Wednesday, September 4, 2019

Novel (skripsi dan tesis)

 Dalam Tinjauan Psikologi Sastra Novel pada dasarnya merupakan bentuk penceritaan tentang kehidupan manusia yang bersifat fragmentaris. Teknik pengungkapannya bersifat padat dan antar unsurnya merupakan struktur yang terpadu. Novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan para tokohnya. Cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang dipandang perlu agar tidak membosankan dan mengurangi kadar ketegangan cerita (Nurgiyantoro, 2000 : 14). Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa agar tercapai maksud yang dituju pengarang maka dalam menceritakan kejadian haruslah bersifat penting, luar biasa, dan yang dianggap perlu saja agar ceritanya tidak melenceng dari tema. Novel terdiri atas unsur-unsur pembentuk, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur struktural formal yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan, alur, latar judul, sudut pandang, gaya dan suasana. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur dari dunia luar karya sastra yang berpengaruh. Unsur-unsur itu adalah : ekonomi, politik, filsafat, dan psikologi (Nurgiyantoro, 2000 : 23-24). Psikologi merupakan unsur ekstrinsik dari karya sastra, namun peran psikologi dalam karya sastra sangatlah penting. Peran psikologi dalam karya sastra yaitu digunakan untuk menghidupkan karakter para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan penokohan itu sendiri tokoh dapat diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari segi fisiologis, sosiologis, dan psikologis yang menunjang pembentukan tokoh-tokoh cerita yang hidup. Secara fisiologis, rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia, kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan para tokoh.
Walaupun dalam kehidupan sehari-hari kita kerap kali terkecoh oleh penampilan seseorang, bahkan kita dapat tertipu oleh  penampilannya, demikian pula dalam suatu karya sastra, faktor penampilan fisik para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan karakterisasi. Dimensi fisiologis meliputi ciri-ciri tubuh, raut muka, pakaian, dan segala perlengkapan yang dikenakan oleh sang tokoh, seperti sepatu, topi jam tangan, tas, perhiasan. Dari segi sosiologis, novel tidak menampilkan tokoh sebagai manusia secara individual, namun lebih sebagai manusia secara sosial yang saling berinteraksi dengan tokoh lainnya dalam kehidupan bermasyarakat layaknya dalam kehidupan nyata. Sebagai sistem simbol, dalam novel terkandung keberagaman tokoh sebagai representasi multikultural tokoh-tokoh sebagai spesies. Dimensi sosiologis yakni unsur-unsur status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi dan keluarga, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, ideologi, aktifitas sosial, organisasi, kegemaran, ketutrunan, suku bangsa. Berdasarkan segi psikologisnya ada kaitannya antara penokohan dengan psikologi karena tokoh dalam cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan tingkah laku, sifat dan kebiasaan. Kejiwaan para tokoh dalam novel sesungguhnya adalah penggambaran manusia yang hidup di alam nyata sebagai model didalam penciptaan seorang pengarang. Tokoh berperan penting dalam jalannya cerita, dengan adanya tokoh timbullah suatu peristiwa. Tokoh dipergunakan pengarang untuk menyampaikan maksud melalui ucapan, tingkah laku / perilaku dari tokoh. Bisa dikatakan bahwa unsur psikologi sangat berpengaruh terhadap unsur penokohan di dalam sebuah karya sastra.
 Dimensi psikologis yaitu mentalitas, norma-norma, moral yang dipakai,   tempramen, perasaan-perasaannya, keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan, keahlian, kecakapan khusus. Menurut Wiyatmi (2006 : 14) sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dibatasi hanya pada “mahakarya”, yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya yang diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra juga mengungkapkan bahwa karya sastra yang dijadikan subyek penelitian perlu diberlakukan secara lebih manusiawi. Karya sastra bukanlah barang mati dan fenomena yang lumpuh, namun penuh daya imajinasi yang hidup. Karya sastra tak jauh berbeda dengan fenomena manusia yang bergerak, fenomena alam yang kadang-kadang ganas, dan fenomena apapun yang ada di dunia dan akherat. Karya sastra dapat menyebrang ke ruang dan waktu yang kadang-kadang jauh dari jangkauan nalar manusia karenanya membutuhkan metode sendiri. Antara psikologi dan novel mempunyai hubungan yang fungsional yaitu sama-sama berguna sebagai sarana mempelajari aspek kejiwaan manusia. Bedanya gejala yang ada dalam karya sastra novel adalah gejala-gejala kejiwaan manusia yang imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia riil. Meski sifat-sifat manusia dalam karya sastra novel bersifat imajiner, tetapi dalam menggambarkan karakter dan jiwanya pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model dalam penciptaannya. Berdasarkan novel, ilmu psikologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekataan untuk menelaah atau mengkaji tokoh-tokohnya. Menganalisis tokoh dalam karya novel dan perwatakanya seorang pengkaji sastra juga harus berdasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perwatakan dan kejiwaan manusia. 

Psikoanalisis Dalam Satra (skripsi dan tesis)

Teori psikologi yang sering digunakan dalam melakukan penelitian sebuah karya sastra adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmun Freud. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (Conscious),  bawah sadar (Preconscious), dan tidak sadar (Unconscious). Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, persepsi, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda miliki. Terkait erat dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam bawah sadar, yaitu apa yang kita sebut dengan saat ini dengan „kenangan yang sudah tersedia‟ (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat di panggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak anda ingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi. Adapun bagian terbesar adalah alam tidak sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang tak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Sekalipun kita sadar akan perilaku kita yang nyata, sering kali kita tidak menyadari proses mental yang ada di balik perilaku tersebut. a. Struktur Kepribadian Sigmund Freud Sigmund Freud adalah tokoh pertama yang menyelidiki kehidupan jiwa manusia berdasarkan pada hakikat ketidaksadaran. 
Teori psikologi ala Freud membedakan kepribadian manusia menjadi tiga unsur kejiwaan, yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga aspek itu masing-masing mempunyai fungsi, sifat komponen, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri, namun ketiganya saling berhubungan sehingga sukar (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, tingkah laku selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek itu. Ketiga sistem itu diuraikan sebagai berikut. 
 i. Id
 Id dalam Bahasa Jerman adalah Das es. Id atau Das Es merupakan wadah dari jiwa manusia yang berisi dorongan primitif. Dorongan primitif adalah dorongan yang ada pada diri manusia yang menghendaki untuk segera dipenuhi atau dilaksanakan keinginan atau kebutuhanya. Apabila dorongan tersebut terpenuhi dengan segera maka akan menimbulkan rasa senang, puas serta gembira. Sebaliknya apabila tidak dipenuhi atau dilaksnakan dengan segera maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Id adalah istem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan aspek kepribadian yang paling gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energy buta”. (Endraswara, 2003: 101). Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa id merupakan dorongan dari aspek biologis yang terjadi secara spontan. 
ii. Ego 
Ego dalam Bahasa Jerman disebut Das Ich. Ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Ego timbul karena kebutuhankebutuhan organisme yang memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif. Orang yang lapar harus mencari, menemukan, dan memakan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Hal itu berarti orang harus belajar membedakan antara makanan dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada didunia aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar. Setelah melakukan pembedaan makanan perlu mengubah gambaran ke dalam persepsi yang terlaksana dengan menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan kata lain, orang mencocokan gambaran ingatan tentang makanan dengan  penglihatan atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya dengan panca indera. Das ich atau The ego merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego merupakan kepribadian implementatif yaitu berupa kontak dengan dunia luar (Endraswara, 2004: 101). Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa ego timbul karena dorongan dari aspek psikologis yang memerlukan sebuah proses.
 iii. Super Ego 
Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Super ego merupakan penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan id sebelum menjadi kenyataan, dipertimbangkan oleh super ego. Apakah keinginan id itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Super ego berisi nilai-nilai moral yang ditanamkan pada diri seseorang. Pada dasarnya, super ego sama dengan kesadaran. Aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan

Psikologi dan Sastra (skripsi dan tesis)

 Manusia dijadikan objek sastrawan sebab manusia merupakan gambaran tingkah laku yang dapat dilihat dari segi kehidupannya. Tingkah laku merupakan bagian dari gejolak jiwa sebab dari tingkah laku manusia dapat dilihat gejalagejala kejiwaan yang pastinya berbeda satu dengan yang lain. Pada diri manusia dapat dikaji dengan ilmu pengetahuan yakni psikologi yang membahas tentang kejiwaan. Oleh karena itu, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala kejiwaan (Ratna, 2004: 62). Karya sastra yang merupakan hasil dari aktivitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan sebab karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi. Dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalau mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan ketika menciptakan karya tersebut (Endraswara, 2003:26). 8 Dua hal dasar penelitian psikologi sastra tersebut merupakan aspek psikologi pengarang, sehingga kejwaan dan pemikiran pengarang sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra tersebut. Pengarang dalam menuangkan ide-idenya ke dalam karyanya terkadang terjebak dalam situasi tak sadar atau halusinasi yang dapat membelokan rencana pengarang semula. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” didalamnya terkandung fenomena-fenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dapat diterima, karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan yang bersifat tak langsung dan fungsional (Jatman via Aminuddin, 1990:101). Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan. Perbedaan gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah gejala kejiwaan pada manusia riil (Endraswara, 2003: 97). Antara psikologi dan sastra akan saling melengkapi dan saling berhubungan sebab hal tersebut dapat digunakan untuk menemukan proses penciptaan sebuah karya sastra. Psikologi digunakan untuk menghidupkan karakter para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang.
Wellek dan Warren (1995: 91) psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan, yakni
 1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, 
2) studi proses kreatif,
 3) studi hukum psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional yakni sama-sama mempelajari keadaan jiwa seseorang dan 
4) mempelajari dampak sastra pada pembaca.
 Karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis sebab menampilkan aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh dan menjadikan manusia sebagai penggerak jiwa. 
Tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu
 (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
 (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, 
(3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004: 343). Berdasarkan penelitian ini cara yang digunakan untuk menghubungkan psikologi dan sastra adalah memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. Menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus berdasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia. Teori psikologi yang sering digunakan dalam melakukan penelitian sebuah karya sastra adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmun Freud

Psikologi Sastra (skripsi dan tesis)

Dalam prosesnya peneliti melakukan penelitian dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Freud meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan atau dipenuhi. Dimensi jiwa adalah dimensi yang ada dalam diri manusia. Ini berarti segala aktivitas manusia tidak terlepas dari dimensi tersebut. Segala aspek kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan mengenai hidup dan kehidupan (Hardjana, 1985). 
Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh, baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2009:350). Menurut Hardjana (1991:60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan. Fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya. Endraswara berpendapat dalam bukunya (2008:99) bahwa meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap memanfaatkan hukum-hukum psikologi yang menghidupkan karakter tokoh-tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-diam. Kemudian Ratna (2004:343) yang mengemukakan bahwa ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra yaitu: 
a)memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
 b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra, dan
 c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca

Konflik (skripsi dan tesis)

Konflik adalah suatu yang dramatik mengacu pada dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balas (Wellek and Warren, 1993:25). Konflik dibagi atas dua bagian, yaitu eksternal- internal.
1) Konflik Eksternal atau Konflik Fisik 
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciriciri individual dalam interkasi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok lain. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik ini dapat timbul karena minat yang berlawanan, tidak ada keuletan, tidak ada kemampuan untuk mengembangkan diri, serta tidak adanya semangat hidup. 
2) Konflik Internal atau Konflik Batin 
Salah satu kondisi psikologis yang akan dibahas adalah konflik batin. Hardjana (1994:23) mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan anatara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. 
Freud menyatakan bahwa faktor–faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin antara lain:
 a. Teori Agresi 
Teori ini menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri  sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak. Prosesnya terjadi akibat kehilangan atau perasaan terhadap objek yang sangat dicintai. 
b. Teori Kehilangan 
Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu dengan benda atau seseorang yang sebelumnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stress.
 c. Teori Kepribadian
Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor. Pandangan ini memfokuskan pada variable utama dari psikososial yaitu harga diri rendah
. d. Teori Kognitif 
Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang mencoba memahami kemampuannya. 
e. Teori Ketidakberdayaan
 Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang adaptif.
 f. Teori Perilaku
 Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai objek yang tidak berdaya terhadap lingkungan, tetapi juga bebas dari pengaruh lingkungan dan melakukan apa saja yang mereka pilih tetapi antar individu dengan lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna antar satu dengan yang lainnya

Tokoh (skripsi dan tesis)

 Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. (Jones dalam Nurgiyantoro, 2007:165). Tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama.
 Berdasarkan perannya terhadap jenis cerita, tokoh bisa dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
1. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.
 2. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita.
 3. Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh antagonis maupun tokoh protagonis. 
Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita yang memadai. Sebuah cerita tidak akan mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat. (Hasyim, 1984:85). 

Drama (skripsi dan tesis)

Drama berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama (Wiyanto, 2002:1-2). Menurut Kintoko (2008:104, Ardiyansyah) drama adalah proses pemeranan diri kita menjadi seseorang yang harus diperankan di dalam pementasan. Drama adalah kehidupan sehari hari yang di pentaskan dengan sistematis dan menarik. Menurut Zaidan (1994: 60) drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera (Wiyanto, 2002:1-2). Universitas Sumatera Utara 16 16 Menurut Aeschylus (2008: 26, Karsito) drama berasal dari bahasa Yunani ”draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Drama juga berarti risalah, kejadian, atau karangan