Hasil-hasil penelitian berupa komponen teknologi dalam upaya pengembangan lahan ini, telah banyak dihasilkan baik oleh Badan Litbang Pertanian, maupun oleh pihak lain seperti Universitas. Badan Litbang Pertanian sendiri, telah memulai penelitian pada lahan ini sejak pertengahan tahun 1980 an. Hasil penelitian tersebut baru berupa komponen teknologi seperti, teknologi pengelolaan tanah dan air, varietas khususnya untuk tanaman padi unggul adaptif, pengelolaan bahan amiliorasi dan pemupukan menurut status hara tanah dan tipologi lahan, pengendalian OPT, serta pengelolaan panen dan pasca panen (Alihamsyah et al., 2001). Sedangkan teknologi produksi berupa paket teknologi, yaitu integrasi beberapa komponen yang siap untuk didiseminasikan atau dikembangkan belum banyak dilakukan kajian.
Menurut Widjaya-Adhi dan Alihamsyah (1998), sistem tata air yang direkomendasikan untuk pengelolaan lahan pasang surut ini adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan A, dan sistem tabat (bendung) menggunakan stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D. Hal ini karena sumber air kedua tipe lahan ini berasal dari air hujan. Sistem ini diperlukan agar aliran air menjadi terhambat, sehingga kelembaban tanah suatu kawasan dapat dipertahankan. Sedangkan untuk lahan dengan tipe luapan B, disarankan dengan menggunakan kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat (Sarwani, 2001).
Keberhasilan pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ketersediaan benih. Menurut Khairullah dan Sulaeman (2002), varietas padi yang telah beradaptasi baik terhadap lingkungan bio fisik maupun selera konsumen khususnya rasa dan berdaya hasil tinggi adalah varietas Margasari dan Martapura. Di samping itu masih terdapat galur harapan yang dapat dilepas dalam waktu dekat menjadi varietas. Dengan pengelolaan yang baik potensi produksi padi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha (Alihamsyah et al., 2001).
Di samping padi, tanaman yang cocok diusahakan pada lahan ini adalah palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, beberapa tanaman hortikuhura seperti jeruk, nenas, cabai, tomat, bawang merah dan semangka. Tanaman industri yang memiliki prospek cukup baik, diusahakan pada lahan ini adalah, kelapa, lada dan jahe, serta berbagai macam ternak bisa beradaptasi baik (Ismail et al., 1993).
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut adalah kemasaman tanah tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah. Oleh sebab itu, ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian. Dengan pemberian kapur atau abu sebagai amelioran sebanyak 1 - 3 ton/ha, akan mampu meningkatkan hasil padi secara nyata di lahan sulfat masam. Amelioran ini harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk an-organik dengan dosis anjuran adalah pupuk N berkisar 67,5-135 kg, P2O2 47 hingga 70 kg, dan K2O 50-75 kg/ha. Lahan gambut; dosis kapur 1-2 t/ha serta pupuk N 45 kg, P2O2 60 kg dan K2O 50 kg/ha. Sedangkan untuk lahan potensial tanpa menggunakan kapur, namun pupuk N yang dianjurkan adalah 45-90 kg, P2O2 22,5-45 kg, dan K2O 50 kg/ha (Balitra, 1998).
Friday, August 2, 2019
Daerah Rawa Pasang Surut (skripsi dan tesis)
Daerah rawa dapat di definisikan sebagai daerah yang secara permanen atau temporal tergenang air karena tidak adanya system drainase alami serta mempunyai cirri-ciri khas secara fisik,kimia dan biologis. (Widjaja-Adhi et al.1992). Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangannya airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Selanjutnya, rawa semacam ini dibedakan berdasarkan kekuatan air pasang dan kandungan garam didalam airnya (asin/payau atau tawar) serta jauhnya jangkauan luapan air.(Sri Najiyati dkk,2005)
Berdasarkan salinitas air, rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu pasang surut air salin/ asin dan pasang surut air tawar.(Sri Najiyati dkk,2005).
Pasang surut air salin/asin atau payau berada pada posisi Zona I ( lihat Gambar 1). Diwilayah ini , genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat, Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. Lahan rawa yang salinitas air (kadar garamnya ) antara 0,8-1,5 % dan mendapat intrusi air laut lebih dari 3 bulan dalam setahun (Ismail dkk,1993) disebut sebagai lahan salin atau lahan pasang surut asin. Lahan seperti itu biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut sebagai lahan rawa peralihan. Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin karena sering mengalami keracunan. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove,budidaya tanaman kelapa,dan tambak. (Sri Najiyati dkk,2005)
Pasang surut air tawar berada apa Zona II (lihat Gambar 1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian,namun air asin/payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (Sri Najiyati dkk,2005)
Di daerah perbatasan/peralihan antara Zona I dengan Zona II, salinitas air sering meningkat pada musim kemarau panjang sehingga air menjadi payau. Lahan seperti ini sering juga disebut sebagai lahan rawa peralihan. Meskipun airnya tawar di musim hujan, di bawah ini permukaan tanah pada Zona ini terdapat lapisan berupa endapan laut (campuran liat dan lumpur) yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 – 120 cm di bawah permukaan tanah. (Sri Najiyati dkk,2005)
Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang sebagai akibat terjadi pasang surut air laut, lahan rawa di bedakan menjadi empat tipe luapan yaitu : Tipe Luapan A,B,C dan D ( Widjaja-Adhi et al. 1992)
Dalam usaha mengembangkan sistem usahatani yang efisien dan memberikan keuntungan yang optimal, maka lahan pasang surut perlu ditata dan saluran airnya perlu diatur untuk menekan pengaruh negatif dari salinitas dan kemasaman tanah, dengan teknik yang mudah dilakukan oleh petani setempat.(Litbang Pertanian,1993)
Padi merupakan komoditas utama yang sesuai dalam sistem usahatani lahan pasang surut, karena dengan teknik budidaya dan penggunaan varitas yang sesuai, padi dapat tumbuh baik di semua tipologi lahan dan tipe luapan air, baik secara gogo, gogorancah, maupun sawah. Pemilihan sistem usahatani ini terutama didasarkan kepada faktor keamanan pangan bagi petani dan stabilitas harga produksinya. Penganekaragaman usahatani diperlukan untuk lebih meningkatkan pendapatan (Manwan et al. 1992).
Berdasarkan salinitas air, rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu pasang surut air salin/ asin dan pasang surut air tawar.(Sri Najiyati dkk,2005).
Pasang surut air salin/asin atau payau berada pada posisi Zona I ( lihat Gambar 1). Diwilayah ini , genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat, Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. Lahan rawa yang salinitas air (kadar garamnya ) antara 0,8-1,5 % dan mendapat intrusi air laut lebih dari 3 bulan dalam setahun (Ismail dkk,1993) disebut sebagai lahan salin atau lahan pasang surut asin. Lahan seperti itu biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut sebagai lahan rawa peralihan. Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin karena sering mengalami keracunan. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove,budidaya tanaman kelapa,dan tambak. (Sri Najiyati dkk,2005)
Pasang surut air tawar berada apa Zona II (lihat Gambar 1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian,namun air asin/payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (Sri Najiyati dkk,2005)
Di daerah perbatasan/peralihan antara Zona I dengan Zona II, salinitas air sering meningkat pada musim kemarau panjang sehingga air menjadi payau. Lahan seperti ini sering juga disebut sebagai lahan rawa peralihan. Meskipun airnya tawar di musim hujan, di bawah ini permukaan tanah pada Zona ini terdapat lapisan berupa endapan laut (campuran liat dan lumpur) yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 – 120 cm di bawah permukaan tanah. (Sri Najiyati dkk,2005)
Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang sebagai akibat terjadi pasang surut air laut, lahan rawa di bedakan menjadi empat tipe luapan yaitu : Tipe Luapan A,B,C dan D ( Widjaja-Adhi et al. 1992)
- Rawa Tipe luapan A, yaitu rawa dalam klasifikasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi karena variasi elevasi pasang surut air sungai,baik pasang tertinggi saat musim kemarau maupun musim penghujan.
- Rawa Tipe luapan B, yaitu rawa yang kadang kadang tidak selalu terluapi oleh air pasang tinggi karena pengaruh pasang surut air sungai,paling tidak terluapi pada saat musim penghujan.
- Rawa Tipe luapan C, yaitu rawa dalam kategori ini didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai .
- Rawa Tipe luapan D, yaitu Daerah Rawa ini adalah rawa yang menurut hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai,dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan tanah.
Dalam usaha mengembangkan sistem usahatani yang efisien dan memberikan keuntungan yang optimal, maka lahan pasang surut perlu ditata dan saluran airnya perlu diatur untuk menekan pengaruh negatif dari salinitas dan kemasaman tanah, dengan teknik yang mudah dilakukan oleh petani setempat.(Litbang Pertanian,1993)
Padi merupakan komoditas utama yang sesuai dalam sistem usahatani lahan pasang surut, karena dengan teknik budidaya dan penggunaan varitas yang sesuai, padi dapat tumbuh baik di semua tipologi lahan dan tipe luapan air, baik secara gogo, gogorancah, maupun sawah. Pemilihan sistem usahatani ini terutama didasarkan kepada faktor keamanan pangan bagi petani dan stabilitas harga produksinya. Penganekaragaman usahatani diperlukan untuk lebih meningkatkan pendapatan (Manwan et al. 1992).
Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut (skripsi dan tesis)
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja.
Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Meskipun disadari bahwa lahan pasang surut ini mempunyai berbagai kendala, baik agro-fisik, biologis, maupun sosial ekonomi sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan konservasi dan pemahaman akan faktor-faktor sosial ekonomi seperti ketersediaan tenaga kerja, pemasaran, dan keterpencilan lokasi.
Menurut Widjaja Adhi et al (1992), lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Karena itu, pengembangan lahan pasang surut memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat.
Menurut Widjaja Adhi et.al (1992), faktor penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pasang surut diantaranya adalah :
Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Meskipun disadari bahwa lahan pasang surut ini mempunyai berbagai kendala, baik agro-fisik, biologis, maupun sosial ekonomi sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan konservasi dan pemahaman akan faktor-faktor sosial ekonomi seperti ketersediaan tenaga kerja, pemasaran, dan keterpencilan lokasi.
Menurut Widjaja Adhi et al (1992), lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Karena itu, pengembangan lahan pasang surut memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat.
Menurut Widjaja Adhi et.al (1992), faktor penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pasang surut diantaranya adalah :
- Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya;
- Ketebalan, kandungan hara, dan kematangan gambut;
- Kedalaman lapisan pirit dan kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya;
- Pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan
- Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut, atau pasir kuarsa.
- Lahan potensial; yaitu lahan nnnnnyang memiliki kendala teknis agronomis yang paling ringan, jika dibandingkan dengan lahan lainnya. Karakteristik lahan potensial adalah tekstur liat, lapisan pirit berada pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, kandungan N dan P tersedia rendah, derajat keasaman (pH) 3,5 - 5,5 ; serta kandungan pasir kurang dari 5% dan debu 20%.
- Lahan sulfat masam; dicirikan oleh kandungan senyawa sulfida tinggi dan lapisan pirit terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm. Di lapang terdapat dua macam lahan sulfat masam, yaitu :
- Lahan sulfat masam potensial; dicirikan oleh belum teroksidasinya lapisan pirit dan pH di atas 3,5;
- Lahan sulfat masam aktual; dicirikan oleh telah teroksidasinya lapisan pirit, dan pH kurang dari 3,5. Kemasan tanah yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan hara, sehingga tanaman dapat mengalami kekahatan dan keracunan hara.
- Lahan gambut; adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan dan terbagi kedalam beberapa golongan yaitu :
- bergambut; ketebalannya kurang dari 50 cm,
- gambut dangkal; ketebalannya 50 - 100 cm,
- gambut sedang ; ketebalannya 100 - 200 cm,
- gambut dalam ; ketebalannya 200 - 300 cm, dan
- gambut sangat dalam, ketebalannya di atas 300 cm.
- Lahan salin; merupakan lahan yang dipengaruhi oleh intrusi air bergaram sehingga mempunyai daya hantar listrik lebih dari 4 MS / cm, tetapi mengandung unsur Na dapat dipertukarkan kurang dari 15%. Pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi salinitas ini adalah dengan mengurangi terjadinya intrusi air bergaram dan mengusahakan komoditas serta varietas yang toleran terhadap salinitas.
Diagram Fishbone (skripsi dan tesis)
Diagram sebab akibat sering juga disebut diagram tulang ikan. Diagram ini menggambarkan permasalahan yang ada sekaligus penyebab-penyebab terjadinya masalah tersebut dengan mengklasifikasikan menurut penyebab utama.
Pada dasarnya diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan kebutuhan berikutnya :
Langkah 1. Tentukan karakteristik mutu. Seperti telah diuraikan diatas karakteristik mutu adalah suatu akibat yang terjadi, yang perlu diperbaiki dan dikendalikan. Untuk melakukan hal tersebut, maka perlu diketahui penyebabnya.
Langkah 2. Tulislah karakteristik mutu pada sisi kanan. Gambarlah panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan.
Langkah 3. Tulislah faktor utama yang mungkin menyebabkan cacat, dengan mengarahkan panah cabang ke panah utama. Faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan besar terhadap dispersi sebaiknya dikelompokkan kedalam item–item seperti bahan, peralatan (mesin), metode kerja dan metode pengukuran. Setiap grup individu akan membentuk sebuah cabang.
Langkah 4. Selanjutnya pada setiap cabang, tulislah kedalamnya faktor rinci yang dapat dianggap sebagai penyebab, yang menyerupai ranting. Dan pada setiap ranting tulislah faktor yang lebih rinci, membuat cabang yang lebih kecil.
Langkah 5. Akhirnya, periksalah apakah semua item yng menjadi penyebab dispersi telah masuk kedalam diagram. Bila semuanya telah tercantum dan hubungan sebab akibat telah digambarkan dengan tepat, maka diagram tersebut telah lengkap.
Terdapat beberapa cara menggunakan diagram sebab akibat, tetapi yang paling utama adalah :
Pada dasarnya diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan kebutuhan berikutnya :
- Membantu mengidentifikasikan akar penyebab dari suatu masalah.
- Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi masalah.
- Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
Langkah 1. Tentukan karakteristik mutu. Seperti telah diuraikan diatas karakteristik mutu adalah suatu akibat yang terjadi, yang perlu diperbaiki dan dikendalikan. Untuk melakukan hal tersebut, maka perlu diketahui penyebabnya.
Langkah 2. Tulislah karakteristik mutu pada sisi kanan. Gambarlah panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan.
Langkah 3. Tulislah faktor utama yang mungkin menyebabkan cacat, dengan mengarahkan panah cabang ke panah utama. Faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan besar terhadap dispersi sebaiknya dikelompokkan kedalam item–item seperti bahan, peralatan (mesin), metode kerja dan metode pengukuran. Setiap grup individu akan membentuk sebuah cabang.
Langkah 4. Selanjutnya pada setiap cabang, tulislah kedalamnya faktor rinci yang dapat dianggap sebagai penyebab, yang menyerupai ranting. Dan pada setiap ranting tulislah faktor yang lebih rinci, membuat cabang yang lebih kecil.
Langkah 5. Akhirnya, periksalah apakah semua item yng menjadi penyebab dispersi telah masuk kedalam diagram. Bila semuanya telah tercantum dan hubungan sebab akibat telah digambarkan dengan tepat, maka diagram tersebut telah lengkap.
Terdapat beberapa cara menggunakan diagram sebab akibat, tetapi yang paling utama adalah :
- Membuat diagram sebab akibat merupakan pendidikan diri sendiri.
- Diagram sebab akibat sebagai pengarah dalam diskusi.
- Penyebab harus dicari secara aktif dan hasilnya ditulis dalam bentuk diagram. Bila ditemukan faktor yang sebenarnya, ulangi langkah yang telah diambil untuk menemukan faktor penyebab, hal ini menunjukan bahwa penyebab pada diagram bukan merupakan penyebab dispersi yang sebenarnya, maka susunlah kembali diagram sesuai tahapan sebenarnya yang anda tempuh. Bila faktor yang belum ditulis dalam diagram, maka pastikan menulis ke dalamnya.
- Data dikumpulkan dengan diagram sebab akibat.
- Diagram sebab akibat dapat menunjukan tingkat teknologi.
- Diagram sebab akibat digunakan untuk segala permasalahan.
Availability Ratio (skripsi dan tesis)
Availability Rasio mengukur keseluruhan waktu dimana system tidak beroperasi karena terjadi kerusakan alat, persiapan produksi dan penyetelan. Dengan kata lain Availability diukur dari total waktu dimana peralatan dioperasikan setelah dikurangi waktu kerusakan alat dan waktu persiapan dan penyesuaian mesin yang juga mengindikasikan rasio actual antara Operating time terhadap waktu operasi yang tersedia ( planned time Available atau loading time). Waktu pembebanan mesin dipisahkan dari waktu produksi secara teoritis serta waktu kerusakan dan waktu perbaikan yang direncanakan. Tujuan batasan ini adalah memotivasi untuk mengurangi Planned Downtime melalui peningkatan efisiensi penyesuaian alat serta waktu untuk aktifitas perawatan yang sudah direncanakan.
Loading time adalah waktu yang tersedia (availability) per hari atau per bulan dikurang dengan waktu downtime mesin direncanakan (planned downtime).
Planned downtime adalah jumlah waktu downtime mesin untuk pemeliharaan (scheduled maintenance) atau kegiatan manajemen lainnya.
Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu downtime mesin (non-operation time), dengan kata lain operation time adalah waktu operasi tesedia (availability time) setelah waktu downtime mesin keluarkan dari total availability time yang direncanakan. Downtime mesin adalah waktu proses yang seharusnya digunakan mesin akan tetapi karena adanya gangguan pada mesin/peralatan (aquipment failures) mengakibatkan tidak ada output yang dihasilkan. Downtime meliputi mesin berhenti beroperasi akibat kerusakan mesin/peralatan, penggantian cetakan (dies), pelaksanaan prosedur setup dan adjesment dan lain-lainnya.
Avaibility = …….(2.2) |
Loading time = Total availability – Planned downtime………(2.3) |
Planned downtime adalah jumlah waktu downtime mesin untuk pemeliharaan (scheduled maintenance) atau kegiatan manajemen lainnya.
Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu downtime mesin (non-operation time), dengan kata lain operation time adalah waktu operasi tesedia (availability time) setelah waktu downtime mesin keluarkan dari total availability time yang direncanakan. Downtime mesin adalah waktu proses yang seharusnya digunakan mesin akan tetapi karena adanya gangguan pada mesin/peralatan (aquipment failures) mengakibatkan tidak ada output yang dihasilkan. Downtime meliputi mesin berhenti beroperasi akibat kerusakan mesin/peralatan, penggantian cetakan (dies), pelaksanaan prosedur setup dan adjesment dan lain-lainnya.
OverallEquipment Effectiveness (OEE) (skripsi dan tesis)
Efekttivitas Peralatan Keseluruhan (Overall Equipment Effectiveness OEE)adalah indikator pengukuran yang dikembangkan oleh Seiichi Nakajima padatahun 1960 yang mengevaluasi dan menunjukkan seberapa efektif peralatanoperasi manufaktur yang digunakan. Hasil dinyatakan dalam bentuk generik yangmemungkinkan perbandingan antara unit-unit manufaktur di industri yangberbeda (Gasperz, 2012).
OEE bukan hal yang baru dalam dunia industri dan manufaktur, teknik pengukurannya sudah dipelajari dalam beberapa tahun dengan tujuan penyempurnaan perhitungan. Tingkat keakuratan OEE dalam pengukuran efektifitas memberikan kesempatan kepada semua usaha bidang manufaktur untuk mengaplikasikan sehingga dapat melakukan usaha perbaikan terhadap proses itu sendiri. OEE juga merupakan produk dari six big losses pada mesin/peralatan. Keenam faktor dalam six big losses dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama dalam OEE untuk dapat digunakan dalam mengukur kinerja mesin/peralatan yakni, downtime losses, speed losses, dan defect losses
OEE merupakan ukuran menyeluruh yang mengidentifikasikan tingkat produktifitas mesin/peraltan dan kinerjanya secara teori. Pengukuran ini sangat penting untuk mengetahui area mana yang perlu untuk ditingkatkan produktivitas ataupun efektivitas mesin/peralatan dan juga dapat menunjukkan area bottleneck yang terdapat pada lintasan produksi. OEE juga merupakan alat ukur uantuk mengevaluasi dan memperbaiki cara yang tepat untuk jaminan peningkatan produktivitas penggunaan mesin/peralatan.
Formula matematis dari OEE (overall Equipment Effectiveness) dirumuskan sebagai berikut (Nakajima, 1988):
OEE = Availability x Performance x Quality x 100% .................... (2.1)
Kondisi operasi mesin/peralatan produksi tidak akan akurat ditunjukkan jika hanya didasari oleh perhitungan satu faktor saja, misalnya performance efficiency saja. Dari enam pada six big losses harus diikutkan dalam perhitungan OEE, kemudian kondisi actual dari mesin/peralatan dapat dilihat secara akurat.
OEE bukan hal yang baru dalam dunia industri dan manufaktur, teknik pengukurannya sudah dipelajari dalam beberapa tahun dengan tujuan penyempurnaan perhitungan. Tingkat keakuratan OEE dalam pengukuran efektifitas memberikan kesempatan kepada semua usaha bidang manufaktur untuk mengaplikasikan sehingga dapat melakukan usaha perbaikan terhadap proses itu sendiri. OEE juga merupakan produk dari six big losses pada mesin/peralatan. Keenam faktor dalam six big losses dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama dalam OEE untuk dapat digunakan dalam mengukur kinerja mesin/peralatan yakni, downtime losses, speed losses, dan defect losses
- Downtime
- Equipment Failure (breakdown losses)
- Set-up and adjustment losses
- Speed Losses
- Reduced speed
- Idling and Minor Stoppages
- Quality Losses
- Start – up losses (reduced yield)
- Quality defect (process defect)
OEE merupakan ukuran menyeluruh yang mengidentifikasikan tingkat produktifitas mesin/peraltan dan kinerjanya secara teori. Pengukuran ini sangat penting untuk mengetahui area mana yang perlu untuk ditingkatkan produktivitas ataupun efektivitas mesin/peralatan dan juga dapat menunjukkan area bottleneck yang terdapat pada lintasan produksi. OEE juga merupakan alat ukur uantuk mengevaluasi dan memperbaiki cara yang tepat untuk jaminan peningkatan produktivitas penggunaan mesin/peralatan.
Formula matematis dari OEE (overall Equipment Effectiveness) dirumuskan sebagai berikut (Nakajima, 1988):
OEE = Availability x Performance x Quality x 100% .................... (2.1)
Kondisi operasi mesin/peralatan produksi tidak akan akurat ditunjukkan jika hanya didasari oleh perhitungan satu faktor saja, misalnya performance efficiency saja. Dari enam pada six big losses harus diikutkan dalam perhitungan OEE, kemudian kondisi actual dari mesin/peralatan dapat dilihat secara akurat.
Alat dan Mesin untuk Proses Produksi Tahu (skripsi dan tesis)
Menurut Sarwani (2013), alat-alat produksi yang digunakan dalam melakukan proses pembuatan tahu saat ini pada umumnya adalah sebagai berikut:
Namun saat ini telah banyak dilakukan modernisasi pada alat dan mesin pembuatan tahu agar lebih higienis. Laboratorium Energi dan Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada mengembangkan peralatan proses pembuatan tahu yang didesain secara khusus untuk mengembangkan unit usaha tahu sesuai dengan profil UKM yang ada. (http://tep.tp.ugm.ac.id/ )
Ketel uap industri tahu skala besar terdiri atas 4 bagian utama yaitu tabung ketel, kontrol air, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 9 buah. Pipa api dibuat dari besi pipa berdiameter 4 inchi sesuai dengan bahan bakar limbah biomassa tersebut.
Ketel uap untuk industri tahu skala sedang dirancang sedikit berbeda dari ketel uap skala besar. Ketel ini tidak dilengkapi dengan kontrol air. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 5 buah yang dibuat dengan ukuran yang sama dengan ketel uap industri tahu skala besar. Ketel ini juga dilengkapi dengan sistem pengaman dan cerobong asap yang dimensinya sama dengan ketel uap skala besar.
Berbeda dengan ketel sebelumnya, ketel uap untuk industri tahu skala kecil dirancang dengan ukuran yang lebih kecil. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, cerobong asap, dan pengaman. Tabung ketel dirancang dengan diameter 50 cm tinggi 120 cm yang dibagian tengahnya dipasang sebuah pipa api vertikal berdiameter 4 inchi. Pipa api ini dihubungkan langsung ke cerobong asap yang dirancang dari pipa yang sama setinggi 3 m. Ketel uap kecil ini juga dilengkapi dengan pengaman yang terdiri atas kaca penunjuk level air, tossen klep dan pengatur tekanan otomatis.
Pembuatan ketel ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan perbengkelan seperti pemotongan, pengerolan, pengelasan, pembubutan, pengeboran, dan sebagainya. Pembuatan ketel dimulai dengan pembuatan tabung ketel disusul pembuatan bagian yang lain, kemudian disatukan menjadi ketel yang siap digunakan. Ada bagian akhir kegiatan dilakukan kegiatan finishing berupa pengesetan komponen kontrol dan pengecatan
Ketel uap digunakan untuk memasak bubur kedelai yang akan diproses menjadi tahu. Ketel uap juga dapat digunakan untuk perebusan tahu yang telah dicetak dan digunakan untuk pasteurisasi tahu untuk menghasilkan produk tahu yang berkualitas. Model layout penerapan ketel untuk pemasakan bubur kedelai telah banyak direalisasikan, antara lain di pabrik tahu CV. Kitagama Prambanan, pabrik tahu di desa Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah, dan sebagainya
Bak jendal merupakan peralatan yang digunakan untuk menggumpalan susu kedelai hasil penyaringan. Gumpalan ini kemudian diambil dan dicetak menjadi tahu. Bak jendal juga dibuat dari bahan stainless berbentuk tabung dengan diameter 60 cm, tinggi 60 cm. Bak jendal tidak diberi kerangka sehingga lebih mudah dan fleksibel.
Bak pasteurisasi berfungsi untuk memasak tahu ebih lanjut agar lebih enak, higienis dan tahan lama. Bak pasteurisasi dibuat seperti bak masak, yaitu dari bahan stainless steel berbentuk tabung tanpa tutup berdiameter 60 cm, tinggi 60 cm.
- Mesin Giling
- Tungku dan Mesin Uap
- Jamprong (saringan bambu dan kain)
Namun saat ini telah banyak dilakukan modernisasi pada alat dan mesin pembuatan tahu agar lebih higienis. Laboratorium Energi dan Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada mengembangkan peralatan proses pembuatan tahu yang didesain secara khusus untuk mengembangkan unit usaha tahu sesuai dengan profil UKM yang ada. (http://tep.tp.ugm.ac.id/ )
- Pemasakan Tahu dengan Ketel Uap
Ketel uap industri tahu skala besar terdiri atas 4 bagian utama yaitu tabung ketel, kontrol air, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 9 buah. Pipa api dibuat dari besi pipa berdiameter 4 inchi sesuai dengan bahan bakar limbah biomassa tersebut.
Ketel uap untuk industri tahu skala sedang dirancang sedikit berbeda dari ketel uap skala besar. Ketel ini tidak dilengkapi dengan kontrol air. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 5 buah yang dibuat dengan ukuran yang sama dengan ketel uap industri tahu skala besar. Ketel ini juga dilengkapi dengan sistem pengaman dan cerobong asap yang dimensinya sama dengan ketel uap skala besar.
Berbeda dengan ketel sebelumnya, ketel uap untuk industri tahu skala kecil dirancang dengan ukuran yang lebih kecil. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, cerobong asap, dan pengaman. Tabung ketel dirancang dengan diameter 50 cm tinggi 120 cm yang dibagian tengahnya dipasang sebuah pipa api vertikal berdiameter 4 inchi. Pipa api ini dihubungkan langsung ke cerobong asap yang dirancang dari pipa yang sama setinggi 3 m. Ketel uap kecil ini juga dilengkapi dengan pengaman yang terdiri atas kaca penunjuk level air, tossen klep dan pengatur tekanan otomatis.
Pembuatan ketel ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan perbengkelan seperti pemotongan, pengerolan, pengelasan, pembubutan, pengeboran, dan sebagainya. Pembuatan ketel dimulai dengan pembuatan tabung ketel disusul pembuatan bagian yang lain, kemudian disatukan menjadi ketel yang siap digunakan. Ada bagian akhir kegiatan dilakukan kegiatan finishing berupa pengesetan komponen kontrol dan pengecatan
Ketel uap digunakan untuk memasak bubur kedelai yang akan diproses menjadi tahu. Ketel uap juga dapat digunakan untuk perebusan tahu yang telah dicetak dan digunakan untuk pasteurisasi tahu untuk menghasilkan produk tahu yang berkualitas. Model layout penerapan ketel untuk pemasakan bubur kedelai telah banyak direalisasikan, antara lain di pabrik tahu CV. Kitagama Prambanan, pabrik tahu di desa Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah, dan sebagainya
- Pengembangan Mesin Sentrifuse
- Pengembangan Bak Masak & Pasteurisasi
Bak jendal merupakan peralatan yang digunakan untuk menggumpalan susu kedelai hasil penyaringan. Gumpalan ini kemudian diambil dan dicetak menjadi tahu. Bak jendal juga dibuat dari bahan stainless berbentuk tabung dengan diameter 60 cm, tinggi 60 cm. Bak jendal tidak diberi kerangka sehingga lebih mudah dan fleksibel.
Bak pasteurisasi berfungsi untuk memasak tahu ebih lanjut agar lebih enak, higienis dan tahan lama. Bak pasteurisasi dibuat seperti bak masak, yaitu dari bahan stainless steel berbentuk tabung tanpa tutup berdiameter 60 cm, tinggi 60 cm.
Subscribe to:
Posts (Atom)