Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

Tuesday, November 7, 2023

Prinsip Independensi Hakim

  

Secara historis independensi hakim (independence of judge), diuraikan oleh Suzanna Sherry menyampaikan bahwa hakim-hakim di Inggris sebelum tahun 1701, tidak dapat membatalkan suatu perundang-undangan produk legislatif (there was no practice of judicial review; judges did not strike down legislative enactments). Ungkapan klasik yang berlaku kala itu adalah

 an act of parliament can do no wrong, although it may do several things that look pretty odd”.

 

Pengaruh ungkapan ini kemudian ditentang oleh hakim dan menolak untuk terikat dengan segala produk parlemen (kekuasaan legislatif). Paham inilah yang kemudian bermetamorfosa sehingga lahirlah judicial review. Sir Edward Coke, the father of American judicial review, menyatakan bahwa

“when an Act of Parliament is against common right and reason, or repugnant, or impossible to be performed, the common law will control it, and adjudge such Act to be void”. [1]

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia 1945 Amandemen ketiga mengatur tentang kekuasaan kehakiman yang terdapat pada pasal 24 ayat (1) berbunyi :

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan peradilan

 

 Diuraikan lebih lanjut bahwa orang-orang Amerika kemudian menggunakan model independensi pengadilan (judicial independence) ketika mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka menentukan untuk memiliki hakim-hakim yang independen. Hakim-hakim di Amerika segera memulai pelaksanaan judicial review, bahkan sebelum konstitusinya dirancang, hakim-hakim telah mengambil bagian dalam judicial review dengan membatalkan produk parlemen yang dinilai tidak benar. Mereka melakukannya tidak hanya karena bertentangan dengan konstitusi tertulis (written constitution), tetapi juga dengan dasar bertentangan dengan hukum alam seperti hak-hak yang tak tertulis (unwritten constitution). Hakim-hakim menggunakan bahasa hak-hak alamiah seperti “natural rights”, “inalienable rights”, “inherent rights”, “fundamental principles of civilized society”, and the “immutable principles of justice”.

They also broadened the definition of unwritten rights, protecting not only property rights and the right to jury trial, but also the right of representation and rights against retroactive laws or laws granting special privileges”. [2]

 

Berdasarkan alur historis di atas maka independensi hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif. Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.

Independensi kekuasaan hakim sangat berkaitan dengan defenisi kekuasaan negara yang merdeka, bahwa dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang - undangan mempunyai kekuasaan yang bebas.[3] Dengan kata lain, bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan - peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya upaya hukum.[4]Jadi dalam pelaksaanaannya, penegakan prinsip kebebasan dalam kekuas a an kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku.

Dalam sistem hukum Indonesia dengan jelas disebutkan independensi hakim dalam cakupan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen disebutkan bahwa[5] :

a.         Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

b.         Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa pada hakekatnya lembaga Peradilan merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari  pengaruh kekuasaan pemerintah. Prinsip ini sekaligus menunjukkan bahwa lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya harus terbebas dari segala intervensi, sebab betapa pun kecilnya intervensi itu, misalnya hanya berupa sekedar iming-iming berupa janji, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan

Dengan demikian dimaksud dengan independensi kehakiman sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yustisialnya.

Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak lagi mampu berbahasa kejujuran.[6] Dalam menghadapi keadaan demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya[7]

Hal lain  yang patut diperhatikan dalam membahas independensi hakim adalah  bahwa kebebasan hakim (independence of judiciary) harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability). Dalam kaitan inilah kemudian melahirkan konsep pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) termasuk di dalamnya integrity dan transparency, yang dibangun di atas prinsip yang merupakan harmonisasi antara tanggungjawab hukum (legal responsibility) dan tanggungjawab kemasyarakatan (social responsibility). Dalam kerangka demikian kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep code of conduct berkenaan dengan pengawasan terhadap hakim, yang keberadaannya terlihat sebagai tuntutan nasional maupun internasional.[8]

Berdasarkan berbagai uraian di atas maka indepedesi hakim adalah bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas - bebasnya tanpa rambu - rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik. Oleh karenanya dalam membahas kebebasan hakim harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan



[1] Suzanna Sherry, 1998, “Independent Judges And Independent Justice”, Journal Law and Contemporary Problems, http://www.law.duke.edu/journals/61LCPSherry

[2] Ibid

[3] K Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta , 1977 , hlm. 17 

[4] Ibid, hlm.17

[5] Amran Suadi, H. Dr. Drs., S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, Dan Etika., Prenada Media Goup, Jakaarta,  I, 2019.Jakarta

[6] Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman

[7]  Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundangundangan (Lex Specialis Suatu Masalah), Surabaya: JPBooks, 2006, hlm.176-177

[8] The Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002, http://www.unodc.org/pdf/crime/ corruption/judicial_group/Bangalore_principles.pdf

Pengertian Pejabat Negara

  

Pejabat dalam kamus KBBI memiliki arti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting selanjunya dalam kata Pejabat Negara orang yang memegang jabatan penting dalam pemerintahan, seperti menteri, sekretaris negara.   Menurut Undang-Undang No 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dalam Pasal 11 ayat berisikan. Pejabat Negara terdiri atas:

a.              Presiden dan Wakil Presiden;

b.             Ketua, Wakil Ketua, dn Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.              Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

d.             Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

e.              Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan

f.               Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;

g.             Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

h.              Gubernur dan Wakil Gubernur;

i.                Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota; dan

j.                Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan

Menurut Riant Nugroho Pejabat Negara atau Pejabat Publik di kelompokan menjadi dua, yaitu:

a. Pejabat Negara, yaitu :

 1) Pejabat legislatif, yaitu ketua dan anggota MPR, DPR, DPD,dan DPRD;

2) Pejabat yudikatif, yaitu pimpinan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

3) Pejabat Eksekutif, yaitu :

 a) Presiden dan Wakil Presiden;

 b) Menteri dan pejabat pemerintah setingkat Menteri; c) Gubernur dan Wakil Gubernur;

 d) Duta Besar;

 e) Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

4) Pejabat akuntatif, yaitu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan;

 5) Pejabat lembaga publik semi-negara, termasuk di antaranya; lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) hingga badan-badan regulator inrastruktur publik, seperti Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia dan Badan Regulator Air Minum PAM Jakarta. b. Pejabat administratif, yaitu:

1)       Pejabat struktural pusat (Eselon I dan II);

2)       Pejabat struktural daerah propinsi (Eselon I dan II);

3)        Pejabat struktural daerah kabupaten/kotamadya (Eselon II dan III);

4)       Para pejabat hubungan masyarakat pemerintah;

5)       Pejabat pimpinan pelaksana di tingkat bawah (camat, kepala desa/lurah).

Setelah melihat ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Pejabat Negara atau Pejabat Negara tidak terbatas pada pengertian pejabat negara, tetapi lebih luas lagi, yaitu top managemen yang menyelenggarakan urusan negara dan pemerintahan yang memiliki kewenangan mengambil suatu keputusan yang bersifat strategis termasuk kebijakan yang mengikat terhadap masyarakat (publik). Kebijakan yang mengikat masyarakat biasanya diambil oleh pimpinan puncak satuan organisasi pemerintah, baik tingkat pusat maupun daerah, kepala dinas tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan camat, lurah maupun kepala desa

Larangan Bagi Pegawai Negeri Sipil

 

Larangan Bagi PNS menurut PP No 94 Tahun 2021 Sedangkan larangan bagi PNS, yang dituangkan dalam Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021 adalah sebagai berikut[1]

a.         menyalahgunakan wewenang; 

b.        menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan;

c.         menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain; 

d.        bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK);

e.         bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh PPK; 

f.          memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah;

g.        melakukan pungutan di luar ketentuan; 

h.        melakukan kegiatan yang merugikan negara;  i. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; 

i.          menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 

j.          menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; 

k.        meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan; 

l.          melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; dan 

m.      memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: 

                                  i.          ikut kampanye;

                                ii.          menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; 

                             iii.          sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; 

                              iv.          sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 

                                v.          membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; 

                              vi.          mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau 

                            vii.          memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk



[1] Pasal 5 PP No 94 Tahun 2021

Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS)

 

  Menurut Sastra Djatmika, kewajiban Pegawai Negeri dibagi dalam tiga Golongan, yaitu[1]:

1) Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan;

 2) Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri pada umumnya;

3) Kewajiban-kewajiban lain. Untuk menjunjung tinggi kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), diperlukan elemen-elemen penunjang kewajiban meliputi kesetiaan, ketaatan, pengabdian kesadaran, tanggung-jawab, jujur, tertib, besemangat dengan memegang rahasia Negera dan melaksanakan tugas kedinasan.

Pasal 2 PP No 94 Tahun 2021 menyatakan PNS wajib menaati kewajiban dan menghindari larangan. Kewajiban PNS Adapun kewajiban PNS tersebut dituangkan pada Pasal 3, yaitu[2]:

a.         setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Pemerintah;

b.         menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; 

c.         melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang; 

d.         menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;

e.         melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;

f.          menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; 

g.         menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 

h.         bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.

Selain itu, sebagaimana ketentuan Pasal 4 PP No 94 Tahun 2021, PNS juga diwajibkan untuk: 

a.       menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji PNS; 

b.      menghadiri dan mengucapkan sumpah/janji jabatan;

c.        mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan/atau golongan; 

d.      melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara; 

e.       melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

f.        masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 

g.      menggunakan dan memelihara barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 

h.      memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan kompetensi; dan 

i.        menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 



[1] Buku-Buku: Djatmika Sastra. 1987. Hukum Kepegawaian di Indonesia.Yogyakarta. Djambatan

[2] https://regional.kontan.co.id/news/inilah-kewajiban-dan-larangan-bagi-pns-menurut-aturan-baru-pp-no-94-tahun-2021.

Fungsi, Tugas, dan Peran Pegawai Aparatur Sipil Negara

 

a.       Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berfungsi sebagai[1]:

1) Pelaksana Kebijakan Publik

 2) Pelayanan publik

3) Perekat dan pemersatu bangsa.

b.      Aparatur Sipil Negara (ASN) bertugas[2]:

1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.

 2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas.

3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesaatuan Republik Indonesia.

 Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pegawai negeri adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara yang bertugas membantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh setiap masyarakat dalam melaksanakan Peraturan Perundang–undangan  pada umumnya. [3]

Pegawai Negeri Sipil diberikan tugas kedinasan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik–baiknya. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat setiap Pegawai Negeri Sipil harus mampu melakukan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebagai abdi Negara seorang pegawai negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, UUD 1945, negara dan pemerintahan. Dalam hal ini pegawai negeri harus bersikap monoloyalitas, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran serta menyerahkan daya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta berdaya dan berhasil guna. Kesetiaan dan ketaatan penuh yang berarti bahwa Pegawai Negeri Sipil sepenuhnya berada di bawah pimpinan pemerintahan dan sebagai abdi masyarakat. Pegawai negeri harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Sehubungan dengan kedudukan pegawai negeri maka baginya dibebankan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan sudah tentu disamping kewajiban baginya juga diberikan apa saja yang menjadi hak yang didapat oleh seorang pegawai negeri. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil adalah mengenai hubungan Pegawai Negeri Sipil dengan Negara dan Pemerintah serta mengenai loyalitas kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. [4]

Didasari bahwa kedudukan pegawai negeri khususnya Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu  penentu kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Sehingga untuk mencapai tujuan pembangunan, diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil sebagai warga negara, unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat. Dengan penuh kesetiaan dan ketaatan terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk keperluan tersebut, Pegawai Negeri Sipil harus bersatu padu bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan.[5]



[1] Sri Hartini dan Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, ,hlm.34-35

[2] Ibid

[3] Ridwan H.R, 2014,Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.2

[4] Ibid

[5] Muchsan, 1982, Hukum Kepegawaian, jakarta, Bina Aksara