Friday, August 2, 2019

Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut (skripsi dan tesis)

Hasil-hasil penelitian berupa komponen teknologi dalam upaya pengembangan lahan ini, telah banyak dihasilkan baik oleh Badan Litbang Pertanian, maupun oleh pihak lain seperti Universitas. Badan Litbang Pertanian sendiri, telah memulai penelitian pada lahan ini sejak pertengahan tahun 1980 an. Hasil penelitian tersebut baru berupa komponen teknologi seperti, teknologi pengelolaan tanah dan air, varietas khususnya untuk tanaman padi unggul adaptif, pengelolaan bahan amiliorasi dan pemupukan menurut status hara tanah dan tipologi lahan, pengendalian OPT, serta pengelolaan panen dan pasca panen (Alihamsyah et al., 2001). Sedangkan teknologi produksi berupa paket teknologi, yaitu integrasi beberapa komponen yang siap untuk didiseminasikan atau dikembangkan belum banyak dilakukan kajian.
Menurut Widjaya-Adhi dan Alihamsyah (1998), sistem tata air yang direkomendasikan untuk pengelolaan lahan pasang surut ini adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan A, dan sistem tabat (bendung) menggunakan stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D. Hal ini karena sumber air kedua tipe lahan ini berasal dari air hujan. Sistem ini diperlukan agar aliran air menjadi terhambat, sehingga kelembaban tanah suatu kawasan dapat dipertahankan. Sedangkan untuk lahan dengan tipe luapan B,        disarankan dengan menggunakan kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat (Sarwani, 2001).
Keberhasilan pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ketersediaan benih. Menurut Khairullah dan Sulaeman (2002), varietas padi yang telah beradaptasi baik terhadap lingkungan bio fisik maupun selera konsumen khususnya rasa dan berdaya hasil tinggi adalah varietas Margasari dan Martapura. Di samping itu masih terdapat galur harapan yang dapat dilepas dalam waktu dekat menjadi varietas. Dengan pengelolaan yang baik potensi produksi padi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha (Alihamsyah et al., 2001).
Di samping padi, tanaman yang cocok diusahakan pada lahan ini adalah palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, beberapa tanaman hortikuhura seperti jeruk, nenas, cabai, tomat, bawang merah dan semangka. Tanaman industri yang memiliki prospek cukup baik, diusahakan pada lahan ini adalah, kelapa, lada dan jahe, serta berbagai macam ternak bisa beradaptasi baik (Ismail et al., 1993).
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut adalah kemasaman tanah tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah. Oleh sebab itu, ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian. Dengan pemberian kapur atau abu sebagai amelioran sebanyak 1 - 3 ton/ha, akan mampu meningkatkan hasil padi secara nyata di lahan sulfat masam. Amelioran ini harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk    an-­organik dengan dosis anjuran adalah pupuk N berkisar 67,5-135 kg, P2O2 47 hingga 70 kg, dan K2O 50-75 kg/ha. Lahan gambut; dosis kapur 1-2 t/ha serta pupuk N 45 kg, P2O2 60 kg dan K2O 50 kg/ha. Sedangkan untuk lahan potensial tanpa menggunakan kapur, namun pupuk N yang dianjurkan adalah 45-90 kg, P2O2 22,5-45 kg, dan K2O 50 kg/ha (Balitra, 1998).

Daerah Rawa Pasang Surut (skripsi dan tesis)

            Daerah rawa dapat di definisikan sebagai daerah yang secara permanen atau temporal tergenang air karena tidak adanya system drainase alami serta mempunyai cirri-ciri khas secara fisik,kimia dan biologis. (Widjaja-Adhi et al.1992). Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangannya airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Selanjutnya, rawa semacam ini dibedakan berdasarkan kekuatan air pasang dan kandungan garam didalam airnya (asin/payau atau tawar) serta jauhnya jangkauan luapan air.(Sri Najiyati dkk,2005)
            Berdasarkan salinitas air, rawa pasang surut dibedakan menjadi dua yaitu pasang surut air salin/ asin  dan pasang surut air tawar.(Sri Najiyati dkk,2005).
Pasang surut air salin/asin atau payau berada pada posisi Zona I ( lihat Gambar 1). Diwilayah ini , genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat, Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. Lahan rawa yang salinitas air (kadar garamnya ) antara 0,8-1,5 % dan mendapat intrusi air laut lebih dari 3 bulan dalam setahun (Ismail dkk,1993) disebut sebagai lahan salin atau lahan pasang surut asin. Lahan seperti itu biasanya didominasi oleh tumbuhan bakau. Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2 bulan, disebut sebagai lahan rawa peralihan. Tidak banyak jenis tanaman yang dapat hidup di lahan salin karena sering mengalami keracunan. Lahan seperti ini direkomendasikan untuk hutan bakau/mangrove,budidaya tanaman kelapa,dan tambak. (Sri Najiyati dkk,2005)
Pasang surut air tawar berada apa Zona II (lihat Gambar 1). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus/dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai,lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian,namun air asin/payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak  menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (Sri Najiyati dkk,2005)
Di daerah perbatasan/peralihan antara Zona I dengan Zona II, salinitas air sering meningkat pada musim kemarau panjang sehingga air menjadi payau. Lahan seperti ini sering juga disebut sebagai lahan rawa peralihan. Meskipun airnya tawar di musim hujan, di bawah ini permukaan tanah pada Zona ini terdapat lapisan berupa endapan laut (campuran liat dan lumpur) yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 – 120 cm di bawah permukaan tanah. (Sri Najiyati dkk,2005)
Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang sebagai akibat terjadi pasang surut air laut, lahan rawa di bedakan menjadi empat tipe luapan yaitu : Tipe Luapan A,B,C dan D ( Widjaja-Adhi et al. 1992)
  1. Rawa Tipe luapan A, yaitu rawa dalam klasifikasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi karena variasi elevasi pasang surut air sungai,baik pasang tertinggi saat musim kemarau maupun musim penghujan.
  2. Rawa Tipe luapan B, yaitu rawa yang kadang kadang tidak selalu terluapi oleh air pasang tinggi karena pengaruh pasang surut air sungai,paling tidak terluapi pada saat musim penghujan.
  3. Rawa Tipe luapan C, yaitu rawa  dalam kategori ini didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai .
  4. Rawa Tipe luapan D, yaitu Daerah Rawa ini adalah rawa yang menurut hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai,dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan tanah.

Dalam usaha mengembangkan sistem usahatani yang efisien dan memberikan keuntungan yang optimal, maka lahan pasang surut perlu ditata dan saluran airnya perlu diatur untuk menekan pengaruh negatif dari salinitas dan kemasaman tanah, dengan teknik yang mudah dilakukan oleh petani setempat.(Litbang Pertanian,1993)
Padi merupakan komoditas utama yang sesuai dalam sistem usahatani lahan pasang surut, karena dengan teknik budidaya dan penggunaan varitas yang sesuai, padi dapat tumbuh baik di semua tipologi lahan dan tipe luapan air, baik secara gogo, gogorancah, maupun sawah. Pemilihan sistem usahatani ini terutama didasarkan kepada faktor keamanan pangan bagi petani dan stabilitas harga produksinya. Penganekaragaman usahatani diperlukan untuk lebih meningkatkan pendapatan (Manwan et al. 1992).

Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut (skripsi dan tesis)

Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya, padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri (Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja.
Lahan pasang surut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Meskipun disadari bahwa lahan pasang surut ini mempunyai berbagai kendala, baik agro-fisik, biologis, maupun sosial ekonomi sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan konservasi dan pemahaman akan faktor-faktor sosial ekonomi seperti ketersediaan tenaga kerja, pemasaran, dan keterpencilan lokasi.
Menurut Widjaja Adhi et al (1992), lahan pasang surut merupakan lahan marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Karena itu, pengembangan lahan pasang surut memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat.
Menurut Widjaja Adhi et.al (1992), faktor penting yang perlu dipertimbangkan di dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pasang surut diantaranya adalah :
  1. Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya;
  2. Ketebalan, kandungan hara, dan kematangan gambut;
  3. Kedalaman lapisan pirit dan kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya;
  4. Pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan
  5. Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut, atau pasir kuarsa.
Menurut Litbang Pertanian (1993) macam dan tingkat kendala yang diperkirakan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor di atas digunakan dalam menyusun tipologi lahan pasang surut yang dikelompokkan kedalam 4 tipologi utama, yaitu:
  1. Lahan potensial; yaitu lahan nnnnnyang memiliki kendala teknis agronomis yang paling ringan, jika dibandingkan dengan lahan lainnya. Karakteristik lahan potensial adalah tekstur liat, lapisan pirit berada pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, kandungan N dan P tersedia rendah, derajat keasaman (pH) 3,5 - 5,5 ; serta kandungan pasir kurang dari 5% dan debu 20%.
  2. Lahan sulfat masam; dicirikan oleh kandungan senyawa sulfida tinggi dan lapisan pirit terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm. Di lapang terdapat dua macam lahan sulfat masam, yaitu :
  1. Lahan sulfat masam potensial; dicirikan oleh belum teroksidasinya lapisan pirit dan pH di atas 3,5;
  2. Lahan sulfat masam aktual; dicirikan oleh telah teroksidasinya lapisan pirit, dan pH kurang dari 3,5. Kemasan tanah yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan hara, sehingga tanaman dapat mengalami kekahatan dan keracunan hara.
  1. Lahan gambut; adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dengan berbagai ketebalan dan terbagi kedalam beberapa golongan yaitu :
    • bergambut; ketebalannya kurang dari 50 cm,
    • gambut dangkal; ketebalannya 50 - 100 cm,
    • gambut sedang ; ketebalannya 100 - 200 cm,
    • gambut dalam ; ketebalannya 200 - 300 cm, dan
    • gambut sangat dalam, ketebalannya di atas 300 cm.
  2. Lahan salin; merupakan lahan yang dipengaruhi oleh intrusi air bergaram sehingga mempunyai daya hantar listrik lebih dari 4 MS / cm, tetapi mengandung unsur Na dapat dipertukarkan kurang dari 15%. Pendekatan yang ditempuh untuk mengatasi salinitas ini adalah dengan mengurangi terjadinya intrusi air bergaram dan mengusahakan komoditas serta varietas yang toleran terhadap salinitas.
Berdasarkan tipologi lahan pasang surut komoditas padi sawah dapat tumbuh dengan baik pada tipologi lahan potensial yaitu pada tipe luapan A,B dan C dengan syarat lahan ditata dengan baik.(Widjaja-Adhi et al dalam Nunthe 1998 )

Diagram Fishbone (skripsi dan tesis)

Diagram sebab akibat sering juga disebut diagram tulang ikan. Diagram ini menggambarkan permasalahan yang ada sekaligus penyebab-penyebab terjadinya masalah tersebut dengan mengklasifikasikan menurut penyebab utama.
Pada dasarnya diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk kebutuhan kebutuhan berikutnya :
  1. Membantu mengidentifikasikan akar penyebab dari suatu masalah.
  2. Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi masalah.
  3. Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut.
Pembuatan diagram sebab akibat diuraikan sebagai berikut   :
Langkah 1.      Tentukan karakteristik mutu. Seperti telah diuraikan diatas karakteristik mutu adalah suatu akibat yang terjadi, yang perlu diperbaiki dan dikendalikan. Untuk melakukan hal tersebut, maka perlu diketahui penyebabnya.
Langkah 2.      Tulislah karakteristik mutu pada sisi kanan. Gambarlah panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan.
Langkah 3.      Tulislah faktor utama yang mungkin menyebabkan cacat, dengan mengarahkan panah cabang ke panah utama. Faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan besar terhadap dispersi sebaiknya dikelompokkan kedalam item–item seperti bahan, peralatan (mesin), metode kerja dan metode pengukuran. Setiap grup individu akan membentuk sebuah cabang.
Langkah 4.      Selanjutnya pada setiap cabang, tulislah kedalamnya faktor rinci yang dapat dianggap sebagai penyebab, yang menyerupai ranting. Dan pada setiap ranting tulislah faktor yang lebih rinci, membuat cabang yang lebih kecil.
Langkah 5.      Akhirnya, periksalah apakah semua item yng menjadi penyebab dispersi telah masuk kedalam diagram. Bila semuanya telah tercantum dan hubungan sebab akibat telah digambarkan dengan tepat, maka diagram tersebut telah lengkap.

Terdapat beberapa cara menggunakan diagram sebab akibat, tetapi  yang paling utama adalah :
  1. Membuat diagram sebab akibat merupakan pendidikan diri sendiri.
Dapatkan ide dari sebanyak mungkin orang waktu membuat diagram sebab akibat. Konsultasi dengan banyak orang lain berarti menyajikan pengalaman dan teknik orang lain. Setiap orang yang mengambil bagian dalam pembuatan diagam ini akan mendapatkan pengetahuan baru. Bahkan yang belum mengetahui secara mendalam mengenai pekerjaannya dapat belajar banyak dari pembuatan diagram sebab akibat atau sederhananya belajar sesuatu yang lengkap.
  1. Diagram sebab akibat sebagai pengarah dalam diskusi.
Sebuah diskusi akan tidak bermanfaat, bila pembicara menyimpang dari topiknya. Bila diagram sebab akibat berfungsi sebagai fokus diskusi, maka setiap orang yang akan mengetahui topiknya dan seberapa jauh diskusi telah melangkah. Penyimpangan dari topik, pengulangan keluhan dan protes dapat dicegah, sementara kesimpulan mengenai tindakan yang perlu diambil dapat diperoleh lebih cepat.
  1. Penyebab harus dicari secara aktif dan hasilnya ditulis dalam bentuk diagram. Bila ditemukan faktor yang sebenarnya, ulangi langkah yang telah diambil untuk menemukan faktor penyebab, hal ini menunjukan bahwa penyebab pada diagram bukan merupakan penyebab dispersi yang sebenarnya, maka susunlah kembali diagram sesuai tahapan sebenarnya yang anda tempuh. Bila faktor yang belum ditulis dalam diagram, maka pastikan menulis ke dalamnya.
  2. Data dikumpulkan dengan diagram sebab akibat.
Ketika perubahan terjadi dalam mutu, maka perlu untuk menentukan persentase kerusakan, kisaran dispersi dan seterusnya. Dalam kasus perubahan mutu, carilah penyebab keseluruhannya dan jika penyebab yang benar telah ditemukan, maka segera periksa dan catat dalam diagram sebab akibat. Dengan cara ini kita dapat mendeteksi penyebab yang benar dan dapat mengarahkan kita untuk mengambil tindakan yang tepat.
  1. Diagram sebab akibat dapat menunjukan tingkat teknologi.
Diagram sebab akibat dapat dibuat secara lengkap bila pembuatnya mengetahui banyak tentang proses produksi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat teknologi pekerja, semakin baik pula diagram sebab akibat dibuat.
  1. Diagram sebab akibat digunakan untuk segala permasalahan.
Diagram sebab akibat dibuat bukan hanya untuk satu hal mutu tetapi juga kuantitas, jumlah bahan, keselamatan, pengawas kerja. Tujuan kita untuk mendapatkan hasil, karena pengukuran harus diambil terhadap penyebab, bila kita tidak mengetahui keterkaitan antara penyebab dan akibat, maka kita tidak dapat mengambil tindakan untuk memecahkannya.

Availability Ratio (skripsi dan tesis)

Availability Rasio mengukur keseluruhan waktu dimana system tidak beroperasi karena terjadi kerusakan alat, persiapan produksi dan penyetelan. Dengan kata lain Availability diukur dari total waktu dimana peralatan dioperasikan setelah dikurangi waktu kerusakan alat dan waktu persiapan dan penyesuaian mesin yang juga mengindikasikan rasio actual antara Operating time terhadap waktu operasi yang tersedia ( planned time Available atau loading time). Waktu pembebanan mesin dipisahkan dari waktu produksi secara teoritis serta waktu kerusakan dan waktu perbaikan yang direncanakan. Tujuan batasan ini adalah memotivasi untuk mengurangi Planned Downtime melalui peningkatan efisiensi penyesuaian alat serta waktu untuk aktifitas perawatan yang sudah direncanakan.
                  Avaibility =   …….(2.2)
Loading time adalah waktu yang tersedia (availability) per hari atau per bulan dikurang dengan waktu downtime mesin direncanakan (planned downtime).
Loading time = Total availability – Planned downtime………(2.3)

Planned downtime adalah jumlah waktu downtime mesin untuk pemeliharaan (scheduled maintenance) atau kegiatan manajemen lainnya.
Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu downtime mesin (non-operation time), dengan kata lain operation time adalah waktu operasi tesedia (availability time) setelah waktu downtime mesin keluarkan dari total availability  time yang direncanakan. Downtime mesin adalah waktu proses yang seharusnya digunakan  mesin akan tetapi karena adanya gangguan pada mesin/peralatan (aquipment failures) mengakibatkan tidak ada output yang dihasilkan. Downtime meliputi mesin berhenti beroperasi akibat kerusakan mesin/peralatan, penggantian cetakan (dies), pelaksanaan prosedur setup dan adjesment dan lain-lainnya.

OverallEquipment Effectiveness (OEE) (skripsi dan tesis)

Efekttivitas Peralatan Keseluruhan (Overall Equipment Effectiveness OEE)adalah indikator pengukuran yang dikembangkan oleh Seiichi Nakajima padatahun 1960 yang mengevaluasi dan menunjukkan seberapa efektif peralatanoperasi manufaktur yang digunakan. Hasil dinyatakan dalam bentuk generik yangmemungkinkan perbandingan antara unit-unit manufaktur di industri yangberbeda (Gasperz, 2012).
OEE bukan hal yang baru dalam dunia industri dan manufaktur, teknik pengukurannya sudah dipelajari dalam beberapa tahun dengan tujuan penyempurnaan perhitungan. Tingkat keakuratan OEE dalam pengukuran efektifitas memberikan kesempatan kepada semua usaha bidang manufaktur untuk mengaplikasikan sehingga dapat melakukan usaha perbaikan terhadap proses itu sendiri. OEE juga merupakan produk dari six big losses pada mesin/peralatan. Keenam faktor dalam  six big losses dapat  dikelompokkan menjadi tiga komponen utama dalam OEE untuk dapat digunakan dalam mengukur kinerja mesin/peralatan yakni, downtime losses, speed losses, dan defect losses
  1. Downtime
    1. Equipment Failure (breakdown losses)
Equipment failure merupakan yang terbesar dari six big loss. Terdapat dua jenis equipment failure, yaitu sporadic dan chronic. Sporadic failure terjadi secara tiba – tiba dimana sesuatu terjadi pada saat mesin rusak. Biasanya kerusakan jenis ini dapat diidentifikasi dengan mudah dan dapat diperbaiki. Sebaliknya chronic failure merupakan jenis kerusakan minor yang terjadi pada peralatan, namun pada saat terjadi kita tidak dapat dengan jelas mengidentifikasi penyebabnya. Disamping itu, dampak yang ditimbulkannya tidak signifikan, sehingga kerusakan ini secara umum dapat diterima.
  1. Set-up and adjustment losses
Set-up dan adjusment losses dapat diukur setelah terjadi breakdown. Kerugian ini mengacu pada kerugian waktu produksi antara jenis produk dan termasuk pemanasan setelah pergantian model. Waktu pergantian harus masuk ke dalam kategori ini dan tidak termasuk dalam bagian planned downtime.
  1. Speed Losses
    1. Reduced speed
Reduced speed mengacu pada perbedaan antara kecepatan ideal dengan kecepatan aktual operasi. Peralatan mungkin bekerja dibawah kecepatan idealnya dengan beberapa alasan : tidak standard atau kesulitan raw material, masalah mekanik, masalah yang lalu, atau kelebihan beban kerja terhadap peralatan tersebut.
  1. Idling and Minor Stoppages
Idling losses ini terjadi ketika peralatan / mesin tetap beroperasi (menyala) walaupun tanpa menghasilkan. Minor stoppages losses terjadi ketika peralatan berhenti dalam waktu singkat akibat masalah sementara. Contohnya, minor stoppage terjadi ketika sebuah bagian ekerjaan terlewatkan atau ketika sensor aktif dan menghentikan mesin. Secepat mungkin operator akan memindahkan bagian pekerjaan tersebut atau mematikan sensor sehingga dapat beroperasi normal kembali. Karena kerugian ini mengganggu kerja, maka dapat dikategorikan sebagai breakdown. Namun demikian, keduanya berbeda, dimana minor stoppage dapat diselesaikan dengan cepat ketika diketahui (operator dapat membetulkan minor stoppage dan dalam waktu kurang dari 10 menit).
  1. Quality Losses
    1. Start – up losses (reduced yield)
Kerugian ini terjadi di awal produksi, dari mesin dinyalakan sampai mesin stabil untuk berproduksi dengan kualitas yang sesuai standard. Volume dari kerugian ini tergantung dari derajat kestabilan proses. Ini bisa dikurangi dengan level pemeliharaan terhadap peralatan / mesin, kemampuan teknik operator, dll.
  1. Quality defect (process defect)
Prosses defect menunjukkan bahwa ketika suatu produk yang dihasilkan rusak dan harus diperbaiki, maka lama waktu peralatan memproduksinya adalah kerugian. Kerugian ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang lain. Namun dalam lingkungan  “Total Quality” sekarang ini, diharapkan tidak ada reject, terutama yang disebabkan oleh peralatan. Oleh karenanya kerugian ini harus ditekan seminimal mungkin.
OEE merupakan ukuran menyeluruh yang mengidentifikasikan tingkat produktifitas mesin/peraltan dan kinerjanya secara teori. Pengukuran ini sangat penting untuk mengetahui area mana yang perlu untuk ditingkatkan produktivitas ataupun efektivitas mesin/peralatan dan juga dapat menunjukkan area bottleneck yang terdapat pada lintasan produksi. OEE juga merupakan alat ukur uantuk mengevaluasi dan memperbaiki cara yang tepat untuk jaminan peningkatan produktivitas penggunaan mesin/peralatan.
Formula matematis dari OEE (overall Equipment Effectiveness) dirumuskan sebagai berikut (Nakajima, 1988):
OEE = Availability  x  Performance  x  Quality x  100%       .................... (2.1)
Kondisi operasi mesin/peralatan produksi tidak akan akurat ditunjukkan jika hanya didasari oleh perhitungan satu faktor saja, misalnya performance efficiency saja. Dari enam pada six big losses harus diikutkan dalam perhitungan OEE, kemudian kondisi actual dari mesin/peralatan dapat dilihat secara akurat. 

Alat dan Mesin untuk Proses Produksi Tahu (skripsi dan tesis)

Menurut Sarwani (2013), alat-alat produksi yang digunakan dalam melakukan proses pembuatan tahu saat ini pada umumnya adalah sebagai berikut:
  1. Mesin Giling
Setelah kacang kedelai mengalami proses pembersihan maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses penggilingan dengan mesin giling sambil ditambahkan air sedikit demi sedikit. Pengilingan kacang kedelai harus sampai halus agar produksi tahu yang di dapat maksimal dan agar memudahkan proses pemisahan sari kacang kedelai dan ampas kacang kedelai. Berikut adalah gambar proses penggilingan kacang kedelai
  1. Tungku dan Mesin Uap
Bubur kacang kedelai yang didapat dari hasil penggilingan maka harus direbus di dalam Drum Plastik Besar dengan bantuan alat uap tradisional yang dialirkan menggunakan pipa besi kedalam Drum Plastik Besar. Dalam proses perebusan ini tiap 10 menit sekali harus ditambahkan air dingin sedangkan volume penambahan air tergantung banyaknya bubur kacang kedelai.
  1. Jamprong (saringan bambu dan kain)
Setelah rebusan bubur kacang kedelai agak dingin baru dilakukan penyaringan dengan Jamprong (Saringan kain dan bambu). Proses penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan sari kacang kedelai dengan ampas kacang kedelai. Dalam proses penyaringan ini ampas bubur kacang kedelai akan tetap tertahan didalam Jamprong, sedangkan sari bubur kacang kedelai akan terjatuh ke dalam Tahang (Sarana yang berbentuk kayu besar) yang telah di siapkan di samping panci besar
Namun saat ini telah banyak dilakukan modernisasi pada alat dan mesin pembuatan tahu agar lebih higienis. Laboratorium Energi dan Mesin Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada mengembangkan peralatan proses pembuatan tahu yang didesain secara khusus untuk mengembangkan unit usaha tahu sesuai dengan profil UKM yang ada. (http://tep.tp.ugm.ac.id/ )
  1. Pemasakan Tahu dengan Ketel Uap
Bedasarkan kenyataan kapasitas produksi yang bervariasi tersebut maka dalam kegiatan inkubasi ini dirancang 3 model ketel uap, yaitu ketel uap skala besar, sedang, dan kecil. Ketiga model memiliki target pengguna yang berbeda. Berdasarkan pertimbangan kemampuan finansial calon pengguna maka hanya ketel uap skala besar saja yang dilengkapi dengan kontrol pengendali masukan air secara otomatis. Hasil survey juga menunjukan bahwa mayoritas industri tahu menggunakan bahan bakar limbah, seperti sekam padi dan limbah gergaji kayu, oleh karenanya ketel ini dirancang dengan bahan bakar limbah tersebut. Penggunaan bahan bakar minyak mulai dihindari seiring dengan langkanya sumber bahan bakar tersebut di pasaran.
Ketel uap industri tahu skala besar terdiri atas 4 bagian utama yaitu tabung ketel, kontrol air, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 9 buah. Pipa api dibuat dari besi pipa berdiameter 4 inchi sesuai dengan bahan bakar limbah biomassa tersebut.
Ketel uap untuk industri tahu skala sedang dirancang sedikit berbeda dari ketel uap skala besar. Ketel ini tidak dilengkapi dengan kontrol air. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, sistem pengaman, dan cerobong asap. Tabung ketel dirancang dengan diameter 80 cm dan tinggi 120 cm. Bagian tengah tabung diberi pipa api vertikal yang diletakan menyebar berjumlah 5 buah yang dibuat dengan ukuran yang sama dengan ketel uap industri tahu skala besar. Ketel ini juga dilengkapi dengan sistem pengaman dan cerobong asap yang dimensinya sama dengan ketel uap skala besar.
Berbeda dengan ketel sebelumnya, ketel uap untuk industri tahu skala kecil dirancang dengan ukuran yang lebih kecil. Ketel ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: tabung ketel, cerobong asap, dan pengaman. Tabung ketel dirancang dengan diameter 50 cm tinggi 120 cm yang dibagian tengahnya dipasang sebuah pipa api vertikal berdiameter 4 inchi. Pipa api ini dihubungkan langsung ke cerobong asap yang dirancang dari pipa yang sama setinggi 3 m. Ketel uap kecil ini juga dilengkapi dengan pengaman yang terdiri atas kaca penunjuk level air, tossen klep dan pengatur tekanan otomatis.
Pembuatan ketel ini dilakukan dengan serangkaian kegiatan perbengkelan seperti pemotongan, pengerolan, pengelasan, pembubutan, pengeboran, dan sebagainya. Pembuatan ketel dimulai dengan pembuatan tabung ketel disusul pembuatan bagian yang lain, kemudian disatukan menjadi ketel yang siap digunakan. Ada bagian akhir kegiatan dilakukan kegiatan finishing berupa pengesetan komponen kontrol dan pengecatan
Ketel uap digunakan untuk memasak bubur kedelai yang akan diproses menjadi tahu. Ketel uap juga dapat digunakan untuk perebusan tahu yang telah dicetak dan digunakan untuk pasteurisasi tahu untuk menghasilkan produk tahu yang berkualitas. Model layout penerapan ketel untuk pemasakan bubur kedelai telah banyak direalisasikan, antara lain di pabrik tahu CV. Kitagama Prambanan, pabrik tahu di desa Adiwerna, Kabupaten Tegal Jawa Tengah, dan sebagainya
  1. Pengembangan Mesin Sentrifuse
Mesin sentrifuse dikembangkan untuk menggantikan prosespenyaringan secara manual.
  1. Pengembangan Bak Masak & Pasteurisasi
Peralatan lainnya untuk mendukung proses pembuatan ahu yang juga diterapkan melalui kegiatan ini adalah bak masak, bak jendal, dan bak pasteurisasi. Peralatan tesebut dibuat dari bahan stainless steel sehingga tahan karat dan memenuhi standar keamanan pealatan pengolahan pangan. Bak masak digunakan untuk menggantikan wajan masak yang selama ini digunakan oleh pengrajin tahu desa Adiwerna. Bak masak digunakan untuk memanaskan bubur kedelai dengan uap panas yang disuplai dari ketel uap. Uap panas dari ketel dimasukan ke dalam bak masak melalui pipa yang dipasang pada bagian bawah bak masak tersebut. Bak masak dibuat berbentuk tabung tanpa tutup dengan ukuran diameter 60 cm, tinggi 80 cm yang dipasang pada kerangka terbuat dari besi siku berukuran panjang 70 cm, lebar 70 cm, tinggi 130 cm. Bagian dasar bak masak diberi corong keluaran yang dilengkapi dengan katup penahan untuk memandu mengeluarkan bubur kedelai yang telah matang ke mesin penyaring.
Bak jendal merupakan peralatan yang digunakan untuk menggumpalan susu kedelai hasil penyaringan. Gumpalan ini kemudian diambil dan dicetak menjadi tahu. Bak jendal juga dibuat dari bahan stainless berbentuk tabung dengan diameter 60 cm, tinggi 60 cm. Bak jendal tidak diberi kerangka sehingga lebih mudah dan fleksibel.
Bak pasteurisasi berfungsi untuk memasak tahu ebih lanjut agar lebih enak, higienis dan tahan lama. Bak pasteurisasi dibuat seperti bak masak, yaitu dari bahan stainless steel berbentuk tabung tanpa tutup berdiameter 60 cm, tinggi 60 cm.