Friday, September 29, 2023

Indikator-Indikator Prestasi Kerja Karyawan

 


Pekerjaan dengan hasil yang tinggi harus dicapai oleh karyawan dengan mengacu
pada indikator-indikator prestasi kerja, menurut Nasution (2000) menyatakan
bahwa ukuran yang perlu diperhatikan dalam prestasi kerja antara lain :
1. Kualitas Kerja
Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi tujuan
yang diharapkan dari pekerjaan tersebut. Kriteria penilaiannya adalah
ketepatan kerja, keterampilan kerja, ketelitian kerja dan kerapihan kerja.
2. Kuantitas kerja
Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan.
Kriteria penilaiannya adalah kecepatan kerja.
3. Disiplin kerja
Kriteria penilaiannya adalah mengikuti instruksi atasan, mematuhi peraturan
perusahaan, dan ketaatan waktu kehadiran.
4. Inisiatif
Kriteria penilaiannya adalah selalu aktif atau semangat menyelesaikan
pekerjaan tanpa menunggu perintah atasan artinya tidak pasif atau bekerja
atas dorongan dari atasan. 
5. Kerjasama
Kriteria penilaiannya adalah kemampuan bergaul dan menyesuaikan diri serta
kemampuan untuk memberi bantuan kepada karyawan lain dalam batas
kewenangannya.

Pengertian Prestasi Kerja

 


Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab
yang diberikan kepadanya, pengertian prestasi kerja sendiri dapat ditafsirkan
sebagai arti pentingnya suatu pekerjaan, tingkat keterampilan yang diperlukan,
kemajuan dan tingkat penyelesaian suatu pekerjaan. Menurut Ranupandojo dan
Husnan (2002), prestasi kerja merupakan proses tingkat mengukur dan menilai
tingkat keberhasilan seseorang dalam pencapaian tujuan, sedangkan menurut
Maier dalam As’ad (2001) menjelaskan bahwa kriteria ukuran prestasi kerja
adalah kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi,
dan keselamatan dalam menjalankan pekerjaan.
Menurut Mangkunegara (2002), menyatakan bahwa prestasi kerja adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, menurut Hasibuan (2008), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu. Sedangkan
menurut Moenir (2005), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan.

Syarat Pemberian Insentif

 


Syarat pemberian insentif menurut Panggabean (2004) adalah :
1. Sederhana
Peraturan dari sistem insentif harus singkat, jelas dan dapat dimengerti.
2. Spesifik
Karyawan harus mengetahui dengan tepat apa yang diharapkan untuk mereka
lakukan.
3. Dapat dicapai
Setiap karyawan mempunyai kesempatan yang masuk akal untuk
memperoleh sesuatu.
4. Dapat diukur
Sasaran yang dapat diukur merupakan dasar untuk menentukan rencana
insentif.

Proses Pemberian Insentif

 


Proses pembagian insentif menurut Panggabean (2004) pemberian insentif
terhadap kelompok dapat diberikan dengan cara :
a. Seluruh anggota menerima pembayaran yang sama dengan yang diterima oleh
mereka yang paling tinggi prestasi kerjanya.
b. Semua anggota kelompok menerima pembayaran yang sama dengan
pembayaran yang diterima oleh karyawan yang paling rendah prestasinya.
c. Semua anggota menerima pembayaran yang sama dengan rata-rata
pembayaran yang diterima oleh kelompok.

Jenis Atau Tipe Insentif

 


Menurut ahli manajemen sumber daya manusia Siagian (2012). Jenis-jenis
insentif ada enam jenis yaitu:
1. Piece Work
Piece work adalah teknik yang digunakan untuk menghitung kinerja
karyawan berdasarkan hasil pekerjaan karyawan yang dinyatakan dalam
jumlah unit produksi.
2. Bonus
Bonus adalah insentif yang diberikan kepada karyawan yang mampu bekerja
sedemikian rupa sehingga tingkat produksi yang baku terlampaui.
3. Komisi
Komisi adalah bonus yang diterima karena berhasil melaksanakan tugas dan
sering diterapkan oleh tenaga-tenaga penjualan.
4. Insentif Bagi Eksekutif
Insentif bagi eksekutif adalah insentif yang diberikan kepada karyawan
khususnya manajer atau karyawan yang memiliki kedudukan tinggi dalam
suatu perusahaan, misalnya untuk membayar cicilan rumah, kendaraan
bermotor, atau biaya pendidikan anak.
5. Kurva Kematangan
Kurva kematangan diberikan kepada tenaga kerja yang masa kerja dan
golongan pangkat serta gajinya tidak bisa mencapai pangkat dan penghasilan
yang lebih tinggi lagi, misalnya dalam bentuk penelitian ilmiah atau dalam
bentuk beban mengajar yang lebih besar dan sebagainya. 
6. Rencana Insentif Kelompok
Rencana insentif kelompok adalah kenyataan bahwa dalam banyak
organisasi, kinerja bukan karena keberhasilan individual melainkan karena
keberhasilan kelompok kerja yang mampu bekerja sebagai suatu tim. 

Tujuan Pemberian Insentif

 


Menurut pendapat Ranupandojo dan Husnan (2002 ) mengatakan bahwa
pelaksanaan sistem upah insentif ini dimaksudkan perusahaan terutama untuk
meningkatkan produktivitas kerja karyawan dan mempertahankan karyawan yang
berprestasi untuk tetap berada dalam perusahaan. 
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
pemberian insentif yaitu :
1. Bagi perusahaan
Tujuan dari pelaksanaan insentif dalam perusahaan adalah untuk
meningkatkan produkstivitas kerja karyawan dengan jalan
mendorong/merangsang agar karyawan :
a) Bekerja lebih bersemangat dan cepat.
b) Bekerja lebih disiplin. c) Bekerja lebih kreatif.
2. Bagi Karyawan
Dengan adanya pemberian insentif karyawan akan mendapat keuntunga
diantaranya :
a) Standar prestasi dapat diukur secara kuantitatif.
b) Standar prestasi di atas dapat digunakan sebagai dasar pemberian balas jasa
yang diukur dalam bentuk uang.
c) Karyawan harus lebih giat agar dapat menerima uang lebih besar. 

Indikator-Indikator Pemberian Insentif

 


Menurut Hasibuan (2008) pertimbangan dasar penyusunan insentif antara lain
sebagai berikut :
1. Fasilitas
Fasilitas adalah kenikmatan atau fasilitas seperti mobil prusahaan,
keanggotaan klub, tempat parkir khusus, atau akses kepesawatan prusahaan
yang diperoleh karyawan. Fasilitas dapat mewakili jumlah substansi dari
insentif terutama eksekutif yang dibayar mahal.
2. Lama karyawan bekerja
Besarnya insentif ditentukan berdasarkan lamanya karyawan melaksanakan
atau menyelesaikan suatu pekerjaan. Cara perhitungannya dapat
menggunakan per jam, per hari, per minggu atau pun per bulan. Umumnya
cara yang diterapkan apabila ada kesulitan dalam menerapkan cara pemberian
insentif, maka berdasarkan kinerja.
3. Kebutuhan
Cara ini menunjukkan bahwa insentif pada karyawan didasarkan pada tingkat
urgensi kebutuhan hidup yang layak dari karyawan. Ini berarti insentif yang
diberikan adalah wajar apabila dapat dipergunakan untuk memenuhi sebagian
kebutuhan pokok.
4. Keadilan dan Kelayakan
Disamping masalah keadilan dalam pemberian insentif tersebut perlu pula
diperhatikan masalah kelayakan. Layak pengertiannya membandingkan
besarnya insentif dengan perusahaan lain yang bergerak dalam bidang usaha 
sejenis. Apabila insentif didalam perusahaan yang bersangkutan lebih rendah
dibandingkan dengan perusahaan lain, maka perusahaan/instansi akan
mendapat kendala yakni berupa menurunnya kinerja pegawai yang dapat
diketahui dari berbagai bentuk akibat ketidakpuasan pegawai mengenai
insentif tersebut.
5. Evaluasi Jabatan
Evaluasi jabatan adalah suatu usaha untuk menentukan dan membandingkan
nilai suatu jabatan tertentu dengan nilai jabatan-jabatan lain dalam suatu
organisasi, ini berarti pula penentuan nilai relatif atau harga dari suatu jabatan
guna menyusun rangking dalam penentuan insentif

Pengertian Insentif

 


Insentif merupakan sejumlah uang yang di tambahkan pada upah dasar yang
diberikan sebuah perusahaan kepada karyawan dengan tujuan supaya karyawan
bekerja lebih giat dan hasil kerjanya lebih maksimum. Pengertian insentif menurut
Mangkunegara (2002) adalah suatu bentuk motivasi yang dinyatakan dalam
bentuk uang atas dasar kinerja yang tinggi dan juga merupakan rasa pengakuan
dari pihak organisasi terhadap kinerja karyawan dan kontribusi terhadap
organisasi atau perusahaan sedangkan menurut Handoko (2002) insentif adalah
perangsang yang ditawarkan kepada para karyawan untuk melaksanakan kerja
sesuai atau lebih tinggi dari standar-standar yang telah ditetapkan.
Pengertian insentif menurut Simamora (2004) adalah kompensasi yang
mengaitkan bayaran atas dasar untuk dapat meningkatkan produktivitas para
karyawan guna mencapai keunggulan yang kompetitif, sedangkan menurut
Nawawi (2003) mengemukakan bahwa insentif adalah penghargaan atau ganjaran
yang diberikan untuk memotivasi para karyawan agar produktivitasnya tinggi dan
sifatnya tidak tetap.

Manfaat Komitmen

 


Komitmen dibentuk dengan berbagai strategi bukan berarti tidak ada manfaatnya,
manfaat dengan adanya komitmen dalam organisasi adalah sebagai berikut :
1. Para pekerja yang benar-benar menunjukkan komitmen tinggi terhadap
organisasi mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk
menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam organisasi. 2. Memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi yang
sekarang dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan. 3. Sepenuhnya melibatkan diri pada pekerjaan mereka, karena pekerjaan
tersebut adalah mekanisme kunci dan saluran individu untuk memberikan
sumbangannya bagi pencapaian tujuan organisasi.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen

 


Komitmen karyawan tidak akan dimiliki oleh karyawan kecuali ada faktor-faktor
yang mempengaruhinya, Steers dalam Sopiah (2008) menyatakan bahwa ada tiga
faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan antara lain :
1. Ciri pribadi pekerja
Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi
kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan. 
2. Ciri pekerjaan
Ciri pekerjaan seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
rekan sekerja. 3. Pengalaman kerja
Pengalaman kerja seperti keandalan organisasi di masa lampau dan cara
pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya tentang
organisasi

Strategi Komitmen

 


Komitmen karyawan tidak dapat terus-menerus bertahan dalam diri karyawan
tanpa adanya strategi yang dimiliki perusahaan itu sendiri dalam membangun,
memelihara, dan meningkatkan komitmen karyawan. Menurut Robbins (2009)
memperkuat komitmen karyawan dalam suatu organisasi dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu mengurangi tuntutan kerja karyawan dan meningkatkan
kemampuan karyawan.
a. Mengurangi Tuntutan Karyawan
1. Menentukan prioritas
Menentukan prioritas bertujuan mengurangi tuntutan kerja karyawan dengan
melakukan aktivitas yang berguna dan menunda atau menghilangkan aktivitas
yang tidak berguna.
2. Menetapkan fokus
Tuntutan karyawan dapat terlalu tinggi karena tidak terpusatkan, sebuah
perusahaan dapat melakukan dengan menerapkan beberapa aktivitas yang
sangat penting saja, dalam hal ini fokus dengan menentukan tema bagi
aktivitas perusahannya. 
3. Melakukan rekayasa
Rekayasa proses produksi dapat mengurangi tuntutan kerja karyawan,
rekayasa tersebut dapat berupa memperpendek jalur, otomatisasi, dan
penyederhanaan kerja.
b. Meningkatkan Kemampuan Karyawan
1. Kontrol
Kontrol adalah memberikan karyawan kewenangan untuk mengontrol
keputusan mengenai bagaimana mengerjakan pekerjaan mereka. 2. Strategi atau Visi
Strategi atau visi yaitu menawarkan kepada karyawan visi dan arahan yang
membuat mereka memiliki komitmen untuk berkerja keras.
3. Tantangan Kerja
Tantangan kerja yaitu memberi karyawan stimulasi kerja yang dapat
mengembangkan ketrampilan baru.
4. Kolaborsi dan Team Work
Kolaborsi dan team work yaitu membentuk tim untuk melakukan pekerjaan.
5. Kultur Kerja
Kultur kerja yaitu membangun suatu lingkungan dan susana keterbukaan,
menarik, menyenangkan, dan penuh penghargaan.
6. Membagi Keuntungan
Membagi keuntungan yaitu memberikan kompensasi kepada karyawan
karena menyelesaikan pekerjaan dengan baik. 
7. Komunikasi
Komunikasi yaitu menyebarkan informasi sesering mungkin dan secara
terbuka.
8. Perhatian
Perhatian yaitu memastikan bahwa setiap karyawan diperlakukakn sesuai
martabatnya.
9. Teknologi
Teknologi yaitu memberikan karyawan teknologi yang membuat pekerjaan
mereka menjadi lebih mudah.
10. Pelatihan dan Pengembangan
Pelatihan dan pengembangan yaitu memastikan karyawan memiliki
keterampilam untuk mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik.

Loyalitas

 


Menurut Powers (2000) mendefinisikan bahwa loyalitas mencakup kesediaan
untuk tetap bertahan, memiliki produktivitas yang melampaui standar, memiliki
perilaku altruis, serta adanya hubungan timbal balik di mana loyalitas karyawan
harus diimbangi oleh loyalitas organisasi terhadap karyawan. Indikator yang dapat
dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas karyawan yaitu: 
1. Tetap bertahan dalam organisasi
2. Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan
3. Menjaga rahasia bisnis perusahaan
4. Mempromosikan perusahaan kepada pelanggan dan masyarakat umum
5. Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat
6. Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi
7. Tidak bergosip, berbohong atau mencuri
8. Membeli dan menggunakan produk perusahaan
9. Ikut berkontribusi dalam kegiatan social perusahaan
10. Menawarkan saran-saran untuk perbaikan
11. Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental perusahaan
12. Mau mengikuti arahan atau instruksi
13. Merawat properti perusahaan dan atau tidak memboroskannya
14. Bekerja secara aman
15. Tidak mengakali aturan perusahaan termasuk ijin sakit
16. Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja

Komponen-Komponen Komitmen

 


Zurnali (2010) dengan mengacu pada pendapat-pendapat Meyer and Allen
mendefinisikan masing-masing komponen komitmen organisasional sebagai
berikut:
1) Affective commitment atau komitmen afektif
Komitmen afektif adalah perasaan cinta pada organisasi atau perusahaan yang
memunculkan kemauan untuk tetap tinggal dan membina hubungan sosial
serta menghargai nilai hubungan dengan organisasi dikarenakan telah
menjadi anggota organisasi.
2) Continuance commitment atau komitmen berkelanjutan
Komitmen berkelanjutan adalah perasaan berat untuk meninggalkan
organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan biaya
apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan
partisipasi di dalam organisasi. 
3) Normative Commitment atau komitmen normatif
Komitmen normatif adalah perasaan yang mengharuskan untuk bertahan
dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap
organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai, dan keyakinan
karyawan. 

Pengertian Komitmen Karyawan

 


Sumber daya manusia adalah aset perusahaan yang harus dijaga dan dipelihara
agar karyawan yang berkualitas tetap berada diperusahaan, untuk mewujudkan hal
tersebut karyawan harus memiliki komitmen. Komitmen adalah sikap yang
mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada
organisasinya. Karyawan yang berkomitmen dan berkualitas biasanya selalu dapat
diandalkan dan akan mencurahkan kemampuannya secara maksimal. Pengertian
komitmen karyawan menurut Steers dalam Kuntjoro (2002) adalah rasa
identifikasi, keterlibatan dan loyalitas yang dinyatakan oleh seorang pegawai
terhadap organisasinya. Komitmen karyawan merupakan kondisi dimana pegawai
sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen
terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena
meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat
upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Menurut
Zurnali (2010), komitmen merupakan perasaan yang kuat dan erat dari seseorang 
terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran
mereka terhadap upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut.

Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi

 


Kepuasan kerja yang tinggi dapat meningkatkan komitmen organisasi.
Jaramillo et al. (2006) menyatakan ketika karyawan menerima kepuasan dari
tempat kerjanya, mereka akan menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
pekerjaan tersebut dan pada akhirnya meningkatkan komitmen mereka terhadap
organisasi.Sejumlah penelitian menemukan terdapat hubungan antara kepuasan
kerja dengan komitmen organsiasi. Chaterina Melina Taurisa dan Intan
Ratnawati (2015) membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang searah antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Hal ini menunjukkan bahwa 
semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan PT. Sido
Muncul, maka semakin tinggi komitmen organisasional dalam diri karyawan.
Keseluruhan penelitian mereka menyatakan semakin tinggi kepuasan kerja
mengakibatkan semakin tinggi komitmen organisasi, sebaliknya semakin rendah
kepuasan kerja mengakibatkan semakin rendah komitmen organisasi.

Iklim Organisasi terhadap Komitmen Organisasi

 


Komitmen organisasional adalah suatu syarat dalam peningkatan
produktivitas dan prestasi kerja organisasi, sehingga secara tidak langsung adanya
komitmen tersebut akan berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi. Hal 
ini terjadi karena apabila pegawai memiliki komitmen yang tinggi terhadap
organisasi maka akan muncul loyalitas kepada organisasi dan menjalin hubungan
aktif dan saling mendukung dalam mencapai tujuan organisasi yang
bersangkutan. Pegawai akan bekerja, bersikap, dan berperilaku baik dan keras
untuk organisasi maka akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
(Luthans, 1998). Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa iklim organisasi
berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Berbagai studi empiris dalam
menguji pengaruh iklim organisasi terhadap komitmen pegawai yang telah
dilakukan Kusjainah (1998), dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi
berpengaruh positif terhadap pembentukan komitmen pegawai. Martini dan
Rostiana (2003) menyatakan bahwa iklim organisasi memperlihatkan hubungan
yang positif dan signifikan dengan komitmen pegawai sehingga dapat dikatakan
bahwa semakin positif iklim organisasi dipersepsikan oleh pegawai, maka
semakin kuat komitmennya terhadap organisasi.

 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Iklim Organisasi

 


a. Karakteristik internal
Terdiri dari kondisi dalam organisasi yang diatur dan telah ditetapkan dalam
mencapai tujuan organisasi. Karakteristik internal dikenal melalui beberapa
dimensi:
1. Formalisasi, yaitu tingkat penggunaan dokumentasi tertulis
2. Spesialisasi, yaitu derajat pembagian tugas
3. Sentralisasi, yaitu berupa pembagian kekuasaan dan proses pengambilan
keputusan
4. Otoritas, yaitu berupa pembagian tugas dan pengambilan keputusan
5. Profesionalisme, yaitu menggambarkan tingkat pendidikan anggota
6. Konfigurasi, yaitu menunjukkan pembagian anggota ke dalam bagianbagian.
b. Karakteristik organisasi secara keseluruhan
Organisasi sebagai suatu sistem terbuka, dalam upaya pencapaian tujuan
memiliki karakteristik tertentu sebagai totalitas dapat dilakukan melalui
penelaahan terhadap ukuran organisasi, teknologi yang digunakan dan lingkungan 
yang dihadapi organisasi, faktor umum organisasi, ukuran organisasi, teknologi
dan lingkungan akan mempengaruhi iklim yang dirasakan anggota, karena secara
langsung ataupun tidak, anggota pun berinteraksi dengan faktor-faktor tersebut.
c. Karakteristik individu
Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa iklim organisasi tercipta dari hasil
interaksi individu dalam organisasi. iklim merupakan suasana yang dirasakan
orang-orang yang terlibat dalam organsiasi. Dengan demikian karakteristik
individu seperti persepsi, sifat, kemampuan, akan mempengaruhi iklim organisasi.
demikian juga dengan pengalaman masa lalu, harapan serta nilai-nilai yang dianut
setiap individu akan berpengaruh terhadap proses interaksi. Karakteristik individu
yang satu dengan yang lain berbeda, akan memberi warna pada iklim yang
terbentuk.

Dimensi dan indikator iklim organisasi

 


Dimensi iklim organisasi menurut Litwin dan Stringer (1968) ada 6
(enam) dimensi yang diperlukan sesuai dengan Litwin and StringerOrganizational
Climate Questionaire yakni alat ukur yang dikembangkan oleh Litwin dan
Stringer;
1. Struktur. Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan
diorganisasidengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran
dan tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.
2. Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja
danderajat kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya dengan baik. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan
dalam perusahaan.
3. Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka
menjadi“pimpinan diri sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat mengenai
keputusannya dari orang lain. Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan
pekerjaan.
4. Pengakuan. Perasaan karyawan diberi imbalan yang layak
setelahmenyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah
yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan. 
5. Dukungan. Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan
saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan
rekan kerja yang lain.
6. Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagaianggota
organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin
dicapai oleh perusahaan.

Pengertian iklim organisasi

 


Iklim organisasi adalah hasil dari interaksi antar struktur organisasi, sistem,
budaya, tingkah laku pimpinan dan kebutuhan-kebutuhan psikologis karyawan
(Pareek, 1989 dalam Sivastav, 2006). dapat dikatakan bahwa iklim organisasi
merupakan suatu keadaan atau ciri-ciri atau sifat-sifat yang menggambarkan suatu
lingkungan psikologis organisasi yang dirasakan oleh orang yang berada dalam
lingkungan organisasi tersebut. Dalam hal ini organisasi dan karyawan harus
secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai
komitmen yang dimaksud.
Saleh (2015) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan internal
organisasi. Dapat diketahui bahwa setiap organisasi memiliki iklim organisasi
yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi praktik dan kebijakan SDM yang
akan diterima oleh setiap anggota organisasi. Sifat individu yang akan
menggambarkan setiap perbedaan keberagaman pekerjaan yang dirancang pada
setiap organisasi. Semua organisasi pasti memiliki strategi dalam memanajemen
SDM. Iklim organisasi yang terbuka hanya dapat tercipta jika semua anggota
memiliki persepsi positif pada setiap organisasinya. Iklim organisasi penting 
untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan
oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah laku anggota
selanjutnya. Menurut Wirawan (2007) Iklim organisasi merupakan kualitas
lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh
anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam
pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi.
Ada beberapa teori iklim organisasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Teori Steers
Steers (1977) mengemukakan hubungan antara sebagian faktor
penentu iklim, hasil individu dengan efektivitas organisasi dimana faktor
penentu iklim organisasi adalah kebijakan dan praktek manajemen,
sturktur organisasi, teknologi dan lingkungan luar.
2. Teori Miles
Sergiovanni (1983) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh
indikator untuk megetahui sehat atau kurang sehatnya iklim organisasi,
yaitu: tujuan (goal focus), komunikasi (communication adequacy),
optimalisasi kekuasaan (optimal power equalization), pemanfaatan sumber
daya (resource utilization), kohesifitas (cohesiveness), moril (moral),
inovatif (innovativeness), otonomi (autonomy), adaptasi (adaptation),
pemecahan masalah (problem solving adequacy)
3. Teori Likert
Likert (1967) mengembangkan sebuah instrumen yang memuaskan
pada kondisi-kondisi perilaku dan gaya-gaya manajemen yang digunakan.
Karakteristik yang dicakup oleh skala Likert adalah perilaku pemimpin, 
motivasi, komunikasi, proses pengaruh interaksi, pengambilan keputusan,
penentuan tujuan, dan kontrol
4. Teori Litwin dan Stringer
Litwin dan Stringer (1968) menggunakan teori tiga kebutuhan
(berprestasi,berafiliasi, dan berkuasa) dari McClelland sebagai tipe utama
motivasi, ditemukan bahwa ketiga kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh
iklim organisasi. Juga terdapat sembilan dimensi iklim organisasi, yaitu
struktur, tanggung jawab, imbalan, resiko, keramahan, kehangatan hati,
dukungan, standar, konflik, dan identifikasi.

Indikator Kepuasan Kerja

 


Smith, Kendall dan Hulin (dalam Luthans, 1995) menyebutkan terdapat lima
faktor sumber kepuasan kerja meliputi :
a. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri
Menunjuk pada seberapa besar pekerjaan memberikan tugas – tugas yang
menarik kepada karyawan, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk 
menerima tanggung jawab, dengan indikator - indikator kelengkapan tugas,
kecocokan dengan bakat.
b. Kepuasan terhadap pembayaran
Menunjuk pada kesesuaian antara jumlah pembayaran (gaji/upah) yang
diterima dengan tuntutan pekerjaan dan kesesuaian pembayaran yang
diterima dengan tuntutan ada kesetaraan karyawan dengan karyawan lainnya
dalam perusahaan, dengan indikator - indikator kesesuaian dengan gaji,
kesetaraan dengan pembayaran.
c. Kepuasan terhadap promosi
Menunjuk pada kesempatan memperoleh promosi untuk jenjang jabatan
yang lebih tinggi, dengan indikator – indikator pengembangan karir, promosi
jabatan.
d. Kepuasan terhadap supervisi
Menunjuk pada tingkat penyeliaan yang dilaksanakan dan dukungan
penyelia yang dirasakan karyawan dalam bekerja, dengan indikator –
indikator pengaruh hubungan antara sesama anggota kelompok, dukungan
atau bantuan terhadap pekerjaan.
e. Kepuasan terhadap teman sekerja
Menunjuk pada tingkat hubungan dengan teman sekerja dan tingkat
dukungan teman sekerja dalam bekerja, dengan indikator – indikator
kerjasama yang dilakukan dalam tugas, kerja sama yang dilakukan di luar
tugas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

 


Menurut Luthans (2005), faktor-faktor utama yang mempengaruhi
kepuasan kerja seperti diuraikan berikut ini :
1) Pekerjaan itu sendiri
Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan
yang menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, serta
pekerjaan yang dapat memberikan status.
2) Upah / gaji
Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun merupakan faktor
yang kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja.
3) Promosi
Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh yang beragam
terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda
dan bervariasi pula imbalannya.
4) Supervisi
Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang cukup penting
pula.
5) Kelompok kerja
Pada dasarnya, kelompok kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja.
Rekan kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi
pegawai individu.
6) Kondisi kerja / lingkungan kerja
Jika kondisi kerja bagus (lingkungan sekitar bersih dan menarik) misalnya,
maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan mereka, namun
bila kondisi kerja rapuh (lingkungan sekitar panas dan berisik). 

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Istilah kepuasan kerja pertama sekali dikemukakan oleh Hoppock pada
tahun 1935 (Locke 1968). Hoppock menyatakan kepuasan kerja merupakan
kombinasi antara faktor psikologis dan lingkungan pekerjaan yang mengakibatkan
seseorang berkata puas dengan pekerjaannya. Sikap individu mengenai tingkat 
kepuasan kerja berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada
dirinya.
Terdapat banyak definisi mengenai kepuasan kerja. Bamber dan Iyer
(2002) menyatakan kepuasan kerja merupakan reaksi afektif individu terhadap
lingkungannya atau pekerjaannya. Locke (1968) menjelaskan kepuasan kerja
merupakan hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungannya. Selanjutnya,
Locke (1968) menyatakan kepuasan kerja timbul sebagai hasil dari persepsi
karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai
penting atau menarik. Bila pekerjaan tersebut dapat memberikan hal-hal yang
menarik maka seseorang akan puas dengan pekerjaannya. Sebaliknya, bila
pekerjaan tersebut tidak dapat memberikan hal-hal yang menarik maka seseorang
akan tidak puas dengan pekerjaannya.
Definisi kepuasan kerja yang paling populer sebagaimana yang
dikemukakan oleh Locke (1969). Locke (1969) menyatakan kepuasan kerja
merupakan suatu keadaan yang menyenangkan atau suatu perasaan emosional
positif seseorang terhadap pekerjaannya atau pengalaman kerjanya. Kepuasan
kerja merujuk pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang
dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan menunjukkan sikap yang positif
terhadap pekerjaannya, sebaliknya seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang
rendah (tidak puas) akan menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya
(Robbins 2003). Kepuasan kerja merupakan salah satu bentuk sikap yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang di tempat kerjanya (Aranya et al. 1982)

Indikator Komitmen Organisasi

 


Gomes (2003:98) komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan
penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan
untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut, komitmen organisasi diukur dengan
menggunakan dimensi sebagai berikut:
a) Komitmen afektif (Affective Commitment) adalah keterikatan emosional
pada organisasi karena mengidentifikasi dengan terlibat dalam organisasi
dan senang menjadi anggota suatu organisasi tersebut. Komitmen ini
muncul dan berkembang oleh dorongan adanya kenyamanan, keamanan
dan manfaat lain yang dirasakan dalam organisasi dan tidak diperolehnya
diorganisasi lain. Semakin nyaman dan tinggi manfaat yang dirasakan oleh
anggota maka semakin tinggi tingkat komitmen seseorang pada organisasi
yang dipilihnya. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat
untuk meneruskan pekerjaannya dengan organisasi karena mereka sejalan
dan memang berkeinginan untuk melakukannya.
b) Komitmen berkesinambungan (Continuance Commitment) dapat
didefinisikan sebagai kecenderungan untuk melakukan aktivitas yang 
secara konsisten berdasarkan kesadaran akan biaya atau pengorbanan yang
dikeluarkan. Dalam kaitan dengan komitmen ini anggota akan
mengkalkulasi manfaat dan pengorbanan atas keterlibatannya
menjadianggota pada suatu organisasi. Anggota cenderung memiliki daya
tukar atau berkomitmen tinggi dalam keanggotaan jika pengorbanan
sebagai akibat keluar dari organisasi semakin tinggi. Komitmen
berkesinambungan adalah tingkat keinginan individu untuk bekerja dalam
suatu organisasi karena dia membutuhkan berada dalam organisasi ini dan
tidak dapat melakukannya di tempat lain.
c) Komitmen normatif (Normative Commitment) dapat di lihat dengan
kepercayaan akan suatu tanggung jawab pada suatu organisasi. Komitmen
ini merupakan komitmen normatif yang terinternalisasi secara total untuk
bertindak sejalan dengan tujuan dan kepentingan organisasi dan
menunjukkan bahwa individu melakukan perilaku tersebut karena mereka
beranggapan bahwa hal tersebut adalah sebagai suatu hak dan tanggung
jawab moral untuk melakukannya, komitmen ini berhubungan dengan
penerimaan keuntungan yang menimbulkan perasaan akan kewajiban yang
harus dibalas. Karyawan dengan komitmen normatif yang kuat untuk terus
bekerja dengan organisasi karena mereka merasa memang seharusnya.
Indikator dari Komitmen Organisasi (Gomes (2003:98)) adalah:
1. Komitmen Afektif : Terikat secara emosional pada organisasi tempat ia
bekerja
2. Komitmen Kontinuan : Menganggap bekerja pada organisasi tersebut
merupakan suatu kebutuhan
3. Komitmen Normatif : Mempunyai rasa kesetiaan pada organisasi tempat ia
bekerja

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

 


Komitmen pada organisasi ditentukan oleh sejumlah faktor. Pendapat dari
Steers (1985) mengidentifikasi ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen
karyawan pada organisasi, yaitu :
a) Ciri pribadi pekerja, termasuk juga masa jabatannya dalam organisasi, dan
variasai kebutuhan dan keinginannya yang berbeda tiap karyawan.
b) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan
rekan sekerja.
c) Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara
pekerja – pekerja lainnya mengutarakan dan membicarakan perasaannya
mengenai organisasi. 
David (dalam Minner, 1997) mengemukakan ada empat faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
a) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, kepribadian, dll.
b) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam
pekerjaan, konflik peran dalam pekerjaan, tingkat kesulitan dalam
pekerjaan,dll.
c) Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi
seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja, dan tingkat
pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
d) Pengalaman kerja, pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap
tingkat komitmen karyawan pada organisasi

Pengertian Komitmen Organisasi

 


Komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi
melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau
kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk
bertahan di dalam organisasi (Hatmoko, 2006). Robbins (2003) mengemukakan
komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang anggota memihak
pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berminat memelihara
keanggotaan dalam organisasi. Berkomitmen berarti menyerahkan diri secaratotal
saat berada di tempat kerja, yaitu membutuhkan hal-hal seperti penggunaan waktu
secara konstruktif, memperhatikan detail, menumbuhkan usaha ekstra, menerima
perubahan, bekerja sama dengan orang lain, pengembangan-diri, menghargai
kepercayaan, bangga terhadap kemampuan, mencari peningkatan dan memberikan
dukungan loyalitas.
Dalam sebuah perusahaan, karyawan dituntut untuk dapat memberikan
kinerja terbaik pada perusahaan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
Selain kompetensi, komitmen kerja bagi karyawan diperlukan agar mereka
memberikan hasil terbaik bagi organisasi atau perusahaan misalnya seseorang
yang tidak memiliki komitmen, sebenarnya ia ahli dalam bidangnya namun ia
bekerja dengan setengah hati. Karyawan yang memiliki suatu komitmen, akan
bekerja secara total, mencurahkan perhatian, pikiran, tenaga dan waktunya, ia
mengerjakan apa yang diharapkan oleh perusahaan. 
Komitmen terhadap organisasi atau komitmen karyawan adalah suatu
perilaku yang dapat diartikan sebagai :
a. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai – nilai dan tujuan
organisasi.
b. Kesediaan untuk berusaha semaksimal mungkin untuk kepentingan
organisasi.
c. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam
organisasi (Porter et.al dalam Berg & Baron, 1997:191).

Indikator Disiplin Kerja

 


Salah satu aspek dari kekuatan sumber daya manusia dapat tercermin
dalam sikap dan perilaku disiplin, karena disiplin memiliki dampak yang
kuat pada suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dalam mengejar
tujuan yang direncanakan. Segala macam kebijaksanaan tidak memiliki arti 
jika tidak didukung oleh administrator. Disiplin kerja adalah alat yang
digunakan oleh para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan
sehingga mereka bersedia untuk mengubah perilaku serta upaya untuk
meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang untuk mematuhi semua
perusahaan aturan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rival, 2004).
Menurut Mangkunegara dan Octorent (2015) disiplin kerja dapat diukur
dengan indikator sebagai berikut:
1) Ketepatan waktu datang ke tempat kerja.
2) Ketepatan jam pulang ke rumah.
3) Kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
4) Penggunaan seragam kerja yang telah ditentukan.
5) Tanggung jawab dalam mengerjakan tugas.
6) Melaksanakan tugas-tugas kerja sampai selesai setiap harinya

Jenis-jenis Disiplin Kerja

 


Menurut T. Hani Handoko (2009:129), jenis-jenis disiplin kerja
adalah sebagai berikut :
1) Disiplin preventif yaitu kegiatan yang mendorong pegawai untuk
mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan dapat 
dicegah. Sasaran pokok dari kegiatan ini adalah untuk mendorong
disiplin diri dari para karyawan. Dengan cara ini para karyawan bekerja
dengan ikhlas bukan karena teraksa paksaan manajemen.
2) Disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani
pelanggaran yang dilakukan karyawan terhadap peraturan yang berlaku
dan mencegah terjadinyua pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif
sering berupa bentuk hukuman dan disebut tindak pendisiplinan.
Contohnya dengan tindakan skorsing terhadap pegawai.
3) Disiplin progresif yaitu tindakan memberi hukuman berat terhadap
pelanggaran yang berulang. Contoh dari tindakan disiplin progresif
antara lain sebagai berikut :
a) Teguran secara lisan oleh atasan
b) Teguran tertulis
c) Skorsing dari pekerjaan selama beberapa hari
d) Diturunkan pangkatnya
e) Dipecat

Komitmen

 


Komitmen organisasional mencerminkan tingkatan dimana individu
mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai kokmitmen terhadap
tujuannya (Wibowo, 2012). Komitmen organisasi adalah derajat dimana seorang 
karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tertentu beserta
tujuannya dan berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam
organisasi tersebut (Robbins dan Coulter, 2010). Komitmen organisasi adalah
tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan
mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut (Mathis dan
Jackson, 2009).
Komitmen didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang
karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya
untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut (Robbins dan
Timothy, 2018)
Komitmen organisasi merupakan sifat yang merefleksikan loyalitas
karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta
kemauan yang berkelanjutan (Luthans, 2018)
Komitmen organisasi merupakan salah satu topik yang akan selalu
menjadi tinjauan baik bagi pihak manajemen dalam sebuah organisasi maupun
bagi para peneliti yang khusunya berfokus pada prilaku manusia. Komitmen
organisasi menjadi penting khususnya bagi organisasi yang ada saat ini
dikarenakan dengan melihat sejauh mana keberpihakan seorang karyawan
terhadap organisasi, dan sejauh mana karyawan tersebut berniat untuk
memelihara keanggotaanya dengan organisasi maka dapat diukur pula sebaik 
apa komitmen seorang karyawan terhadap organisasinya (Mardiana, Syarif,
2018).
Pendapat lain dikemukakan oleh (Sutrisno, 2010) yang mengatakan
bahwa komitmen organisasi merupaakn sikap loyalitas perkeja terhdap
organisasinya dna juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan
partisipasinya terhadap organisasinya. Sementar itu, menurut (Sopiah, 2009)
komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan
seseorang terhadap suatu organisasi. Dengan kata lain komitmen organisasional
adalah sikap loyalitas perkeja terhadap organisasi dan proses berkelanjutan dari
anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi yang
akan berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan

Indikator Kinerja Karyawan

 


Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada enam
indikator menurut (Robbins, 2006) yaitu : 
1) Kualitas, kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap
keterampilan dan kemampuan karyawan.
2) Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3) Ketepatan waktu, merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal
waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil
output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
4) Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi
“tenaga, uang teknologi, bahan baku” dimaksimalkan dengan maksud
menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
5) Kemandirian merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan
dapat menjalankan fungsi kerjanya sesuai komitmen kerja.
Kemandirian juga merupakan suatu tingkat dimana karyawan
mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab
karyawan terhadap kantor.
6) Berkomitmen merupakan indikator yang juga penting karena bisa
menentukan motivasi karyawan dalam bekerja

Penilaian Kinerja

 


Penilaian kinerja adalah proses pengukuran kinerja pegawai. Penilaian
kinerja merupakan pengawasan terhadap kualitas personal. (Handoko,
2010). Penilaian kinerja adalah “proses melalui mana organisasi-organisasi
mengevaluasi atau menilai kinerja pegawai.” Penilaian kinerja pada
umumnya mencakup baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari kinerja
pelaksanaan pekerjaan.
Tujuan penilaian kinerja secara umum adalah menghasilkan informasi
yang akurat berkenaan dengan perilaku dan kinerja anggota organisasi
(Hasibuan, 2013). Tujuan tersebut biasanya dapat digolongkan ke dalam 
tujuan pengembangan. Dalam pendekatan evaluasi seorang manajer menilai
kinerja masa lalu seorang pegawai. Evaluator menggunakan rating deskriptif
untuk menilai kinerja dan setelah itu menggunakan data tersebut dalam
keputusan-keputusan promosi (perpindahan pegawai dari satu jabatan
kejabatan yang lebih tinggi tingkat tanggung jawabnya, gajinya, dan jenjang
organisasionalnya), demosi (perpindahan Pegawai dari satu jabatan ke
jabatan yang lebih rendah tingkat tanggung jawabnya, gajinya, dan jenjang
organisasaionalnya), terminasi (penghentian/pemecatan pegawai), dan
kompensasi (imbalan).
Pendekatan pengembangan seorang pimpinan mencoba untuk
meningkatkan kinerja seorang individu dimasa mendatang. Aspek
pengembangan dari penilaian kinerja mendorong pertumbuhan pegawai.
Dengan mengkombinasikan baik aspek evaluasi maupun aspek
pengembangan, penilaian kinerja haruslah menyediakan basis bagi
tindakan-tindakan personalia dan meningkatkan penggunaan sumber daya
manusia melalui penempatan pekerjaan yang lebih baik dan spesifikasi
kebutuhan-kebutuhan latihan.

Kinerja

 


Sebuah instansi/organisasi agar mampu bertahan hidup dan mempunyai
prospek yang cerah di masa depan, harus mampu mengidentifikasi, menyeleksi,
mengembangkan, dan mempertahankan karyawan-karyawan berkualitas yang
dimilikinya. Manajemen sumber daya manusia menjadi salah satu faktor kunci
untuk mendapatkan kinerja terbaik, karena selain menangani masalah
keterampilan dan keahlian, manajamen sumber daya manusia juga berkewajiban 
membangun perilaku kondusif karyawan untuk mendapatkan kinerja terbaik
(Wahyudi ,2004).
Kinerja pegawai didefinisikan sebagai kemampuan pegawai dalam
melakukan sesuatu keahlian tertentu. Kinerja pegawai sangatlah perlu, sebab
dengan kinerja maka akan diketahui seberapa jauh kemampuan pegawai dalam
melaksanakan tugas yang jelas dan terukur serta ditetapkan secara bersama-sama
yang dijadikan sebagai acuan (Sinambela, 2011) .
Kinerja pegawai prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2010).
Kinerja adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratanpersyaratan pekerjaan. Suatu pekerjaan mempunyai persyaratan tertentu untuk
dapat dilakukan dalam mencapai tujuan yang disebut juga sebagai standar
pekerjaan (Bangun, 2012).
Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2006). Kinerja
karyawan adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara berencana pada
waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan (Hubeis, 2007).
Kinerja merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang
diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada 
masing-masing individu dalam suatu organisasi (Waldman, 2010). Kinerja
merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang diberikan.
Sedangkan kinerja itu sendiri adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang
secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran atas kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2009).

Definisi Keterikatan Kerja

 


Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement dinyatakan oleh
Schaufeli (2010) mengacu pada keterlibatan, semangat, antusiasme, penyerapan,
upaya yang terfokus, dan energi sedangkan dalam kamus Merriam-Webster
didefinisikan bahwa engagement sebagai keterlibatan emosional atau komitmen dan
sebagai '' the state of being gear”. 
Ahli pertama yang mengonsepkan keterikatan kerja adalah Kahn pada tahun
1990. Kahn (1990, dalam Bakker & Leiter, 2010) mendeskripsikan keterikatan kerja
sebagai pemanfaatan diri dari anggota organisasi ke dalam peran kerja mereka. Dalam
engagement individu memekerjakan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik,
kognitif, emosional, dan mental selama memerankan perannya. Pembahasan
mengenai keterikatan karyawan memiliki beberapa istilah dalam penggunaannya
yaitu job engagement, employee engagement, dan work engagement. Roberts dan
Davenport (2002, dalam Bakker & Leiter, 2010) menyatakan bahwa job engagement
adalah rasa antusias pada diri individu dan ia terlibat dengan pekerjaannya. Employee
engagement diartikan oleh Federman (2009, dalam Bakker & Leiter, 2010) sebagai
sejauh mana individu berkomitmen untuk sebuah organisasi dan mengetahui betapa
besar dampak dari komitmen selama masa jabatan. Kemudian pada tahun 1992, Kahn
(dalam Bakker & Leiter, 2010) membedakan konsep engagement dari kondisi
psikologis “being fully there” atau berada di sana secara penuh dengan individu yang
merasa dan menjadi penuh perhatian, terhubung, terintegrasi, dan fokus pada peran
mereka.
Maslach dan Leiter (1997) mengarakteristikkan engagement melalui energi,
keterlibatan, dan efikasi. Ketiga karakteristik yang dipaparkan oleh Maslach dan
Leiter dianggap sebagai lawan dari tiga karakteristik burnout. Mereka berpendapat
bahwa dalam istilah burnout, energi berubah menjadi kelelahan, keterlibatan menjadi
sinisme, dan efikasi menjadi ketidak efektifan.
Berbeda dengan Maslach dan Leiter, Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, &
Bakker (2002, dalam Bakker dan Leiter, 2010) mengambil perspektif berbeda serta
mengoperasionalkan engagement itu sendiri. Menurut Schaufeli dkk. (2002) burnout
dan engagement merupakan dua konsep yang terpisah dan seharusnya diukur secara
independen. Schaufeli dkk mengemukakan bahwa pada seorang individu yang
memiliki level burnout yang rendah tidak berarti individu tersebut memiliki level
engagement yang tinggi. Oleh karena itu Schaufeli dkk mendefinisikan
operasionalisasi work engagement terpisah dari operasionalisasi burnout dan 
mendefinisikan work engagement sebagai suatu motivasi, hal yang positif,
pemenuhan, cara pandang bekerja yang dikarakteristikkan melalui vigor, dedication,
dan absorption. Work engagement mengacu lebih kepada keadaan afektif-kognitifperilaku yang lebih gigih dan meresap serta tidak fokus pada objek, kejadian,
individu, atau perilaku tertentu. Dalam definisi ini, work engagement memiliki tiga
dimensi yang disebut vigor, dedication, dan absorption. Hal inilah yang mendasari
pemisahan pengukuran burnout dan pengukuran work engagement.
Work engagement bukan merupakan kebalikan positif dari burnout (Schaufeli
dkk). Burnout disebabkan tuntutan pekerjaan yang tinggi sehingga menguras energi
karyawan dan mengakibatkan kelelahan pada karyawan serta membuat mereka untuk
menarik diri secara mental (Schaufeli & Bakker, 2004). Burnout ditandai dengan
gejala psikologis kelelahan, sinisme, dan tidak percaya diri yang disebabkan stresor
pekerjaan kronis (Maslach & Leiter, 1997). Work engagement adalah keadaan positif,
terpenuhi, terhubungnya pikiran dalam keadaan bekerja yang ditandai oleh adanya
tiga dimensi, yaitu vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli dkk).
Menurut Schaufeli dkk individu yang memiliki kekuatan (vigor) dicirikan
memiliki banyak energi dan memiliki kemampuan untuk bangkit kembali ketika
mengahadapi permasalahan saat bekerja, memiliki kemauan yang besar untuk
mengerjakan suatu pekerjaan, dan gigih dalam menghadapi permasalahan. Individu
yang berdedikasi (dedication) ditandai dengan mengetahui kepentingan, antusias,
inspiratif, memliki kebanggaan, dan siap menghadapi tantangan. Semangat dan
dedikasi merupakan kebalikan positif dari burnout

Definisi Komitmen Organisasi

 


Terdapat banyak definisi dari komitmen organisasi, antara lain menurut
Bateman & Strasser, Mowday, Colquitt, LePine, & Wesson, McShane dan Glinov,
serta Robbins. Menurut Bateman & Strasser (1984, dalam Meyer & Allen, 1997),
komitmen organisasi merupakan kesetiaan pekerja kepada organisasi, keinginan
untuk menjadi bagian dari oganisasi, mencapai tujuan dan nilai-nilai yang relevan
bagi organisasi, dan bercita-cita untuk memertahankan keanggotaannya. Komitmen
organisasi yang didefinisikan oleh Mowday (1982 dalam Meyer & Allen 1997)
adalah kekuatan dari identifikasi pekerja terhadap keterlibatannya dengan suatu
organisasi. Menurut Colquitt dkk komitmen organisasional berpengaruh terhadap
keinginan karyawan untuk tetap menjadi anggota organisasi atau meninggalkan
organisasi untuk mengejar pekerjaan lain. McShane dan Glinov (2010)
mengemukakan bahwa komitmen organisasi berkenaan dengan kelekatan emosi
untuk mengidentifikasi keterlibatan dalam organisasinya. Robbins (2015)
menjelaskan bahwa komitmen organisasi sebagai suatu keadaan di mana seorang
karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasional
yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut juga sebagai
kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan
dirinya kedalam bagian organisasi, yang dicirikan oleh penerimaan nilai dan tujuan
organisasi, kesediaan berusaha demi organisasi dan keinginan mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi.

Pengaruh Sense of Community Terhadap Komitmen Afektif

 


Komitmen organisasi mencerminkan identifikasi psikologis karyawan
dengan keterlibatan di dalam organisasi dan memanifestasikannya ke dalam
aspek seperti penerimaan karyawan pada tujuan organisasi seperti yang di
jelaskan oleh Meyer dan Schoorman (dalam Pawar, 2009). Vunha dam Rego
(2008) juga menemukan bahwa semakin tinggi spiritualitas di tempat kerja,
maka semakin tinggi pula komitmen afektif.
Pada SDIT Insan Madani, para guru dan karyawan merupakan sebuah
komponen penting dalam menjalankan organisasinya. Jika tidak ada guru dan
karyawan, maka akan berdampak buruk bagi organisasi dan para murid tidak
akan mendapat ilmu dan organisasi menjadi kacau. Maka dari itu dibutuhkan
hubungan yang dalam antar manusia, termasuk dukungan, kebebasan untuk
berekspresi dan pengayoman Milliman (2003)

Pengaruh Meaningful Work Terhadap Komitmen Afektif

 


Komitmen afektif menurut Allen dan Meyer (1990) dalam Djafri dan
Noordin, 2017 adalah sebuah reaksi karyawan yang merasa senang jika
menjadi bagian dari organisasi dan dengan senang hati bekerja di dalamnya.
Meaningful Work menurut Milliman (2003) merupakan dimensi yang bekerja
didalam variabel spiritualitas di tempat kerja, yang diartikan sebagai
pekerjaanlah yang memberikan karyawan perasaan bahagia dan membuat
hubungan karyawan semakin baik Duchon dan Plowman (2005). Spiritualitas
di tempat kerja berperan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan yang
lebih tinggi, sehingga mendorong respon komitmen afektif karyawan.
Maka dari itu di SDIT Insan Madani khususnya para guru dan karyawan,
beranggapan bahwa makna bekerja yang terkait dengan sikap individu di
dalam organisasi merupakan sebuah tantangan dan ketertarikan dalam bekerja
yang telah dibuktikan dapat berpengaruh negatif jika karyawan berkeinginan
untuk berpindah kerja serta masalah absensi Hackman dan Oldham (dalam
Milliman, 2003). Sehingga jika makna bekerja yang didapat karyawan maka
akan membuat komitmen afektif karyawan menjadi baik, seperti rasa senang
dan nyaman berada di organisasi.

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Turnover Inteniton

 


Menurut Mobley (1987), dalam Wedha (2017), menggunakan faktor
umum sebagai penentu dari turnover intention baik secara langsung maupun
tidak langsung. Mobley membagi faktor turnover menjadi 4 yakni sebagai berikut : 
1. Faktor Ekonomi
Adalah faktor yang terjadi pada sektor keadaan ekonomi, yang meliputi:
tingkat-tingkat pengangguran dan memperkerjaan, laju lowongan
pekerjaan, produk nasional bruto, laju inflasi, permintaan pasar, dan
komposisi pekerjaan.
2. Keadilan Organisasi
Kadilan organisasi dirasa cukup berpengaruh dalam turnover intention,
karena dengan keadilan yang dirasa kurang akan menimbulkan keinginan
atau niat untuk meninggalkan organisasi. Berikut adalah beberapa aspek
yang dapat menyebabkan turnover intention:
a. Tipe industri
b. Kategori Jabatan
c. Besar kecilnya organisasi
d. Besar kecilnya unit kerja
e. Kompensasi
f. Bobot kerja
g. Gaya kepemimpinan
h. Variabel lainnya
3. Faktor Individual
Faktor individu adalah faktor yang ada dalan diri karyawan tersebut yang
dapat menyebabkan keinginan untuk berhenti. Hal ini dikarenakan oleh
perasaan yang dirasa tidak sesuai dengan keadaan dalam diri karyawan
tersebut. faktor individual terdiri dari: 
a. Usia
b. Masa kerja
c. Jenis kelamin
d. Pendidikan
e. Kepribadian
f. Minat
g. Bakat dan Kemampuan
h. Profesionalisme
i. Prestasi
4. Faktor Lainnya
Dalam hal ini faktor lainnya dapat berupa kepuasan terhadap pekerjaan,
aspirasi dan harapan karir, keterikatan kerja, harapan untuk mendapatkan
pekerjaan lain, dan tekan baik dari dalam diri maupun dari lingkungan
sekitar.

Tingkatan Faktor Spiritualitas di Tempat Kerja

 


Milliman (2003) membagi faktor spiritualitas ditempat kerja kedalam tiga
kategori level atau tingkatan pandangan individu yang mempengaruhi
spiritualitas ditempat kerjanya:
1. Individual level atau tingkat individu. Dimana pada tingkatan ini merupakan
penilaian karyawan terhadap sikap, pengalaman, dan dirinya sendiri.
2. Group level. Merupakan tingkatan dimana karyawan menilai unit kerja atau
kelompok kerja mereka, baik dengan mengidentifikasi nilai pada unit kerja,
tujuan, dan misi unit kerja, serta seberapa besar unit kerja mendiring
terbentuknya spiritualitas ditempat kerja pada karyawan.
3. Organization level atau tingkat organisasi. Merupakan tingkatan dimana
karyawan menilai dan mengidentifikasi organisasi tempatnya bekerja.
Penelitian Milliman (2003) merupakan literatur pertama yang menguji
hubungan antara spiritualitas ditempat kerja dengan komitmen afektif. Dalam
penelitian ini dikatakan bahwa, ketiga aspek spiritualitas di tempat kerja yang
dirumuskan Milliman (2003) dapat memprediksi komitmen organisasional,
khususnya komitmen afektif. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa
semakin tinggi spiritualitas di tempat kerja, maka akan semakin tinggi pula
komitmen afektif dikalangan para pegawai. Bukti teoritis dan empiris
mendukung asumsi ini. Misalnya aktivitas yang didasari kebajikan (kerukunan
antar pegawai) akan menghasilkan emosi positif dan dapat menghasilkan sikap
pegawai yang lebih positif terhadap pekerjaan dan organisasi.
Implikasinya adalah meningkatnya komitmen afektif terhadap
organisasi Pfeffer dan Vega (1999, dalam Milliman, 2003). Ketika pegawai
merasa jika organisasi memperhatikan harapan dan kebahagiaannya, ia akan
cenderung untuk memberikan balasan dengan sikap positif terhadap organisasi,
termasuk membangun ikatan afektif dan rasa loyalitas. Dengan demikian
penulis ingin melihat adakah pengaruh dimensi-dimensi spiritualitas di tempat
kerja terhadap komitmen afektif. Sehingga penulis dapat mengehtahui dimensi
mana yang lebih berpengaruh terhadap komitmen afektif.

Dimensi Spiritualitas di Tempat Kerja

 


Menurut Milliman (2003), terdapat 3 dimensi spiritualitas ditempat kerja.
Berikut ketiga dimensi model spiritualitas ditempat kerja Milliman (2003)
beserta dengan penjelasannya:
a. Meaningful Work
Meaningful work mewakili level individu. Hal ini merupakan aspek
fundamental dari workplace spirituality yang mana terdiri dari kemampuan
untuk merasakan makna terdalam serta tujuan dari suatu pekerjaan. Dimensi
ini mempresentasikan bagaimana pekerja berinteraksi dengan pekerjaan
mereka dari hari ke hari pada tingkatan individu. Hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa manusia memiliki motivasi terdalamnya sendiri, kebenaran, dan
hasrat untuk melaksanakan aktivitas yang mendatangkan makna bagi
kehidupannya dan juga kehidupan orang lain. Bagaimanapun juga,
spiritualitas melihat pekerjaan tidak hanya sebagai sesuatu yang
menyenangkan dan menantang, tetapi juga tentang hal-hal seperti mencari
makna dan tujuan terdalam, menghidupkan mimpi seseorang, memenuhi
kebutuhan hidup seseorang dengan mencari pekerjaan yang bermakna, dan
memberikan kontribusi bagi orang lain.
b. Sense of Community
Sense of community mewakili level kelompok. Dimensi ini merujuk
pada tingkatan kelompok dari perilaku manusia dan fokus pada interaksi
antara pekerja dan rekan kerja mereka. Pada level ini, spiritualitas terdiri dari
hubungan mental, emosional, dan spiritual pekerja dalam sebuah tim atau
kelompok didalam organisasi. Inti dari komunitas ini adalah adanya hubungan
yang dalam antar manusia, termasuk dukungan, kebebasan untuk berekspresi
dan pengayoman.
c. Alignment with Organizational Value
Alignment with organizational value ini mewakili level organisasi.
Dimensi ini merupakan penyelarasan antara nilai-nilai pribadi karyawan
dengan misi dan tujuan dari organisasi. Hal ini berhubungan dengan premis
bahwa tujuan organisasi itu lebih besar daripada tujuan pribadi dan seseorang
harus memberikan kontribusi terbaiknya untuk organisasi. Keselarasan juga
berarti individu percaya bahwa manajer dan karyawan dalam organisasi
mereka memiliki nilai-nilai yang sesuai, memiliki hati nurani yang kuat, dan
konsisten tentang kesejahteraan karyawan dan komunitasnya

Definisi Spiritualitas di Tempat Kerja

 


Menurut Afsar & Rehman (2015) spiritualitas di tempat kerja lebih fokus
pada toleransi, kesabaran, rasa interkonektivitas, tujuan, dan penerimaan
pikiran terhadap norma-norma organisasi, yang terintegrasi bersama untuk
membentuk nilai-nilai pribadi, sedangkan agama ditandai dengan sistem
kepercayaan tertentu, khusunya sistem iman dan seperangkat keyakinan.
Robbins & Judge (2017) mengatakan bahwa spiritualitas ditempat kerja
merupakan kesadaran bahwa seseorang memiliki kehidupan batin yang
tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna dalam konteks
komunitas. Organisasi yang mendukung budaya spiritualitas mengakui bahwa
manusia memiliki pikiran dan jiwa, sehungga mereka berusaha mencari makna
dan tujuan dalam pekerjaan mereka, dan hasrat yang berhubungan dengan
orang lain, serta menjadi bagian dari komunitas itu sendiri.
Menurut Benefiel (2014) spiritualitas ditempat kerja dipandang sebagai
wawasan baru mengenai sikap kerja karyawan, sehingga pemahaman tentang
realitas organisasi tidak akan lengkap tanpa mempertimbangkan sifat
spiritualitas orang tersebut. Milliman (2003, dalam, Djafri dan Noordin, 2017)
juga menegaskan bahwa pekerjaan yang bermakna itu adalah pekerjaan yang
mempunyai aspek fundamental dari spiritualitas ditempat kerja dan
mengharuskan karyawan untuk terlibat dalam kegiatan yang memberi makna
bagi kehidupan mereka

Turnover Intention 

 Turnover intention menurut Tet dan Meyer (1993), dalam Ridlo (2012)

adalah niat atau keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi sebagai dasar
dan hasrat dari karyawan dengan sengaja. Mayer (1979), dalam Ridlo (2102)
mengatakan bahwa turnover intention adalah tingkat keinginan karyawan atau
niat untuk meninggalkan organisasi. Sedangkan menurut Wibowo (2017),
turnover intention adalah suatu keinginan dari diri karyawan untuk melakukan
pengunduran diri dari suatu organisasi.

Faktor yang mempengaruhi Komitmen Afektif Organisasional

 


Menurut Allen & Meyer (1990) memaparkan ada 3 hal yang
menggambarkan faktor apa saja yang mempengaruhi komitmen organisasional,
yaitu:
1. Karakteristik Pribadi Individu
Merupakan karakteristik pribadi yang terbagi menjadi dua variabel.
Variabel yang pertama adalah variabel demografis, sedangkan variabel yang
kedua adalah variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender,
usia, status pernikahan, tingkatan pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja
pada suatu organisasi. Sedangkan variabel disposisional mencakup kepribadian
seseorang dan nilai yang dimiliki anggota organisasi. Variabel disposisional
sendiri memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi,
karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam
organisasi tersebut.
2. Karakteristik Organisasi
Dalam karakteristik organisasi, terdapat struktur organisasi, desain
kebijaksanaan dalam organisasi dan bagaimana kebijaksanaan organisasi
tersebut disosialisasikan. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi
perkembangan komitmen organisasional adalah sistem desentralisasi adanya
kebijakan organisasi yang adil dan cara penyampaian kebijakan tersebut kepada
individu (Allen & Meyer, 1990).
3. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja individu mempengaruhi proses terbentuknya komitmen
afektif salah satunya berasal dari lingkup kerja, yakni beberapa karakteristik
yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu
Dari keempat kategori diatas, Meyer & Allen (Allen & Meyer, 1990)
menunjukkan bukti terkuat terletak pada faktor pengalaman kerja, terutama
pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk membuat individu nyaman dalam
organisasi dan kompeten dalam peran kerjanya. Rhoades dkk (2001)
mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor munculnya komitmen afektif
individu dalam organisasi yang diperkuat oleh persepsi dukungan organisasi,
antara lain penghargaan yang diberikan oleh organisasi (reward), keadilan
prosedural, dan dukungan penyelia.
Allen & Meyer (1990) memiliki penjelasan tersendiri mengenai anteseden
atau penyebab dari komitmen afektif, yaitu :
a. Tantangan pekerjaan
Merupakan pekerjaan yang dilakukan individu dalam organisasi adalah
menantang dan menarik.
b. Kejelasan peran
Merupakan kejelasan harapan dari organisasi terhadap individu.
c. Kejelasan sasaran dalam tugas
Merupakan pemahaman individu mengenai apa yang seharusnya dilakukan
individu dalam pekerjaannya.
d. Kesulitan tujuan
Merupakan persyaratan pekerjaan dari organisasi yang tidak terlalu
menuntut.
e. Manajemen yang menerima
Merupakan kondisi orang-orang yang berada di manajemen puncak
organisasi menaruh perhatian terhadap ide yang diberikan oleh karyawan
lain.
f. Kedekatan dengan sesama anggota
Merupakan adanya hubungan dekat dengan beberapa orang-orang dalam
organisasi.
g. Ketergantungan organisasi
Merupakan rasa kepercayaan terhadap organisasi karena apa yang dikatakan
maka akan dilakukan oleh pihak organisasi.
h. Keadilan atau kewajaran
Pada organisasi terdapat orang-orang mendapatkan lebih dari layak dan ada
juga yang mendapatkan jauh lebih sedikit.
i. Kepentingan pribadi
Pada organisasi, individu didorong untuk merasa bahwa pekerjaan yang
dilakukan membawa kontribusi penting terhadap tujuan besar organisasi.
j. Tanggapan organisasi atas kinerja
Merupakan seberapa sering organisasi memberikan umpan balik terhadap
kinerja individu.
k. Pastisipasi
Merupakan kesempatan individu untuk berpartisipasi dalam memutuskan
mengenai standar beban kerja dan kinerja.
Berdasarkan pemaparan beberapa faktor komitmen afektif diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor komitmen afektif secara garis besar
adalah karakteristik pribadi, karakteristik pekerjaan, karakteristik struktural,
dan pengalaman kerja. Faktor karakteristik pribadi meliputi kepentingan
pribadi dan kedekatan dengan sesama anggota. Faktor karakteristik pekerjaan
meliputi tantangan kerja, kejelasan peran, kejelasan sasaran dan tugas, kesulitan
tujuan. Faktor karakteristik struktural meliputi keadilan prosedural, dukungan
penyedia, penerimaan manajer, keadilan, ketergantungan organisasi.
Sedangkan yang terakhir adalah faktor pengalaman kerja meliputi reward,
partisipasi individu, dan feedback organisasi.
Komitmen menciptakan keinginan karyawan untuk tetap tinggal di
organisasi dan memberikan kemampuan terbaiknya untuk bekerja secara
maksimal ditempat ia bekerja. Bagi seorang karyawan yang memiliki
komitmen tinggi, mereka menganggap bahwa perubahan tersebut sebagai hal
yang menguntungkan bagi organisasi, dan tidak ada potensi untuk merubah
nilai-nilai dasar serta tujuan organisasi. Organisasi perlu memfokuskan faktor
apa saja yang dapat mendorong pengembangan sikap kesetiaan dan kesediaan
karyawan untuk tetap menjadi anggotanya. Salah satu faktornya adalah
spiritualitas di tempat kerja

Indikator Kepuasan Kerja

 


Indikator-indikator yang menentukan kepuasan kerja menurut (Robbins, 2015: 181-182)
adalah:
1. Pekerjaan yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan
untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan
beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik. Pekerjaan yang terlalu kurang
menantang akan menciptakan kebosanan, tetapi pekerjaan yang terlalu banyak
menantang akan menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan
yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
2. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan yang baik untuk kenyamanan pribadi maupun
untuk mempermudah mengerjakan tugas yang baik. Studi–studi membuktikan
bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar yang aman, tidak berbahaya dan 
tidak merepotkan. Di samping itu, kebanyakan karyawan lebih menyukai bekerja
dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dan dengan
alatalat yang memadai.
3. Gaji atau upah yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka
persepsikan sebagai adil dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat
sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu,
dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan.
Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab
yang lebih banyak, dan status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu, individu
individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat secara adil,
kemungkinan besar karyawan akan mengalami kepuasan dalam pekerjaannya.
4. Rekan sekerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, bekerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.
Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila mempunyai rekan sekerja yang
ramah dan mendukung akan mengarah ke kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku
atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan

Aspek-Aspek Komitmen Afektif Organisasional

 


Menurut Allen dan Meyer (1990) menjelaskan bahwa ada tiga aspek yang
menggambarkan adanya komitmen afketif karyawan terhadap organisasi, yaitu:
1. Keterikatan emosional
Merupakan perasaan yang kuat dari karyawan terhadap organisasi,
sehingga akan mudah melekat secara emosional terhadap organisasi. Karyawan
akan merasa bahwa ia adalah bagian dari organisasi tersebut, rasa memiliki
terhadap perusahaan akan tinggi. Akibat adanya rasa memiliki yang tinggi
terhadap organisasi maka rasa ingin keluar dari organisasi akan menurun dan
akan memiliki keinginan untuk tetap menjadi keluarga dari organisasi tersebut.
2. Identifikasi
Merupakan sebuah keyakinan dan penerimaan individu terhadap tujuan
dan nilai-nilai organisasi. Adanya keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan
dan nilai-nilai organisasi merupakan salah satu kunci terbentuknya rangkaian
aspek komitmen organisasi lainnya. Aspek tersebut dapat dilihat dari beberapa
sikap, yaitu adanya kesamaan tujuan dan nilai yang dimiliki karyawan dengan
organisasi, adanya perasaan karyawan bahwa organisasi memberikan kebijakan
untuk mendukung kinerjanya, dan adanya kebanggaan telah menjadi bagian
dari organisasi.
3. Keterlibatan
Merupakan keinginan karyawan untuk terlibat secara sungguh-sungguh
dalam kepentingan organisasi. Adanya keinginan untuk sungguh-sungguh
terlibat dalam setiap aktivitas atau kegiatan organisasi tercermin dalam
penerimaan karyawan untuk menerima dan melaksanakan berbagai macam
tugas dan kewajiban yang dibebankan. Karyawan akan selalu berusaha
memberikan kinerja yang terbaik melebihi standar minimal yang diharapkan
organisasi. Selain itu, karyawan akan bersedia untuk melaksanakan pekerjaan
diluar tugas dan perannya apabila dibutuhkan oleh organisasi.
Porter (1974) mengatakan bahwa, tedapat 3 hal yang mengimplikasikan
komitmen afektif, yakni: (1) keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi, (2) kesediaan untuk mengerahkan usaha yang
sungguh-sungguh untuk kepentingan organisasi, (3) serta keinginan yang kuat
untuk mempertahankan keanggotaan di organisasi

Dampak Dari Kepuasan Kerja

 


Dampak perilaku dari kepuasan dan ketidakpuasan kerja telah banyak diteliti dan
dikaji. Banyak perilaku dan hasil kerja pegawai yang diduga merupakan hasil dari
kepuasan atau ketidakpuasan kerja. Hal – hal tersebut tidak hanya meliputi variabel kerja
seperti unjuk kerja dan turnover, tetapi juga variabel non kerja seperti kesehatan dan
kepuasan hidup.berikut uraian mengenai dampak kepuasan kerja pegawai:
1) Kinerja
Sebagian pakar membuktikan bahwa kepuasan kerja ert kaitannya dengan motivasi
kerja pada akhirnya meningkatkan kinerja. Namun ada beberapa juga yang
melakukan penelitian bahwa kepuasan kerja tidak selalu berdampak positif
terhadap kinerja. Robbins (2006) menyatakan bahwa produktivitas kerja pegawai
mengatakan pegawai pada kepuasan kerja. Jika pegawai melakukan pekerjaannya
dengan baik, maka organisasi akan menghargai produktivitasnya tersebut.
2) Organizational Citizenship Behavior (OCB) 
Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau yang juga dikenal dengan
perilaku ekstra peran adalah perilaku pegawai untuk membantu rekan kerja atau
organisasi.
3) Perilaku
Menghindar Ketidakhadiran atau kemangkiran dan pindah kerja adalah perilaku –
perilaku yang dilakukan pegawai untuk melarikan diri dari pekerjaan yang tidak
memuaskan. Banyak teori yang menduga bahwa pegawai yang tidak menyukai
pekerjannya akan menghindarinnya dengan cara yang bersifat permanen, yaitu
berhenti atau keluar dari organisasi, atau sementara dengan cara tidak masuk kerja
atau datang terlambat.
4) Burnout
Burnout adalah emosional distress atau keadaan psikologis yang dialami dalam
bekerja. Burnout lebih merupakan reaksi emosi terhadap pekerjan. Teori Burnout
mengatakan bahwa pegawai yang dalam keadaan Burnout mengalami gejala –
gejala kelelahan emosi dan motivasi kerja yang rendah, tetapi bukan depresi.
Kesehatan Mental dan Fisik
Terdapat beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan
kesehatan fisik dan mental. Suatu kajian longitudinal menyimpulkan bahwa ukuran
ukuran dari kepuasan kerja merupakan peramal yang baik bagi panjang umur atau
rentang kehidupan.
5) Perilaku Kontraproduktif
Perilaku yang berlawanan dengan oragnizational citizenship adalah
counterproductive. Perilaku ini terdiri dari tindakan yang dilakukan pegawai baik 
secara sengaja maupun tidak sengaja yang merugikan organisasi. Perilaku tersebut
meliputi penyerangan terhadap rekan kerja, penyerangan terhadap organisasi,
sabotase dan pencurian.
6) Kepuasan Hidup
Saling mempengaruhi antara pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan merupakan
faktor penting untuk memahami reaksi pegawai terhadap pekerjaannya. Kepuasan
hidup berhubungan dengan perasaaan seseorang tentang kehidupan secara
keseluruhan.

 Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan

 


Faktor- faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, menurut Mangkunegara (2015:120)
yaitu:  
a) Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, pengalam kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara
berfikir, persepsi, dan sikap kerja.
b) Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),
kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi social, dan hubungan kerja

Pengertian Komitmen Afektif

 


Allen & Meyer (1990) mengungkapkan bahwa setiap komponen memiliki
dasar yang berbeda. Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi masih
bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota.
Hal ini diperkuat oleh Vandenberghe (2004), bahwa komitmen afektif
memberikan efek kuat secara langsung terhadap niat untuk keluar dari
organisasi. Apabila komitmen afektif tinggi, maka niat untuk keluar dari
organisasi akan rendah. Individu yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap
organisasi juga ditentukan oleh adanya komitmen afektif atau keterikatan
secara emosional terhadap organisasi (Rhoades dkk, 2001).
Hartman dan Bambacas (2000) mendefinisikan bahwa komitmen afektif
mengacu kepada perasaan memiliki, merasa terikat kepada organisasi dan telah
memiliki hubungan dengan karakteristik pribadi, struktur organisasi,
pengalaman bekerja misalnya gaji, pengawasan, kejelasan peran, serta berbagai
keterampilan. Buchanan (dalam Allen dan Meyer, 1990) menjelaskan
komitmen afektif sebagai keikutsertaan suatu individu terhadap tujuan dan nilai
organisasi dengan berdasarkan pada ikatan psikologis antara individu dan
organisasi tersebut.
Mowday dkk (dalam Allen dan Meyer, 1990) memiliki definisi tersendiri
mengenai komitmen afektif, yaitu suatu hubungan yang kuat antara individu
dengan organisasi atau perusahaan yang diidentifikasikan dengan
keikutsertaannya dalam kegiatan perusahaan atau organisasi. Lebih lanjut lagi
Becker (dalam Allen dan Meyer, 1990) menggambarkan komitmen afektif
sebagai suatu kecenderungan untuk terikat dalam aktivitas organisasi secara
konsisten sebagai hasil dari akumulasi investasi yang hilang jika aktivitasnya
dihentikan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen afektif merupakan salah satu komponen dalam komitmen organisasi
yang berkaitan dengan keterikatan emosional, identifikasi, dan merasa terlibat
dalam seluruh aktivitas, tujuan, nilai suatu organisasi. Komitmen afektif
merupakan kesadaran bahwa anggota organisasi memiliki tujuan dan nilai yang
sama dan selaras dengan organisasi tempatnya bergabung. Pada tahap ini tujuan
dan nilai individu memiliki keselarasan dan kesatuan sehingga akan
mempengaruhi individu untuk berdedikasi penuh dengan loyalitasnya dan ingin
tetap bergabung dengan organisasi serta rendahnya niat untuk keluar dari
organisasi.

Dimensi Komitmen Organisasional

 


Menurut Allen & Meyer (1990), terdapat tiga dimensi komitmen
organisasional. Ketiga dimensi tersebut juga merangkum faktor pembentuk
komitmen organisasional yang terbagi menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Berikut ketiga komponen model komitmen Allen & Meyer (1990)
beserta dengan penjelasannya :
1. Komitmen Afektif
Komitmen afektif oleh Allen dan Meyer disebut sebagai Affective
Commitment merupakan bentuk komitmen yang berwujud rasa kasih
sayang terhadap organisasi. Anggota organisasi merasa senang menjadi
bagian organisasi dan senang hati dalam bekerja di dalamnya. Dalam
komitmen afektif, hubungan antara organisasi dan anggota organisasi
didasari oleh tiga hal. Ketiganya yaitu rasa emosional anggota organisasi
yang kuat terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan
keterlibatan dalam kegiatan organisasi.
a. Rasa emosional anggota merupakan perasaan memiliki pada
anggota terhadap organisasi. Keputusan anggota untuk bertahan dalam
organisasi dipengaruhi karena anggota merasa organisasi tersebut adalah
bagian dari dirinya dan dirinya bagian dari organisasi.
b. Identifikasi dengan organisasi. Hal ini merupakan kemampuan
anggota dalam mengenal secara utuh organisasi yang ditempatinya.
Pengetahuan yang lengkap mengenai organisasi akan membuat seseorang
memiliki alasan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi.
c. Keterlibatan individu. Keterlibatan individu merupakan tingkat
partisipasi anggota terhadap seluruh kegiatan atau aktivitas organisasi.
2. Komitmen Normatif
Komitmen ini juga disebut sebagai Normative Commitment. Komitmen
normatif merupakan suatu bentuk kesetiaan sebagai tanggung jawab moral
(moralitas) dan juga perasaan karyawan tentang kewajiban yang harus
diberikan kepada organisasinya (Allen & Meyer, 1990). Komponen
normatif berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung
dari sejauh apa perasaan sebuah kewajiban yang dimiliki karyawan.
a. Kesetiaan yang harus diberikan karena pengaruh orang lain.
Komitmen yang terjadi apabila karyawan terus bekerja untuk organisasi
disebabkan oleh tekanan dari pihak lain untuk terus bekerja dalam
organisasi tersebut. Karyawan yang mempunyai tahap komitmen normatif
yang tinggi sangat mementingkan pandangan orang lain terhadap dirinya
jika karyawan meninggalkan organisasi.
Kesetiaan ini merupakan hasil dari sosialisasi utama dalam suatu
kebudayaan organisasi. Hasilnya, anggota merasa berkewajiban untuk
tinggal di dalam organisasi meskipun memperoleh kesempatan untuk
berpindah ke organisasi lain yang lebih baik yaitu yang positif (Allen &
Meyer, 1997).
b. Kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi. Komitmen
ini mengacu kepada refleksi perasaan akan kewajiban untuk menjadi
karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi
merasa bahwa karyawan tersebut memang seharusnya tetap bekerja pada
organisasi tempat ia bekerja sekarang. Degan kata lain komitmen yang ada
dalam diri karyawan disebabkan oleh kewajiban-kewajiban pekerjaan
karyawan terhadap oganisasi.
3. Komitmen Berkelanjutan
Komitmen berkelanjutan atau Continuance Commitment berkaitan
dengan kesadaran individu untuk tidak meninggalkan organisasi. Jika itu
dilakukan, individu sadar akan mengalami kerugian tertentu. Komitmen
berkelanjutan dapat berkembang karena adanya tindakan atau kejadian
yang dapat meningkatkan kerugian jika memutuskan pergi dari organisasi.
Tindakan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu investasi dan alternatif (Allen
& Meyer, 1990).
a. Investasi yang dimaksud adalah sesuatu yang berharga harus
dibayarkan atau potensi hilangnya kesempatan untuk mendapatkannya,
contohnya uang, waktu, dan usaha. Sedangkan alternatif atau kadang
disebut taruhan sampingan individu merupakan opsi untuk berpindah ke
organisasi lain.
b. alternatif ini muncul karena kurangnya pengetahuan mengenai
pilihan organisasi lain. Akibatnya, individu akan merasa rugi jika tidak
mendapat sesuatu yang sama atau lebih baik di organisasi lain (Allen &
Meyer, 1990).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komitmen
organisasi merupakan keinginan individu untuk bertahan sebagai anggota
organisasi, menerima tujuan dan nilai-nilai yang dianut organisasi dan hal
itu diwujudkan dengan pengabdian serta loyalitas penuh sesuai tujuan dan
nilai organisasi yang diharapkan. Adanya komitmen organisasional yang
baik dari individu akan berdampak positif pada hasil yang baik bagi
organisasi serta menjadi berkurangnya intensitas anggota untuk keluar dari
organisasi.
Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah komitmen afektif karena
seorang karyawan yang memiliki komitmen afektif yang tinggi, dapat
menunjukkan rasa terikat secara emosional atas organisasi, meningkatnya
keterlibatan dalam aktivitas organisasi, keinginan untuk mengejar tujuan
dan keinginan untuk tetap bertahan dalam organisasi, Rhoades et al, (2001
dalam Sia et al, 2011). Karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi
dapat menunjukkan kesetiaan yang besar terhadap organisasi (Harriso,
2001 dalam Sharma J., dan Dhar,R,L, 2016)

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Robbins (2015: 170) disebutkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima
pekerja dengan banyaknya ganjaran yang diyakini seharusnya diterima. Dan Setiap
individu pekerja memiliki karakteristik yang berbeda – beda, maka tingkat kepuasan
kerjanya pun berbeda–beda pula tinggi rendahya kepuasan kerja tersebut dapat
memberikan dampakyang tidak sama.
Menurut (Ii & Teori, 2014). Pada dasarnya kepuasan kerja (Job Satisfaction)
merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri setiap
individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu,
maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Dan menurut Menurut Stephen P
Robins dalam Isniar Budiarti et.al (2018:141) kepuasan adalah suatu kondisi dimana
kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan
ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh
pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan diterima
setelah melakukan sebuah pengorbanan.
 

Definisi Komitmen Organisasional

 


Komitmen organisasional muncul sebagai topik penting didalam
sebuah studi maupun di perusahaan. Setiap orang yang bekerja di suatu
perusahaan harus mempunyai komitmen dalam bekerja. Jika suatu perusahaan,
memiliki karyawan yang tidak mempunyai komitmen dalam bekerja, maka
tujuan dari perusahaan tersebut tidak akan tercapai. Individu yang loyal
terhadap organisasi akan selalu bekerja dengan organisasi dan akan terus
berusaha untuk mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, individu yang tidak
berkomitmen tidak akan termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (Kemp
dalam Khan, 2014). Menurut Robbins dan Judge (2017) komitmen
organisasional merupakan sejauh mana seorang karyawan mengidentifikasi
organisasinya serta tujuan yang ada di dalamnya dan keinginannya untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Seorang karyawan
yang berkomitmen pada perusahaan umumnya merasakan hubungan yang baik
dengan perusahaan mereka, dan mereka merasa memahami tujuan perusahaan.
Kreitner dan Kinicki (2014) mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai tingkatan dimana seseorang mengenali sebuah organisasi dan terikat
pada tujuan-tujuannya. Menurut Ozdem (2012, dalam Arumi, 2019) masalah
komitmen organisasional perlu diperhatikan dan diutamakan agar karyawan
yang sukses terus memberikan hasil yang maksimal bagi perusahaan. Sama
seperti yang disampaikan oleh Saraswati dan Sulistiyo (2017 dalam Arumi,
2019) bahwa komitmen organisasional merupakan sebuah keyakinan dan
keinginan semua karyawan untuk terus tumbuh bersama perusahaan dan
mempertahankan setiap karyawan dalam perusahaan.
Allen & Meyer (1991) mengembangkan sebuah model komitmen
organisasi yang paling banyak dikutip oleh pembuat jurnal. Bahwa model ini
telah dikonsepkan menjadi tiga komponen yaitu afektif, kelanjutan, dan
normatif. Menurut Meyer & Herscovitch (2001) komponen komitmen berbeda
antara satu dengan yang lainnya dan perbedaan utamanya dalam berpola pikir
dianggap untuk mengkarakterisasikan komitmen. Allen & Meyer (1990)
merumuskan suatu definisi mengenai komitmen organisasional sebagai suatu
konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota dengan
organisasinya, dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan
keanggotaannya dalam berorganisasi. Sedangkan dalam penelitian ini
menggunakan definisi dan pengukuran komitmen menurut Allen & Meyer
(1990).

Indikator Pemberdayaan

 


Kahn (2007:54) dalam Arifin, dkk (2014:16) menyatakan bahwa pemberdayaan
dapat dilihat dari indikator sebagai berikut
1. Keinginan
a) Pegawai diberi kesempatan mengidentifikasikan permasalahan.
b) Menggambarkan keahlian tim dan melatih pegawai untuk mengawasi
sendiri
2. Kepercayaan diri
a) Menggali ide dan saran dari pegawai
b) Menyediakan jadwal instruksi kerja dan mendorong penyelesaian yang baik
3. Kredibilitas
a) Memandang pegawai yang lain sebagai partner
4. Komunikasi
a) Menetapkan kebijakan komunikasi terbuka
b) Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan
permasalahan secara terbuka

Pengaruh Komitmen Normatif terhadap Kinerja

 


Komitmen normatif merupakan perasaan karyawan tentang
kewajiban yang harus diberikan kepada organisasional. Seseorang yang
sudah memiliki rasa kewajiban ini tentu akan terus meningkatkan
kinerjanya agar mereka dapat memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Parinding dan Roberto
(2017). Hasil penelitiannya menunjukkan hasil positif signifikan antara
komitmen normatif dengan kinerja. Artinya bahwa semakin tinggi nilai
komitmen normatif dari seseorang akan meningkatkan kinerjanya.

Bentuk Pemberdayaan

 


Menurut (Ii et al., 2011) pemberdayaan memberikan partipatif dan program
keterlibatan karyawan yang tidak mengurangi perasaan tidak memiliki atau membiarkan
orang merasa bahwa pekerjaan mereka berarti dan berharga. Sebagai contoh, mengizinkan
bawahan untuk melakukan sebuah tugas dan diberikan tanggungjawab dalam pengambilan
keputusannya juga. Ada beberapa bentuk pemberdayaan yaitu ; 
A. Participative Management
Partisipasi seorang bawahan bersamasama dengan seorang atasan dalam hal
pengambilan keputusan. Pemberdayaan ini dilakukan karena semakin rumitnya pekerjaan,
sehingga terkadang atasan tidak mengerti apa yang dilakukan oleh seorang bawahan.
Pemberdayaan ini diharapkan pegawai dapat memberikan kontribusi dan dicapai
keputusan yang terbaik.
B. Representative Participation
Partisipasi karyawan diwakilkan oleh sekelompok karyawan saja. Hal ini, kelompok
diizinkan untuk mengambil keputusan bersama-sama manajemen.
C. Quality Circles
Partispasi sekelompok pegawai yang memiliki tanggungjawab dalam hal kualitas di
perusahaan. Kelompok ini mendiskusikan masalah, menyarankan solusi dan menjalankan
tindakan koreksi. Kelompok ini pada umumnya memberikan umpan balik, kemudian
manajemen yang pada akhirnya memiliki keputusan akhir mengenai solusi yang akan
dijalankan.
D. Employee Stock Ownership Plans
Program perusahaan terhadap kayawan dalam hal kepemilikan saham
perusahaan.Kepemilikan ini diharapkan kepuasan kerja pegawai meningkat dan bekerja
lebih efektif, karena kinerja yang baik berarti akan menguntungkan pula bagi karyawan
tersebut

Pengaruh Komitmen Berkelanjutan terhadap Kinerja

 


Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen yang dimiliki SDM
karena mereka merasa membutuhkan perusahaan tersebut sehingga
mengharuskan mereka untuk tetap tinggal. SDM yang memiliki komitmen
berkelanjutan akan berpengaruh pada semakin baiknya kinerja yang
dimiliki. Hal ini dikarenakan mereka merasa tidak memiliki keterampilan
lain sehingga mereka akan terus meningkatkan keterampilannya pada
perusahaan tersebut agar terus mendapatkan keuntungan dari perusahaan
tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suswati dkk (2013). Hasil penelitiannya menunjukkan hasil positif
signifikan antara komitmen berkelanjutan dengan kinerja. Artinya bahwa
semakin tinggi komitmen berkelanjutan yang dimiliki oleh seseorang
maka akan meningkatkan kinerjanya

Pengertian Pemberdayaan

 


Menurut Sedarmayanti (2013:286), secara harfiah, kata pemberdayaan dapat
diartikan lebih berdaya dari sebelumnya, baik dalam hal wewenang tanggung jawab
maupun kemampuan individual yang dimilikinya. Pemberdayaan merupakan pemberian
tanggung jawab dan wewenang terhadap pekerjaan untuk mengambil keputusan-keputusan
(Tarigan, 2019). Dan menurut Khan (2007:54) dalam Ariffin dkk (2014:16),”Pemberayaan
merupakan hubungan antar personal yang berkelanjutan untuk membengun kepercayaan
antara pegawai dan manajemen”. Dan menurut (Rizaldi, n.d.) Pemberdayaan, yaitu
terdapatnya kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan dan tersedianya
kesempatanuntuk menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki karyawan

Indikator Keadilan organisasional

 


Al-Zu’bi (2010) menyatakan bahwa indicator-indikator untuk mengukur keadilan
organisasional adalah sebagai berikut:
1. Keadilan distributif
a) hasil yang mereka terima dari organisasi adil.
b) Jadwal kerja yang adil
c) imbalan yang mereka terima secara adil
2. Keadilan prosedural
a) aturan dan prosedur yang mengatur secara adil 
b) pemimpin mendengarkan masalah karyawan sebelum membuat keputusan
c) keputusan kerja diterapkan secara konsisten kepada seluruh karyawan
3. Keadilan interaksional
a) perlakuan pimpinan kepada karyawan adil

Pengaruh Komitmen Afektif terhadap Kinerja

 


Komitmen afektif harus dimiliki oleh SDM dalam sebuah
perusahaan. SDM yang memiliki komitmen afektif dapat meningkatkan
kinerja. SDM yang memiliki komitmen afektif akan cenderung memiliki
loyalitas terhadap perusahaan dan akan merekomendasikan kepada
oranglain bahwa tempat ia bekerja adalah perusahaan yang baik, sehingga
mereka akan terus meningkatkan kinerjanya karena memiliki rasa ingin
membuat perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Pernyataan ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulianti dkk (2010). Hasil
penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh positif signifikan antara
komitmen afektif dengan kinerja. Artinya, semakin tinggi komitmen
afektif pada seseorang maka akan meningkatkan kinerja dari orang
tersebut.

Aspek Keadilan Organisasi

 


Keadilan Distributif
Robbins dan Timothy (2012: 122) mendefinisikan “kompensasi sebagai nilai balas
jasa yang diterima pegawai atau karyawan dalam bekerja. Didalam mengukur kompensasi
maka digunakan keadilan distributif (distributive justice)”. Keadilan distributif
berhubungan dengan distribusi balas jasa yang diterima individu yang bekerja dalam
sebuah organisasi, keadilan distributif berhubungan dengan besaran gaji yang diterima
dengan dasar utama waktu bekerja, tingkat kesulitan, jam kerja hingga adanya risiko kerja.
Keadilan Prosedural
Keadilan procedural adalah keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi imbalan (Robbins dan Timothy, 2012). Sedangkan menurut
Kaswan (2015), berpendapat bahwa keadilan organisasional menjadi elemen utama yang
berfokus pada keadilan yang terjadi di tempat kerja dan kepuasan yang dirasakan oleh
karyawan. Sehingga keadilan organisasi didasari oleh bagaimana setiap karyawan menilai
sikap dan perilaku karyawan lain dan bagaimana perilaku organisasi terhadap mereka.
Dan Menurut Kreitner dan Kinicki (2010:221) dalam bukunya yang berjudul
Organizational Behavior, keadilan organisasional mencerminkan sejauh mana karyawan
melihat bagaimana mereka diperlakukan secara adil di tempat kerja. Dapat identifikasi dari 
tiga komponen yang berbeda dari keadilan organisasi antara lain keadilan distibutif,
keadilan prosedural dan keadilan interaksional.
Keadilan Interaksional
Keadilan interaksional menurut Kreitner dan Kinicki (2010:222) adalah “keadilan
yang berkaitan dengan kualitas perlakuan antar pribadi yang orang terima ketika prosedur
diterapkan”. Bentuk keadilan tidak berhubungan dengan hasil atau prosedur yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan, melainkan berfokus pada apakah sopan dan
hormat atau tidak seseorang

Dimensi Komitmen Organisasi

 


1. Komitmen Afektif (Affective Commitment)
Komitmen afektif merupakan salah satu komitmen yang
dibutuhkan bagi karyawan. Menurut Robbins dan Judge
(2008), komitmen afektif adalah dimana karyawan merasa
ingin tetap tinggal (bekerja di perusahaan). Ini merupakan
keterkaitan emosional (emotional attachment) atau psikologis
kepada organisasi. Individu yang memiliki komitmen akan
bekerja penuh dedikasi. Komitmen afektif berkaitan dengan
emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan di dalam
suatu organisasional. Menurut Alifiatulahtin (2014), karyawan
dengan afektif tinggi masih bergabung dengan organisasi
karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Komitmen afektif dapat dihubungkan dengan tingkat
emosional seseorang. Menurut Novelia dkk (2016) komitmen
afektif adalah keterlibatan emosional seseorang pada
organisasinya berupa perasaan cinta pada organisasi. Menurut
Utaminingsih (2014), merupakan keterikatan emosional,
identifikasi dan keterlibatan dalam suatu organisasi. Menurut
Utaminingsih (2014), komitmen afektif merupakan
identifikasi psikologi yang merupakan kebanggaan masuk
dalam organisasi. Menurut Sulianti dkk (2014), individu
dengan komitmen afektif yayng kuat akan tetap berada dalam
organisasi karena menginginkannya. Sehingga komitmen
afektif dapat didefinisikan sebagai keterikatan psikologis
individu untuk tetap berada dalam organisasi.
Komitmen afektif dari seseorang dapat dilihat melalui
beberapa indikator. Menurut Sopiah (2008), indikator
komitmen afektif yaitu:
a. Keinginan untuk menjadi anggota organisasi
b. Merasa memiliki keterlibatan dalam mencapai tujuan
perusahaan
c. Keterkaitan secara emosional
d. Membanggakan perusahaan kepada orang lain
2. Komitmen Berkelanjutan (Continuence Commitment)
Komitmen berkelanjutan adalah dimana karyawan
merasa membutuhkan untuk tetap tinggal (bekerja di
perusahaan). Karyawan macam ini merasa terjerat dengan
perusahaan karena kurang mempunyai keterampilan (skills),
atau tidak ada kesempatan untuk pindah ke perusahaan lain,
atau menerima gaji yang sangat tinggi, dan lain sebagainya.
Mereka berfikir bahwa meninggalkan perusahaan akan sangan
merugikan Menurut Alifiatulahtin (2014), komitmen
berkelanjutan berarti komitmen yang berdasarkan persepsi
karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika
meninggalkan organisasi. Karyawan dengan dasar
organisasional tersebut disebabkan karena karyawan tersebut
membutuhkan organisasi.
Karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan salah
satunya berorientasi pada uang. Menurut Utaminingsih (2014),
individu dengan komitmen berkelanjutan akan merefleksikan
biaya untuk meninggalkan organisasi atau keuntungan bila
tetap berada pada organisasi tersebut. Menurut Sulianti (2009),
komitmen berkelanjutan adalah keinginan yang kuat dari
individu untuk tetap berada dalam organisasi karena merasa
butuh. Menurut Novelia dkk (2016) komitmen berkelanjutan
adalah persepsi seseorang atas biaya dan resiko dengan
meninggalkan organisasi saat ini. Sehingga komitmen
berkelanjutan merupakan keinginan individu untuk tetap
berada dalam organisasi karena merasa benar-benar
membutuhkan untuk tetap tinggal di organisasi tersebut.
Komitmen berkelajutan dari seseorang dapat dilihat
melalui beberapa indikator. Menurut Sopiah (2008), indikator
komitmen berkelanjutan yaitu:
a. Berharap mendapatkan keuntungan apabila bertahan
b. Bertahan dalam perusahaan merupakan kebutuhan
c. Pertimbangan keluar dari perusahaan
d. Berat meninggalkan organisasi
3. Komitmen Normatif (Normative Commitment)
Komitmen normatif merupakan perasaan karyawan
tentang kewajiban yang harus diberikan kepada
organisasional. Menurut Suswati dkk (2013), komponen
normatif berkembang sebagai hasil dari pengalaman
sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban
yang dimiliki karyawan. Menurut Novelia dkk (2016)
komitmen normatif adalah sebuah dimensi moral yang
didasarkan pada perasaan wajib dan tanggungjawab pada
organisasi yang mempekerjakannya
Loyalitas seseorang dapat dikatakan sebagai bentuk dari
komitmen normatif. Menurut Judge (2008), komitmen
normatif dimana karyawan merasa seharusnya tetap tinggal
dan merasa mempunyai kewajiban yang seharusnya
dilakukan. Menurut Alifiatulahtin (2014), yang keinginan
untuk memberikan tenaga dan tanggungjawab yang lebih
untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi
tempatnya bekerja. Sehingga komitmen normatif adalah
individu dalam organisasi merasa memiliki tanggungjawab
yang besar dalam organisasi tersebut yang mengharuskannya
untuk tetap berada dalam organisasi.
Komitmen afektif dari seseorang dapat dilihat melalui
beberapa indikator. Menurut Sopiah (2008), indikator
komitmen normatif adalah:
b. Ada perasaan bersalah meninggalkan perusahaan
c. Memikirkan pendapat orang lain jika keluar dari
perusahaan
d. Tetap bertahan merupakan kewajiban
e. Memiliki rasa tanggungjawab terhadap perusahaan