Showing posts with label ilmu politik. Show all posts
Showing posts with label ilmu politik. Show all posts

Wednesday, February 12, 2020

Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah (skripsi dan tesis)

.
 Sistem pilkada yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tiadak memuat secara jelas karakteristik sistem pemilihannya. Sistem pemilihan yang diikuti oleh sistem pilkada di Indonesia adalah campuran antara two round, sistem pemilihan presiden Nigeria, dan sistem first past the post. Sesuai dengan pasal 107 ayat (1) yang berbunyi: “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara ditetapkan sebagai calon terpilih”. Pasal ini sesuai dengan sistem two round. Namun dalam pasal 107 ayat (2) disebutkan : “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) cari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih

Jenis-jenis Sistem Pilkada (skripsi dan tesis)

 Sistem Pilkada dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni pilkada langsung dan tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik. tepatnya adalah penggunaan suara yang berbeda. Joko J. Prihatmoko (2005: 212) pilkada yang memberikan ruang bagi rakyat untuk memberikan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih 52 dan dipilih dapat disebut dengan tak langsung. Seperti sistem penegakan dan penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem perwakilan, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan kepada pejabat pusat. Sebaliknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi hak pilih aktif. seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena iotulah pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipan sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis. Joko J. Prihatmoko (2005: 210) yang membedakan pilkada langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahap-tahap kegiatan yang digunakan. dalam pilkada tak langsung rakyat dalam tahap kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elite. dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan yang sangat jeas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan pemilih, penyelengggara, pemantau, bahkan pengawas. Oleh sebab itu dalam pilkada langsung, selalu ada tahap kegiatan langsung, selalu ada tahaapan kegiatan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan, dan perhitungan suara. 
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk daerah kota. Pada dasarnya bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dikabupaten setempat. Bupati merupakan jabatan politis, karena diusulkan oleh partai politik dan bukan pegawai negeri sipil. Dalam pemilihan kepala daerah langsung rakyat memilih pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan. Sistem pemilihan yaitu mekanisme untuk menentukan pasangan calon yang akan menjadi kepala daerah. Sistem pemilihan akan menjadi tolak ukur kualitas pilkada yang dilaksanakan. Selain itu juga merupakan ketentuan tata cara untuk menetapkan calon terpilih. Dalam sistem pilkada langsung terdapat beberapa jenis sistem pemilihan yang berbeda. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan 54 kekurangan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana akan berlangsungnya pilkada. Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 115-120), terdapat 5 jenis sistem pemilihan dalam pilkada langsung, yaitu: 1) First Past the Post System First Past the Post system dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah. Sistem ini juga dikenal dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan. 2) Prefential Voting System atau Approval Voting System Prefential voting system atau approval voting system merupakan sistem dimana pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon kepala daerah yang ada saat pemilihan. Seorang calon kepala daerah akan otomatis menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai tingkat pertama yang terbesar. 
Sistem ini juga dikenal sebagai sistem yang mengakomodasi sistem mayoritas sederhana (simple majority), namun dapat membingungkan proses perhitungan suara sehingga perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat. 3) Two Round System atau Run-off System cara kerja Two round system ini adalah dengan dilakukan pemilihan putaran dua (run-off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas mutlak, yaitu lebih dari 50% dari keseluruhan sura dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasanagn calon yang memiliki suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. 4) Electoral College System Sistem ini bekerja dengan cara setiap daerah pemilih diberi alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada keseluruhan 55 suara yang diperoleh dalam pilkada yang diperoleh setiap calon dalam daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calaon yang memeperoleh suara dewan pemilih terbesar akan dimenangkan pilkada langsung. 5) Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria Seorang kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkada apabila calon bersangkutan dapat memperoleh suara mayoritas sederhana (suara terbanyak diantara suara mayoritas yang ada) dari daerah pemilihan. Sistem ini diterapkan untuk menjamin bahwa kepala daerah terpilih memiliki dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan. Sistem pilkada langsung memuat tata cara dalam proses pemilihan kepala darah. Sistem pilkada langsung memiliki sub sistem. Di Indonesia sub-sistem ini dilaksanakan oleh KPUD sebagai pelaksana teknis daei pelaksanaan pilkada langsung. KPUD sekaligus melaksanakan fungsi sub-sistem pilkada langsung terdiri dari: 1) Electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau atauran mengenai pilkada langsng yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam peran dan fungsi masing-masing. Dalam sub ini KPUD erwenang membuat berbagai peraturan dan keputusan mengenai pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005. 2) electoral process, yaitu seluruh kegitan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan yang berlaku yaitu ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Dalam sub-sistem ini KPUD berkewajiaban menangani persoalan teknis, administrasi dan logistik. 3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politisi, administratif, atau pidana. Dalam sub-sistem ini KPUD berwenang melakukan tindakantindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan tahanan pilkada (Joko J.Prihatmoko, 2005:187).

Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada (skripsi dan tesis)

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan, pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung yang demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung dapat dihindari. Pada gilirannya pemiihan umum kepala daerah secara langsung akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien,  karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. 
Dengan adanya pilkada secara langsung, setidaknya akan menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005: 131-133), yaitu sebagai berikut: 1) Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan, maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society). 2) Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). 49 3) Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya. 4) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. 5) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif, dan efektif. Tidak gampang digoyang oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintahan pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik. Dalam pelaksanaan pilkada langsung selain ada kelebihan tentu terdapat kelemahannya. Kelemahan tersebut ditemukan dalam pelaksanaanya dilapangan. Dalam pilkada, banyak sekali ditemukan penyelewengan-penyelewengan atau kecurangan. Kecurangankecurangan yang sering dilakukan oleh para bakal calon dalam pilkada adalah seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188): 1) Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Money politik dilakukan supaya rakyat memilih calon yang sudah memberinya uang. Pada kenyataannya dengan uang memang dapat membeli segalanya. Selain itu, dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. 2) Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga masyarakat agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu. 3) Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. 
Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang  merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. 4) Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut

Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah (skripsi dan tesis)

 Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad Nadir, 2005:1) Pilkada langsung sesungguhnya merupakan respon kritik konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung (Ahmad Nadir 2005:15-17). Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku. Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan 47 benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat.

Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (skripsi dan tesis)

Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut. Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik. (mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix). Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara 44 demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6 Tahun 2005. Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di uraikan sebagai berikut: 1) Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani tanpa perantara. 2) Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3) Bebas Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam melakasanakan haknya, setiap warga negara diajamin 45 keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4) Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5) Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6) Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217- 219) Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut 46 merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Arti pilkada langsung (skripsi dan tesis)

 Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD 1945 sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen sehingga pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat dan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan sarana demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan wakil-wakilnya di daerah, pilkada juga merupakan sarana untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti halnya negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang mengalami perubahan signifikan pasca runtuhnya orde baru. 
Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya. 
Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan adanya pilkada secara langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan tumbuh 43 berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilainilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009: 17). Ini artinya kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual) diawali dengan pilkada secara langsung, asumsinya; sebagai upaya membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di ranah lokal)

Teori pilihan rasional (skripsi dan tesis)

Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer, 2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer (2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan. Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor melakukan tindakan yang sesuai tujuan. Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif berupa pilihan yang ada. Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi, sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak sesuai dengan pilihannya

Teori Behavioralisme (skripsi dan tesis)

 Teori ini menitikberatkan perhatian pada tindakan politik individu yang menonjolkan sejauh mana peranan pengetahuan politik sehingga terpengaruh pada perilaku politiknya (Nasiwan, 2010:33). Kaum behavioralis berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kegiatan politik.Teori Sistem Umum dipercaya juga sebagai akar dari kemunculan Teori Behavioralis, Teori ini mengatakan bahwa motivasi utama tindakan atau perilaku politik manusia adalah hasrat untuk melipatgandakan kemanfaatan akan sesuatu yang bernilai (Nasiwan ,2010:34 ). David Easton dalam Nasiwan (2010:37) mengungkapkan mengenai model psikologi, dimana model ini berusaha memahamkan tentang tingkah laku yang menekan proses belajar dengan variable seperti : 1) Situasi stimulan yang membangkitkan tindakan di dalam lingkungan (menggabungkan diri dengan partai politik, sebagai bentuk upaya memperoleh akses kekuasaan).  2) Timbul semacam dorongan sehingga melakukan sebuah upaya guna memperoleh respon yang memuaskan. 3) Variabel individu semacam keturunan, usia, jenis kelamin, kondisi visiologi yang menentukan cara orang memahami suatu kesempatan yang tersedia (contoh:berupa tindakan politik seperti dukungan saat memilih, bergabung dengan parpol, pressure group atau pergerakan). Tingkahlaku psikologis menerjemahkan bahwa dalam tingkah laku politik manusia bersama kepentingan, tujuan dan motivasi mengakibatkan proses belajar, pemahaman, kognisi, dan simbolis. Tahap sosialisasi selanjutnya adalah kedewasaan yang tercermin dari citra diri, harga diri seseorang sehingga berkepribadian yang positif sehingga individu dewasa yang menjadi semakin kuat dalam ideologinya sehingga cenderung berperilaku melindungi diri dengan hanya bergaul bersama orang-orang sepaham, sekelompok, sepergerakan, atau bahkan ada pula yang melenceng sama sekali dari ideology semula. 
David E. Apter dalam Nasiwan (2010:39) menyatakan beberapa model-model sosialisasi, sebagai berikut: 1. Model akumulasi, semakin seorang individu dapat memahami berbagai pengetahuan dan ilmu tentang apa yang dianut (konteks politik), semakin bertambahlah harapan individu tersebut terhadap peran politik. 2. Model alih antarpribadi, memproyeksikan kekuasaan yang terdapat pada orang yang dinilai memiliki kesepadanan dalam pemaknaan kekuasaan tersebut, walau tidak dapat dikatakan sama sedikitpun terlebih sebanding, misal seorang anak memahami kekuasaan seorang presiden yang dilihatnya di televisi sebagai kekuasaan yang sepadan dengan keberkuasaan ayahnya. 3. Model identifikasi, Pengambilan sikap yang seragam dengan figur penting dan lebih tua. Contoh seorang anak memiliki 39 kecenderungan turut memilih dan mendukung partai politik yang menjadi pilihan orang tuanya. 4. Model perkembangan kognitif. Pemahaman konseptual sebagai proses berfikir anak untuk memperluas cakrawala berfikir dan meningkatkan tingkat kognisi anak mengenai kepemahaman akan jaringan isu-isu dan politik, agar tidak terjadi proses indoktrinasi semata.

Pendekatan dalam perilaku memilih (skrispi dan tesis)

Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis. Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan pilihan rasional. 1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai. 2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar 34 belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. 3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. 4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. 5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. 
Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku memilih sebagai berikut: 1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan OPP. 
Faktor alasan sosiologis berpengaruh besar dalam perilaku memilih masyarakat. 35 2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih. 3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat. 4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya. Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah menjabat. Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye (Rohrscheneider, 2002:367). Ciri khas pemilih ini adalah loyalias yang tinggi. Orientasi policy-problemsoving Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis Rendah Pemilih skeptis Pemilih tradisonal 37 Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput) dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah, 2008:121-123)

Perilaku Politik (skripsi dan tesis)

Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu kehidupan bermasyarakat. Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter, machialvelis dan demokrat. Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik sebagai berikut: 33 1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa. 2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu. 4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133)

Bentuk Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Paige dalam Cholisin (2007:153) merujuk pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis), partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif). Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai Negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentukbentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidak puasan warga negara. 
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011:57-58) yang terbagai dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi politik konvensional dan non konvensional. 1) Partisipasi politik konvensional a) Pemberian suara atau voting b) Diskusi politik c) Kegiatan kampanye d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan e) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif 2) Partisipasi politik nonkonvensional a) Pengajuan petisi b) Berdemonstrasi c) Konfrontasi d) Mogok e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda : pengrusakan, pemboman, pembakaran f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi. Kemudian David F. Roft dan Frank yang dikutip oleh A Rahman H.I (2007: 286) bentuk partisipasi warga Negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas tertinggi sebagai  partisipan. Apabila intensitas kegiatan masyarakat dalam kegiatan politik dijenjangkan maka akan membentuk piramida partisipasi politik.

Tipologi Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

 A. Rahman H.I (2007: 288) menyatakan bahwa secara umum tipologi partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi: 1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. 2) partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. 3) golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan. 
Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin (2007: 152) membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori yakni : 1) Partisipasi politik apatis orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. 2) Partisipasi politik spector orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. 3) Partisipasi politik gladiator mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. 4) Partisipasi politik pengritik Orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi politik aktif terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi 26 pasif terletak pada outputnya saja. 
Selain itu juga ada anggapan masyarakat dari sistem politik yang ada dinilai menyimpang dari apa yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam partisipasi politik yang apatis. Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu tempat pemungutan suara dan lain-lain. Sedangkan Olsen yang dikutip Oleh A. Rahman H.I (2007: 289) memandang partisipasi sebagai dimensi utama startifikasi sosial.Ia membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain), warga masyarakat, kelompok marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan kelompok yang terisolasin(orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku yaitu individual dan kolektif.individual yakni seseorang yang menulis surat berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah  kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi kolektif yang konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam proses pemilihan umum dan partisipasi politik kolektif nonkonvensional (agresif) seperti pemogokan yang tidak sah,melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi politik kolektif agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif yang kuat dan aksi agresif yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat anti rezim (melanggar peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal), mengganggu fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif yang lemah adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas. Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung digerakan secara meluas dan diarahkan untuk kepentingan pembangunan. Orang-orang yang melakukan demonstrasi atau memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya merupakan wujud nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang perhataian dari berbagai kalangan.

Faktor-faktor Partisipasi Politik (skripsi dan tesis)

Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Ramlan Surbakti (1992:140) menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud 21 dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum, kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya. Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan Surbakti, 2006:144-145). Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews (2011:56-57) 1) Modernisasi Modernisasi disegala bidang akan berimplikasi pada komensialisme pertanian, industrial, meningkatkan arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan 22 pendidikan dan pengembangan media massa atau media komunikasi secara luas. 2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang meluas era industralisasi dan modernisasi. 3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa modern Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan suara. 4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. 5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur ekonomi,sosial dan budaya Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.
Sementara itu menurut Milbrath yang dikutip oleh Michael Rush dan Althof (1989:168) memberikan alasan bervariasi mengenai partisipasi seseorang, yaitu: Pertama, berknaan dengan penerimaan perangsang politik. Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutseertaan seseorang dalam kegiatan politik. Kedua, berkenaan dengan karekteristik sosial seseorang. Dapat disebutkan bahwa status ekonomi, karekter suku, usia jenis kelain dan keyakinan (agama). Karakter seseorang berdasarkan faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik. Ketiga, yaitu menyingkat sifat dan sistem partai tempat individu itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara yang demokratis, partaipartai politiknya cenderung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa, sehingga massa cenderung berpartisipasi dalam politik. Keempat, yaitu adanya perbedaan regional. Perbedaan ini merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaaan watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional itu pula yang mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik. 
 Partisipasi pemilih pemula dalam pilbup langsung memang erat kaitanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Banyak pertimbangan dalam menggunakan hak pilihnya. Bisa melihat dari sisi visi misi kandidat yang bagus meskipun tidak ada jaminan setelah kandidat terpilih. Selain itu berupa acuan yang digunakan untuk memilih adalah mereka kandidat yang memberikan uang, dan kandidat yang diusung oleh partai yang dianggap pemilih pemula sesuai dengan kriterianya. Pada perilaku pemilih yang rasional pemilih akan menentukan pilihannya berdasarkan isu politik dan kandidat yang diajukan serta kebijakan yang dinilai menguntungkan baginya yang akan ia peroleh apabila kandidat pilihannya terpilih. Pemilih yang rasional tidak hanya pasif dalam berpartisipasi tetapi aktif serta memiliki kehendak bebas. 

Pengertian partisipasi politik (skripsi dan tesis)

 Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno, 2004:102-103). Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik 18 menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151) adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
 Selanjutnya Ramlan Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh Cholisin (2007:150) memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Menurut Miriam Budiarjo, (dalam Cholisin 2007:150) menyatakan bahwa partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya. Oleh sebab itu, di negara-negara demokrasi pada umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak, maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat 19 partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatankegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008: 369). Ahli yang lain juga menyebutkan pengertian partisipasi politik:
 1) Keith Fauls Keith Fauls (1999:133) memberikan definisi partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. 
2) Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. 
 3) Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries Huntington dan Nelson (1997: 3) partisipasi politik sebagai Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan (violence)

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)

Pilkada berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: 42 a. Perencanaan program dan anggaran. b. Penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan. c. Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan. d. Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS. e. Pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS; f. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan g. Penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih. Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 meliputi: a. pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Walikota; b. Uji Publik. c. Pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. d. Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. e. Penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. f. Penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. g. Pelaksanaan Kampanye; h. Pelaksanaan pemungutan suara; i. Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara; j. Penetapan calon terpilih; k. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan  l. Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih

Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung (skripsi dan tesis)

Menurut Easton dalam Prihatmoko (2005:200) Dalam perspektif teoretis, dapat dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan suatu sistem yang selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-bagian; (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung; (3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sistem pilkada langsung mempunyai bagian- bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Mekanisme, prosedur dan tata cara dalam pilkada langsung merupakan dimensi electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan tata cara dalam sistem adalah terukur (measurable). Sistem pilkada  langsung merupakan sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan proses untuk memilih Kepala Daerah. 
Adapun dalam perspektif praktis, pilkada merupakan rekrutmen politik, yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah yang nilainya equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan dengan kedudukan yang sejajar antara Kepala Daerah dan DPRD. Aktor utama sistem pilkada adalah rakyat, partai politik, dan calon Kepala Daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) pendaftaran pemilih; (2) pendaftaran calon; (3) penetapan calon; (4) kampanye; (5) pemungutan dan penghitungan suara; dan (6) penetapan calon terpilih. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.

Tinjauan Tentang Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

 Menurut Reynolds (2001:50) adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam proses pembuatan kebijakan Negara. Pasal 1 UU No. 10 Tahun 2008 menjelaskan bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 39 Di sisi yang lain menurut arti bahasa yang diambil dari website wikipedia Indonesia, pengertian dari Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai Kepala Desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatanjabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata “pemilihan” lebih sering digunakan. Dalam pemilu, para pemilih dalam pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih. 
Dari kedua pengertian pemilu di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemilu merupakan suatu sarana atau cara yang dapat digunakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat dalam pemilu itu sendiri merupakan hak istimewa yang diperoleh oleh rakyat untuk menentukan para wakilnya yang dapat duduk di pemerintahan. Sesuai dengan pengertian dari demokrasi itu sendiri, bahwasannya melalui pemilu ini rakyatlah yang berdaulat di suatu Negara yang memilih wakilnya untuk duduk di parlemen, para wakilnya ini juga berasal dari rakyat dan misi 40 dari wakil rakyat ini adalah mengelola Negara untuk mensejahterakan rakyat yang bernaung di dalam Negara tersebut, sehingga sejalan dengan arti demokrasi yang berbunyi demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Masih menurut pengertian dari demokrasi tadi yang dihubungkan dengan pemilu sebagai suatu cara untuk menegakan demokrasi, dari sinilah banyak para ahli yang menyatakan bahwa pemilu yang berjalan dalam suatu Negara merupakan inti dari demokrasi.

Tinjauan Tentang Persepsi Politik (skripsi dan tesis)

Pengertian persepsi telah dikemukakan oleh banyak ahli dengan pandangan yang berbeda. Persepsi bersifat individual, karena setiap individual memberikan arti tertentu terhadap rangsangan atau stimulasi dari lingkungannya, maka individu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Dengan kata lain, persepsi merupakan bentuk pola pikir seseorang dalam memahami suatu objek tertentu yang bersifat subyektif. Selanjutnya masalah persepsi ini diuraikan secara terinci. Menurut Effendy (2005:135) mengenai “Persepsi sebagai proses dimana kita jadi sadar akan objek atau peristiwa dalam lingkungan melalui ragam indera kita seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan penjamahan”. Namun  demikian, karena persepsi tentang peristiwa atau objek tersebut tergantung pada suatu ruang dan waktu, maka persepsi merupakan awal dalam pemikiran sistem informasi yang mengandung nilai informasi yang sangat subyektif dan situasional. 
Menurut Ihalauw (2005:87) menyebutkan bahwa “Persepsi adalah cara orang memandang dunia ini. Dari defenisi yang umum ini dapat dilihat bahwa persepsi seseorang akan berbeda dari yang lain, masyarakat dapat membentuk persepsi yang serupa antar warga kelompok masyarakat tertentu”. Proses perubahan persepsi disebabkan oleh proses feal atau fisikologik dari sistem syaraf pada indera manusia, jika suatu stimulus tidak mengalami perubahan-perubahan misalnya, maka akan terjadi adaptasi dan habituasi yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah.
 Selain secara implisit sudah tampak dalam definisi tersebut, argumentasi ini menurut kamus bahasa Indonesia (2005:288) “Persepsi didefinisikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu, atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya”. Rahmat dan Prasetio dalam Tangkilisan (2005:288) mengartikan bahwa “Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Semua ilmu sosial mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lainnya, disatu pihak dia ingin bekerja sama, dipihak lain dia cenderung bersaing dengan sesama manusia. 34 Menurut Rahmat (2004:51) “Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi, jadi hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas, sensasi adalah bagian dari persepsi.
 Ada beberapa sub proses di dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif, sub proses pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang hadir. Mula-mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan situasi atau stimulus, situasi tersebut bisa berupa penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan sosio kultur dan fisik yang menyeluruh. Setelah mendapat stimulus, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan “interpretation”, begitu juga berinteraksi dengan “closure”. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. 
Dalam proses pembentukan persepsi Thoha (2007:127-128) ada beberapa tahap: “Pertama yang dianggap penting adalah stimulus atau situasi yang hadir; kedua adanya registrasi yang menunjukkan mekanisme penginderaan dan sistem syaraf dalam mendengar dan melihat yang selanjutnya terdaftar dalam fikiran. Proses ketiga adalah interpretasi daftar masukan dengan menggunakan aspek kognitif. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman (learning) seseorang, motivasi dan kepribadian seseorang interpretasi terhadap sesuatu informasi yang sama akan berbeda untuk setiap 35 orangnya sehingga tahap ketiga ini menjadi penting dalam memahami persepsi. Selanjutnya proses umpan balik (feed back) dari peristiwa maupun objek”. Menurut Robbins (2001:88) “Persepsi adalah suatu proses dengan mana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka”. Perbedaan dalam mempersepsikan suatu benda yang sama secara berbeda dipengaruhi oleh pelaku persepsi yaitu penafsiran yang sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pelaku seperti sikap, minat dan motif. Proses pemaknaan yang bersifat fisikologis sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. 
Selanjutnya Robbins (2001:169) mengatakan “Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka, meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif”. Menurut Rahmat (2004:42) persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi tersebut adalah: a. Pengalaman Apa yang dialami oleh perseptor. Pengalaman ini biasa diperoleh melalui berbagai jalan, diantaranya melalui proses belajar, selain melalui proses rangkaian peristiwa yang pernah dialami seseorang, baik peristiwa buruk maupun baik. b. Motivasi Seseorang hanya akan mendengar apa yang ia mau dengar, seseorang mau melakukan sesuatu jika itu berguna bagi dirinya, oleh karena setiap orang mempunyai kepentingan dan keperluan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. c. Pengetahuan Pengetahuan seseorang diperlukan untuk suatu kecerdasan persepsi. Persepsi ini bisa diukur melalui tingkat pendidikan tinggi dengan sendirinya tingkat pengetahuannya pun menjadi luas. 36 Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut, maka batasan pengertian dalam penyusunan ini adalah suatu proses penafsiran seseorang terhadap suatu obyek tertentu melalui panca indera, yang dilakukan dalam batasan-batasan kesadaran tertentu dan berdasarkan pada suatu pengalaman yang pernah dirasakan. Adapun kata politik secara etimologis bersal dari kata Yunani pilisi yang dapat berarti Kota atau Negara Kota. Dari kata polis ini kemudian diturunkan kata-kata lain seperti “polities” (warga Negara) dan “politicos” nama sifat yang berarti kewarganegaraan (civic), kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan menamakan pengetahuan tentang Negara (pemerintah) “ars politica” artinya kemahiran tentang masalah- masalah kenegaraan. Selanjutnya Rahmat (2004:42) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang, antara lain: a. Psikologi Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu dialami dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi, yang indah, tentram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang kelabu bagi seseorang yang buta warna. b. Keluarga Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah keluarganya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi- persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. c. Kebudayaan Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini. 
Menurut Winardi (2006:42) adalah “Persepsi merupakan proses kognitif, dimana seseorang individu memberikan arti pada lingkungan”. Menurut Mulyana (2000:162) “Persepsi adalah internal yang memungkinkan kita 37 memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita”. Mulyana (2000:104) yang menyatakan bahwa “Kemampuan daya persepsi dimiliki oleh manusia guna menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan”. Oleh karena itu dengan adanya persepsi akan mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap a. Perhatian masyarakat terhadap sistem politik yang sedang berjalan. b. Perhatian masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi pancasila. c. Persepsi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk memecahkan masalah yang dihadapi rakyat. d. Perhatian masyarakat terhadap kualitas tokoh politik. e. Perhatian masyarakat terhadap kebijakan yang dihasilkan pemerintahan. Persepsi politik yang dimaksud adalah sebagai pemahaman (respon) masyarakat, dalam hal ini, pemuda terhadap objek atau kejadian yang ada disekelilingnya yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Relevansi proposisi tersebut apabila dikaitkan dengan permasalahan ini adalah bahwa masyarakat dirangsang oleh suatu masukan tertentu yaitu, masalah politik dan kemudian masyarakat dirangsang oleh suatu masukan tertentu yaitu, masalah politik dan kemudian masyarakat berespon terhadap masalah politik tersebut. Sehingga menghasilkan kategori yang tepat pada rangsangan tersebut dan kemudian terjadi proses pengambilan keputusan tentang objek yang dicermatinya. Dari persepsi masyarakat tentang politik diartikan sebagai pemahaman dan tanggapan (respon) masyarakat terhadap sistem politik yang sedang berjalan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan pengertian persepsi yang sudah diuraikan di atas maka persepsi dapat diartikan sebagai pendapat, pandangan atau anggapan masyarakat terhadap suatu objek, dalam hal ini mengenai partai politik. Persepsi masyarakat terhadap suatu objek dapat berupa persepsi positif dan persepsi negatif terhadap partai politik. Persepsi positif berarti pandangan atau pendapat masyarakat yang baik terhadap partai politik, sedang persepsi negatif berarti pandangan atau pendapat masyarakat yang negatif terhadap partai politik. Partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka”, (Budiarjo,2008:160-161)

Tinjauan Tentang Kampanye Pilkada (skripsi dan tesis)

Kampanye lebih merupakan suatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak mungkin pemilih dalam pemilu sehingga bisa meraih kekuasaan. Untuk itu segala cara mungkin dipakai, diantaranya janji-janji yang muluk dan acapkali tidak masuk akal. Kampanye kerap kali sekadar basa-basi politik. Rakyat secara umum bersifat apatis atau yang penting aman. Kampanye yang merupakan bagian dari marketing politik pun dirasa perlu oleh partai-partai politik menjelang pemilu. Setelah pemilu selesai dan kekuasaan diperoleh,  mereka melupakan segala janji yang penting sudah berkuasa, lalu bertindak semau mereka sendiri. Ketidakpercayaan terhadap partai politik semakin kental. Sikap apatis tadi semakin pekat. Orang semakin tak percaya pada politik, sehingga banyak kalangan skeptik yang cukup kritis akhirnya mengambil sikap golput. Menurut masyarakat kelas bawah politik tidak ubahnya pertempuran elite masyarakat dan tidak merubah apapun kondisi yang ada. Pemilu disosialisasikan dengan perebutan dan pembagian kekuasaan ketimbang proses dialogis antara kandidat dan pemilih. Kampanye sebagai suatu proses “jangka pendek”, dimana semakin kuat anggapan tentang tidak relevannya intensitas para kandidat dalam memperkenalkan ide dan gagasan politik yang dimaksudkan untuk sekedar menarik perhatian serta dukungan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menilai kandidat dari janji dan harapan yang diberikan selama periode kampanye pendek saja. Cara masyarakat mengevaluasi kandidat juga dipengaruhi oleh kredibilitas dan reputasi politiknya dimasa lalu. 
Setiap keputusan dan perilaku politik akan terekam dalam memori kolektif masyarakat dan inilah yang membentuk persepsi masyarakat mengenai kualitas kandidat. Setiap janji dan harapan yang disampaikan selama periode kampanye akan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan, apakah terdapat kesesuaian atau tidak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai politik kepada 30 publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu. Dalam defenisi ini, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik partai politik atau perorangan, untuk memaparkan program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikaan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dilihat sebagai suatu aktivitas pengumpulaan massa, parade, orasi politik, pemasangaan atribut partai (misalnya umbul- umbul, poster, spanduk) dan pengiklanan partai. Periode waktu sudah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing kontestan, ketidakpastian hasil dan pengerahan semua bentuk usaha untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta memberikan suara kepada mereka. Banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai politik dan kontestan individu memfokuskan diri pada kampanye pemilu belaka (dimana rentang waktunya sangat terbatas). Semua usaha, pendanaan, perhatian dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu. Setelah pemilu usai, aktivitas politik dilupakan. Para kandidat hanya melihat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas untuk mencoblos, lalu terjadi pengabaian terhadap keberpihakan serta semangat dalam membantu permasalahan Bangsa dan Negara pasca pemilu. Padahal masyarakat dalam mengevaluasi kualitas kandidat juga melihat apa saja yang  dilakukan dimasa lalu. 
Pengamatan masyarakat tercurah pada semua aktivitas partai dan kandidat individu, bukannya dipusatkan pada kampanye pemilu saja. Melihat kampanye pemilu sebagai kampanye politik sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh kampanye pemilu terhadap perilaku poncoblosan (Voting behavior). Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa kampanye pemilu melalui aktivitas pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye pemilu diungkapkan hanya berdampak kecil, kalau tidak mau dibilang tidak berdampak, terhadap perilaku pemilih. Gelman dan King dan Bartels (1993) sebagaimana yang dikutip dari Firmansyah (2007:268) menunjukkan bahwa preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai. Sehingga siapa yang akan memenangkan pemilu dapat dengan mudah ditentukan sebelum pemilu dilaksanakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat melihat layak atau tidaknya suatu kandidat tidak hanya terbatas pada kampanye pemilu, melainkan berdasarkan reputasi masa lalu pula.

Partisipasi Politik Ditinjau Dari Perspektif Teori Pertukaran Peter Blau (skripsi dan tesis)

Peter Blau (1987:260), memusatkan perhatian pada proses pertukaran yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antar individu maupun antar kelompok. Blau membayangkan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antara pribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial a. Langkah pertama ialah transaksi-transaksi pertukaran antar pribadi akan menghasilkan suatu reward (penghargaan) atau ketidakpuasan. Misalnya seorang mahasiswa baru jurusan Ilmu Pemerintahan ketika memasuki lingkungan kampus merasa bahwa ia harus mentaati aturan yang diberlakukan b. Langkah kedua adalah diferensiasi status dan kekuasaan sebagai akibat oleh apa yang dihasilkan pada langkah pertama. Maksudnya, traksaksi pertukaran yang mengasilkan dua kemungkinan di atas, akan menimbulkan diferensiasi status dan kekuasaan diantara individu. c. Langkah ketiga Blau adalah legitimasi dan organisasi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan akan mendorong langkah berikutnya. Status dan kekuasaan yang secara otomatis terbentuk, menunjukkan adanya legitimasi dan organisasi yang formal. Konsekuensi perbedaan status dan kekuasaan akan menampakkan adanya legitimasi dan organisasi , dimana posisi individu yang terlibat akan harus mengakui  keberadaan pemimpin dalam kelompok yang menjadi bagian dan ciri utama dalam organisasi. d. Langkah terakhir adalah adanya perlawanan dan perubahan.
 Pada tataran ini, Blau melangkah ke level masyarakat dan mendefensiasikan ke dalam dua tipe organisasi sosial. Tipe pertama, organisasi sosial terbentuk dari proses pertukaran dan persaingan. Tipe kedua, organisasi sosial dibangun secara bertahap secara ekplisit untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dari langkah keempat Blau ini, menunjukkan bahwa Blau telah melaumpaui penjelasan teori pertukaran Homan yang hanya pada bentuk-bentuk elementer perilaku sosial saja. Lalu dia menambahkan bahwa kepemimpinan dan kelompok-kelompok oposisi ditemukan di dalam kedua tipe organisasi. Pada tipe pertama, kedua kelompok muncul dari interaksi sosial. Dan di dalam tipe kedua, kepemimpinan dan kelompok oposisi dibangun ke dalam struktur organisasi.