Wednesday, August 30, 2023

Agency Theory

 


Menurut Horne (1995) dalam Nurrohim (2008), menyatakan
agency theory merupakan sebuah teori yang menjabarkan adanya
pertentangan posisi antara pihak manajemen (sebagai agen) dengan
pihak pemegang saham (sebagai pemilik). Para pemegang saham
mempunyai keinginan supaya agen akan bertindak atas kepentingan
pemegang saham sehingga perusahaan dapat meningkat nilainya,
sekaligus akan memberikan keuntungan kepada pemegang saham.
Sedangkan menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Prabansari dan
Kusuma (2005), teori keagenan menggambarkan pihak manajemen
perusahaan merupakan agen dari pemegang saham. Pihak pemegang
saham bertindak sebagai pemilik perusahaan. Para pemegang saham
berharap pihak agen akan bertindak atas kepentingan pemegang saham
selaku pemilik perusahaan sehingga mendelegasikan wewenangnya
kepada agen. Agar dapat menjalankan fungsi manajemen dengan baik,
pihak manajemen harus diberikan pengawasan yang memadai secara
berkelanjutan. Pengawasan tersebut bisa dilakukan dengan cara-cara
seperti pemeriksaan laporan keuangan, pengikatan agen atau
pembatasan terhadap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen.
Kegiatan pengawasan tersebut akan memerlukan biaya yang biasanya
disebut biaya agensi. Biaya agensi (agency cost) merupakan biaya yang
muncul karena adanya pengawasan kepada pihak manajemen
perusahaanuntuk dapat meyakinkan pihak pemegang saham bahwa
pihak manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati sebelumnya.
Pada dasarnya agency theory membahas menganai adanya
hubungan keagenan antara prinsipal atau pemegang saham dan agen
atau pihak manajemen perusahaan. hubungan keagenan ini diartikan
sebagai adanya sebuah kontrak dimana prinsipal menyewa agen untuk
melakukan beberapa tugas untuk kepentingan prinsipal yaitu dengan
memberikan wewenang kepada agen untuk menjalankan sebuah
perusahaan. Tujuan utama dari agency theory yaitu untuk menjelaskan
bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat
mendesain kontrak yang tujuannya untuk meminimalkan cost sebagai
dampak dari adanya kondisi yang tidak pasti dan pihak yang
memperoleh informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain

 Trade-off Theory

 


Trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan
manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan
hutang (Putri, 2012). Menurut Nurrohim (2008) teori trade-off
merupakan suatu model struktur modal yang memiliki asumsi bahwa
struktur modal perusahaan merupakan perimbangan antara keuntungan
penggunaan hutang dengan biaya kesulitan keuangan (financial
distress) dan biaya keagenan (agency cost). Dalam teori ini perusahaan
yang tidak memiliki utang sama sekali dan perusahaan yang
menggunakan utang untuk membiayai seluruh investasinya adalah
buruk. Keputusan yang tepat dalam teori ini adalah perusahaan harus
memberikan keputusan yang moderat dengan mempertimbangkan
kedua instrumen pembiayaan. Hanafi (2004), menyatakan terdapat halhal yang membuat perusahaan tidak dapat menggunakan utang
sebanyak-banyaknya. Salah satu hal yang terpenting adalah dengan
semakin tingginya utang akan semakin tinggi pula kemungkinan
probabilitas kebangkrutan perusahaan. misalnya, dengan semakin
tingginya utang, semakin besar pula bunga yang harus dibayar dan
kemungkinan tidak membayar bunga yang tinggi akan semakin besar.
Dan pada akhirnya pemberi pinjaman dapat membangkrutkan
perusahan jika perusahaan tidak dapat membayar utang tersebut.
Trade-off theory menyatakan bahwa perusahaan yang
pendanaannya menggunakan sumber dana eksternalnya seperti utang
dapat melakukan penghematan pajak. Penggunaan hutang oleh
perusahaan ini hanya bisa dilakukan pada batas titik tertentu, apabila
pengguanaannya melampaui batas tersebut justru akan dapat
menurunkan nilai dari perusahaan. Sebenarnya tujuan dari trade-off
theory adalah untuk menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang
timbul sebagai akibat dari penggunaan utang. Menurut Riyanto (1995)
dalam Nurrohim (2008), struktur modal yang optimum adalah struktur
modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal rata-rata
(average cost of capital). Oleh sebab itu pihak manajemen dalam
menetapkan struktur modal seharusnya tidak hanya melihat dengan satu
patokan tetapi disesuaikan dengan keadaan perusahaan pada masa itu.
Biasanya para eksekutif keuangan dalam menetapkan struktur modal
yang optimum menentukan berapa persen penggunaan utang pada
rentan tertentu. Ada berapa persen batas minimal dan batas maksimal
dalam penggunaan utang tersebut dalam struktur modal.

Struktur Modal

 


Struktur modal berkaitan dengan sumber dana yang digunakan
perusahaan untuk kegiatan operasional perusahaan baik itu sumber dana
dari luar (eksternal) atau dari dalam (internal) perusahaan. Sumber dana
eksternal dapat berupa dapat berupa hutang atau saham dari investor.
Sedangkan sumber dan internal dapat berupa laba ditahan yang berasal dari
keuntungan operasional perusahaan. Setiap perusahaan dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya selalu berupaya untuk menjaga
keseimbangan finansialnya. Struktur modal berasosiasi dengan
profitabilitas. Struktur modal perusahaan merupakan komposisi antara
hutang dengan ekuitas.
Struktur modal adalah pembelanjaan permanen yang mencerminkan
pertimbangan atau perbandingan antara utang jangka panjang dengan modal
sendiri (Riyanto, 1995 dalam Liem et al., 2013). Struktur modal
menggambarkan suatu takaran penggunaan utang untuk mendanai investasi
suatu perusahaan. Dengan melihat struktur modal suatu perusahaan,
investor dapat mengetahui keseimbangan antara risiko dan return yang
didapat investor tersebut pada suatu perusahaan. Sedangkan menurut
Nuswandari (2013), struktur modal adalah bauran penggunaan dana yang
berasal dari ekuitas dan utang. Struktur modal pada suatu perusahaan bisa
dikatakan sebagai investasi perusahaan tersebut untuk memperoleh return
pada masa yang akan datang. Konsekuensinya yang harus ditanggung oleh
perusahaan apabila menggunakan utang sebagai sumber dananya maka
perusahaan harus menaati perjanjian utang tersebut. Dan apabila perusahaan
menggunakan sumber dana berupa penerbitan saham, maka konsekuensi
yang harus diterima oleh perusahaan adalah memberikan imbalan berupa
dividen kepada investor. Struktur modal harus disusun dan diperhitunkan
dengan cermat supaya stabilitas keuangan perusahaan terjamin dan tingkat
kelangsungan hidup perusahaan tinggi.
Dari beberapa pengertian mengenai struktur modal diatas dapat
disimpulkan bahwa struktur modal merupakan suatu unsur yang sangat
penting dalam suatu perusahaan yang menyangkut tentang sumber dana
yang diambil oleh perusahaan untuk dapat membiayai operasional
perusahaan. Konsep struktur modal juga menyangkut pengambilan
keputusan oleh perusahaan apakah akan menggunakan pendanaan eksternal
atau internal.

Pengaruh Assets Tangibility Terhadap Struktur Modal

 


Harjito (2011) mendefinisikan assets tangibility adalah variabel untuk
menentukan besar kecilnya masalah informasi asimetri, dimana hal tersebut
merupakan permasalahan utama dalam teori pecking order. Besarnya tangible
assets yang dimiliki perusahaan menunjukan besarnya aset yang digunakan
perusahaan untuk menghasilkan laba. Aset menunjukkan aktiva yang digunakan
untuk aktivitas operasional perusahaan. Semakin besar aset diharapkan semakin
besar hasil operasional yang dihasilkan perusahaan. Peningkatan aset yang diikuti
peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan dari pihak luar
terhadap perusahaan. Meningkatnya kepercayaan dari pihak luar (kreditur)
terhadap perusahaan, maka proporsi hutang akan semakin lebih besar daripada
modal sendiri
Berdasarkan ilutrasi tersebut, terdapat keterikatan antara assets tangible
dengan struktur modal perusahaan. Kepemilikan aset suatu perusahaan yang
besar, maka kemungkinan proporsi hutang juga lebih besar. Aset yang dimiliki
oleh perusahaan merupakan hal penting terkait jaminan dalam berhutang,
sehingga perusahaan dengan aset yang besar akan memperoleh banyak tawaran
hutang dari para kreditur (YAP S, 2016).

Pengaruh Investment Opportunity Set Terhadap Struktur Modal

 


Myers (1984) yang memandang bahwa nilai perusahaan sebagai sebuah
kombinasi aset (asset in place) dengan pilihan investasi (investment options) di
masa yang akan datang. Kumpulan kesempatan investasi (investment opportunity
set) adalah pilihan-pilihan investasi yang tersedia bagi individu atau perusahaan
yang dapat dilakukankan. Pilihan investasi dimasa mendatang terkait dengan
tingkat pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan perusahaan diharapkan akan
memberikan aspek yang positif bagi perusahaan seperti adanya suatu kesempatan
berinvestasi dimasa mendatang. Peluang pertumbuhan itu akan terlihat pada
kesempatan investasi yang diproksikan dengan berbagai kombinasi nilai
investment opportunity set. Perusahaan yang melakukan berbagai pilihan investasi
memberikan sinyal bahwa perusahaan tersebut sedang dalam masa tumbuh.
Kesempatan investasi yang dimiliki perusahaan mempengaruhi cara
pandang manajer, pemilik, investor dan kreditur tentang struktur modal dan nilai
perusahaan. Dengan demikian, kesempatan investasi memilik keterkaitan erat
dengan struktur modal. Tolak ukur suatu perusahaan itu tumbuh, berkembang
maupun mengalami kemajuan dapat dilihat dari segi struktur modal. Struktur
modal dapat digunakan sebagai gambaran nilai perusahaan (Udayani dan
Suaryana, 2013).

Pengaruh Profitabilitas Terhadap Struktur Modal

 


Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba,
dengan tingkat penjualan (profit margin), total aktiva yang dimiliki (return on total
asset), maupun modal sendiri atau modal saham (return on equity) (Sartono,
2001). Perusahaan yang memiliki tingkat pengembalian yang tinggi cenderung
menggunakan hutang yang relatif, karena tingkat profitabilitas yang tinggi
menyediakan sejumlah dana yang relatif besar. Sebaliknya, jika laba yang
dihasilkan perusahaan rendah, maka perusahaan cenderung menggunakan hutang
yang lebih besar.
Menurut Myers (1984) teori pecking order menyatakan bahwa perusahaan
dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat hutangnya rendah,
dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana
internal yang berlimpah. Perusahaan dengan tingkat keuntungan yang tinggi
mempunyai dana internal yang tinggi yang dapat digunakan untuk aktivitas
operasi perusahaan tersebut, sehingga hutangnya rendah.
Berdasarkan uraian di atas, profitabilitas memiliki relevansi untuk
digunakan dalam upaya mencapai struktur modal yang optimal dengan
berdasarkan pada pendanaan internal perusahaan. Profitabilitas dapat dicapai
ketika kegiatan operasional perusahaan bekerja secara maksimal dan menekan
biaya seefisien mungkin, sehingga struktur modal yang optimal dapat dicapai
tanpa membutuhkan pendanaan eksternal berupa hutang (Udayani dan Suaryana,
2013).

Assets Tangibility

 


Assets tangibility merupakan variabel untuk menentukan besar kecilnya
masalah informasi asimetri, dimana hal tersebut merupakan permasalahan utama
dalam teori pecking order (Harjito, 2011). Investor akan lebih mudah dalam
menilai perusahaan, ketika perusahaan memiliki nilai assets tangibility yang lebih
besar dibandingkan nilai assets intangibility perusahaan. Nilai assets tangibility
lebih stabil dibandingkan dengan assets intangibility, karena assets tangibility
tidak dipengaruhi oleh peluang investasi dan keadaan pasar.
Besarnya assets tangible akan mempengaruhi asimetri informasi yang
terjadi antara manajer dan investor. Semakin tinggi nilai assets tangible maka
permasalahan asimetri informasi menjadi rendah. Rendahnya asimetri informasi
yang terjadi menyebabkan perusahaan akan mengurangi penggunaan hutang.
Rendahnya asimetri informasi dan adanya jaminan berupa assets tangible akan
lebih meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan. Assets
tangible dapat dikaitkan dengan aset yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari
atau operasional perusahaan. Besarnya assets tangible yang dimiliki perusahaan
menunjukan besarnya aset yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan laba.
Assets tangible yang dimiliki perusahaan dapat mendorong kinerja perusahaan
untuk menghasilkan laba

Profitabilitas

 


Definisi profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba
dalam hubungannya dengan tingkat penjualan (profit margin), total aktiva yang
dimiliki (return on total asset), maupun modal sendiri atau modal saham (return on
equity) (Sartono, 2001). Profitabilitas merupakan kemampuan yang dicapai oleh
perusahaan dalam satu periode tertentu. Pada umumnya, perusahaan dengan
profitabilitas yang tinggi dapat menciptakan cash flows yang lebih besar, yang
berdampak pada besarnya laba ditahan perusahaan yang digunakan untuk
pembiayaan internal.
Sesuai dengan teori pecking order profitabilitas merupakan determinan
penting dalam menentukan struktur modal, menyebutkan bahwa pendanaan
internal digunakan apabila profitabilitas yang dimiliki perusahaan tinggi. Semakin
tinggi profitabilitas yang dimiliki perusahaan akan lebih banyak disediakan laba
ditahan, sehingga hutang yang digunakan dapat diminimalisir. Perusahaan yang
memiliki tingkat pengembalian yang tinggi, cenderung menggunakan hutang yang
relatif kecil. Karena tingkat profitabilitas yang tinggi menyediakan sejumlah dana
internal yang relatif besar yang diakumulasikan sebagai laba ditahan. Sebaliknya
jika laba yang dihasilkan perusahaan rendah, maka perusahaan cenderung
menggunakan hutang yang lebih besar karena dana internal yang dimiliki tidak
cukup untuk mendanai kegiatan perusahaan. Kemampuan menghasilkan laba bisa
berbeda untuk perusahaan dengan bisnis yang berbeda.
Dalam penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah return on
total asset (ROA). ROA merupakan metode untuk menghitung berapa banyak
laba bersih setelah pajak dihasilkan oleh total aset yang dimiliki perusahaan
(Husnan dan Pudjiastuti, 2015). Perhitungan profitabilitas dengan menggunakan ROA menunjukkan hasil yang paling tepat, karena mampu mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan pada masa lampau untuk kemudian diproyeksikan dimasa yang akan datang. Aset atau aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta perusahaan, yang diperoleh dari modal sendiri maupun dari modal asing yang telah diubah perusahaan menjadi aktiva-aktiva perusahaan yang digunakan untuk kelangsungan hidup perusahaan. Nilai ROA yang semakin mendekati 1 atau > 2%, berarti semakin baik profitabilitas perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba

Teori Signaling

 


Menurut Brigham dan Houston (2006), signal adalah petunjuk kepada
investor mengenai cara pandang manajemen terhadap prospek perusahaan. Teori
signaling sendiri merupakan suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan
yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang
prospek yang menguntungkan dengan mencoba menghindari penjualan saham dan
mengusahakan setiap modal baru. Termasuk penggunaan hutang yang melebihi
target struktur modal yang normal.
Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung
untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan
merupakan suatu syarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek
perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan
saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun.
Karena menerbitkan saham dapat mengndikasikan memberi isyarat negatif yang
kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan tersebut
menjanjikan.

Teori Pecking Order

 


Teori pecking order adalah teori struktur modal yang dirumuskan oleh
Myers dan Majluf 1984 yang dikenalkan pertama kali oleh Donaldson. Disebut
sebagai teori pecking order, karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan
akan menentukan hirarki sumber dana yang paling di sukai.
Brealy dan Myers dalam (Husnan dan Pudjiastuti, 2015) secara ringkas teori
tersebut menyatakan bahwa :
1. Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi
perusahaan sendiri).
2. Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian deviden yang ditargetkan
dengan kesempatan investasi yang dimiliki, mencoba menghindari perubahan
kebijakan deviden yang mendadak.
3. Kebijakan pembayaran deviden yang cenderung konstan, sedangkan
profitabilitas dan kesempatan investasi berfluktuasi, kadang-kadang membuat
arus kas yang dihasilkan dari operasi perusahaan lebih besar dari kebutuhan
investasi, maka hutang dikurangi atau diinvestasikan pada investasi jangka
pendek pada surat-surat berharga. Apabila kurang, perusahaan akan memakai
kelebihan kasnya atau menjual investasi jangka pendeknya.
4. Apabila perusahaan memerlukan pendanaan eksternal, perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu atau berdasarkan
tingkat resiko suatu pendanaan. Dimulai dari penerbitan hutang, kemudian
diikuti pendanaan hybrid (seperti obligasi yang dapat dikonversikan menjadi
saham), baru penerbitan ekuitas baru sebagai alternatif terakhir.
Pada teori pecking order, perusahaan memilih pendanaan berdasarkan
preferensi urutan. Dimulai dari mengutamakan pendanaan yang tidak beresiko,
minim resiko hingga yang beresiko tinggi, yaitu:
1) Pendanaan internal (retained earning)
2) Pendanaan eksternal (hutang)
3) Pendanaan eksternal (ekuitas)
Perusahaan akan mengusahakan mendapatkan dana yang tidak beresiko.
Apabila pendanaan yang tidak beresiko tidak bisa diperoleh, maka perusahaan
akan memilih pendanaan yang resikonya kecil. Jika pendanaan yang beresiko
kecil juga tidak bisa diperoleh, maka langkah terakhir perusahaan adalah mencari
pendanaan yang memiliki resiko lebih tinggi. Laba ditahan adalah opsi pertama
yang akan dipilih perusahaan, karena memiliki resiko yang paling kecil. Apabila
laba ditahan tidak mencukupi kebutuham, opsi kedua adalah dengan pendanaan
dari luar perusahaan yaitu hutang. Jika hutang tidak bisa diperoleh, maka opsi
terakhir adalah pendanaan dari ekuitas atau penerbitan saham baru. Pemegang
saham menilai, penerbitan saham baru lebih beresiko daripada hutang.
Masing-masing rasio hutang perusahaan mencerminkan kebutuhan
kumulatif akan pendanaan eksternal. Perusahaan-perusahaan yang sangat
profitable umumnya akan mempunyai rasio hutang yang rendah. Bukan karena
mereka mempunyai rasio hutang yang ditargetkan rendah, tetapi karena tidak
memerlukan pendanaan eksternal. Perusahaan-perusahaan yang tidak terlalu
menguntungkan akan mempunyai rasio hutang yang tinggi, karena pendanaan
internal tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan investasinya. Ketika
mereka kekurangan pendanaan internal maka mereka akan menerbitkan hutang
terlebih dahulu.
Teori ini menjelaskan mengapa diharapkan terdapat hubungan yang terbalik
antara profitabilitas perusahaan dengan hutang yang digunakan perusahaan.
Semakin tinggi kemampuan perusahaan menghasilkan laba, semakin rendah rasio
hutangnya dan begitu sebaliknya. Keunggulan dalam penggunaan teori ini
dibandingkan dengan teori yang lain, karena teori tersebut tidak mengindikasikan
target struktur modal tertentu. Penggunaan teori pecking order ini bersifat
fleksibel, karena suatu perusahaan dapat menentukan kebutuhan pendanaan sesuai
dengan kemampuan dan pilihan masing-masing perusahaan yang paling disukai.
Pada teori pecking order, pendanaan internal lebih diutamakan sedangkan
pendanaan eksternal hanya sebagai pelengkap.

Teori Trade Off

 


Teori ini muncul karena penggabungan teori dari Modigliani dan Miller
(MM) yang memasukkan pajak, biaya kebangkrutan dan biaya agensi. Teori ini
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat
penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar hutang akan ditambah, tetapi jika
pengorbanan lebih besar, maka tidak diperbolehkan menambah hutang. Satu hal
terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi
kemungkinan (probabilitas) kebangkrutan. Pemberi pinjaman bisa
membangkrutkan perusahaan jika perusahaan tidak bisa membayar hutang.
Menurut Brigham dan Houston (2006) teori trade off adalah proporsi
hutang memberikan manfaat perlindungan pajak, pada kenyataannya ada hal-hal
yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebanyak banyaknya.
Besarnya proporsi hutang maka semakin besar pula biaya kebangkrutan yang
mungkin ditimbulkan. Struktur modal biaya kebangkrutan penting, karena
struktur modal optimal dapat dicapai oleh perusahaan dengan menyeimbangkan
keuntungan dari perlindungan pajak dengan beban dari penggunaan jumlah hutang
yang semakin besar. Setiap perusahaan harus menetapkan target struktur
modalnya, yaitu pada posisi keseimbangan biaya dan keuntungan marginal dari
pendanaan dengan hutang. Berdasarkan teori ini, menggunakan semakin banyak
hutang berakibat memperbesar resiko yang ditanggung pemegang saham (ekuitas)
dan juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan.

Teori Modigliani-Miller (Franco Modigliani dan MH. Miller / MM)

 


Franco Modigliani dan MH. Miller (MM Approach) menentang pendekatan
tradisional dengan menawarkan pembenaran perilaku tingkat kapitalisasi
perusahaan yang konstan. MM berpendapat bahwa resiko total bagi seluruh
pemegang saham tidak berubah walaupun struktur modal perusahaan mengalami
perubahan (Harjito dan Martono, 2012). Hal ini berdasarkan pembagian struktur
modal antara hutang dan modal sendiri, selalu terdapat bagian perlindungan atas
nilai dan kesempatan investasi. Karena nilai investasi total perusahaan tergantung
dari keuntungan dan resiko. Asumsi yang digunakan MM adalah :
1. Pasar modal adalah sempurna, dan investor bertindak rasional.
2. Nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama.
3. Perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama.
4. Tidak ada pajak.

Teori Tradisional Struktur Modal

 


Pendekatan tradisional mengasumsikan bahwa tingkat leverage tertentu,
resiko perusahaan tidak mengalami perubahan (Sjahrial, 2007). Biaya modal
sendiri maupun biaya hutang relatif konstan, namun setelah leverage rasio hutang
tertentu biaya hutang dan biaya modal sendiri meningkat. Peningkatan biaya
modal sendiri akan semakin besar bahkan lebih besar daripada penurunan biaya,
karena penggunaan hutang yang lebih murah. Berakibat pada biaya modal rata -
rata tertimbang yang tadi awalnya menurun, pada tingkat leverage tertentu akan
meningkat.
Adapun nilai perusahaan yang semula meningkat akan menurun sebagai
akibat dari penggunaan hutang yang semakin besar. Menurut pendekatan ini,
terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan. Struktur modal
optimal pada saat nilai perusahaan maksimum atau struktur modal yang
mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang minimum

Struktur Modal Optimal

 


Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan ataupun harga
saham adalah struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal, apabila
terjadi keseimbangan antara resiko dan pengembalian sehingga dapat
memaksimalkan harga saham (Brigham dan Houston, 2006). Jika risiko lebih
besar dibandingkan dengan tingkat pengembalian, maka struktur modal dikatakan
kurang optimal dan begitupula sebaliknya. Kebijakan struktur modal merupakan
kebijakan perusahaan yang bertujuan untuk menentukan sumber pendanaan
kegiatan operasional perusahaan.
Dalam melaksanakan keputusan struktur modal, manajer perlu berhati-hati
dalam kegiatan arus kas keuangan perusahaan. Bertujuan untuk menciptakan
struktur modal yang dapat memaksimalkan kesejahteraaan pemegang saham.
Struktur modal harus diatur sedemikian rupa, agar dapat menjamin stabilitas
keuangan perusahaan dan kesejahteraan pemegang saham. Meskipun tidak ada
aturan yang pasti bagaimana membuat struktur modal yang optimal, pada
dasarnya pengaturan terhadap struktur modal dalam perusahaan harus berorientasi
pada tercapainya stabilitas keuangan perusahaan dan kesejahteraan pemegang
saham

Pengertian Struktur Modal

 


Struktur modal adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka
panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang
terhadap modal sendiri (Harjito dan Martono, 2012). Dalam neraca perusahaan
(balance sheet), struktur modal sendiri merupakan bagian dari sisi pasiva yang
mencerminkan sumber pendanaan perusahaan. Struktur modal digunakan untuk
mendanai aktivitas perusahaan, bagi investor struktur modal menjadi tolak ukur
keseimbangan antara resiko dan tingkat pengembalian investasinya. Salah satu
keputusan terpenting suatu fungsi keuangan terkait seberapa besar kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pendanaan. Pendanaan yang digunakan
untuk kegiatan operasional perusahaan maupun untuk kegiatan ekspansi.
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur
modal terhadap nilai perusahaan, seandainya perusahaan mengganti sebagian
modal sendiri dengan hutang (atau sebaliknya). Jika perubahan struktur modal
tidak merubah nilai perusahaan, maka tidak ada struktur modal yang terbaik
(Husnan dan Pudjiastuti, 2015). Semua struktur modal adalah baik, jika dengan
merubah struktur modal ternyata nilai perusahaan juga ikut berubah maka akan
diperoleh strukutr modal yang terbaik. Perubahan ini, terkait dengan perubahan
nilai perusahaan yang positif. Artinya, jika telah dilakukan perubahan sistem
struktur modal kemudian perusahaan dapat meningkatkan laba. Hal ini juga akan
berdampak pada peningkatan harga saham

Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Utang

 


Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya
dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Secara keseluruhan ketiga
pengukuran ini akan memungkinkan analisis untuk mengevaluasi tingkat earnings dalam
hubungannya dengan volume penjualan, jumlah aktiva dan investasi tertentu dari pemilik
perusahaan. Profitabilitas merupakan keuntungan bersih yang mampu diraih oleh
perusahaan pada saat menjalankan operasinya. Jika suatu perusahaan mempunyai
profitabilitas tetap dan pengeluaran investasi tetap maka perusahaan yang mempunyai
profitabilitas tinggi akan menggunakan utang yang relatif rendah dan sebaliknya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan utang

Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Utang

 


Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses yang lebih besar untuk
mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman
dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki
probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Pada
sisi lain, perusahaan dengan skala kecil lebih fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian,
karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh
karena itu, memungkinkan perusahaan besar mempunyai tingkat leverage yang lebih besar
dibandingkan perusahaan yang berukuran kecil. Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa besar kecilnya (ukuran) perusahaan akan berpengaruh terhadap
struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan
mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan tersebut akan
lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan jumlah
pinjaman juga semakin besar pula, sehingga ukuran perusahaan berpengaruh positif
terhadap kebijakan utang

Pengaruh Dividend Payout Ratio Terhadap Kebijakan Utang

 


Dividend Payout Ratio adalah persentase dari laba bersih yang akan dibayarkan
sebagai dividen tunai kepada pemegang saham. Dividend Payout Ratio merupakan
perbandingan antara dividend per share terhadap earnings per share. Jika proporsi dividen
tunai meningkat maka kebutuhan dana untuk reinvestment akan berkurang sehingga
perusahaan cenderung untuk mencari dana eksternal untuk mencukupi kebutuhannya. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin besar proporsi dividend payout ratio maka semakin besar
pula kebutuhan dana perusahaan dari eksternal (utang), sehinggga dapat disimpulkan
bahwa dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.

Profitabilitas

 


Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya
dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri (Sartono, 2001:122). Secara
keseluruhan ketiga pengukuran ini akan memungkinkan seorang penganalisa untuk
mengevaluasi tingkat earnings dalam hubungannya dengan volume penjualan, jumlah
aktiva dan investasi tertentu dari pemilik perusahaan Profitabilitas adalah keuntungan
bersih yang mampu diraih oleh perusahaan pada saat menjalankan operasinya. Menurut
Brigham dan Housten (2001:40), jika suatu perusahaan mempunyai profitabilitas tetap dan
pengeluaran investasi tetap maka perusahaan yang mempunyai profitabilitas tinggi akan
menggunakan hutang yang relatif rendah dan sebaliknya.

Ukuran Perusahaan

 


Ukuran perusahaan adalah cerminan besar kecilnya perusahaan (Setiawan, 2006).
Selanjutnya (Riyanto, 1997:230) mengatakan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih
besar memiliki akses yang lebih besar untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai
sumber, sehingga untuk memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena
perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan
persaingan atau bertahan dalam industri. Pada sisi lain, perusahaan dengan skala kecil lebih
fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi
terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu, memungkinkan perusahaan besar
tingkat leveragenya akan lebih besar dari perusahaan yang berukuran kecil. Dari uraian
yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya (ukuran) perusahaan akan
berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin
besar suatu perusahaan mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga
perusahaan tersebut akan lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk
menggunakan jumlah pinjaman juga semakin besar pula.

Dividend Payout Ratio

 


Dividend Payout Ratio (DPR) menurut (Brigham dan Houtson, 2006:69) dalam Nita
(2008) adalah persentase dari laba bersih yang akan dibayarkan sebagai dividen tunai
kepada pemegang saham. Dividend Payout Ratio (DPR) merupakan perbandingan antara
Dividend Per Share (DPS) dengan Earnings Per Share (EPS). Jika dividen tunai
meningkat maka dana perusahaan untuk reinvestment akan semakin berkurang sehingga
perusahaan cenderung akan mencari sumber dana eksternal untuk mencukupi
kebutuhannya (Brigham dan Houston, 2001:13)

Static Trade Off Theory

 


Static trade off berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan ditentukan dengan
mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak ketika utang meningkat di satu sisi dan
meningkatnya agency cost (biaya agensi) ketika utang meningkat pada sisi yang lain.
Ketika manfaat pengurangan pajak masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan
agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan utangnya dan peningkatan utang
harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan utang tersebut sudah lebih
rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Model Static Trade off ini
merupakan evolusi atau pengembangan dari teori irrelevance-nya Modigliani dan Miller
dan saat ini merupakan mainstream dari teori struktur modal.

Signaling Theory

 


Isyarat atau signal menurut (Brigham dan Houston, 2001) adalah suatu tindakan yang
diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana
manajemen memandang prospek perusahaan. Dalam (Brigham dan Houston, 2001),
perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan
saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain,
termasuk penggunaan utang yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan
dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya.
Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat
(signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu
perusahaan menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga
sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat
negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.

Agency theory

 


Agency theory menyebutkan bahwa sebagai agen dari pemegang saham, manager tidak
selalu bertindak demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu, diperlukan biaya
pengawasan yang dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen,
pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap pengambilan keputusan oleh
manajemen. Kegiatan pengawasan yang dilakukan memerlukan biaya keagenan. Biaya
keagenan digunakan untuk mengontrol semua aktivitas yang dilakukan manajer sehingga
manajer dapat bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual antara kreditor
dan pemegang saham ( Jensen dan Meckling, 1976 dalam Sofiana, 2009). Menurut
( Horne dan Wachowicz, 2007) salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun
yang menimbulkan biaya pengawasan, biaya yang timbul pasti menjadi tanggungan
pemegang saham

Kebijakan Utang

 


Kebijakan utang merupakan keputusan yang sangat penting dalam perusahaan.
Dimana kebijakan utang merupakan salah satu bagian dari kebijakan pendanaan
perusahaan. Kebijakan utang adalah kebijakan yang diambil oleh pihak
manajemen dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan bagi perusahaan
sehingga dapat digunakan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan.
Selain itu kebijakan hutang perusahaan juga berfungsi sebagai mekanisme
monitoring terhadap tindakan manajer yang dilakukan dalam pengelolaan
perusahaan. Keputusan pembiayaan atau pendanaan perusahaan akan dapat
mempengaruhi struktur modal perusahaan. Sumber pendanaan dapat diperoleh
dari modal internal dan modal eksternal. Modal internal berasal dari laba ditahan,
sedangkan modal eksternal adalah dana yang berasal dari para kreditur dan
pemilik, peserta atau pengambil bagian didalam perusahaan. Modal yang berasal
dari kreditur adalah merupakan utang perusahaan. Modal ini sering disebut
dengan pembelanjaan asing/hutang ( Riyanto, 1997).
Keputusan pembiayaan melalui utang mempunyai batasan sampai
seberapa besar dana dapat digali. Biasanya ada standar rasio tertentu untuk
menentukan rasio utang tertentu yang tidak boleh dilampaui. Jika rasio utang
melewati standar ini, maka biaya akan meningkat dengan cepat, dan hal tersebut
akan mempengaruhi stuktur modal perusahaan. Salah satu rasio tersebut yaitu
LDE ( Long Term Debt Ratio) yang menunjukkan sejauh mana utang dapat
ditutupi oleh modal perusahaan atau berapa porsi utang dibanding dengan modal
perusahaan, supaya aman porsi utang harus lebih kecil dari modal. Perusahaan
yang menggunakan semakin banyak utang maka akan meningkatkan beban bunga
dan pokok pinjaman yang harus dibayar. Hal ini memperbesar kemungkinan
perusahaan menghadapi default, yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban
pembayaran utang pada waktunya akibat kewajiban yang semakin besar.
Dari sudut pasar pemegang utang jangka panjang, risiko utang lebih kecil
dibanding saham biasa atau saham preferen. Meskipun begitu, utang dianggap
memiliki keunggulan terbatas dipandang dari segi laba, dan dianggap lemah
dipandang dari segi pengendalian. Hal ini dapat dijelaskan oleh Weston dan
Copeland dalam Pitaloka (2009), sebagai berikut:
a) Dari segi risiko, utang dipandang lebih menguntungkan
dibanding saham biasa atau saham preferen karena utang memberi
prioritas dalam hal pendapatan dan juga dalam hal likuidasi. Hutang juga
memiliki masa jatuh tempo yang pasti dan dilindungi oleh akad
(covenants) dalam indenture
b) Dari segi laba, para pemegang obligasi memiliki hasil
pengembalian tetap, kecuali dalam kasus obligasi pendapatan (income
bonds) atau surat utang dengan suku bunga mengambang. Pembayaran
bunga tidak tergantung pada tingkat laba perusahaan atau suku bunga
pasar yang sedang berlaku. Meskipun demikian, utang tidak pernah dapat
ikut menikmati laba perusahaan yaitu saat perusahaan bisa berhasil
menarik laba yang maksimal. Sering kali utang jangka panjang bisa
dibatalkan sebelum waktunya. Jika hal ini terjadi, misalnya obligasi
ditarik melalui opsi tarik, investor akan menerima kembali uangnya, yang
harus ditanam kembali agar dana tersebut tidak mati.
c) Dari segi pengendalian, pemegang obligasi biasanya tidak
memiliki hak suara. Meskipun begitu, jika sampai obligasi dinyatakan tak
dapat dibayar, pemegang obligasi dapat mengambil alih kendali
perusahaan.
Dari sudut pandang emiten utang jangka panjang (peminjam utang) ada beberapa
keunggulan dan kelemahan dalam obligasi. Keunggulan dan kelemahan dari utang
jangka panjang menurut Weston dan Copeland (1997) dalam Pitaloka (2009),
sebagai berikut:
Keunggulan:
a) Biaya utang terbatas. Pemegang obligasi tidak ikut menikmati laba.
b) Tidak hanya biaya saja yang terbatas, tetapi juga hasil pengembalian
yang diharapkan biasanya lebih rendah dibanding saham biasa.
c) Jika digunakan pembiayaan utang, pemilik perusahaan (pemilik saham
mayoritas, misalnya ) tidak berbagi pengendalian pengelolaannya.
d) Pembayaran bunga utang dapat digunakan sebagai pengurang beban
pajak.
e) Keluwesan (fleksibilitas) dalam struktur pembiayaan perusahaan dapat
dicapai dengan pencantuman persyaratan opsi tarik dalam indenture
obligasi.
Kelemahan :
a) Utang memiliki biaya tetap, jika laba perusahaan mengalami
kemunduran tajam, untuk membayar bunga utang mungkin tidak dapat
dipenuhi.
b) Tingkat leverage keuangan yang semakin tinggi memerlukan tingkat
laba yang semakin tinggi pula. Jadi, meskipun leverage keuangan mungkin
cukup baik dan mungkin meningkatkan laba per saham, tingkat laba yang
diperlukan untuk leverage itu akan semakin tinggi, yang dapat mendorong
turunnya harga saham biasa. Biaya tak langsung karena jumlah utang yang
lebih banyak mungkin akan meningkatkan biaya permodalan.
c) Utang biasanya memiliki masa jatuh tempo yang pasti, dan sewajarnya
jika perusahaan harus mampu melunasinya sesuai dengan waktu yang
ditetapkan.
d) Utang jangka panjang merupakan suatu ikatan dalam waktu relatif
lama, bobot risiko yang tercakup di dalamnya cukup tinggi. Harapan dan
rencana yang mendasari penarikan suatu utang mungkin meleset, sehingga
utang tersebut akan menjadi beban yang berat bagi perusahaan. Misalnya,
jika laba, kapasitas kerja, tingkat harga, dan suku bunga semuanya jatuh,
asumsi-asumsi yang mendasari keputusan penarikan suatu hutang yang besar
mungkin akan dianggap suatu kebijakan keuangan yang bodoh.
e) Dalam ikatan kontrak utang jangka panjang, persyaratan indenture
cenderung lebih berat dibanding persyaratan dalam kredit jangka pendek.
Karena itu perusahaan yang meminjam utang jangka panjang akan
mengalami hambatan yang lebih banyak dibanding perusahaan yang
meminjam utang jangka pendek atau yang menerbitkan saham biasa.
f) Selalu ada batasannya sampai seberapa besar dana bisa digali melalui
utang jangka panjang. Biasanya standar rasio keuangan yang berlaku umum
tetap menentukan suatu rasio utang tertentu yang tidak boleh dilampaui. Jika
rasio utang melewati batasan standar ini biayanya akan meningkat dengan
cepat.

Macam-Macam Utang

 


1. Utang Jangka Pendek
Utang jangka pendek merupakan utang yang diharapkan akan dilunasi
dalam waktu 1 tahun atau satu siklus operasi normal perusahaan dengan
menggunakan sumber-sumber aktiva lancar atau dengan menimbulkan
utang jangka pendek yang baru. Siklus operasi adalah periode waktu
yang diperlukan antara akuisisi barang dan jasa yang terlibat dalam
proses manufaktur serta realisasi kas akhir yang dihasilkan dari penjualan
dan penagihan selanjutnya.
Utang jangka pendek meliputi:
a) Utang dagang adalah utang yang timbul karena adanya pembelian
barang dagangan.
b) Utang wesel adalah janji tertulis untuk membayar sejumlah uang
tertentu pada suatu tanggal tertentu dimasa depan dan dapat berasal
dari pembelian, pembiayaan, atau transaksi lainnya.
c) Biaya yang masih harus dibayar, adalah biaya-biaya yang sudah
terjadi tetapi belum dilakukan pembayarannya.
d) Utang jangka panjang yang segera jatuh tempo adalah sebagian
atau seluruh utang jangka panjang yang sudah menjadi utang
jangka pendek, karena harus segera dilakukan pembayaran.
e) Penghasilan yang diterima dimuka ( Deferred Revenue) adalah
penerimaan uang untuk penjualan barang dan jasa yang belum
terealisir.
2. Utang Jangka Panjang
Utang jangka panjang merupakan utang yang jangka waktu
pembayarannya lebih dari satu tahun sejak tanggal neraca dan sumbersumber untuk melunasi utang jangka panjang adalah sumber bukan dari
kelompok aktiva lancar.
Utang jangka panjang terdiri dari:
a) Utang obligasi, merupakan surat pengakuan utang (dengan bunga)
jangka panjang yang akan dibayar pada tanggal tertentu.
b) Hipotik merupakan penggadaian kekayaan nyata tertentu untuk
mendapatkan suatu pinjaman dengan beban bunga yang tetap.
Kekayaan nyata didefinisikan sebagai real estate, gedung, dan lainlain.
c) Utang bank

Sumber/ Komponen Struktur Modal

 


1) Modal Sendiri
Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari
pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada
dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sedangkan modal
pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada dua sumber utama dari modal sendiri yaitu:
modal saham preferen, dan modal saham biasa.
2) Modal Asing atau Utang
a. Pengertian Utang
Menurut FASB, utang adalah pengorbanan manfaat ekonomi masa mendatang
yang mungkin timbul karena kewajiban sekarang suatu entitas untuk
menyerahkan aktiva atau memberikan jasa kepada entitas lain dimasa
mendatang sebagai akibat transaksi masa lalu. Menurut IAI, kewajiban
merupakan utang perusahaan masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu,
penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya
perusahaan yang mengandung manfaat ekonomi ( Ghozali dan Chairiri, 2007
dalam Pitaloka 2009). Menurut Munawir (2004) utang adalah semua
kewajiban keuangan perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di
mana utang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal
dari kreditor. Utang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang
digunakan oleh perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya. Dalam
pengambilan keputusan akan penggunaan utang ini harus mempertimbangkan
besarnya biaya tetap yang muncul dari utang berupa bunga yang akan
menyebabkan semakin meningkatnya leverage keuangan dan semakin tidak
pastinya tingkat pengembalian bagi para pemegang saham biasa

Pengertian Struktur Modal

 


Keputusan untuk memilih sumber pembiayaan merupakan keputusan bidang keuangan
yang sangat penting bagi perusahaan. Rasio hutang jangka panjang terhadap modal
sendiri (long time debt to equity ratio) menggambarkan struktur modal perusahaan dan
rasio utang terhadap modal akan menentukan besarnya laverage keuangan yang
digunakan perusahaan (Weston dan Copeland, 1992:22 dalam Pitaloka, 2009).
Weston dan Copeland (1992, dalam Pitaloka 2009) memberikan definisi struktur modal
sebagai pembiayaan permanen yang terdiri dari utang jangka panjang, saham preferen,
dan modal pemegang saham. Nilai buku dari modal pemegang saham terdiri dari saham
biasa, modal disetor atau surplus modal dan akumulasi laba ditahan. Bila perusahaan
memiliki saham preferen, maka saham tersebut akan ditambahkan pada modal pemegang
saham.
Menurut Riyanto (1997) struktur modal adalah pembelanjaan permanen yang
mencerminkan pertimbangan atau perbandingan antara utang jangka panjang dengan
modal sendiri. Struktur modal menunjukan proporsi atas penggunaan utang untuk
membiayai investasinya, sehingga dengan mengetahui struktur modal investor dapat
mengetahui keseimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian investasinya.

Pengaruh Pertumbuhan Penjualan terhadap Struktur Modal

 


Tingkat Pertumbuhan Penjualan menunjukkan tingkat perubahan
penjualan tahunan. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan, perusahaan akan
semakin mengandalkan modal eksternal. Menurut penelitian Brigham &
Houston (2013: 42), dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya
tidak stabil, perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil akan menanggung
lebih banyak hutang dan menanggung biaya tetap yang lebih tinggi.
Peningkatan penjualan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam
memperoleh pendapatan dan laba perusahaan. Dengan peningkatan penjualan
tersebut maka perusahaan dapat membayar biaya operasional perusahaan dan
memperbaiki Struktur Modal perusahaan karena perusahaan dapat melunasi
hutang dan menambah modal sendiri.
Andayani & Suardana (2018)menyatakanbahwa PertumbuhanPenjualan
tidak berpengaruhterhadapStrukturModal. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Gunadhi & Putra (2019) menjelaskan bahwa Pertumbuhan
Penjualan berpengaruh positif terhadap Struktur Modal.

Pengaruh Likuiditas terhadap Struktur Modal

 


Hery (2015: 175) menyatakan bahwa rasio likuiditas adalah rasio yang
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban atau
membayar utang jangka pendeknya. Menurut Pecking Order Theory,
perusahaan dengan Likuiditas (Current Ratio) tinggi akan cenderung
menggunakan aset lancarnya untuk pembiayaan. Karena perusahaan dengan
jumlah aset lancar yang besar tentunya dapat memiliki dana internal yang
besar, maka perusahaan terlebih dahulu akan menggunakan dana internalnya
untuk kegiatan usahanya. Rasio Likuiditas yang baik merupakan jaminan bagi
investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan, sehingga akan
mempengaruhi Struktur Modal perusahaan. Akan tetapi terdapat korelasi
negatif antara Likuiditas dan Struktur Modal. Semakin besar Likuiditas,
semakin kecil Struktur Modal hutangnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andayani & Suardana
(2018)menunjukkan bahwa LikuiditastidakberpengaruhpadaStrukturModal.
Dewiningrat & Mustanda (2018) juga menjelaskan bahwa Likuiditas juga
memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap Struktur Modal

Pengaruh Profitabilitas terhadap Struktur Modal

 


Profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur Profitabilitas
perusahaan relatif terhadap penjualan, aset dan laba, serta modal sendiri
(Kasmir, 2015). Perusahaan dengan keuntungan tinggi cenderung
menggunakan hutang yang relatif kecil. Tingkat pengembalian yang tinggi
memungkinkan perusahaan menggunakan dana yang dihasilkan secara
internal untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan pendanaannya. Semakin
tinggi tingkat keuntungan, semakin tinggi pula keuntungan perusahaan. Jika
laba perusahaan tinggi, perusahaan memiliki sumber dana internal yang cukup
besar, sehingga kebutuhan hutang perusahaan lebih sedikit.
Hasil penelitian Andayani & Suardana (2018)menunjukkan bahwa
Profitabilitas berpengaruh positif terhadap Struktur Modal. Akan tetapi,
penelitian yang dilakukan olehDewiningrat & Mustanda (2018) menjelaskan
bahwa Profitabilitas memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
Struktur Moda

Pertumbuhan Penjualan

 


(Brigham & Houston, 2011 dalam Gede Bagus & I Made, 2019),
kestabilan penjualan perusahaan dapat berdampak pada jumlah pinjaman
yang dapat diperoleh oleh perusahaan. Semakin baik tingkat penjualan
perusahaan maka jumlah pinjaman yang didapat akan lebih besar juga.
Struktur modal perusahaan akan berubah tergantung dari perkembangan
tingkat penjualan perusahaan. Tingginya pertumbuhan perusahaan
menyebabkan perusahaan akan memerlukan modal yang lebih besar
sehingga perlunya tambahan modal dari eksternal.
Kusumajaya (2011) menjelaskan bahwa tingkat Pertumbuhan
Penjualan yang mencerminkan pertumbuhan perusahaan dapat
mempengaruhi nilai perusahaan karena pertumbuhan perusahaan
menyatakan sinyal yang baik yang merupakan respon positif dari investor
sehingga perusahaan mendapatkan dana eksternal dengan lebih mudah.Laju
pertumbuhan perusahaan yang rendah tidak memerlukan pendanaan dari
luar, tetapi jika perusahaan tumbuh lebih cepat, maka harus mengumpulkan
dana dari sumber eksternal. Pertumbuhan Penjualan yang tinggi atau stabil
berkaitan dengan keuntungan perusahaan (Priambodo, 2014)
Gunadhi & Putra (2019) menyatakan bahwa untuk menunjukkan
stabilitas penjualan bisa diukur dengan melihat perbandingan antara jumlah
penjualan bersih tahun yang bersangkutan (tahun ke-t) dikurangi jumlah
penjualan bersih tahun sebelumnya (tahun ke t-1) kemudian dibagi dengan
jumlah penjualan bersih tahun sebelumnya (tahun ke t-1).

Likuiditas

 


Syafrida (2015) menyatakan bahwa Likuiditas merupakan
kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
keuangan yang segera dapat dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Secara
spesifik Likuiditas mencerminkan ketersedian dana yang dimiliki
perusahaan guna memenuhi semua hutang yang akan jatuh tempo.
Sedangkan Rambe et al., (2015) menyatakan bahwa rasio Likuiditas
merupakan rasio yang mengukur kemapuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban finansial jangka pendeknya atau Current Liabilities dengan
menghubungkan jumlah kas dan aktiva lancar lain dengan kewajiban jangka
pendek bisa memberikan ukuran yang mudah dan cepat dipergunakan dalam
mengukur Likuiditas.
Likuiditas adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek. Penggunaan rasio ini penting karena kegagalan
dalam memenuhi kewajiban dapat mengakibatkan kebangkrutan
perusahaan (Effendi & Nugraha, 2018). Untuk mengetahui besarnya
Likuiditas pada suatu perusahaan, dapat dibandingkan antara aset lancar
dengan kewajiban lancar yang dimiliki perusahaan (Prabowo et al., 2018).

Profitabilitas

 


Hery (2016: 192) menjelaskan bahwa Profitabilitas adalah rasio
yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh
keuntungan dari aktivitas bisnis normalnya. Sedangkan menurut Fahmi
(2015: 80) rasio untuk mengukur keefektifan manajemen secara
keseluruhan dan tujuannya adalah untuk mendapatkan tingkat keuntungan
yang terkait.
Profitabilitas memainkan peran penting dalam semua aspek bisnis
karena dapat menunjukkan efisiensi dan refleksi kinerja perusahaan. Selain
itu, Profitabilitas juga menunjukkan apakah perusahaan akan berbagi
keuntungan yang lebih besar dengan investor (Suwardika & Mustanda,
2017).
Dasar dari penilaian Profitabilitas perusahaan yaitu laporan
keuangan yang berupa neraca dan laporan laba rugi perusahaan. Dari kedua
laporan keuangan itu akan dapat di tentukan hasil analisis sejumlah rasio
dan selanjutnya rasio ini digunakan untuk menilai beberapa aspek tertentu
dari operasional perusahaan.

Faktor Penentu Struktur Modal

 


Sartono (2010) menjelaskan bahwa perusahaan akan
mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keputusan manajer terkait Struktur Modal adalah:
a. Tingkat Penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil artinya
memiliki arus kas yang relatif stabil juga, maka perusahaan
itu dapat menggunakan utang lebih besar dibandingkan
dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil.
b. Struktur Aset (Asset Tangibility)
Perusahaan yang memiliki aset tetap dalam jumlah besar
dapat menggunakan utang dalam jumlah besar. Kemudian
besarnya aset tetap tersebutdapat digunakan sebagai jaminan.
c. Tingkat Pertumbuhan (Growth Opportunity)
Semakin cepat pertumbuhan perusahaan maka semakin besar
kebutuhan dana untuk pembiayaan ekspansi. Semakin besar
kebutuhan untuk pembiayaan mendatang maka semakin
besar keinginan perusahaan untuk menahan laba.
d. Profitabilitas
Perusahaan yang mempunyai profitabilitas tinggi jelas
memiliki dana internal yang lebih banyak daripada
perusahaan dengan profitabilitas rendah. Dan perusahaan
dengan profitabilitas tinggi pula akan lebih menggunakan
laba ditahan dibanding dengan utang. Hal ini menunjukkan
bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap struktur modal
perusahaan.
e. Variabel Laba dan Perlindungan Pajak
Variabel ini sangat erat kaitannya dengan stabilitas
penjualan. Jika variabilitas atau volatilitas laba perusahaan
kecil maka perusahaan mempunyai kemampuan yang lebih
besar untuk menanggung beban tetap dari utang. Ada
kecenderungan bahwa penggunaan utang akan memberikan
manfaat berupa perlindungan pajak.
f. Kondisi Intern Perusahaan dan Ekonomi Mikro
Perusahaan perlu menanti saat yang tepat untuk menjual
saham dan obligasi. Kondisi yang paling tepat untuk menjual
obligasi atau saham adalah pada saat tingkat bunga pasar
sedang rendah dan pasar sedang bullish.

Signaling Theory

 


Sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen
perusahaan memberikan petunjuk kepada investor tentang
bagaimana manajemen menilai prospek perusahaan tersebut
(Brigham &Houston, 2011:186). Perusahaan pada prospek yang
menguntungkan akan memberikan sinyal positif kepada para
investor dengan menunjukan bahwa perusahaan tersebut
cenderung menghindari penjualan saham dan akan
mengusahakan cara lain untuk memperoleh modal baru yang
diperlukan dengan penggunaan utang yang lebih banyak.
Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan
cenderung untuk menjual sahamnya.
Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya
merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang
prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan
menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya,
maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham
baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat
menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.
Berdasarkan Signaling theory perusahaan yang mampu
menghasilkan laba cenderung meningkatkan jumlah utangnya,
karena tambahan pembayaran bunga akan diimbangi dengan laba
sebelum pajak.

Trade Off Theory

 


Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan
kerugian atas penggunaan hutang. Kebijakan Struktur Modal
melibatkan perimbangan Trade Off antara risiko dengan tingkat
pengembalian. Trade Off Theorymenerangkan bahwa Struktur
Modal optimal ditemukan dengan menyeimbangkan keuntungan
pajak dengan biaya tekanan finansial (The Cost of Financial
Distress) dari penambahan hutang, sehingga biaya dan
keuntungan dari penambahan hutang di Trade Off (saling tukar)
satu sama lain.
Pada teori ini, penggunaan hutang akan meningkatkan nilai
perusahaan hanya sampai kondisi tertentu saja. Selebihnya,
penggunaan hutang justru akan menurunkan nilai perusahaan
karena kenaikan keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan
hutang tidak sebanding dengan biaya kebangkrutan dan
keagenen

  Pecking Order Theory

 


Pecking Order Theory menjelaskan bahwa perusahaan akan lebih
memilih dana internal dibandingkan dana eksternal, utang yang
aman dibandingkan utang yang berisiko serta yang terakhir
adalah saham biasa (Myers & majluf, 1984 dalam Sugiarto 2009).
Ketika perusahaan tidak memiliki dana internal yang cukup,
pendanaan eksternal menjadi alternatifnya.
Pecking Order Theory ini tidak mengindikasikan target Struktur
Modal. Teori tersebut menjelaskan urutan-urutan pendanaan.
Menurut teori ini, manajer keuangan tidak memperhitungkan
tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh
kebutuhan investasi. Jika ada kesempatan investasi, maka
perusahaan akan mencari dana untuk mendanai kebutuhan
investasi tersebut. Perusahaan akan mulai dengan dana internal
dan sebagai pilihan terakhir adalah menerbitkan saham. Di
samping kebutuhan investasi, hal lain yang berkaitan adalah
pembayaran dividen. Pembayaran dividen akan menyebabkan
dana kas berkurang. Jika kas berkurang, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas baru.

Komponen Struktur Modal

 


Warsono (2012) menyatakan bahwa Struktur Modal dalam
perusahaan secara umum terdiri dari dua komponen, yaitu hutang
jangka panjang dan modal sendiri.
a. Hutang Jangka Panjang (Long Term Debt)
Contoh dari hutang jangka panjang seperti pinjaman dari bank
atau sumber lain yang meminjamkan uang untuk waktu
panjang lebih dari 12 bulan.Bentuk utang jangka panjang
lainnya antara lain pinjaman obligasi dan pinjaman hipotek.
Pinjaman Obligasi merupakan pinjaman untuk jangka waktu
yang panjang, untuk debitur mengeluarkan surat pengakuan
utang yang mempunyai nominal tertentu. Pinjaman hipotek
merupakan pinjaman jangka panjang di mana pemberi uang
(kreditor) diberi hak hipotek pada suatu barang tidak bergerak,
agar bila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, barang
itu dapat dijual dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan
untuk menutupi tagihannya.
b. Modal Sendiri
Modal sendiri atau ekuitas pada dasarnya adalah modal yang
berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam di dalam
perusahaan untuk waktu yang tidak tertentu lamanya. Modal
sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk
jangka waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman
memiliki jatuh tempo.
Ada 2(dua) sumber utama dari modal sendiri yaitu modal
saham preferen dan modal saham biasa, dijelaskan sebagai
berikut :
1) Modal saham preferen.
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya
beberapa hak istimewa untuk menjadikannya lebih senior atau
lebih di utamakan daripada pemegang saham biasa. Oleh sebab
itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah
banyak.
2) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan merupakan pemegang saham biasa yang
menginvestasikan uangnya dengan harapan akan mendapatkan
pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa
juga biasa disebut pemilik residual karena mereka hanya
menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan aset
telah terpenuhi.

Pengaruh Profitabilitas Terhadap Struktur Modal

 


Profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba atas pengelolaan asset perusahaan yang merupakan perbandingan antara
earning after tax dengan total aset. Peningkatan profitabilitas akan meningkatkan
laba ditahan, sesuai dengan pecking order theory yang mempunyai preferensi
pendanaan pertama dengan dana internal berupa laba ditahan, sehingga komponen
modal sendiri semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
memperoleh laba yang besar kemungkinan perusahaan lebih banyak membagikan
laba kepada pemegang saham sebagai dividen. Alternatif pendanaan yang dapat
digunakan perusahaan yaitu external financing yang dapat berasal dari utang
jangka panjang. Dengan kata lain perusahaan meningkatkan penggunaan hutang
dalam membiayai kegiatan investasinya yang artinya perusahaan akan lebih
banyak menggunakan utang jangka panjangnya sehingga memperbesar nilai
struktur modalnya.Dengan menggunakan utang yang lebih banyak berarti juga
meningkatkan ketergantungan perusahaan dengan pihak luar (Ambasari &
Hermanto, 2017).
Profitabilitas yang tinggi akan lebih banyak memiliki dana internal
sehingga perusahaan akan lebih memilih menggunakan dana internalnya terlebih
dahulu daripada menggunakan hutang maupun penerbitan saham baru untuk
kebutuhan pendanaan perusahaan. Pernyataan tersebut sesuai dengan pecking
order theory. Penelitian yang dilakukan Joni dan Lina (2010) menyatakan bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal

Pengaruh Likuiditas (liquidity) Terhadap Struktur Modal

 


Likuiditas adalah digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka pendeknya sumber daya jangka pendek (atau lancar)
yang tersedia untuk memenuhi kewajiban tersebut. Menurut pecking order theory,
perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi akan lebih memilih
menggunakan sumber dana internal terlebih dulu sebelum melakukan investasi
keuangan yang baru. Menurut pecking order theory, perusahaan yang mempunyai
likuiditas yang tinggi akan cenderung tidak menggunakan pembiayaan dari
hutang. Perusahaan dengan likuiditas yang tinggi mempunyai dana internal yang
besar, sehingga perusahaan tersebut akan lebih menggunakan dana internalnya
terlebih dahulu untuk membiayai investasinya sebelum menggunakan pembiayaan
eksternal melalui hutang. Hal ini disebabkan perusahaan dengan likuiditas yang
tinggi mempunyai dana internal yang besar, sehingga perusahaan tersebut akan
lebih menggunakan dana internalnya terlebih dahulu untuk membiayai
investasinya sebelum menggunakan pembiayaan eksternal melalui hutang
(Ambasari & Hermanto, 2017). Ukuran rasio lancar yang semakin besar
menunjukkan bahwa perusahaan telah berhasil melunasi hutang jangka
pendeknya. Berkurangnya hutang jangka pendek berakibat menurunnya proporsi
hutang dalam struktur modal.
Hasil penelitian Novitasari & Mildawati (2017), Ambasari & Hermanto
(2017) dan Febriyanti & Yahya (2017) membuktikan bahwa likuiditas
berpengaruh negatif terhadap struktur modal

Hubungan Tingkat Pertumbuhan Penjualan (Growth sales) Terhadap Struktur Modal

 


Menurut Brigham dan Houston (2006), perusahaan dengan penjualan yang
relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan
menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang
penjualannya tidak stabil. Hal ini disebabkan karena kebutuhan dana yang
digunakan untuk pembiayaan pertumbuhan penjualan semakin besar. Perusahaan
yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal.
Cara yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan financialnya dengan
meningkatkan volume penjualan, karena apabila penjualan yang ada dapat
berjalan dengan stabil maka secara langsung perusahaan tersebut akan mendapat
keuntungan yang tinggi dan stabil
Bagi perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, kecenderungan
penggunaan hutang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan rendah. Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih
aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil. Hal
ini disebabkan karena kebutuhan dana yang digunakan untuk pembiayaan
pertumbuhan penjualan semakin besar (Ambasari & Hermanto, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Ambasari (2017); Joni dan Lina (2010);
Novitasari & Mildawati (2017) menyatakan bawa hasil pertumbuhan perusahaan
mempunyai pengaruh positif yang signifikan pada struktur modal

Pengaruh Struktur Aktiva (Asset Tangibility) Terhadap Struktur Modal

 


Perusahaan yang memiliki komposisi aktiva tetap berwujud yang
jumlahnya besar, tentu akan mempunyai peluang untuk memperoleh tambahan
modal dengan utang. Karena aktiva tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk
memperoleh utang. Komposisi aktiva yang dapat dijadikan jaminan perusahaan
mempengaruhi pembiayaannya dan seorang investor akan lebih mudah
memberikan pinjaman bila disertai jaminan yang ada (Widyasta & Suhermin,
2017).
Teori pecking order memprediksi bahwa perusahaan memegang lebih aset
yang berwujud akan kurang rentan menghadapi masalah informasi asimetris dan
mengurangi biaya keagenan. Aset menunjukkan aktiva yang digunakan untuk
aktivitas operasional perusahaan. Semakin besar aset diharapkan semakin besar
hasil operasional yang dihasilkan perusahaan. Peningkatan aset yang diikuti
peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar
terhadap perusahaan (Novitasari & Mildawati, 2017).
Suatu perusahaan jika sebagian besar dananya terdiri dari aktiva tidak
lancar akan mengutamakan kebutuhan dananya dengan utang. Pemilihan jenis
aktiva yang dilakukan suatu perusahaan akan mempengaruhi struktur modal
perusahaan tersebut. Pada saat proporsi aktiva lebih besar akan mendorong
pemberi pinjaman untuk memberikan pinjaman yang berarti perusahaan memiliki
tingkat leverage yang lebih tinggi. Proporsi aktiva yang besar merupakan jaminan
yang lebih bagi pemberi pinjaman, sehingga kepemilikan aktiva tersebut juga
dapat menjaga nilai likuiditas perusahaan. Perusahaan yang memiliki komposisi
aktiva dalam jumlah besar, tentu akan mempunyai peluang untuk memperoleh
tambahan modal dengan utang. Karena aktiva tersebut dapat dijadikan sebagai
agunan untuk memperoleh utang (Widyasta & Suhermin, 2017).
Hasil penelitian Astiti (2015) membuktikan bahwa struktur aktiva
berpengaruh positif terhadap struktur modal.

Profitabilitas

 


Rasio profitabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba (profitabilitas) pada tingkat penjualan,
aktiva, dan modal. Cara pengukurannya adalah dengan proksi ROA, yaitu
membandingkan laba bersih setelah pajak dengan total aktivanya (Joni dan Lina,
2010).
Profitabilitas merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan
struktur modal perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan yang memiliki
profitabilitas tinggi cenderung menggunakan utang yang relatif kecil karena laba
ditahan yang tinggi sudah memadai untuk membiayai sebagian besar kebutuhan
pendanaan. Menurut Brigham & Houston (2014), perusahaan dengan tingkat
pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan utang yang relatif kecil
karena tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan perusahaan untuk
membiayai sebagian besar pendanaan internal. Dengan laba ditahan yang besar,
perusahaan akan menggunakan laba ditahan sebelum memutuskan untuk
menggunakan utang. Hal ini sesuai dengan Pecking Order Theory yang
menyarankan bahwa manajer lebih senang menggunakan pembiayaan yang
pertama yaitu laba ditahan kemudian utang.

Likuiditas

 


Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan membayar kewajiban
jangka pendeknya dengan aktiva lancar yang dimiliki. Semakin tinggi likuiditas
perusahaan maka semakin baik kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya (Brigham & Houston, 2014). Salah satu faktor yang
mempengaruhi penentuan komposisi struktur modal ini adalah likuiditas.
Perhitungan rasio likuiditas memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan. Pihak yang paling berkepentingan adalah
pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan untuk menilai kinerja
perusahaannya untuk membayar kewajibannya. Posisi likuiditas perusahaan
berhubungan dengan apakah perusahaan mampu melunasi kewajibannya yang
jatuh tempo dalam jangka pendek. Rasio likuiditas adalah rasio yang
menunjukkan hubungan kas dan aktiva lancar lainnya dengan kewajiban lancar
(Brigham & Houston, 2014). Jumlah alat-alat pembayaran (alat-alat likuiditas)
yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat tertentu merupakan “kekuatan
membayar” dari perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan yang banyak
menggunakan aktiva lancar berarti perusahaan tersebut dapat menghasilkan aliran
kas untuk membiayai aktivitas operasi dan investasinya (. Likuiditas dalam
penelitian ini diukur dengan menggunkan current ratio.Current ratio merupakan
perbandingan antara aktiva lancar dan kewajiban lancar dan merupakan ukuran
yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan suatu perusahaan
memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Current ratio menunjukkan sejauh mana
akitva lancar menutupi kewajiban-kewajiban lancar. Semakin besar perbandingan
aktiva lancar dan kewajiban lancar semakin tinggi kemampuan perusahaan
menutupi kewajiban jangka pendeknya. Current ratio yang rendah biasanya
dianggap menunjukkan terjadinya masalah dalam likuidasi, sebaliknya current
ratio yang terlalu tinggi juga kurang bagus, karean menunjukkan banyaknya dana
menganggur yang pada akhirnya dapat mengurangi kemampulabaan perusahaan
(Brigham & Houston, 2014)

Tingkat Pertumbuhan Penjualan

 


Tingkat Pertumbuhan Penjualan Yaitu tingkat perubahan penjualan dari
tahun ke tahun. Cara pengukurannya adalah dengan membandingkan penjualan
pada tahun ke t setelah dikurangi panjualan pada periode sebelumnyaterhadap
penjualan pada periode sebelumnya (Carnevela & Widyawati, 2017).
Suatu perusahaan yang berada dalam industri yang mempunyai laju
pertumbuhan yang tinggi harus menyediakan modal yang cukup untuk
membelanjai perusahaan. Perusahaan yang tumbuh dengan cepat cenderung lebih
banyak menggunakan utang daripada perusahaan yang tumbuh secara lambat.
Bagi perusahaan dengan tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi
kecenderungan perusahaan menggunakan utang sebagai sumber dana eksternal
yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tingkat
pertumbuhan penjualannya rendah. Perusahaan dengan penjualan yang relatif
stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung
beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya
tidak stabil (Brigham & Houston, 2014

Ukuran Perusahaan

 


Ukuran perusahaan dapat diartikan sebagai besar kecilnya perusahaan.
Ukuran perusahaan juga menunjukkan aktivitas yang dimiliki perusahaan. Ukuran
perusahaan terbukti memiliki peranan penting dalam menentukan pilihan struktur
modal yang akan digunakan oleh suatu perusahaan. Perusahaan besar akan lebih
mudah memperoleh modal di pasar modal dibandingkan dengan perusahaan kecil
karena perusahaan besar memiliki probabilitas yang lebih besar untuk
memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Perusahaan besar
cenderung untuk mengungkapkan lebih banyak informasi kepada investor luar
dari pada perusahaan kecil. Suatu perusahaan besar yang sahamnya tersebar luas,
setiap terjadi perluasan modal saham hanya berpengaruh kecil tehadap
kemungkinan hilangnya pengawasan dari pihak dominan perusahaan (Irdiana,
2016).
Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan.
Besar kecilnya suatu perusahaan dapat ditinjau dari lapangan usaha yang
dijalankan. Penentuan besar kecilnya skala perusahaan dapat ditentukan
berdasarkan total penjualan dan total aktiva, mencerminkan semakin besar ukuran
perusahaan sehingga memperbanyak pula alternatif pendanaan yang dapat dipilih
dalam meningkatkan profitnya. Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin
kecil perusahaan menggunakan utang sebagai sumber dana perusahaan (Seftianne
& Handayani, 2011). Menurut Riyanto (2013), kebanyakan perusahaan industri
sebagian besar dari modalnya tertanam dalam aktiva tetap (fixed assets), akan
mengutamakan pemenuhan modalnya dari modal yang permanen, yaitu modal
sendiri, sedang hutang sifatnya sebagai pelengkap. Hal ini dapat dihubungkan
dengan adanya aturan struktur finansial konservatif horisontal yang menyatakan
bahwa besarnya modal sendiri hendaknya paling sedikit dapat menutup jumlah
aktiva tetap plus aktiva lain yang sifatnya permanen. Ukuran perusahaan dalam
penelitian ini diukur dengan menggunkan logaritma In(Aktiva). Konsep dari
signaling theory perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan
menghindari penjualan saham sedangkan perusahaan dengan prospek yang kurang
menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya

Struktur aktiva

 


Struktur aktiva adalah kekayaan atau sumber-sumber ekonomi yang
dimiliki oleh perusahaan yang diharapkan akan memberikan manfaat dimasa yang
akan datang, yang terdiri dari aktiva tetap aktiva tidak berwujud, aktiva lancar,
dan aktiva tidak lancar. Cara pengukuranya adalah membandingkan antara aktiva
lancar dengan total aktiva (Andika & Fitria, 2016).
Aktiva tetap dapat dijadikan jaminan /collateral dalam melakukan
pinjaman utang, dan karenanya dapat mereduksibiaya dari kesulitan keuangan
(cost of financial distress) dan ini akan semakin meningkatkan kapastitas tingkat
utang yang dapat menguntungkan perusahaan. Hipotesis ini sesuai dengan teori
trade-off, dimana perusahaanperlumenyeimbangkan antara manfaat dan biaya dari
penggunaan utang (Indrajaya et al., 2011). Nilai likuidasi aktiva tetap biasanya
akan lebih tinggi daripada aktiva tidak berwujud (intangible asset), sehingga
ketika perusahaan mengalami kebangkrutan, biaya kesulitan keuangan (cost of
financial distress) yang ditanggung oleh perusahaan lebih kecil dibandingkan jika
perusahaan tersebut memiliki aktiva tidak berwujud lebih tinggi. Aktiva berwujud
yang semakin besar akan menunjukkankemampuan perusahaan dalam
memberikan jaminan yang lebih tinggi, sehingga dengan mengasumsikan semua
faktor lain konstan, perusahaan akanmeningkatkan utang untuk mendapatkan
keuntungan dari penggunaan utang (Indrajaya et al., 2011).

Trade Off Theory

 


Trade off theory menyatakan bahwa struktur modal optimal tercapai pada
saat terjadi keseimbangan antara manfaat dan pengorbanan penggunaan hutang.
Model trade-off mengansumsikan bahwa struktur modal perusahaan merupakan
hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya
yang akan timbul sebagai akibat penggunaan hutang tersebut. Trade off theory
telah mempertimbangkan berbagai faktor seperti corporate tax, biaya
kebangkrutan, dan personal tax, dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan
memilih struktur modal tertentu (Husnan & Pudjiastuti, 2012). Trade Off Theory
memberikan kontribusi penting yaitu:
1. Perusahaan yang memiliki total aktiva yang tinggi, sebaiknya perusahaan
tersebut menggunakan sedikit hutang.
2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak
menggunakan hutang dibandingkan perusahaan yang membayar pajak
rendah.

Pecking Order Theory

 


Menurut Myer (1984) dalam Husnan & Pudjiastuti (2012), pecking order
theory menyatakan bahwa:
1. Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi
perusahaan berwujud laba ditahan).
2. Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan
akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu dengan
penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi
(seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi,
saham baru diterbitkan.
Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena
ada dua jenis sumber modal, yaitu internal dan eksternal. Menurut Myers (1984)
perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yakni
dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan
sumber pendanaan dengan mengacu pada pecking order theory adalah: internal
fund (dana internal), debt (hutang), dan equity (modal sendiri). Pecking order
theory menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya
meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan disebabkan karena
mereka mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena memerlukan
pendanaan dari luar yang sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan
cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dua alasan, yaitu:
1. Dana tidak cukup.
2. Utang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai (Husnan &
Pudjiastuti, 2012)

Struktur Modal

 


Struktur modal merupakan pembelanjaan permanen perusahaan yang
mencerminkan perimbangan atau perbandingan antara hutang jangka panjang
dengan modal perusahaan (Riyanto, 2013). Definisi lain struktur modal adalah
perimbangan jumlah hutang jangka panjang, saham preferen, dan saham biasa
(Septantya, Dzulkirom, & Azizah, 2015). Struktur modal yang optimal adalah
struktur modal yang harus berada pada keseimbangan antara resiko dan
pengembalian (return) yang memaksimumkan harga saham (Brigham & Houston,
2014). Struktur modal yang optimal dapat berubah sepanjang waktu, yang dapat
mempengaruhi biaya modal tertimbang (weighted average cost of capital).
Selanjutnya, perubahan biaya modal akan mempengaruhi keputusan anggaran
modal dan akhirnya akan mempengaruhi harga saham perusahaan.
Apabila suatu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dananya
mengutamakan sumber dari dalam perusahaan, maka ketergantungan pihak
perusahaan terhadap pihak luar sangat kecil. Tetapi ada saat-saat tertentu dimana
semua sumber dana dari dalam perusahaan telah digunakan, sementara kebutuhan
dana perusahaan semakin meningkat sehingga dalam hal ini perusahaan perlu
mencari alternatif pendanaan. Alternatif pendanaan ini bisa dilakukan dengan
menggunakan sumber-sumber pendanaan dari luar misalnya, melalui utang atau
dengan menerbitkan saham baru. Dalam kaitannya dengan masalah penentuan
sumber-sumber dana yang akan digunakan, serta berapa besarnya proporsi
masing-masing sumber dana tersebut, maka perusahaan akan menganalisis
sejumlah faktor untuk kemudian menetapkan struktur modal yang ditargetkan
(capital structure ), yaitu bauran atau perpaduan dari utang, saham preferen, dan
saham biasa yang dikehendaki perusahaan dalam struktur modalnya (Brigham &
Houston, 2014). Adanya struktur modal yang ditargetkan ini, membantu
perusahaan untuk selalu konsisten didalam menentukan struktur modalnya. Jika
pada kenyataannya rasio utang ternyata berada dibawah tingkat sasaran, ekspansi
modal biasanya akan dilakukan dengan menerbitkan utang, sedangkan jika rasio
utang berada diatas tingkat sasaran, biasanya ekuitas yang akan diterbitkan.
Struktur modal suatu perusahaan secara umum terdiri atas beberapa komponen
(Riyanto, 2013) yaitu:
1. Hutang Jangka Panjang
Hutang jangka panjang merupakan salah satu dari bentuk pembiayaan
jangka panjang yang memiliki masa jatuh tempo lebih dari satu tahun, biasanya 5-
20 tahun. Pinjaman hutang jangka panjang dapat berupa pinjaman berjangka
(pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen,
untuk melunasi hutang lain, atau membeli mesin dan peralatan) dan penerbitan
obligasi (hutang yang diperoleh melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam
surat obligasi ditentukan nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan
obligasi tersebut).
2. Modal Sendiri
Modal sendiri (equity capital) merupakan dana jangka panjang perusahaan
yang disediakan oleh pemilik perusahaan (pemegang saham), yang terdiri dari
berbagai jenis saham (saham preferen dan saham biasa) serta laba ditahan. Modal
sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik
perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam
perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman
memiliki jatuh tempo.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan

 


Menurut Handono Mardiyanto (2009: 182) nilai perusahaan dibentuk oleh
beberapa faktor sebagai berikut Sedangkan menurut Tri Wahyuni (2013: 5) faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Keputusan investasi
Jika investasi perusahaan bagus maka akan berpengaruh pada kinerja
perusahaan, hal ini menjadi respon positif oleh investor dengan membeli
saham perusahaan tersebut sehingga harga saham akan naik.
2. Keputusan pendanaan
Perusahaan yang porsi utangnya tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan
tersebut mampu membayar kewajiban-kewajiban dimasa yang akan datang
sehingga mengurangi ketidak pastian investor terhadap kemampuan
perusahaan dalam memberikan pengembalian atas modal yang telah
disetorkan investor. Kepercayaan investor ini akan ditunjukkan melalui
Faktor Pasar
- Kondisi ekonomi
- Peraturan pemerintah
- Persaingan (domestic dan asing)
Faktor Perusahaan
- Operasi (pendapatan dan beban)
- Keputusan pendanaan
- Keputusan investasi
Faktor Investor
- Pendapatan/tabungan
- Usia/gaya hidup
- Tingkat bunga preferensi resiko
Arus Kas Bersih Tingkat Imbal Hasil
Nilai perusahaan
pembelian saham tersebut yang nantinya akan meningkatkan nilai
perusahaan.
3. Kebijakan dividen
Pembayaran dividen akan meningkatkan apresiasi pasar terhadap saham
perusahaan yang membagikan dividen tersebut, dengan demikian pembayaran
dividen berimplikasi positif terhadap nilai perusahaan.
4. Ukuran perusahaan
Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar keyakinan investor
akan kemampuan perusahaan dalam memberikan tingkat pengembalian
investasi. Sehingga, akan mempengaruhi terhadap nilai perusahaan.
5. Profitabilitas
Profitabilitas yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi para pemegang saham. Sehingga
menarik minat investor untuk menanamkan modalnya diperusahaan. Semakin
diminatinya saham perusahaan terebut maka akan meningkatkan nilai
perusahaan.
6. Kepemilikan institusional
Kepemilikan institusional memiliki peranan penting untuk memonitor
manajer dalam mengelola perusahaan, semakin tinggi persentase kepemilikan
institusi maka semakin efisien fungsi monitoring terhadap manajemen dalam
memanfaatkan aset perusahaan serta mencegah pemborosan oleh manajemen.
Dengan ini masalah keagenan yang timbul antara pemegang saham dengan
manajer dapat diminimalkan. Penilaian investor akan semakin baik pada
perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh investor institusi, dan akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan.

Pengukuran Nilai Perusahaan

 


Menurut Michell Suharli (2006) dalam Uniariny (2012: 40), ada beberapa
pendekatan yang biasa dilakukan untuk nilai perusahaan, yaitu pendekatan laba
dengan metode rasio tingkat laba atau Price Earning Ratio, pendekatan arus kas
dengan metode diskonto arus kas, pendekatan dividen dengan metode
pertumbuhan dividen, pendekatan aktiva dengan metode penilaian aktiva,
pendekatan harga saham dan pendekatan Economic Value Added (EVA).
Nilai perusahaan dengan pendekatan harga saham menggunakan rasio
yang disebut rasio penilaian. Menurut I Made Sudana (2015: 23) rasio penilaian
adalah suatu rasio yang terkait dengan kinerja saham perusahaan yang telah
diperdagangkan di pasar modal.
Menurut Weston J. Fred dan Copeland (2008: 244) dalam Dwi Rynda
Windiarti (2016: 37) nilai perusahaan dapat diukur dengan rasio penilaian yang
terdiri dari Price Earning Ratio (PER), Price to Book Value (PBV) dan Tobin’s
Q. Berikut penjelasan dari rasio-rasio penilaian tersebut.
45
1. Price Earning Ratio (PER)

(Irham Fahmi, 2017: 138)
Rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar perbandingan antara
harga saham perusahaan dengan keuntungan yang diperoleh oleh pemegang
saham. Rasio ini menunjukan berapa banyak jumlah uang yang rela
dikeluarkan oleh investor untuk membayar setiap Rupiah laba yang
dilaporkan dan untuk melihat bagaimana pasar menghargai kineraja
perusahaan yang dicerminkan oleh Earning Per Sharenya. Rasio ini berfungsi
untuk mengukur perubahan kemampu labaan yang dharapkan di masa yang
akan datang. Semakin besar Price Earning Ratio (PER), maka semakin besar
pula kemungkinan perusahaan untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan
nilai perusahaan.
2. Price Book Value (PBV)

Yang mana Book Value Per Share dihitung dengan cara sebagai berikut:

(Irham Fahmi, 2017: 139)
Rasio ini mengukur perbandingan harga saham dengan nilai buku saham
untuk menunjukan apakah harga saham yang diperdagangkan overvalued (di
46
atas) atau undervalued (di bawah) nilai buku saham tersebut. Rasio Price
Book Value (PBV) menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai
buku saham perusahaan. Semakin tinggi PBV maka semakin tinggi
kepercayaan investor atau masyarakat terhadap prospek perusahaan di masa
yang akan datang.
3. Tobin’s Q
Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah
dengan menggunakan Tobin’s Q. Tobin’s Q ini dikembangkan oleh Professor
James Tobin (Weston dan Copelan, 2008: 243). Penggunaan Tobin’s Q
dimaksudkan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mengelola aset
agar tercipta nilai pasar modal yang menguntungkan (Farah Margaretha,
2011: 20). Menurut Smithers, Andrew dan Stephen Wright (2007:37) dalam
Bhekti Fitri Praseyorini (2013: 186), Tobin’s Q dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
EMV = Nilai pasar ekuitas, dihitung dengan cara jumlah saham yang
beredar x harga penutupan.
D = Nilai buku dari total utang
TA = Total aset perusahaan
(Smithers dan Wright, 2007: 37 dalam Bhekti Fitri Praseyorini, 2013: 186)
Tobin’s Q < 1 maka menunjukkan bahwa nilai buku asset perusahaan lebih
besar dari nilai pasar perusahaan (undervalued), sebaliknya jika Tobin’s Q >
1 menunjukkan bahwa nilai pasar perusahaan lebih tinggi dibanding nilai
buku asetnya, sehingga mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki potensi
pertumbuhan yang tinggi sehingga nilai perusahaan lebih dari nilai asetnya
(overvalued) (Bhekti Fitri Praseyorini, 2013:186).
Dalam penelitian ini, untuk meneliti nilai perusahaan rasio yang digunakan
adalah Tobin’s Q. Karena rasio Tobin’s Q memberikan gambaran tidak hanya
pada aspek fundamental, tetapi juga sejauh mana pasar menilai perusahaan dari
berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luas termasuk investor (Bhekti Fitri
Praseyorini, 2013:186). Serta Tobin’s Q memasukkan semua unsur utang dan
modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas
perusahaan yang dimasukkan namun seluruh aset perusahaan. Dengan
memasukkan seluruh aset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus
pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk
kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari
ekuitas saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan kreditur. Semakin besar nilai
Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang
baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset perusahaan
dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar kerelaan
investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan
tersebut (Sukmawati Sukamulja, 2004 dalam Wien Ika Permanasari, 2010: 25)..
Menurut Farah Margaretha (2011: 27), kelemahan Tobin’s Q adalah
Tobins’Q dapat menyesatkan dalam pengukuran kekuatan pasar karena sulitnya
memperkirakan biaya atas pergantian atas harta, pengeluaran untuk iklan dan
penelitian serta pengembangan menciptakan aset tidak berwujud

Jenis-Jenis Nilai dalam Nilai Perusahaan

 


Menurut Yulius J. C dan Josua Taringan (2007: 3) terdapat lima jenis nilai
perusahaan berdasarkan metode perhitungan yang digunakan, yaitu:
1. Nilai nominal
Merupakan nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar
perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan dan juga
ditulis secara jelas dalam surat saham kolektif.
2. Nilai Pasar
Nilai pasar adalah harga yang terjadi dari proses tawar menawar di pasar
saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar
saham.
3. Nilai Intrinsik
Nilai intrinsik merupaka konsep yang paling abstrak, karena mengacu kepada
perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai
intrinsik ini bukan sekedar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai
perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan
keuntungan di kemudian hari.
4. Nilai Buku
Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan konsep akuntansi.
Secara sederhana dihitung dengan membagi selisih antara total aset dan total
utang dengan jumlah saham yang beredar.
5. Nilai likuidasi
Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi
semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai likuidasi dapat dihitung dengan
cara yang sama dengan menghitung nilai buku, yaitu berdasarkan neraca
performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi.

Pengertian Nilai Perusahaan

 


Menurut Harmono (2011: 233) nilai perusahaan merupakan kinerja
perusahaan yang dicerminkan oleh harga saham yang dibentuk oleh permintaan
dan penawaran di pasar modal yang merefleksikan penilaian masyarakat terhadap
kinerja perusahaan.
Sedangkan menurut Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti (2012: 7), nilai
perusahaan merupakan harga bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila
perusahaan tersebut dijual, semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar
kemakmuran yang diterima oleh perusahaan.
Selain itu, menurut Handono Mardiyanto (2009: 181), nilai perusahaan
adalah nilai sekarang dari serangkaian arus kas masuk yang dihasilkan perusahaan
pada masa mendatang.
Menurut Agus Sartono (2010: 487), nilai Perusahaan adalah nilai jual
sebuah perusahaan sebagai suatu bisnis yang sedang beroperasi. Adanya
kelebihan nilai jual diatas nilai likuidasi adalah nilai dari organisasi manajemen
yang menjalankan perusahaan itu.
Menurut Arthur J Keown (2010: 35) yang diterjemahkan oleh Chaerul D
Djakman, nilai perusahaan adalah nilai pasar dari hutang dan ekuitas perusahaan.
Modal yang diinvestasikan sedikit lebih problematis, secara konseptual, modal
yang diinvestasikan perusahaan merupakan jumlah dari seluruh dana yang telah
diinvestasikan di dalamnya.
Farah Margaretha (2011: 5) menjelaskan bahwa nilai perusahaan yang
sudah go public merupakan nilai yang tercermin dalam harga pasar saham
perusahaan, sedangkan nilai perusahaan yang belum go public nilainya terealisasi
apabila perusahaan akan dijual.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
nilai perusahaan adalah apresiasi atau penilaian investor ataupun masyarakat
terhadap kinerja perusahaan yang dibentuk oleh permintaan dan penawaran saham
perusahaan yang tercermin pada harga saham untuk perusahaan go public dan
tercermin ke harga jual perusahaan untuk perusahaan yang belum go public.
Nilai perusahaan tercermin ke dalam harga saham. Hal ini terjadi karena
investor yang menilai perusahaan memiliki prospek yang baik di masa depan akan
cenderung membeli saham perusahaan tersebut. Akibatnya permintaan saham
yang tinggi menyebabkan harga saham meningkat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa harga saham yang meningkat menunjukan bahwa investor memberikan
nilai yang tinggi terhadap perusahaan

Pengukuran Kepemilikan Manajerial

 


Untuk mengukur kepemilikan manajerial, penelitian ini mengikuti Ikin
Solikin, Mimin Widaningsih, dan Sofie Desmiranti Lestari (2015: 729) yaitu
kepemilikan manajerial diukur dari persentase jumlah saham yang dimiliki
manajemen (direksi dan komisaris) dibanding jumlah saham perusahaan yang
beredar. Saham yang beredar adalah bagian saham perusahaan yang sudah
memiliki status dimiliki oleh orang perorangan ataupun perusahaan ataupun
lembaga. Rasio ini membandingkan saham yang dimiliki manajemen dengan jumlah saham biasa yang beredar sehingga dapat diketahui persentase kepemilikan manajerial perusahaan.

Fungsi dan Level Kepemilikan Manajerial

 


Berikut ini adalah fungsi dan level kepemilikan manajerial dalam
perusahaan menurut Yuli Soesetio (2007:390) :
1. Low Levels of Managerial Ownerdhip (0%-5%)
Untuk low levels of managerial ownership, disiplin eksternal, pengendalian
internal dan insentif masih didominasi oleh tingkah laku manajemen. Secara
empiris, Morck et al (1988), McConnel and serveas (1990) dan Hermalin and
Weisbach (1991) menyatakan perilaku insiders ini berhubungan dengan
managerials holdings dan nilai perusahaan. Manajemen dalam level ini
apabila kinerja mereka baik lebih cenderung lebih memilih paket kompensasi
seperti opsi saham dan stock grants dari pada menambah jumlah kepemilikan
saham diperusahaan sendiri.
2. Intermadicate Levels of Managerial Ownership (5%-25%)
Di level ini, insiders mulai menunjukkan perilaku sebagai pemegang saham.
Dengan bertambahnya kepemilikan maka semakin besar jumlah hak suara
mereka. Jika low levels of managerial ownership lebih memilih rencana
kompensasinya sedangkan intermediate levels of managerial ownership lebih
memilih mengambil kendali perusahaan.
3. High Levels of Managerial Owneship (40%-50%)
Di level ini, kepemilikan inseders tidak memiliki otoritas penuh terhadap
perusahaan dan disiplin eksternal tetap berlaku.
4. High Levels of Managerial Owneship (greaters than 50%)
Di level ini, insiders memiliki wewenang penuh terhadap perusahaan. Dengan
kepemilikan diatas 50% adanya tekanan dari disiplin eksternal (outside
shareholders) hampir tidak ada sehingga mengakibatkan menurunya nilai
perusahaan.
5. Very high levels of managerial ownership
Di level ini perusahaan diniliki oleh pemilik tunggal.

Pengertian Kepemilikan Manajerial

 


Bodie Z A. Kane dan A. Marcus (2006: 9) yang diterjemahkan oleh
Zuliani Dalimunthe dan Budi mendefinisikan kepemilikan manajerial adalah
sebagai berikut:
“Kepemilikan manajerial merupakan pemisahaan kepemilikan antara
pihak outsider dengan pihak insider. Jika dalam suatu perusahaan
memiliki banyak pemilih saham, maka kelompok besar individu tersebut
sudah jelas tidak dapat berpartisipasi dengan aktif dalam manajemen
perusahaan sehari-hari. Karenanya, mereka memilih dewan komisaris yang
memilih dan mengawasi manajemen perusahaan. Struktur ini berarti
bahwa pemilik berbeda dengan manajer perusahaan. Hal ini memberikan
stabilitas bagi perusagaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan dengan
pemilik merangkap manajer”.
Menurut Sonya Majid Pracihara (2016: 6), kepemilikan manajerial adalah
pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan di dalam perusahaan, misalnya direktur dan komisaris.
Menurut Wahidahwati (2000) dalam Tedi Rustendi dan Farid Jimmi
(2008: 415) kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak
manajemen secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Direktur
dan Komisaris). Kepemilikan manajerial diukur dari jumlah prosentase saham
yang dimiliki manajer.
Menurut Yuli Soesetio (2007: 390) kepemilikan manajerial yaitu
perbandingan antara kepemilikan saham manajerial dengan jumlah saham yang
beredar. Pemegang saham dan manajer masing-masing berkepentingan
memaksimalkan tujuannya.
Menurut Robertus M. Bambang Gunawan (2016: 75), kepemilikan
manajerial adalah situasi manajer memiliki saham perusaahaan atau dengan kata
lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan.
Sehingga dapat disimpulkan, kepemilikan manajerial merupakan
kepemilikan saham oleh manajemen (direktur dan komisaris) sehingga manajer
tersebut sekaligus sebagai pemegang saham. Dan dapat diukur dengan persentase
jumlah saham yang dimiliki manajemen

Agency Theory

 


Dalam agency theory, tim manajemen diberi kewenangan untuk
mengambil keputusan yang terkait dengan operasi dan strategi perusahaan dengan
harapan keputusan-keputusan yang diambil akan memaksimumkan nilai
perusahaan. Harapan agar tim manajemen selalu mengambil keputusan yang
sejalan dengan peningkatan nilai perusahaan seringkali tidak terwujud. Banyak
keputusan yang diambil oleh manajer justru lebih menguntungkan manajer dan
mengesampingkan kepentingan pemegang saham. Asumsi bahwa orang-orang
yang terlibat dalam perusahaan akan berupaya memaksimalkan nilai perusahaan
ternyata tidak selalu terpenuhi. Agen memiliki kepentingan pribadi yang sebagian
besar bertentangan dengan kepentingan pemilik perusahaan sehingga munculah
masalah keagenan (Sugiarto, 2009: 55).
Masalah keagenan muncul ketika terdapat informasi asimetri baik
berkaitan dengan kegiatan maupun informasi yang dimiliki oleh seorang agen
(Sugiarto, 2009: 23). Manajemen merupakan pihak yang lebih banyak mengetahui
informasi-informasi perusahaan karena secara langsung berkaitan dengan kegiatan
sehari-hari yang ada di perusahaan. Sedangkan pemegang saham hanya
mendapatkan informasi dari laporan manajemen. Sehingga manajemen
mempunyai peluang untuk menyembunyikan informasi (hidden information)
ataupun menyembunyikan tindakan (hidden action) untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Dalam upaya mengurangi atau mengatasi masalah keagenan timbul biaya
keagenan (agency cost), yaitu biaya yang ditanggung oleh pihak principal atau
pun agent untuk mengurangi masalah keagenan (agency conflict). Menurut Jensen
dan meckling (1976) dalam Sugiarto (2009: 56) biaya agensi dibagi menjadi 3
(tiga) komponen, yaitu monitoring cost, bonding cost dan residual cost.
Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk
memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati dan mengontrol
perilaku agent. Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agent untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan
bertindak untuk kepentingan principal. Sedangkan, residual cost merupakan nilai
kerugian yang dialami principal akibat keputusan yang diambil oleh agent, yang
menyimpang dari keputusan yang dibuat oleh principal jika ia memiliki informasi
dan bakat sebagaimana agent. Dengan kata lain, merupakan pengorbanan yang
berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan
keputusan agent dan keputusan principal. Antisipasi atas ketiga biaya yang
didefinisikan sebagai biaya keagenan ini Nampak pada harga saham yang
terkoreksi saat perusahaan menjual sahamnya.
Salah satu upaya untuk mengurangi atau mengatasi masalah keagenan
adalah kepemilikan manajerial. Menurut Jensen dan Mecling dalam I Made
Sudana (2015: 13), agar pihak manajemen bertindak sejalan dengan kepentingan
pemilik perusahaan, pemilik dapat menjamin pihak manajemen akan membuat
keputusan yang optimal hanya jika diberikan insentif yang cukup memadai dan
menejemen merupakan pihak yang minoritas. Insentif bisa berupa opsi saham,
bonus, mobil dan kantor yang memadai, yang besarnya sangat tergantung pada
seberapa dekat keputusan yang diambil pihak manajemen dengan kepentingan
pemilik. Maka dari itu kepemilikan manajerial bisa dikatakan sebagai alternatif
untuk memonitor manajemen agar betindak sesuai kepentingan pemegang saham.
Manajemen menjadi lebih berhati hati dalam membuat keputusan sehingga dana
yang tersedia dikelola dengan baik. Manajemen juga termotivasi untuk
meningkatkan kinerjanya sebagai bentuk tanggungjawab terhadap pemegang
saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai bagian dari pemegang saham
yang merasakan dampak langsung dari kinerja perusahaan