi lain, pemimpin atau penguasa juga akan
menekankan pentingnya kepatuhan terhadap prosedur bagi anggota
kelompok. Dengan demikian, terdapat hubungan yang searah antara penilaian
terhadap keadilan dengan penilaian terhadap kelompok itu. Kenyataan ini
menjadi salah satu aspek penting dalam kajian keadilan prosedural menurut
model ini. Model ini juga berasumsi bahwa individu akan memikirkan
hubungan dirinya dengan kelompok, terutama dengan pemimpin atau
pemegang kekuasaan, yang akan terjadi dalam jangka waktu lama.

Aspek-Aspek Keadilan Prosedural

 


Bila setiap aturan dalam suatu organisasi dapat dipenuhi, maka dapat
dikatakan suatu prosedur tersebut dikatakan adil. Dalam kaitannya ini menurut
Laventhal (dalam Colquitt dkk., 2001; dalam Lind & Tyler, 1988; dalam
Faturochman, 2012: 23) mengidentifikasi enam aturan pokok dalam keadilan
prosedural. Enam aturan tersebut yang adalah sebagai berikut.
a. Konsistensi. Prosedur yang adil harus konsisten baik dari orang satu kepada
orang yang lain maupun dari waktu ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan
diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama.
b. Minimalisasi bias. Ada dua sumber bias yang sering muncul, yaitu
kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Oleh karenanya dalam
upaya minimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun pemihakpemihak harus dihindarkan.
c. Informasi yang akurat. Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar
penilaian keadilan akurat harus mendasarkan pada fakta. Kalau opini sebagai
dasar, hal itu harus disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui
permasalahan dan informasi yang disampaikan lengkap.
d. Dapat diperbaiki. Upaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan merupakan
salah satu tujuan penting perlu ditegakkan keadilan. Oleh karena itu, prosedur
yang adil juga mendukung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki
kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang akan muncul.
e. Representatif. Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk
melibatkan semua pihak yang bersangkutan.
f. Etis. Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral.
Dengan demikian, meskipun berbagai hal di atas terpenuhi, bila substansinya
tidak memenuhi standar etika dan moral tidak bisa dikatakan adil.
Aspek-aspek keadilan prosedural yang telah dijelaskan di atas selaras
dengan aspek-aspek keadilan prosedural yang dijelaskan oleh Laventhal, et al.,
(dalam Hazzi, 2012: 165) dalam jurnal yang berjudul “organizational justice: the
sound investment in organizations” yaitu konsistensi, bebas dari bias, akurat,
diperbaiki, keterwakilan (representatif) dan etika

Pengertian Keadilan Prosedural

 


Menurut Baron and Byrne (2005: 201) keadilan prosedural adalah
keadilan dari prosedur yang digunakan untuk mendistribusikan hasil-hasil akhir
yang ada diantara anggota kelompok. Kemudian Robbins and Judge (2009: 250)
mendefinisikan keadilan prosedural yaitu keadilan yang dirasa dari proses yang
digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan. Dua elemen penting dari
keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan penjelasan. Pengendalian
proses adalah peluang untuk mengemukakan pandangan seseorang tentang hasilhasil yang diinginkan kepada para pembuat keputusan. Penjelasan adalah alasanalasan secara jelas yang diberikan kepada seseorang oleh manajemen atas hasil.
Gibson, et al., (2012: 148) mendefinisikan keadilan prosedural yaitu
mengacu pada kewajaran proses dan prosedur organisasi yang digunakan untuk
menentukan sumber daya dan alokasi keputusan. Menurut Nabatachi, et al.,
(dalam Al-Zu’bi, 2010: 103) keadilan prosedural mengacu pada persepsi
karyawan tentang keadilan aturan dan prosedur yang mengatur suatu proses.
Kemudian menurut Greenberg (dalam Nasurdin & Ahmad, 2001: 32) keadilan
prosedural merupakan penilaian orang tentang keadilan dari proses pembuatan
alokasi hasil keputusan.

Keadilan Organisasi

 


Menurut Faturochman (2012: 20) keadilan pada dasarnya merupakan
bagian moralitas, tetapi pada sisi lain keadilan telah dirumuskan dalam aturanaturan yang baku dan harus dilakukan dengan ketat. Moralitas sendiri merupakan
adat istiadat, sedangkan yang dimaksud keadilan disini adalah keadilan prosedural
dan keadilan ditributif. Ketika keadilan disuatu organisasi/perusahaan tersebut
tidak sesuai dengan aturan atau adat istiadat yang telah ditetapkan di
organisasi/perusahaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keadilan di
organisasi/perusahaan tersebut tidak bermoral. Robbins and Judge (2009: 249)
keadilan organisasi didefinisikan sebagai persepsi keseluruhan dari apa yang adil
di tempat kerja. Karyawan menganggap organisasi mereka adil ketika mereka
yakin bahwa hasil-hasil yang mereka terima dan cara diterimanya hasil-hasil
tersebut adalah adil. Keadilan yang berkembang dalam psikologi, yaitu keadilan
prosedural, keadilan distributif dan keadilan interaksional. Menurut Faturochman
(2012: 22) keadilan interaksional diuraikan paling akhir karena keadilan ini
berkembang setelah keadilan prosedural dan keadilan distributif dan keadilan ini
belum banyak dibahas dalam literatur dan belum banyak mendapat sorotan.
Berikut penjelasan mengenai keadilan prosedural dan keadilan distributif.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

 


Selain definisi dan aspek tentang komitmen organisasi, juga terdapat
beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi karyawan.
Menurut Luthans (2006: 249) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi
komitmen organisasi, yaitu:
a. Variabel orang
Variabel orang meliputi usia, kedudukan dalam organisasi dan disposisi
seperti efektifitas positif atau negatif atau atribusi kontrol internal atau
eksternal. Variabel orang disini bisa berasal dari individu sendiri ataupun dari
orang lain. Usia disini berkaitan dengan faktor individu, ketika faktor usia
menjadi faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi adalah saat
usia yang belum memenuhi syarat dan usia yang sudah semakin tua untuk
melakukan pekerjaan di organisasi/perusahaan tersebut. Selain itu, kedudukan
atau jabatan yang diperoleh tidak sesuai dengan kemampuannya atau dengan
kemampuan yang dimiliki tidak sesuai dengan jabatannya sekarang. Hal ini
juga dapat berpengaruh terhadap komitmen organisasi.
b. Variabel organisasi
Variabel organisasi meliputi desain pekerjaan, nilai, dukungan dan gaya
kepemimpinan penyelia. Ketika suatu organisasi memiliki rancangan
pekerjaan dan ketentuan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di
organisasi tersebut, hal ini dapat berpengaruh terhadap komitmen organisasi
karyawannya. Selain itu, seorang pemimpin juga memiliki pengaruh terhadap
komitmen organisasi pada karyawan, ketika seorang pemimpin tidak mampu
bersikap adil dan tidak bisa memberikan kenyamanan dalam bekerja bagi
seluruh karyawan, ini juga dapat memberikan dampak pada komitmen
organisasi.
c. Varibel non-organisasi
Variabel non-organisasi yaitu adanya alternatif lain setelah memutuskan
untuk bergabung dengan organisasi akan mempengaruhi komitmen
selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan adanya alternatif pekerjaan lain yang
ditawarkan lebih baik dibandingkan pekerjaan sekarang. Ketika terdapat
pekerjaan yang mampu memberikan penawaran lebih baik dan pekerjaan
tersebut mampu mengembangkan karirnya, hal ini akan menjadi salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi.

Aspek-Aspek Komitmen Organisasi

 


Menurut Luthans(2006: 249) dikarenakan komitmen organisasi bersifat
multidimensi, maka terdapat perkembangan dukungan untuk tiga dimensi model
komponen yang diajukan oleh Mayer dan Allen, ketiga dimensi tersebut adalah:
a. Komitmen afektif adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan
keterlibatan dalam organisasi.
b. Komitmen kelanjutan adalah komitmen berdasarkan kerugian yang
berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin
karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit.
c. Komitmen normatif adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam
organisasi karena memang harus begitu, tindakan tersebut merupakan hal
benar yang harus dilakukan.
Aspek yang telah dijelaskan di atas serupa dengan penjelasan oleh Mayer
& Allen dalam jurnal yang berjudul “Career Stage Effect on Organizational
Commitment: Empirical Evidence from Indian Banking Industry” yaitu penelitian
oleh Kaur & Shandu yang terdapat tiga dimensi dalam komitmen organisasi.
Dimensi pertama disebut sebagai komitmen afektif, dimensi kedua yaitu
komitmen kelanjutan yang didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan merasa
berkomitmen untuk organisasi berdasarkan biaya. Kemudian untuk dimensi yang
ketiga dijelaskan oleh Weiner (dalam Kaur & Shandu, 2010: 142) yaitu komitmen
normatif didefinisikan sebagai perasaan karyawan tentang kewajiban untuk tetap
berada dalam organisasi.
Sedangkan menurut Steers (dalam Pratiwi, 2014: 13) menjelaskan
komitmen organisasi memiliki tiga aspek, diantaranya yaitu:
a. Identifikasi. Identifikasi diwujudkan dalam bentuk kepercayaan karyawan
terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi
sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para karyawan ataupun dengan
kata lain perusahaan memasukkan pula kebutuhan dan keinginan karyawan
dalam tujuan organisasinya yang akan membuahkan suasana saling
mendukung diantara para karyawan dengan organisasi.
b. Keterlibatan. Keterlibatan atau partisipasi karyawan dalam aktivitas-aktivitas
keorganisasian juga penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan
karyawan menyebabkan mereka bersedia dan senang bekerja sama baik
dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang
dapat dipakai untuk memancing keterlibatan karyawan adalah dengan
memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan
keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada karyawan bahwa apa
yang telah diputuskan merupakan keputusan bersama.
c. Loyalitas. Loyalitas karyawan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan
seseorang untuk melanggengkan hubungan atau menjaga keanggotaan dengan
organisasi. Kesediaan karyawan untuk mempertahankan diri bekerja dalam
perusahaan adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen karyawan
terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila
karyawan merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi
tempat ia bergabung untuk bekerja.

Pengertian Komitmen Organisasi

 


Memasuki dunia kerja seorang karyawan yang memiliki komitmen
terhadap organisasi tempat mereka bekerja menjadi salah satu unsur sikap kerja
yang amat penting, ini dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kekuatan
para karyawan dalam memberikan kontribusi pada organisasi. Menurut Newstrom
(2007: 207) komitmen organisasi atau loyalitas karyawan, adalah sejauh mana
seorang karyawan mengidentifikasi organisasi dan keinginan karyawanuntuk
melanjutkan partisipasi di dalamnya. Komitmen organisasi digambarkan seperti
gaya magnet yang dapat menarik satu objek metalik yang lain, itu adalah ukuran
dari kesediaan karyawan untuk tetap berada pada perusahaan.
Sedangkan menurut Robbins & Judge (2009: 100) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Luthans(2006: 249) sebagai sikap,
komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan kuat untuk tetap sebagai
anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan
organisasi dan keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.
Definisi di atas menjelaskan bahwa, komitmen organisasi merupakan sikap yang
merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan
dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan
keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Komitmen organisasi menurut Curry,et al.,(dalam Bakhshi,et al., 2009:
147) mengidentifikasi sejauh mana seseorang karyawan terlibat dengan sebuah
organisasi. Menurut Mowday, et al., (1979: 226) komitmen merupakan sesuatu
yang melampaui loyalitas yang pasif, ini melibatkan hubungan yang aktif dengan
organisasi sehingga individu bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka
sendiri dalam rangka memberikan kontribusi kepada organisasi untuk
kesejahteraan. Oleh karena itu komitmen dapat disimpulkan tidak hanya dari
keyakinan individu dan opini tetapi juga dari tindakan.

Hubungan keadilan prosedural dengan kinerja karyawan

 


Kinerja adalah prestasi kerja yang dicapai oleh seseorang. Prestasi
tersebut merupakan hasil dari kualitas dan kuantitas yang telah dicapai
oleh karyawan dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepada karyawan tersebut. Kinerja karyawan
terbentuk berdasarkan persepsi yang dimiliki masing-masing karyawan.
Persepsi yang dimiliki karyawan salah satunya adalah adanya persepsi
atas keadilan prosedural yang diperoleh karyawan atas prosedur yang
dilakukan oleh perusahaan. Atasan dianggap sebagai pimpinan yang
mereka percaya dan sebagai panutan dalam pekerjaan mereka. Oleh
karena itu, prosedur yang diterapkan oleh atasan menjadi persepsi adil
ataupun tidak adilnya bawahan.

Hubungan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan

 


Karyawan yang puas dalam pekerjaannya akan meningkatkan
kinerjanya, semakin puas karyawan dalam pekerjaannya maka semakin
baik pula kinerja karyawan. Kepuasan kerja adalah salah satu faktor yang
dapat meningkatkan kinerja disamping faktor lainnya seperti hasil yang
dicapai (kemampuan) dan motivasi kerja. Sebagaimana dikemukakan
oleh Wexley dan Yukl, bahwa seseorang akan bekerja keras untuk
mencapai hasil yang memuaskan, pencapain hasil tersebut akan dapat
memberikan kepuasan kerja yang selanjutnya kepuasan kerja akan
menimbulkan motivasi kerja yang tinggi sehingga kinerjanya dapat
meningkat.

Indikator Kinerja Karyawan

 


Mangkunegara (2012) menyatakan bahwa ukuran yang perlu
diperhatikan dalam kinerja antara lain:
a. Kualitas kerja, yaitu kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil kerja
dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Dengan adanya kualitas
kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan dalam
penyeleseian suatu pekerjaan serta produktivitas kerja yang dihasilkan
dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
b. Kuantitas Kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi
normal. Kuantitas kerja menunjukkan banyaknya jenis pekerjaan yang
dilakukan dalam satu waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat
terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.
c. Tangung jawab, yaitu menunjukkan seberapa besar karyawan dapat
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang
dipergunakan serta perilaku kerjanya.
d. Inisiatif, yaitu menunjukkan seberapa besar kemampuan karyawan
untuk menganalisis, menilai, menciptakan dan membuat keputusan
terhadap penyelesaian masalah yang dihadapinya.
e. Kerja sama, yaitu merupakan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi
dan bekerja sama dengan karyawan lain secara vertical atau horizontal
didalam maupun diluar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan semakin
baik.

Pengertian Kinerja karyawan

 


Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode
tertentu didalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama (Rivai, 2013).
Wibowo, (2011) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada
ekonomi. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan
dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut.
Kinerja menurut Rivai dan Sagala (2013) merupakan suatu fungsi
dari motivasi dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan
seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan
tertentu

Dimensi Keadilan Prosedural

 


Menurut Raymond A. (2011) mengatakan ada enam prinsip penting
yang menentukan apakah orang merasa prosedur yang mereka terima
sudah cukup adil. Prinsip-prinsip itu meliputi konsistensi, peniadaan bias,
keakuratan informasi, kebermungkinan koreksi, keterwakilan, kesatuan.
Menurut Cropanzano et al. (2007: 35) ada 6 dimensi dari keadilan
prosedural yaitu sebagai berikut:
a) Konsistensi dengan indikator karyawan diperlakukan sama
b) Kurangnya bias dengan indikator tidak ada orang atau kelompok
diistimewakan atau diperlakukan tidak sama
c) Keakuratan dengan indikator keputusan dibuat berdasarkan informasi
yang akurat
d) Pertimbangan wakil karyawan dengan indikator pihak-pihak terkait
dapat memberikan masukan untuk pengambilan keputusan
e) Koreksi dengan indikator mempunyai proses banding atau mekanisme
lain untuk memperbaiki kesalahan
f) Norma pedoman profesional tidak dilanggar.

Pengertian Keadilan Prosedural

 


Menurut Pareke (2009) mengatakan bahwa keadilan prosedural
merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan
prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki
implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilainilai proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan
mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural
yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan.
Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu
akan mempersepsikan adanya ketidak-adilan. Karenanya keputusan harus
dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-bias pribadi dengan melibatkan
sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingankepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang
sesuai dengan nilai-nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat di
modifikasi.
Keadilan prosedural yaitu keadilan yang dirasa dari proses yang
digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan (Robbins, 2012). Dua
elemen penting dari keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan
penjelasan. Perusahaan harus mengembangkan kebijakan sebagai tuntunan
umum dalam membersihkan suatu koordinasi, konsistensi, dan keadilan
dalam menggaji karyawan.
Pengendalian proses adalah peluang untuk mengemukakan
pandangan seseorang tentang hasil-hasil yang diinginkan kepada para
pembuat keputusan. Sedangkan penjelasan adalah alasan-alasan secara
jelas yang diberikan kepada seseorang oleh manajemen atas hasil. Jadi
agar karyawan menganggap adil sebuah proses, mereka harus merasa
bahwa mereka mempunyai kendali atas hasil dan bahwa mereka diberi
penjelasan yang memadai tentang alasan munculnya hasil tersebut.

Indikator kepuasan kerja

 


Indikator kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2013) sebagai
berikut :

  1. Pekerjaan itu sendiri
    Kesesuaian pekerjaan dengan kemampuan selama kerja.
  2. Gaji
    Tingkat gaji yang diterima karyawan.
  3. Kenaikan jabatan
    Adanya kenaikan jabatan bagi karyawan.
  4. Pengawasan
    Adanya supervisi yang berkelanjutan
  5. Rekan kerja
    Hubungan rekan kerja dalam kerja.

Aspek-aspek Kepuasan Kerja

 


Menurut Robbins (2012) ada lima aspek kepuasan kerja, yaitu:
a. Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi
mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan
mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai
betapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Karakteristik ini
membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang
menantang menciptakan kebosanan, sebaliknya jika terlalu banyak
pekerjaan menantang dapat menciptakan frustrasi dan perasaan gagal.
Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan
mengalamai kesenangan dan kepuasan dalam bekerja
b. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan pemberian upah dan kebijakan promosi
yang mereka persepsikan adil dan sesuai dengan harapan mereka. Bila
upah dilihat adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar upah karyawan, kemungkinan besar
akan mengahsilkan kepuasan. Tentu saja, tidak semua orang mengejar
uang. Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk
bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang
kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam
kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Intinya bahwa besarnya
upah bukanlah jaminan untuk mencapai kepuasan, namun yang lebih
penting adalah persepsi keadilan. Sama dengan karyawan yang
berusaha mendapatkan kebijakan dan promosi yang lebih banyak, dan
status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang
mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil
kemungkinan besar akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan mereka.
c. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan perduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan
pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi
memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan kerja yang
tidak berbahaya. Seperti temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor
lingkungan lain harus diperhitungkan dalam pencapaian kepuasan kerja.
d. Rekan kerja yang mendukung
Karyawan akan mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi
yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu sebaiknya
karyawan mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung. Hal
ini penting dalam mencapai kepuasan kerja. Perilaku atasan juga
merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi
mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila atasan
langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian
untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan
menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan
Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya sama dengan
pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mereka mempunyai bakat dan
kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan
mereka. Dengan demikian akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil
pada pekerjaan tersebut, dan lebih memungkinkan untuk mencapai
kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka.

Pengertian Kepuasan Kerja

 Robbins (2012) mendefenisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap

umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran
yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini
seharusnya mereka terima.
Handoko (2012) menyatakan kepuasan kerja merupakan keadaan
emosional yang menyenangkan dimana para karyawan memandang
pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya.
Menurut Rivai (2013) menyatakan Kepuasan Kerja adalah
kebutuhan yang selalu bertambah dari waktu ke waktu dan manusia selalu
berusaha dengan segala kemampuannya untuk memuaskan kebutuhannya
tersebut

Pengaruh Kepercayaan Organisasi terhadap Perilaku Menyimpang Karyawan

 


Penelitian Al-Abr Row et al., (2013) menunjukkan kepercayaan
organisasional berpotensi mempengaruhi perilaku menyimpang di tempat
kerja. Suatu organisasi apabila tumbuh suatu kepercayaan yang tinggi dari
para anggotanya, maka setiap karyawan akan mampu bekerja sama dengan
lebih baik, karyawan bekerja dengan lebih nyaman, tanpa saling curiga,
bahkan akan mengurangi perilaku-perilaku yang cenderung negatif
(perilaku menyimpang) ditempat kerja yang dapat merugikan organisasi.
Ullah dan Rabsana (2010) yang membahas kepercayaan pada organisasi
dalam makna yang lebih luas, dimana setiap anggota pasti akan menaruh
harapan besar terhadap hubungan yang dijalin dengan organisasinya, dan
semakin besar harapan positif anggota terhadap perilaku jalinan hubungan
yang dikembangkan organisasi, merupakan indikasi besarnya tingkat
kepercayaan mereka pada organisasi. Atas dasar keyakinan itulah individu
didalam organisasi membangun persepsi kepercayaan pada individu lain
dan pada organisasinya secara simultan. Membangun kepercayaan dalam
organisasi adalah komponen kunci untuk mengembangkan hubungan antar
karyawan dengan organisasi, sebagai contoh karyawan lebih cenderung
untuk membalas usaha yang lebih besar dan memiliki sikap kerja yang
lebih positif ketika mereka memiliki kepercayaan dalam organisasi.
Kepercayaan telah memainkan peran penting dalam pemahaman karyawan
tentang upaya dan kinerja organisasi (Aryee et al., 2002). Kepercayaan
organisasi juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku
menyimpang karyawan. Ketika karyawan sudah tidak percaya dengan
organisasi maka hal tersebut akan menyebabkan karyawan berperilaku atau
bertindak menyimpang sebagai bukti ketidakpercayaan mereka terhadap
organisasi.

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Perilaku Menyimpang Karyawan

 


Penelitian Ince dan Gul (2011), keadilan organisasional sebagai
kondisi pekerjaan yang mengarahkan karyawan pada suatu keyakinan
bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya,
keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan
pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka
akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya,
dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya karena hal
tersebut akan memicu munculnya rasa tidak percaya pada organisasi, yang
pada akhirnya akan meningkatkan motivasi karyawan untuk berperilaku
menyimpang ditempat kerja. Keadilan organisasi berkaitan erat dengan
perilaku menyimpang karyawan. Hal ini disebabkan karena ketika
karyawan merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil di organisasi dan
tidak memiliki tempat untuk mengutarakan aspirasinya maka karyawan
akan cenderung bersikap menyimpang.

Pengaruh Kepemimpinan Instruktif terhadap Perilaku Menyimpang Karyawan

 


Williams and Anderson (1998) memaparkan bahwa penerapan
perilaku loyalitas dapat mengikat para pemimpin dan karyawan dengan
membangun sikap dan perilaku sesuai dengan visi, misi dan strategi
organisasi dan dapat meminimalkan perilaku menyimpang. Pemimpin
dapat menetapkan mekanisme untuk mempertahankan, mengembangkan
atau mengubah perilaku karyawan. Mekanisme yang diajarkan oleh
seorang pemimpin kemudian akan diadaptasi oleh para pengikutnya
melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi untuk mengirimkan visi dan
misi dari seorang pemimpin ke organisasi melalui proses yang tepat
memerlukan kepemimpinan yang tepat, sehingga dapat mengurangi
perilaku menyimpang karyawan. Jika rasa perilaku loyalitas pegawai
tersebut telah terbentuk dengan baik, berarti pegawai tersebut dapat
mengendalikan perilakunya sendiri tanpa harus diperintah atasan sehingga
mengurangi perilaku menyimpang karyawan. Pimpinan instruktif memiliki
peran yang sangat penting bagi berjalnnya suatu organisasi dimana setiap
keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan instruktif akan
berdampak langsung kepada karyawan. Ketika karyawan beropini bahwa
pimpinan konstruktif tidak mampu menjalankan organisasi sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh karyawan maka karyawan akan cenderung
berperilaku menyimpang. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang sangat
erat antara perilaku pimpinan instruktif dengan sikap menyimpang dari
karyawan.

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Kepercayaan Organisasi

 


Keadilan organisasi menjadi faktor penting untuk mengembangkan
kepercayaan organisasi dan sikap kerja. Hasil penelitian Latan (2014)
menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh positif terhadap
kepercayaan karyawan. Hasil penelitian Eskandari et al., (2013)
menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara keadilan
organisasi (keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interaksional)
dengan kepercayaan organisasional. Hasil penelitian Mansour (2014)
menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan organisasi
dengan kepercayaan organisasi dan dukungan atasan dan kepercayaan
pengawas. Selain itu ada hubungan positif dari keadilan distributif terhadap
dukungan organisasi, dan hubungan negatif keadilan distributif terhadap
(kepercayaan pengawas, kepercayaan organisasi, dukungan atasan). Ada
hubungan positif antara keadilan prosedural terhadap (dukungan atasan,
kepercayaan pengawas) dan hubungan negatif keadilan prosedural terhadap
(dukungan organisasi, kepercayaan organisasi). Terakhir, ada hubungan
positif keadilan interaksional terhadap (dukungan organisasi, kepercayaan
organisasi, dukungan atasan, kepercayaan pengawas). Serta hasil penelitian
Wong (2004) menunjukkan bahwa keadilan distributif dan keadilan
prosedural memiliki efek yang lebih kuat mempengaruhi kepercayaan dalam
organisasi. Karyawan yang mendapatkan perlakuan setara antara karyawan
yang satu dengan karyawan yang lain akan menyebabkan munculnya rasa
keadilan organisasi yang kuat.

Pengaruh Kepemimpinan Instruktif terhadap Kepercayaan Organisasi

 


Bass (1985) menyatakan bahwa kepercayaan (trust) bawahan
merupakan konsekuensi logis dari kepemimpinan, karena kepercayaan
merupakan faktor esensial dalam manajemen perubahan serta dibutuhkan
untuk pengambilan resiko yang merupakan bagian integral dari transformasi
organisasional, dan kepemimpinan seringkali diidentifikasi melalui
dampaknya terhadap sikap, nilai, asumsi, dan komitmen pari para pengikut
(Yukl,1998). Apabila bawahan bersedia mengubah sikap, nilai, asumsi dan
komitmennya sedemikian rupa sehingga selaras dengan organisasinya, maka
diyakini bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atas
integritas dan kredibilitas pemimpinnya (Kouzes dan Posner,2004). Secara
empiris, penelitian ini didukung hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Krishnan and Srinivas (1998) yang temuannya menunjukkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan yang diiplementasikan
dalam suatu organisasi terhadap kepercayaan organisasional.
Keberhasilan suatu organisasi ditentukan dari kualitas pemimpin.
Keberhasilan atau kegagalan yang dialami sebagian besar dari organisasi
ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki orang-orang yang
diserahi tugas memimpin organisasi (Hasibuan, 2001). Tingkat efisiensi dan
efektifitas suatu organisasi ditentukan oleh karakter seorang pemimpin.
Pemimpin sebagai salah satu sumber daya pada organisasi haruslah dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas suatu organisasi. Bawahan atau
karyawan yang terampil sangat diperlukan untuk mengoperasikan peralatanperalatan yang canggih dan modern untuk mendapatkan suatu hasil yang
bisa diharapkan oleh suatu organisasi (Bohlander dan Snell, 2010).

Determinan Perilaku Karyawan

 


Penelitian yang dilakukan Vardi dan Wiener (1996), ada tiga hal
pokok, pertama secara formal mendefinisikan konstruk baru perilaku
menyimpang didalam organisasi (OMB) dan mendiskusikan implikasi
teoritisnya. Kedua, mengidentifikasi berbagai jenis OMB, dan ketiga
mengembangkan suatu kerangka kerja konseptual yang akan
memungkinkan dimasukkannya OMB dalam teori komprehensif
motivasi kerja baik itu perilaku yang tepat maupun perilaku
menyimpang dalam organisasi. Menurut Vardi dan Wiener (1996)
terdapat tiga jenis OMB yaitu:

  1. OMB Type S, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk
    menguntungkan diri sendiri dan orang-orang yang terlibat dalam OMB
    Type S terutama didorong oleh pertimbangan kepentingan diri sendiri
    (proses instrumental).
  2. OMB Type O, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk
    menguntungkan organisasi dan orang-orang yang terlibat dalam OMB
    Type O melakukannya karena sebagian besar mereka memiliki loyalitas
    pada organisasi (proses normatif).
  3. OMB Type D, perilaku menyimpang yang bertujuan untuk menimbulkan
    kerusakan dan mungkin dipicu oleh salah satu instrumen atau kekuatan
    normatif, atau oleh keduanya pada saat yang sama
    Perilaku menyimpang organisasi (OMB) didefinisikan sebagai
    tindakan yang disengaja oleh anggota organisasi yang menentang dan
    melanggar (a) bersama organisasi norma dan harapan , dan atau (b) nilainilai inti masyarakat, adat istiadat dan standar perilaku yang tepat. Sinclair
    (1993), menyatakan bahwa nilai definisi sebagai bentuk keyakinan, dan
    sumber utama dari nilai-nilai tersebut mungkin berupa harapan sosial,
    terutama ketika mereka bersama. Nilai dapat ditafsirkan sebagai keyakinan
    normatif, setelah dibentuk mereka dapat bertindak sebagai panduan perilaku
    normatif, penghargaan dan hukuman atas konsekuensi tindakan (Wiener,
    1988).

Pengertian Perilaku Karyawan

 


Perilaku yang menyimpang adalah perilaku seseorang yang
melanggar norma-norma organisasi yang secara signifikan
dalam melakukannya, dapat mengancam dengan baik
keberadaan organisasi atau anggotanya. Para peneliti telah
memberikan banyak perilaku yang berbeda nama termasuk
penyimpangan kerja, perilaku kontraproduktif, perilaku
antisosial dan ketidaksopanan tempat kerja (Yousefi et al.,
2012) Perilaku kerja yang menyimpang dibagi menjadi dua
kelompok perilaku kerja menyimpang positif dan negatif.
Beberapa peneliti fokus pada perilaku kerja menyimpang negatif
seperti absensi, pengunduran diri, pemotongan gaji, pelecehan
seksual dan pengambilan keputusan yang tidak etis (Muafi,
2011; Vardi dan Weitz, 2004; Robinson dan Bennett, 1995).
Fokus lain juga diberikan kepada karyawan seperti kenakalan
tidak mengikuti instruksi manajer, sengaja memperlambat siklus
kerja, terlambat kerja, vandalisme, rumor dan sabotase terhadap
organisasi. Perilaku kerja yang menyimpang telah sering diakui
sebagai reaksi stres terhadap organisasi, frustrasi, seperti
masalah keuangan, sosial, dan kondisi kerja yang tidak
menyenangkan (Muafi, 2011).
Menurut (Lukacs et al., 2009), perilaku kerja menyimpang
didefinisikan sebagai tindakan sengaja dilakukan oleh anggota
organisasi yang melanggar norma-norma inti organisasi atau
masyarakat. Perilaku tersebut menyebabkan penurunan
produktivitas, rusaknya citra organisasi, mencederai karyawan
dan pelanggan, dan paparan tanggung jawab hukum. Perilaku
kerja menyimpang ketika perilaku kerja yang berjalan diluar
norma-norma organisasi, yang konsekuensinya dapat
mempengaruhi semua tingkat organisasi termasuk unit proses
pengambilan keputusan, produktivitas dan biaya keuangan
(Coccia, 1998)

Konsep Kepemimpinan Instruktif

 


Perilaku kepemimpinan adalah perilaku khusus/pribadi para pemimpin
terkait dengan tugas dan perannya sebagai seorang pemimpin. Perilaku
kepemimpinan dipahami sebagai suatu kepribadian (personality) seorang
pemimpin yang diwujudkan dalam aktivitas kepemimpinannya dalam
kaitannya dengan mengelola tugas dan hubungan dengan
bawahan/pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Perilaku seorang
pemimpin terkait erat dengan beberapa hal, yaitu kemampuan yang
dimilikinya, karakter setiap bawahan yang dipimpinnya, jabatan atau
posisi tertentu yang diembannya, dan budaya organisasi serta situasi
kondisi yang menyertainya. Teori tentang perilaku kepemimpinan perlu
diungkap mengingat seorang pemimpin harus mengetahui tingkat
kematangan para pegawainya agar bisa memimpin mereka secara efektif.
Banyak pemimpin yang gagal karena tidak mengetahui dengan baik
karakter dan kebutuhan pegawainya dalam melakukan pekerjaan.
Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan
tindakan – tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang
pemimpin memiliki beberapa tipe (bentuk) kepemimpinan. Tipe
kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya
kepemimpinan. Berikut adalah tipe – tipe kepemimpinan yang luas dan
dikenal dan diakui keberadaannya :

  1. Tipe Otokratik Tipe kepemimpinan ini menganggap bahwa
    kepemimpinan adalah hak pribadinya (pemimpin), sehingga ia tidak
    perlu berkonsultasi dengan orang lain dan tidak boleh ada orang lain
    yang turut campur. Seorang pemimpin yang tergolong otokratik
    memiliki serangkaian karakteristik yang biasanya dipandang sebagai
    karakteristik yang negatif. Menurut Sinclair (1993), “Pemimpin
    otoriter senang mempergunakan ungkapan dalam kehidupan sehari –
    hari dengan mengatakan: “kantor saya” atau “pegawai saya” dan lain
    – lain seolah – olah organisasi atau anggota merupakan miliknya.”
  2. Tipe Kendali Bebas (Laissez-Faire) Tipe kepemimpinan ini merupakan
    kebalikan dari tipe kepemimpinan otokratik. Dalam tipe ini sang
    pemimpin biasanya menunjukkan perilaku yang pasif dan seringkali
    menghindar diri dari tanggung jawab. Seorang pemimpin kendali
    bebas cenderung memilih peran yang pasif dan membiarkan
    organisasi berjalan menurut temponya sendiri. Sifat kepemimpinan
    pada tipe kendali bebas seolah – olah tidak tampak.
    Kepemimpinannya dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh
    pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan
    melakukan kegiatan menurut kehendak dan kepentingan masing –
    masing, baik perseorangan maupun kelompok – kelompok kecil.
    Disini seorang pemimpin mempunyai keyakinan bahwa dengan
    memberikan kebebasan yang seluas – luasnya terhadap bawahan
    maka semua usahanya akan cepat berhasil.
  3. Tipe Demokratik. Yang dimaksud dengan tipe demokratik adalah tipe
    pemimpin yang demokratis, dan bukan karena dipilihnya si pemimpin
    secara demokratis. Tipe kepemimpinan di mana pemimpin selalu
    bersedia menerima dan menghargai saran, pendapat, dan nasehat dari
    staf dan bawahan, melalui forum musyawarah untuk mencapai kata
    sepakat. Untuk mencapai keefektifan organisasi, penerapan beberapa
    tipe kepemimpinan di atas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan.
    Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan situasional.
    Fungsi instruktif dalam sebuah kepemimpinan ini bersifat komunikasi satu
    arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang menentukan
    apa, bagaimana, bilamana dan dimana perintah itu dikerjakan agar
    keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif
    memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain
    agar mau melaksanakan perintah (Thoha, 2006). Ciri-ciri dari gaya
    kepemimpinan instruktif ini adalah: a) memberi pengarahan secara
    spesifik tentang apa, bagaimana, dan kapan kegiatan dilakukan; b)
    kegiatan lebih banyak diawasi secara ketat; c) kadar direktif tinggi; d)
    kadar semangat rendah; e) kurang dapat meningkatkan kemampuan
    pegawai; f) kemampuan motivasi rendah; g) tingkat kematangan bawahan
    rendah (Thoha, 2006).

Pengertian Kepemimpinan Instruktif

 


Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam
manajemen organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan manusia karena adanya
keterbatasan- keterbatasan tertentu pada diri manusia. Dari sinilah timbul
kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Kepemimpinan didefinisikan
ke dalam ciri-ciri individual, kebiasan, cara mempengaruhi orang lain,
interaksi, kedudukan dalam oragnisasi dan persepsi mengenai pengaruh
yang sah. Menurut Hallinger (2005) mendefinisikan kepemimpinan
instruksional dalam arti luas dengan menyatakan bahwa kepemimpinan
instruksional melibatkan tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan produktifitas dan memuaskan lingkungan kerja untuk
atasan dan kondisi kerja yang diinginkan dan memperoleh hasil maksimal
untuk bawahan. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain untuk mencapai tujuan dengan antusias (Thoha, 2006). Menurut
Rivai (2009), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi
contoh kepada pengikut-pengikutnya lewat proses komunikasi dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah proses
mengarahkan, membimbing dan mempengaruhi pikiran, perasaan,
tindakan dan tingkah laku orang lain untuk digerakkan ke arah tujuan
tertentu. Kepemimpinan memainkan peranan yang amat penting, bahkan
dapat dikatakan amat menentukan dalam usaha pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Kepemimpinan adalah kemampuan mendorong sejumlah orang
agar bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah
pada tujuan bersama menurut (Hasibuan, 2001). Menurut Rivai, 2004,
kepemimpinan adalah sebuah proses dimana seorang pemimpin dapat
secara langsung membimbing dan mempengaruhi perilaku dan pekerjaan
lainnya untuk menuju pencapaian dalam situasi tertentu. Selain itu
kepemimpinan juga merupakan kemampuan seorang manajer atau
pemimpin untuk memberikan dorongan kepada bawahan agar bekerja
dengan penuh keyakinan dan semangat. Dalam sebuah organisasi,
pemimpin sangatlah dibutuhkan untuk mengembangkan visi dan
memotivasi para karyawan organisasi agar mencapai visi atau tujuan dan
meningkatkan kinerja.
Menurut Hallinger (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan untuk membujuk orang lain untuk mencari tujuan yang
telah ditetapkan. Hal tersebut merupakan faktor manusia dimana saling
mengikat satu sama lain untuk membentuk sebuah kelompok dan untuk
meningkatkan kinerja serta mengarahkan pada tujuan yang sama. Seorang
pemimpin harus menerapkan gaya kepemimpinan untuk mengelola
bawahannya, karena seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi
keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Berikut ini adalah
definisi-definisi yang memberi gambaran tentang kepemimpinan, yaitu
(Rivai, 2004) :

  1. Kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu
    atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada
    individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk
    mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
  2. Aktivitas pemimpin antara lain terjelma dalam bentuk memberi
    perintah, membimbing dan mempengaruhi kelompok kerja atau orang
    lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien
  3. Aktivitas pemimpin dapat dilukiskan sebagai seni (art) dan bukan ilmu
    (science) untuk mengkoordinasi dan memberikan arah kepada anggota
    kelompok dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
  4. Memimpin adalah mengambil inisiatif dalam rangka situasi sosial
    (bukan perseorangan) untuk membuat prakarsa baru, menentukan
    prosedur, merancang perbuatan dan segenap kreatifitas lain dan karena
    itu pulalah tujuan organisasi akan tercapai.
  5. Pimpinan selalu berada dalam situasi sosial sebab kepemimpinan pada
    hakikatnya adalah hubungan antara individu dengan individu atau
    kelompok dengan individu atau kelompok lain. Individu atau kelompok
    tertentu disebut pimpinan dan individu atau kelompok lain disebut
    bawahan.
  6. Pimpinan tidak memisahkan diri dari kelompoknya. Pimpinan bekerja
    dengan orang lain, bekerja melalui orang lain atau keduanya.

Determinan Kepercayaan Organisasional

 


Kepercayaan organisasional telah menjadi isu penting dalam penelitian
para pakar, beberapa hasil temuan diantaranya bermanfaat untuk
mengetahui potensi kekuatan institusi dalam menghadapi tekanan
eksternalnya. Mayer et al., (1995) mengemukakan bahwa trend angkatan
kerja maupun organisasi saat ini semakin membutuhkan kepercayaan, dan
dalam membangun kepercayaan lebih menekankan pada kebutuhan vital
akan mempertahankan tatanan moral sosial Ivancevich (2007), bahkan
dalam tatanan organisasional Kramer dan Tyler (1996) menjelaskan
kemampuan manajer dalam membangun keterbukaan organisasi dan
membangun daya saing menjadi tuntutan organisasi untuk dapat tetap
kompetitif, fleksibel, dan berkembang disamping ketidakberdayaan dan
ketidakpastian sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
dirumuskan pengertian kepercayaan pada organisasi sebagai kebersediaan
anggota untuk yakin pada nilai-nilai dan kebersediaan bergantung pada
organisasi menjalankan fungsinya yang akhirnya membawa kebaikan bagi
anggota. Anggota memandang organisasi sebagai pihak yang layak
dipercaya untuk dijadikan pihak kedua dalam pertukaran sosial, karena
organisasi dipandang mampu melangkah kearah kebaikan bagi anggota.
Sebaliknya organisasi juga berhak untuk mendapatkan kebaikan dari
anggota untuk kepentingan pencapaian tujuan organisasi. Faktor dari
kepercayaan yang lazim digunakan sebagai acuan untuk mengungkapkan
berbagai fenomena seputar kepercayaan secara universal yaitu kompetensi
(competence), kebijakan atau kepekaan pada pihak lain (benevolence),
kejujuran (honesty), keterbukaan komunikasi (opennes), dan kehandalan
(reliability) (Moran dan Hoy, 1998; Whitener et al., 1998; Mishra dan
Morrissey, 2000). Faktor-faktor tersebut merupakan hasil inventarisasi
dari berbagai penelitian kepercayaan yang lebih berorientasi individual.
Beberapa model penelitian yang selaras dengan deskripsi kepercayaan
organisasi yang telah dijelaskan sebelumnya dan selaras dengan tujuan
penelitian ini adalah model kepercayaan organisasi dari model of trust
Aryee et al., (2002) dan model of trust Mayer et al., (1995).
Model of trust Aryee et al., (2002) mengemukakan tiga dimensi keadilan
organisasi (distributif, prosedural dan interaksional) saling berkaitkan
dengan kepercayaan organisasi dan salah satunya (keadilan interaksional)
berkaitan dengan kepercayaan supervisor. Selain itu ketiga dimensi
keadilan organisasi juga berkaitkan dengan perilaku yang berhubungan
dengan kinerja dan sikap karyawan (kinerja, kepuasan kerja, keinginan
berpindah dan komitmen organisasi). Salah satu implikasi utama model ini
adalah OMB yang didefinisikan sebagai perilaku opsional yang dibedakan
antara individually-directed (OMBI) misalnya membantu untuk
mengarahkan karyawan baru dan organizationally directed (OMBO)
misalnya membuat saran inovatif untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Konsep Kepercayaan Organisasional

 


Organisasi perlu kemampuan mengembangkan hubungan
berdasarkan kepercayaan untuk dapat sukses dalam dunia bisnis yang
kompetitif sekarang ini. Tingkat kepercayaan yang tinggi dalam
organisasi akan mengurangi perselisihan antara karyawan, meningkatkan
hubungan antara individu dalam memotivasi semangat kerja, mengurangi
absensi dan stres, serta menciptakan lingkungan yang mendorong inovasi
kerja (Farahbod et al., 2013). Kepercayaan adalah keinginan dari satu
pihak untuk dihargai oleh pihak lain yang melibatkan ketidakjelasan dan
resiko didalamnya (Mishra, 1996; Mayer et al., 1995). Saunders dan
Thornhill (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai keadaan psikologis
yang terdiri dari intensi untuk menerima penghargaan berdasarkan
pengharapan positif dari intensi atau tingkah laku lainnya. Struktur dari
kepercayaan dapat dibedakan berdasarkan rasionalitas (kepercayaan
kognitif) atau emosi (kepercayaan afektif). Menurut Sinclair (1993)
kepercayaan kognitif direfleksikan dalam keyakinan atau pengharapan
trustee yang nyata, memiliki integritas dan dapat diramalkan, akan
mengatakan yang sebenarnya, dan akan bertingkah laku yang adil atau
sopan. Sedangkan kepercayaan afektif berdasarkan konteks emosi seperti
persahabatan, perhatian, atau keaslian mengenai perhatiannya terhadap
kesejahteraan dari pihak lain. Didalam suatu hubungan pertukaran
(exchange) antara dua pihak, salah satu pihak berada dalam posisi 
tergantung (vulnerable) terhadap pihak yang lain. Pihak yang tergantung
disebut trustor, dan pihak lain yang menjadi tempat bergantung dan
dipercaya disebut trustee. Pihak yang dipercaya (trustee) dituntut untuk
dapat bersikap dan berperilaku sesuai harapan pihak yang mempercayai
(trustor), karena trustor dalam posisi bergantung (vulnerable) pada
trustee. Mayer et al., (1995) memberikan pengertian kepercayaan sebagai
kebersediaan suatu pihak (trustor) pasrah pada tindakan pihak lain
(trustee) dengan harapan trustee akan melakukan tindakan penting bagi
trustor tanpa menghiraukan kemampuan mengontrol atau memonitor
trustor. Aryee et al., (2002) menegaskan bahwa membangun kepercayaan
dalam organisasi adalah komponen kunci untuk mengembangkan
hubungan pertukaran sosial

Determinan Keadilan Organisasional

 


Berdasarkan studi Beugre (1998) terdapat empat jenis keadilan
yang telah diakui dalam lingkungan kerja yaitu keadilan distributif,
keadilan prosedural, keadilan interaksional, dan keadilan sistematis.
Ditegaskan kembali dalam penelitian Bies dan Moag (1986) yang
mengemukakan bahwa keadilan organisasi dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan kewajaran imbalan organisasi (distributif
keadilan), interaksi dengan orang lain dalam organisasi (keadilan
interaksional), prosedur organisasi formal digunakan (keadilan
prosedural), dan organisasi sebagai sistem (keadilan sistemik).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Colquitt et al.,
(2001) menyebutkan bahwa keadilan organisasi terdiri dari tiga
unsur, yaitu keadilan distributive, keadilan interaksional dan
keadilan procedural. Meskipun tiga bentuk keadilan organisasi
berhubungan satu sama lain, namun menunjukkan bahwa yaitu
keadilan distributive, keadilan interaksional dan keadilan
procedural berhubungan secara independen terhadap sikap kerja
karyawan. Keadilan distributive mengacu kepada perasaan adil
yang diterima terhadap alokasi sumberdaya dari organisasi,
termasuk di dalamnya adalah penilaian yang dibuat oleh para
karyawan. Saat para karyawan merasa mereka telah diperlakukan
secara adil dalam alokasi penghargaan (keadilan distributif), dapat
memberikan suaranya dalam proses evaluasi (keadilan prosedural)
dan merasa bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang adil dari
manajemen (keadilan interaksional), tingkat kepercayaan akan
berkembang antara atasan dengan bawahan yang pada akhirnya
menghasilkan hasil yang positif (Colquitt et al., 2001).
Kajian keadilan memfokuskan diri pada perasaan dan
perilaku orang dalam interaksi sosial yang berasal dari penilaianpenilaian keadilan atas hasil yang mereka peroleh ketika
bertransaksi dengan pihak lain dan pada awal perkembangan teori
dan penelitian keadilan organisasional, lebih fokus pada keadilan
distributif. Fokus dari keadilan distributif adalah persepsi keadilan
ditinjau dari hasil dan alokasi sumber daya yang dimiliki
organisasi, dengan kata lain konsep keadilan distributif
memberikan landasan kerangka analisis yang dapat dijadikan
acuan dalam memahami persepsi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan berbagai tipe alokasi dan hasil (outcome) organisasi seperti
dalam proses rekruitmen dan seleksi, penilaian kinerja, manajemen
konflik, perampingan (downsizing) dan penghentian kerja
(Cropanzano dan Greenberg, 1997; Folger dan Konovsky 1989;
Colquitt, 2001)

Pengertian Keadilan Organisasi

 


Persepsi keadilan terkait alokasi sumber daya organisasi dan hasilnya
sebagian besar bersifat reaktif (Greenberg, 1986). Homans (1961)
memandang keadilan sebagai sebuah situasi dimana hasil dari pertukaran
sosial bersifat proporsional dengan biaya yang telah diinvestasikan.
Sejarah keadilan organisasional berawal dari teori keadilan (Adams,
1965). Teori ini menyatakan bahwa orang membandingkan rasio antara hasil
dari pekerjaan yang mereka lakukan, misalnya imbalan dan promosi, dengan
input yang mereka berikan dibandingkan rasio yang sama dari orang lain.
Teori ini dikenal sebagai teori social reference group. Teori ini dipelopori
oleh Zalemik (1958) dalam Beugre (1998) dan dikembangkan oleh Adams
(1963) dalam Beugre (1998). Teori ini sering disebut teori keadilan dengan
memfokuskan pada perbandingan relatif antara input dan hasil dari individu
lainnya. Jika tingkat rasio perbandingan seseorang menunjukan
keseimbangan dengan rasio orang lain, maka ia akan merasa puas.
Sebaliknya jika terdapat adanya ketidakadilan, orang akan merasa tidak
puas, prinsip teori ini adalah seseorang akan merasa puas atau tidak puas
tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity). Perasaan adil atau
tidak adil diperoleh dengan cara membandingkan apa yang diperoleh dirinya
dengan orang lain yang memiliki situasi pekerjaan yang setara. Terdapat
beberapa elemen dari teori Equity Adams yaitu (Beugre, 1998) :

  1. Input adalah segala sesuatu yang bekerja, yang dirasakan karyawan
    sebagai sumbangan terhadap pekerjaan.
  2. Outcome adalah segala sesuatu yang berharga, yang dirasakan karyawan
    sebagai “hasil” dari pekerjaannya. Misalnya : upah, status simbol,
    kesempatan untuk berprestasi.
  3. Comparison person adalah kepada orang lain dengan siapa karyawan
    membandingkan rasio input-outcome yang diperoleh. Comparison
    person dapat merupakan seseorang ditempat kerja yang sama atau lain,
    tetapi dapat pula dirinya diwaktu lampau. Menurut teori equity,
    seseorang akan membandingkan rasio input outcome yang diperolehnya
    dengan rasio input outcome yang diperoleh orang lain
    Beugre (1998) menyatakan bahwa perasaan ketidakadilan muncul
    ketika pada saat diperbandingkan dengan yang lain, perbandingan hubungan
    antara input dan output dari suatu pertukaran dianggap tidak proporsional
    Beugre (1998) selanjutnya menjelaskan bahwa teori keadilan Adams
    dilengkapi dengan riset-riset lanjutan yang terkait dengan alokasi imbalan,
    merujuk pada konsep yang dikenal sekarang sebagai keadilan distributif.
    Beugre (1998) mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan jumlah
    dan penghargaan. yang dirasakan diantara individu-individu. Niehoff dan
    Moorman. (1993) menyebutnya sebagai keadilan imbalan yang didefinisikan
    sebagai penilaian yang dibuat orang terkait imbalan yang diterimanya
    dibanding imbalan yang diterima orang lain yang menjadi acuannya.

Pengaruh Keadilan Interaksional terhadap Kinerja Karyawan

 


Persepsi keadilan interaksional mencerminkan perasaan pegawai mengenai apakah
manajer peka terhadap masalah mereka dan memperlakukan mereka dengan sopan
dan penuh hormat (Jackson, Schuler, & Wemer, 2010). Keadilan interaksional
merupakan kunci terbentuknya motivasi kerja dan komitmen terhadap organisasi.
Keadilan interaksional mengacu pada sejauh mana suatu otoritas yang diberikan
terhadap karyawan mampu dikomunikasikan dengan baik. Secara umum keadilan
interaksional merupakan sebuah aspek keadilan terkait interaksi baik secara
informasi maupun antar personal. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi
antara kepercayaan seorang bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang
nampak dalam lingkungan kerja sehari-hari (Bass, 2003). Keadilan interaksional
yang tinggi cenderung meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi.
Ketika karyawan merasa diperlakukan secara adil dan dihargai oleh atasan atau
pihak lain, mereka cenderung lebih termotivasi dan berkomitmen untuk
berkontribusi secara maksimal pada organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh (Irpan et al., 2022) menghasilkan bahwa terdapat pengaruh antara keadilan
interaksional terhadap kinerja karyawan.

Pengaruh Keadilan Prosedural terhadap Kinerja Karyawan

 


Keadilan prosedural adalah persepsi karyawan tentang keadilan atas proses yang
digunakan untuk mendistribusikan reward (Mattenson et al., 2014). Keadilan
prosedural adalah keadilan organisasi yang berhubungan dengan prosedur
pengambilan keputusan oleh organisasi yang ditujukan kepada karyawannya.
Keadilan prosedural merupakan sebuah persepsi keadilan terhadap prosedur yang
digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota organisasi merasa
terlibat di dalamnya.
Dengan adanya keadilan prosedural dapat meningkatkan kinerja para karyawan.
Agar karyawan menganggap adil sebuah proses, mereka harus merasa bahwa
mereka mempunyai kendali atas hasil dan bahwa mereka diberi penjelasan yang
memadai tentang alasan munculnya hasil tersebut. Dengan merasa terlibatnya para
karyawan dalam pembuatan prosedur tersebut sehingga perilaku para karyawan
akan turut ikut serta dalam aktivitas-aktivitas serta untuk mengikuti aturan
perusahaan sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kinerja mereka.

Pengaruh Keadilan Distributif terhadap Kinerja Karyawan

 


Keadilan distributif berfokus pada keadilan atas hasil, seperti gaji dan pengakuan
yang karyawan terima (Tjahyanti & Puspasari, 2017). Keadilan distributif
merupakan keadilan yang berasal dari hasil-hasil (outcomes) yang diterima
seseorang. Keadilan distributif menurut karyawan jika hasil yang mereka terima
sama jika dibandingkan dengan hasil yang diterima orang lain. Keadilan ini
menunjuk pada keadilan yang diterima karyawan dalam hasil.
Keadilan distributif pada dasarnya dapat tercapai apabila hasil/penerimaan dan
masukan antara dua orang/dua karyawan adalah sebanding. Apabila dari
perbandingan proporsi yang diterima sebanding atau lebih besar, maka ada
kemungkinan dikatakan bahwa hal itu adil, dan ini berdampak pada hasil kerja
mereka. Namun apabila dari perbandingan proporsi yang diterimanya lebih kecil
dibanding yang lain, maka ada kemungkinan bahwa hal itu dikatakan tidak adil
sehingga hal inipun akan berdampak pada hasil kerja mereka.
Keadilan distributif adalah keadilan yang menyangkut alokasi keluaran (outcomes)
dan reward pada anggota organisasi. Karyawan menginvestasikan sesuatu kedalam
organisasi (misalnya: usaha, keahlian dan kesetiaan) dan organisasi memberikan
penghargaan kepada karyawan atas investasi tersebut. Para karyawan membentuk
persepsi yang berkaitan dengan skema pendistribusian apakah penghargaan itu adil
atau tidak. Perhatian mengenai keadilan distributif dirasakan adil dari penempatan
hasil-hasil atau pemberian penghargaan kepada para anggota organisasi.

Kinerja Karyawan

 


Menurut (Moeheriono, 2012) Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung
jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
(Bernardin, John, & Russel, 1993) menjelaskan bahwa kinerja adalah catatan
outcome yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu
periode waktu tertentu. Dari penjelasan di atas, dipahami bahwa kinerja merupakan
hasil kerja atau prestasi yang dicapai oleh seroang karyawan dalam menjalankan
tugas sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Apabila seorang karyawan
memiliki tingkat kinerja yang tinggi maka karyawan tersebut dapat membantu
tercapainya tujuan perusahaan tersebut.
Menurut (Robbins S. P., 2006) kinerja merupakan pengukuran terhadap hasil kerja
yang diharapkan berupa sesuatu yang optimal. Kinerja karyawan adalah perilaku
nyata yang ditampilkan oleh setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan
oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Menurut (Robbins, 2006) dalam (Siagian, 2018) menjelaskan bahwa kinerja
karyawan terdiri dari 5 indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Kualitas
    (Goetsch dan Davis, 2005) menyatakan bahwa kualitas merupakan suatu
    kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan
    lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan. Kualitas
    dalam kinerja karyawan merupakan pengukuran kualitas kinerja dilihat dari
    persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta
    kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
    Kualitas akan terpenuhi apabila seorang karyawan mampu menyelesaikan
    tugas yang diberikan serta mencapai target lebih dari yang diharapkan.
  2. Kuantitas
    (Wungu dan Brotoharsojo, 2003) menjelaskan bahwa kuantitas adalah segala
    macam bentuk satuan ukuran yang berhubungan dengan jumlah hasil kerja
    yang dapat dinyatakan ukuran angka atau padanan angka lainnya. Kuantitas
    kinerja karyawan merupakan jumlah yang dihasilkan atau dinyatakan dalam
    istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
    Kuantitas akan terpenuhi apabila seorang karyawan mampu menunjukkan
    jumlah yang dihasilkan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus
    aktivitas yang diselesaikan.
  3. Ketepatan waktu
    Ketepatan waktu didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk merespons
    dalam waktu yang ditentukan (Cothier & Levis, 1986). Dalam kinerja
    karyawan, ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas yang diselesaikan pada
    awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output
    serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain. Ketepatan
    waktu akan terpenuhi apabila karyawan mampu menunjukkan tingkat aktivitas
    yang diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut
    koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia
    untuk aktivitas lain.
  4. Efektivitas
    Efektivitas merupakan suatu keadaan di mana terjadi kesesuaian antara tujuan
    dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya dengan hasil yang dicapai
    (Erawati et al., 2017). Efektivitas akan terpenuhi apabila karyawan mampu
    memaksimalkan penggunaan sumber daya organisasi dengan maksud
    menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya dengan
    maksud untuk mencapai tujuan perusahaan.
  5. Kemandirian
    (Tingo & Mseti, 2022) menyatakan bahwa kemandirian dalam kinerja
    karyawan mengacu pada kemampuan karyawan untuk bekerja secara mandiri
    dengan mengambil inisiatif dan membuat keputusan yang tepat dalam
    pekerjaannya. Kemandirian akan terpenuhi apabila karyawan mempunyai
    komitmen kerja dengan instansi maupun lingkungan kerja serta tanggung
    jawab karyawan terhadap kantor.

Keadilan Interaksional

 


Menurut (Colquitt, 2001) Keadilan interaksional adalah penilaian kewajaran atas
perlakuan yang dilakukan oleh atasan kepada karyawan. Keadilan interaksional
akan terpenuhi apabila atasan dapat mengkomunikasikan prosedur dari perusahaan
tersebut dengan cara yang baik dan tepat, serta menggunakan informasi yang jujur
dan benar.
Keadilan interaksional mengacu pada bagaimana seseorang memperlakukan orang
lain. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan seorang
bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalam lingkungan kerja
sehari-hari.
Menurut (Colquitt, 2001) menjelaskan bahwa keadilan interaksional terdiri dari 9
indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Kesopanan
    (Tyler dan Blader, 2003) mengemukakan bahwa kesopanan dalam keadilan
    organisasional merujuk pada bagaimana para karyawan diperlakukan dengan
    cara yang baik, sopan, dan menghargai dalam organisasi. Kesopanan terpenuhi
    apabila karyawan merasakan adanya kesopanan yang ditunjukan atasan kepada
    bawahan.
  2. Bermartabat
    Bermartabat merujuk pada perlakuan yang adil dan hormat yang diberikan
    kepada karyawan tanpa memandang latar belakang, status, atau karakteristik
    pribadi mereka (Brink, 2013). Bermartabat akan terpenuhi apabila karyawan
    merasa mendapatkan perlakuan atasan dengan penuh martabat.
  3. Hormat
    (John Rawls, 1971) menyatakan bahwa hormat dalam keadilan organisasional
    diartikan sebagai sikap menghargai dan menghormati hak asasi manusia,
    termasuk hak-hak karyawan dalam organisasi. Hormat sebagai indikator
    keadilan interaksional akan terpenuhi apabila seorang karyawan merasakan
    sikap hormat yang ditunjukan atasan kepada bawahan.
  4. Kepantasan kata-kata
    (Greenberg dan Cohen, 2012) mengemukakan pendapat bahwa kepantasan
    kata-kata dalam keadilan organisasional adalah tentang penggunaan bahasa
    yang pantas dan sopan dalam komunikasi di tempat kerja. Hal ini meliputi
    penghindaran kata-kata kasar, menyela saat orang lain berbicara, atau
    menggunakan bahasa yang tidak pantas seperti merendahkan atau mengejek
    orang lain. Kepantasan kata-kata akan terpenuhi apabila karyawan merasakan
    kepantasan kata-kata dalam berkomunikasi yang digunakan oleh atasan.
  5. Kejujuran
    Kejujuran dalam keadilan organisasional mengacu pada prinsip di mana
    perusahaan harus berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan karyawan
    dan menghormati hak mereka untuk mengetahui informasi yang relevan
    dengan pekerjaan mereka (Tyler, 2013). Kejujuran akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa adanya kejujuran atasan dalam berkomunikasi.
  6. Pembenaran
    Greenberg (2010) menyatakan bahwa pembenaran pada keyakinan karyawan
    bahwa keputusan dan tindakan manajemen didasarkan pada prinsip-prinsip
    yang adil dan rasional, serta dapat diterima secara moral. Dalam konteks ini,
    pembenaran menunjukkan bahwa keputusan dan tindakan manajemen
    dianggap benar dan adil oleh karyawan. Pembenaran akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa setiap peraturan/prosedur perusahaan maupun keputusan
    perusahaan dijelaskan secara menyeluruh oleh atasan.
  7. Masuk akal
    Masuk akal dalam keadilan organisasional merujuk pada keadilan proses yang
    adil dan obyektif dalam pengambilan keputusan oleh manajemen atau atasan
    terhadap karyawan (Greenberg, 2010). Masuk akal sebagai indikator keadilan
    interaksional akan terpenuhi apabila karyawan merasa penjelasan yang
    diberikan oleh atasan merupakan penjelasan yang wajar dan masuk akal.
  8. Tepat waktu
    (Blanchard, 1982) menyatakan bahwa tepat waktu mengacu pada pentingnya
    komunikasi yang tepat waktu antara atasan dan bawahan dalam konteks
    bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Tepat waktu akan terpenuhi apabila
    karyawan merasa kesiapan atasan untuk berkomunikasi setiap waktu.
  9. Spesifik
    (Mayer dan Davis, 2019) menyatakan bahwa spesifik merujuk pada keyakinan
    bawahan bahwa kebutuhan dan kontribusinya diakui dan diperhatikan secara
    individual oleh atasan. Artinya, atasan memahami bahwa setiap bawahan
    memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda, dan memberikan
    dukungan dan pengakuan yang spesifik untuk setiap individu. Spesifik
    terpenuhi apabila karyawan merasa atasan mereka dapat menyesuaikan
    kebutuhan khusus komunikasi bawahannya.

Keadilan Distributif

 


Menurut (Colquitt, 2001) Keadilan Distributif adalah keadilan yang mengacu atas
hasil yang diterima atas kerja yang diberikan. Keadilan distributif adalah penilaian
karyawan mengenai keadilan atas hasil (outcome) yang diterima karyawan dari
organisasi (Greenberg, 1990; Niehoff and Moorman, 1993 dalam (Alotaibi &
Adam, 2001). Keadilan distributif terjadi ketika orang menerima apa yang mereka
pikirkan mereka layak menerimanya dari pekerjaan mereka. Keadilan distributif
adalah keadilan yang paling dinilai atas keadilan hasil yang diterima. Keadilan
distributif menyatakam bahwa karyawan seharusnya menerima upah/gaji yang
sesuai dengan pemasukan dan pengeluaran karyawan secara relatif dengan
perbandingan lainnya
Keadilan distributif mengacu pada kewajiban individual terhadap luara aktual yang
diterimanya seperti beban kerja, gaji, dan lain-lain (Gilliland, 1993; Cohen, 1987;
Adam, 1965; Homes, 1961). Adam (1965) menyatakan bahwa individual akan
menyesuaikan rasionya untuk mengubah kondisi tidak adil (inequity) menjadi
kondisi adil (equity). Lebih lanjut (Adam dan Freedman, 1976) dan (Greenberg,
1982) menjelaskan bahwa individual akan mengurangi kinerjanya (menurunkan
inputnya) pada saat mereka memperoleh outcomes yang kurang dari yang
seharusnya mereka terima dan mereka akan meningkatkan kinerjanya (menaikkan
inputnya) ketika mereka dibayar lebih tinggi dari yang seharusnya.
Keadilan distributif berkaitan dengan perlakuan adil bagi karyawan apabila ditinjau
dari gaji, beban kerja, durasi kerja, dan lainnya. Apabila atasan memberikan hasil
serta merancang pemberian gaji sesuai kinerja para karyawan, mereka akan puas
dan memiliki komitmen pada organisasi.
Menurut (Colquitt, 2001) menjelaskan bahwa keadilan distributif terdiri dari 4
indikator yaitu sebagai berikut:

  1. Persamaan
    (Martha Albertson, 2019) menyatakan persamaan merupakan respon yang
    tepat dalam banyak hal: satu individu, satu suara, dan upah yang sama untuk
    pekerjaan yang setara. Persamaan terpenuhi apabila adanya situasi ketika hasil
    (gaji, bonus, reward) karyawan seimbang dengan apa yang karyawan tersebut
    kerjakan.
  2. Kelayakan
    Kelayakan atau kemampuan seseorang untuk mencapai tujuannya dalam
    hidupnya sangat penting untuk mencapai keadilan dalam masyarakat (John,
    2006). Kelayakan terpenuhi apabila perusahaan memberikan imbalan yang
    sesuai dengan penyelesaian pekerjaan karyawan.
  3. Kontribusi
    (Gary, 2013) menyatakan bahwa perusahaan perlu menciptakan lingkungan
    kerja yang mendukung kontribusi karyawan untuk terus meningkatkan kinerja
    dan kontribusinya. Kontribusi terpenuhi apabila karyawan merasa kontribusi
    mereka dihargai oleh perusahaan dan terjadi kesesuaian antara imbalan dengan
    kontribusi yang diberikan pada perusahaan.
  4. Kinerja
    Kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan dalam
    konteks lingkungan kerja dan tujuan organisasi (Zainal et al, 1982). Indikator
    kinerja terpenuhi apabila seorang karyawan merasa adanya kesesuian antara
    kinerja yang dihasilkan dengan imbalan yang di terima. Hasil pekerjaan yang
    karyawan telah lakukan sepadan dengan kinerja karyawan tersebut.

Keadilan

 


Menurut kamus, keadilan (fairness) merupakan suatu kondisi kebenaran ideal
secara moral mengenai sesuatu hal baik menyangkut benda ataupun manusia.
Keadilan dapat diartikan sebagai persepsi individual atau kelompok tentang
kewajaran perilaku yang mereka terima dari suatu organisasi atau perusahaan
(Wahyuni & Hartono, 2019). Keadilan merupakan nilai yang sangat mendasar bagi
setiap tindakan suatu organisasi atau perusahaan. Keadilan organisasional dapat
didefinisikan sebagai persepsi individual tentang keadilan yang mereka terima di
tempat kerja. Keadilan tersebut berdasarkan hasil (outcome) yang mereka terima
jika dibandingkan dengan individual lain. Robbins dan Judge (2008)
mendefinisikan bahwa keadilan organisasional merupakan pemusatan perhatian
terhadap bagaimana para pekerja merasa bahwa para pemilik kebijakan dan
pengambil keputusan ditempat kerja dalam memperlakukan karyawan.
Keadilan merupakan keyakinan bahwa kita diperlakukan dengan adil dalam
hubungan dengan orang lain sedangkan ketidakadilan sebagai keyakinan bahwa
kita diperlakukan secara tidak adil dibandingkan dengan orang lain (Moorhead &
Griffin, 2013). Karyawan membentuk persepsi keadilan dengan membandingkan
kondisi mereka dengan situasi karyawan lain. Jika karyawan mempersepsikan
bahwa rasio dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka sama dengan rasio
karyawan lain maka mereka akan merasakan adanya keadilan. Ketidakadilan
muncul ketika rasio tersebut tidak sama, rasio input dan hasil seorang karyawan
lebih besar atau kurang dari milik orang lain.
Seseorang akan merasa puas dan tidak puas, tergantung apakah ia merasakan
adanya keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas situasi, diperoleh
seseorang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Keadilan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Keadilan
organisasi merupakan keseluruhan persepsi tentang apa itu keadilan ditempat kerja,
yang terdiri dari keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan
interaksional.

Teori Keadilan (Equity Theory)

 


Menurut (Moorhead & Griffin, 2013) Keadilan organisasional merujuk pada
persepsi orang-orang dalam organisasi mengenai keadilan. Sedangkan menurut
(Robbins & Judge, 2008) keadilan organisasi merupakan persepsi keseluruhan
mengenai apa yang adil di tempat kerja. Keadilan organisasional digunakan untuk
mengkategorikan dan menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap
mereka sendiri dan orang lain dalam organisasi, dan hal itu dihubungkan dengan
pemahaman mereka dalam menyatukan persepsi secara subjektif yang dihasilkan
dari hasil keputusan yang diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan
untuk menuju pada keputusan-keputusan ini serta implementasinya.
Teori keadilan adalah teori yang mengemukakan bahwa individu akan
mengevaluasi keadilan atau ketidakadilan dalam situasi berdasarkan perbandingan
antara kontribusinya dengan imbalannya dengan orang lain di sekitarnya. Dalam
konteks organisasi, teori keadilan dapat diterapkan pada penilaian karyawan
tentang apa yang mereka terima. Jika karyawan merasa bahwa penghargaan yang
mereka terima sebanding dengan kontribusi dan usaha yang telah mereka lakukan,
maka mereka akan cenderung merasa puas dan termotivasi untuk terus berkinerja
dengan baik. Namun, jika mereka merasa bahwa penghargaan yang mereka terima
tidak sebanding dengan kontribusi dan usaha yang mereka lakukan, maka mereka
cenderung merasa tidak puas dan kurang termotivasi dalam bekerja. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan karyawan, perusahaan
dapat menciptakan lingkungan kerja yang adil dan beretika. Hal ini dapat
meningkatkan kinerja mereka secara keseluruhan.
Teori keadilan menyatakan bahwa ketika individu merasakan keadilan dalam
pembagian sumber daya, proses pengambilan keputusan, dan interaksi dengan
orang lain, mereka cenderung merasa puas, termotivasi, dan berkinerja lebih baik.
Sebaliknya, jika mereka merasakan ketidakadilan, hal ini dapat menyebabkan
ketidakpuasan, kurang motivasi, dan penurunan kinerja. Oleh karena itu,
manajemen perlu memastikan adanya keadilan dalam organisasi untuk
mempengaruhi kinerja karyawan secara positif.
Keadilan sosial meneliti persepsi mengenai keputusan organisasional. Metode yang
digunakan untuk menelitinya dan meneliti sikap dari mereka yang dipengaruhi
melalui tiga teori yang diungkapkan oleh (Saunders & Thornhill, 2003). Teori
pertama berhubungan dengan persepsi pekerja mengenai hasil disebut keadilan
distributif. Teori kedua yaitu keadilan prosedural yang berfokus persepsi pekerja
tentang keadilan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan, dan teori
ketiga adalah keadilan interaksional yang menekankan pada persepsi tentang
keadilan perlakuan interpersonal yang diterima pekerja.

Hubungan Pengembangan karir, Stress Kerja dan Keadilan Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja

 


Pada dasarnya seorang karyawan bekerja adalah untuk mendapatkan
imbalan dan pengakuan terhadap karyawan tersebut sehingga karyawan merasa
puas dalam bekerja. Ketika seorang karyawan merasa puas atas pekerjaan yang iya
kerjakan, disitu akan timbul rasa dihargai pada dirinya. Ada beberapa hal yang
berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan, yaitu pengembangan karir, stress
kerja karyawan dan keadilan organisasi. Ketiga hal tersebut harus sangat
diperhatikan oleh perusahaan, karena jika tidak diperhatikan akan menjadi
bumerang bagi perusahaan. Salah satu contoh ketikan pengembangan karir tidak
dihadirkan pada perusahaan, seorang karyawan akan kesulitan untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul dan dihadapi olehnya dikemudian
hari. Karena manfaat pengembangan karir adalah salah satunya untuk
mengembangkan karyawan dalam kemampuan, keterampilan dan skill yang ada
pada dirinya. Sama halnya stress kerja dan keadilan organisasi kedua hal ini juga
harus diperhatikan betul-betul oleh perusahaan.

Hubungan Keadilan Organisasi terhadap Kepuasan Karyawan

 


Selain hal dari dua faktor sebelumnya yang harus diperhatikan oleh
perusahaan adalah keadilan organisasi, yang mana keadilan ini akan sangat
berpengaruh terhadap perilaku seorang karyawan terhadap perusahaannya. Jika
keadilan organisasi ini tidak diberikan perusahaan terhadap karyawan makan
bisanya karyawan akan bertindak melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh
perusahaan atau bertindak negatif. Salah satu contoh ketika seorang karyawan tidak
diberikan keadilan maka karyawan itu akan bertindak korupsi, mengambil barang
milik perusahaan seperti property atau inventaris perusahaan. Maka dari itu
keadilan organisasi sangat berkaitan dengan kepuasan kerja karyawan, karena
keadilan adalah hal yang mutlak dimiliki oleh setiap individu.

Hubungan Stress Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

 


Stress kerja merupakan faktor yang menghambat seorang karyawan dalam
memberikan atau mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk perusahaan, dan
stress kerja menjadi pemicu utama pada karyawan dalam hal psikis dirinya sehingga
perusahaan harus memperhatikan kondisi setiap karyawannya. Stress kerja selalu
di picu oleh lingkungan internal maupun eksterna dalam diri setiap karyawan.
Sebagai contoh faktor internal pada diri karyawan seperti keluarga, finansial, dan
lain-lain. Sedangkan faktor eksternal dari diri karyawan adalah lingkungan
pekerjaan, dan lain-lain. Lingkungan lingkungan eksternal inilah yang harus
diperhatikan oleh sebuah perusahaan, yang dimana akan imbas pada kinerja dan
kepuasan seorang karyawan

Hubungan Pengembangan Karir Terhadap Kepuasan Kerja

 


Dalam suatu organisasi pengembangan karir adalah hal yang paling penting
dan hal yang paling dibutuhkan dikarenakan pengembangan karir berorientasi pada
tantangan dimasa yang akan datang dalam menghadapi masalah-masalah yang
semakin kompleks. Pengembangan karir memiliki eksistensi di masa depan
tergantung dari sumber daya manusianya karena sumber daya manusia harus
dilakukan pembinaan karir pada karyawan yang dilaksanakan secara berencana dan
berkelanjutan di setiap tahunnya. Jika pengembangan karir dilakukan setiap
tahunnya maka sumber daya manusia akan terus berkembang dan siap menghadapi
tantangan yang dihadapi. Dalam suatu organisasi atau perusahaan pengembangan
karir juga berpengaruh terhadap terciptanya kepuasan kerja yang dirasakan
karyawan, biasanya karyawan akan merasa dihargai jika ada promosi jabatan,
pengembangan terhadap diri karyawan tersebut. Maka dari itu pengembangan karir
sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
Menurut penelitian Bahri & Nisa (2017) menyatakan bahwa variabel
pengembangan karir berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal serupa juga
dikemukakan oleh penelitian yang dilakukan Paramita et al., (2017) dan Waspodo
et al., (2017) bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pengembangan
karir terhadap kepuasan kerja.

Indikator-indikator Kepuasana Kerja

 


Kepuasan kerja yaitu sikap emosional yang menyenangkan dan sangat
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan
prestasi kerja. Menurut Rivai (2009: 860) dalam Bahri & Chairatun Nisa, (2017)
indikator-indikator kepuasan kerja adalah:

  1. Isi pekerjaan
    Penampilan tugas pekerjaan yang actual dan sebagai control terhadap
    pekerjaan. Karywan akan merasa puas bila tugas kerja dianggap menarik dan
    memberikan kesempatan belajar dan menerima tanggung jawab.
  2. Supervisi
    Adanya perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan,
    sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting
    dari organisasi kerja akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Sebaliknya jika
    supervisi yang buruk dapat meningkatkan turn over dan absensi karyawan.
  3. Organisasi dan manajemen
    Mampu memberikan situasi kerja yang stabil, untuk memberikan kepuasan
    kerja kepada karyawan.
  4. Kesempatan untuk maju
    Adanya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan
    kemampuan selama bekerja akan memberikan kepuasan pada karyawan terhadap
    pekerjaannya.
  5. Gaji dan insentif
    Jumlah bayaran yang diterima oleh seorang karyawansebagai akibat dari
    pelaksanaan kerja, apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil.
  6. Rekan kerja
    Relasi atau hubungan yang saling mendukung dan saling memperhatikan
    antara rekan kerja yang akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan
    hangat sehingga menimbulkan kepuasan kerja karyawan yang baik.
  7. Kondisi pekerjaan
    Kondisi ketersedian sarana dan prasarana kerja yang memadai adalah hal
    yang sangat penting yang sesuai sifat yang seharusnya diselesaikan.

Ciri-ciri intrinsik pekerjaan

 


Menurut Locke dalam Munandar (2014: 357) ciri-ciri intrinsik dari
pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah
pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan,
dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri intrinsik menurut
Locke yaitu tingkat tantangan mental. Konsep dari tantangan yang sesuai
merupakan konsep yang penting. Pekerjaan yang menuntuk kecakapan yang lebih
tinggi dari pada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang tidak dapat
dipenuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya muncul
ketidakpuasan kerja. Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan dapat diperoleh hasil
tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja
(Munandar, 2014: 357), ciri-ciri tersebut adalah satu, keragaman keterampilan.
Dalam pekerjaan keragaman keterampilan sangatlah diperlukan, makin banyak
keterampilan yang dimiliki akan makin kurang membosankan pekerjaan. Kedua,
jati diri tugas (task identity). Dimana tugas menjadi sebuah pekerjaan yang lebih
besar dan berarti. Ketiga, tugas yang penting (task signifikan). Rasa pentingnya
suatu tugas yang diemban bagi seseorang atau karyawan maka akan cenderung
mempunyai kepuasan kerja. keempat, otonomi. Pekerjaan yang memberikan
kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil kepuasan akan cepat
menimbulkan kepuasan kerja. Kelima, pemberian balikpada pekerjaan membantu
meningkatkan tingkat kepuasan kerja

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Keith Davis dalam Mangkunegara (2017: 117) mengemukakan bahwa “Job
satisfication is the favorableness or unfavorableness with employees view their
work”. Kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang
dialami pegawai dalam bekerja. Wexley dan Yuki dalam Mangkunegara (2017:
117) mendefinisikan kepuasan kerja “Is the way an employee feels about his or her
job”. Adalah cara pegawai merasakan didirnya atau pekerjaannya. Berdasarkan
pendapat tersebut diatas, kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang mendorong
atau tidaknya diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya atau pun
dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan
aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, mutu pengawasan, dan lain-lain. Sedangkan
perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan,
kemampuan, pendidikan.
Menurut Howell dan Dipboye dalam Munandar, (2014: 350) memandang
kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya
tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Sebuah perasaan positif
terhadap pekerjaan yang dihasilkan dari evaluasi atas karakteristik-karakteristiknya
(Robbins & Judge, 2015: 49). Jadi dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan
sikap tenaga kerja terhadap pekerjaan yang dikerjakannya.
Ada beberapa variable yang berhubungan dengan kepuasan kerja seperti
umur, tingkat absensi, tingkat pekerjaan, ukuran organisasi perusahaan, dan
turnover. Hal ini juga sependapat dengan yang dikemukakan oleh Keith Davis
dalam Mangkunegara (2017: 117) bahwa “job satisfaction is related to a number
of major employee variables, such as turnover, absences, age, occupation, and size
of the organization in which an employee works”.
a. Turnover
Kepuasan kerja sering dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya lebih tinggi turnover-nya.
b. Tingkat ketidak hadiran kerja (absen)
Pegawai-pegawai yang tingkat kepuasannya kurang, cenderung tingkat
absen atau ketidak hadirannya tinggi. Terkadang pegawai kurang puas sering absen
atau tidak hadirnya dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.
c. Umur
Terkadang ada kecendrungan pegawai yang tua merasa lebih puas dari pada
pegawai berumur relatif muda, hal ini diasumsikan bahwa pegawai tua lebih
berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan
pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia
kerjanya, sehingga apabila antara harapanya dengan realita kerja terdapat
kesenjangan yang dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
d. Tingkat pekerjaan
Dalam tingkat pekerjaan biasanya pegawai yang menduduki posisi yang
lebih tinggi cenderung lebih puas dari pada pegawai yang memiliki tingkatan posisi
pekerjaan lebih rendah. Pegawai yang tingkat posisi pekerjaan lebih tinggi
menunjukan kemampuan kerja lebih baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide
serta kreatif dalam bekerja.
e. Ukuran organisasi perusahaan
Ukuran perusahaan dapat mengurangi kepuasan kerja pegawai, hal ini
dikarenakan oleh besar kecilnya suatu perusahaan berhubungan dengan koordinasi,
komunikasi, dan partisipasi pegawai.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada
pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya (Mangkunegara, 2017: 120).
a. Faktor pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, penhgalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi,
cara berpikir, persepsi dan sikap kerja.
b. Faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),
kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi sosial, dan hubungan kerja

Indikator-indikator Keadilan Organisasi

 


Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi adalah presepsi
keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas keadilan
distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Menurut Dyna dan Graham
dalam Kristanto (2015) keadilan organisasi dapat diketahui dengan mengukur tiga
hal yaitu:

  1. Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan jika memberi gaji sesuai
    dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan. Apabila perbandinganhasil kerja
    yang diterima dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan tidak sebanding,
    maka karyawan akan merasa bahwa tidak terjadi keadilan.
  2. Keadilan dalam proses pengambilan keputusan.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan apabila ketika pengambilan
    keputusan, karyawan diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan
    pandangannya. Selain itu setelah pengambilan keputusan tersebut dinilai sama pada
    tiap karyawan, maka karyawan akan merasakan adil pada proses pengambilan
    keputusan.
  3. Keadilan dalam presepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
    Organisasi akan dikatakan adil oleh karyawan apabila hubungan antar
    personal yaitu atasan dengan bawahan baik, seperti mendapatkan perlakuan yang
    baik dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang didapat
    dari atasan juga mempengaruhi presepsi keadilan organisasi pada karyawan.

Pengertian Keadalian Organisasi

 


Pada masa sekarang keadilan adalah hal yang mutlak dimiliki,
permasalahan ketidakadilan mengakibatkan hal yang sangat berpengaruh pada diri
seorang karyawan yang akan menimbulkan perilaku yang menyimpang ditempat
kerja. Tidak jarang karyawan melakukan tindakan menyimpang terhadap kebijakan
perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah karyawan diperlakukan tidak adil oleh
perusahaan (Sjafri dalam Maspaitella et al., 2018). Keadilan hanya tercipta ketika
apa yang dikerjakan telah selesai dengan perjanjian yang telah dibuat atau
disepakati sebelumnya ( Thomas Huddes dalam Maspaitella et al., 2018). Menurut
Sjafri dalam Maspaitella et al., (2018) akibat selanjutnya yang terjadi, motivasi
kerja karyawan semakin menurun dan dapat mengakibatkan kinerja karyawan juga
menurun. Tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan kinerja perusahaan.
Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi (organizational justice)
adalah presepsi keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas
keadilan distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Keadilan
distributif (distributive justice) adalah keadilan yang dirasakan, baik jumlah
maupun alokasi penghargaan diantara para individu. Keadilan prosedural
(procedural justice) adalah keadilan yang dirasakan pada proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi penghargaan. Keadilan informasional (informational
justice) adalah keadaan dimana pekerja diberikan penjelasan yang jujur dari setiap
keputusan. Keadilan interpersonal (interpersonal justice) adalah keadaan dimana
pekerja diperlakukan dengan rasa hormat dan bermartabat. Hasil penelitian
dibidang organizational justice menunjukan bahwa ketika para karyawan
diperlukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk
keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun (Sugiarti,
2005). Sebaliknya ketika keputusan organisasi atau manajerial dianggap tidak adil
maka karyawan akan merasa tidak puas dan menolak upaya-upaya perubahan untuk
perbaikan organisasi. Menurut Thibaut dan Walker (1975) penilaian seseorang
mengenai keadilan tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka terima sebagai
akibat keputusan tertentu, tetapi juga pada proses bagaimana keputusan tersebut
dibuat.