Tuesday, October 29, 2019

Teori Etika (skripsi dan tesis)


Teori etika pada dasarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi di bawahnya. Penganut etika absolut meyakini bahwa ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapanpun dan dimanapun. Kemudian penganut etika relatif membantahnya dan mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai etika yang berlaku umum. Nilai etika yang ada dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda dan untuk situasi yang berbeda pula. Dengan demikian bisa diambil kesimpulan etika merupakan suatu analisis konsep seperti benar atau salah, baik atau buruk dan suatu tanggung jawab. Jadi, suatu bentuk sikap dan perilaku, cerminan cara berfikir dan kebiasaan yang mengarah kepada baik atau buruk benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan masyarakat.

Teori Agensi (skripsi dan tesis)


Dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976), yaitu adanya kontrak antara agen dan prinsipal dalam suatu perusahaan, dimana hubungan agensi terjadi jika ada salah satu pihak (principle) menyewa pihak lain (agent) untuk mendelegasikan wewenangnya dalam membuat suatu keputusan.Dalam teori agensi, auditor menjadi pihak yang mejembatani kepentingan antar pihak prinsipal (pemegang saham) dengan pihak agen (manajer) dalam mengelola keuangan perusahaan termasuk menilai kelayakan strategi manajemen dalam upaya untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan

Mendeteksi Kecurangan (skripsi dan tesis)


 Dalam melakukan pendeteksian terhadap kecurangan, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya kecurangan dan siapa atau pihak mana yang kemungkinan dapat melakukan kecurangan. Hal ini sangat perlu diketahui oleh pihak yang mendapat tugas untuk melakukan pendeteksian kecurangan, karena dengan mengetahui faktor pemicu terjadinya kecurangan dan siapa atau pihak mana yang dilakuakan akan lebih terarah. Dalam IAI (2001a) pada paragraf 2 menyebutkan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan  audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, oleh karena sifat bukti audit dan karakterisitik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak, bahwa salah saji material terdeteksi.
 Metode mendeteksi kecurangan seperti yang diungkapkan oleh Yufeng Kou et al. (2014) merupakan metode yang terus dikembangan untuk melawan aktivitas kriminal yang bisa diterapkan pada sebuah strategi, tujuan mendeteksi kecurangan adalah memaksimalkan prediksi yang benar dan menjaga prediksi yang salah pada level yang bisa diterima. Yufeng Kou juga menyebutkan bahwa saat sekarang ini, mendeteksi kecurangan telah diterapkan pada metode seperti data mining, statistik dan artificial intelligence, saat ini juga ada 3 area mendeteksi kecurangan: kecurangan kartu kredit, computer intrusion detection, dan telekomunikasi. Rahman (2001) menyatakan bahwa Ketika auditor mendeteksi adanya ketidakberesan material dan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, auditor harus mengkomunikasikan hal tersebut kepada manajemen senior dan dewan komisaris perusahaan atau kepada komite audit. Auditor harus yakin bahwa komite audit atau pihak lain yang setara telah mengetahui informasi tentang adanya ketidakberesan atau tindakan melanggar hukum yang terdeteksi. Rahman juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan terdeteksinya ketidakberesan, yaitu (1) kompetensi dan integritas klien, dan (2) gaya kognitif auditor.

Kecurangan (Fraud) (skripsi dan tesis)


 ACFE Indonesia (2016) menyebutkan bahwa fraud yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah korupsi, kerugian yang timbul dari kecurangan ini bisa mencapai lebih dari 10 milyard Rupiah dan para pelaku kecurangan didominasi oleh manajer kemudian diikuti oleh atasannya (direksi) atau bahkan pemilik. Dalam Association of Certified Faud Examiners (2014) membagi kecurangan menjadi 3 kategori utama yaitu: penyalahgunaan asset, korupsi dan kecurangan laporan keuangan. Kecurangan itu sendiri, dijelaskan oleh  Marliani dan Jogi (2015) kecurangan merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri, dengan cara mengurangkan atau menambahkan pengeluaran perusahaan. Pendorong tindakan kecurangan dikonsepkan oleh Cressey dalam Fraud triangle, diungkapkan oleh Marliani and Jogi (2015) Cressey mencetuskan Fraud Triangle atau segitiga kecurangan. Salah satu kaki segitiga menggambarkan adanya kebutuhan keuangan yang tidak dapat dibagi dengan orang lain sebagai faktor penekan (pressure).
Faktor kedua menggambarkan adanya kesempatan (opportunity) dan faktor ketiga menggambarkan rasionalisasi (rationalization). Selain Fraud Triangle, dikenal juga istilah Fraud Diamonds, menurut Wolfe dan Hermanson (2004) bahwa dalam fraud triangle bisa ditambahkan untuk memperkuat upaya preventif dan deteksi dengan mempertimbangkan elemen yang keempat, menambahkan fraud triangle, sebagai 4 sisi komponen “fraud diamond” juga mempertimbangkan kapasitas individu, kapasitas individu merupakan kebiasaan dan kemampuan individu yang memainkan peranan utama ketika kecurangan itu terjadi bahkan dengan hadirnya 3 elemen yang lain.
Adapun perspektif kecurangan menurut Bologna yang dikutip oleh Sayyid (2014), yaitu; kecurangan: perspektif manusia yang merupakan kecurangan bagi orang awam, adalah kecurangan yang direncanakan yang dilakukan pada orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi pribadi, sosial atau politik. Kecurangan adalah penyimpangan persepsi moral yang kita sebut kebenaran, keadilan hukum, keadilan dan kesamaan. Yang kedua adalah Kecurangan: perspektif sosial dan ekonomi yaitu kecurangan dianggap perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial karena kecurangan dapat menghancurkan hubungan dan kepercayaan antar manusia. Tanpa kepercayaan, interaksi manusia tersendat dan hubungan antar manusia tidak berkembang. Perdagangan antar manusia tidak dapat berkembang jika tidak ada kepercayaan. Yang ketiga kecurangan: perspektif hukum yaitu kecurangan dalam arti hukum adalah penggambaran kenyataan materi yang salah yang disengaja dengan tujuan membohongi orang lain sehingga orang tersebut mengalami kerugian ekonomi. Hukum dapat memberikan sanksi sipil dan kriminal untuk perilaku itu. Dengan demikian, kecurangan adalah bentuk apapun dari kelicikan, penemuan, kebohongan, pengkhianatan, penutupan atau samaran yang dimaksudkan untuk menyebabkan orang lain terpisah dengan uang, properti atau hak hukum lainnya dengan tidak adil. Dan yang keempat adalah kecurangan: perspektif akuntansi dan audit yaitu kecurangan yang dari sudut pandang akuntansi dan audit, kecurangan adalah penggambaran yang salah dari fakta material dalam buku besar atau laporan keuangan. Pernyataan yang salah dapat ditujukan pada pihak luar organisasi seperti pemegang saham atau kreditor, atau pada organisasi itu sendiri dengan cara menutupi atau menyamarkan penggelapan uang, ketidakcakapan, penerapan dana yang salah atau pencurian atau penggunaan aktiva organisasi yang tidak tepat oleh petugas, pegawai dan agen

Audit Investigatif (skripsi dan tesis)


Audit invetigasi mulai populer pada tahun 2001-2002, ketika kasus BLBI, saat itu audit investigasi melibatkan koordinasi lembaga-lembaga negara: Kejaksaan Agung dan BPK. Bramastyo (2014) Audit yang digunakan dalam mengungkap tindak pidana korupsi tersebut berbeda dengan audit biasa yang digunakan para auditor keuangan biasa, audit yang digunakan tersebut adalah audit yang bersifat investigatif dimana audit tersebut menggabungkan antara kemampuan ilmu audit yang terdapat dalam ilmu ekonomi dengan peraturan perundang-undangan sehingga dapat bertahan selama proses pengadilan atau proses peninjauan yudisial maupun administratif, audit tersebut dikenal dengan audit investigasi atau audit investigasi. Audit investigasi berkaitan erat dengan akuntansi forensik, keduanya menjadi satu rangkaian disiplin ilmu, seperti yang diungkapkan oleh penelitian terdahulu. Rozali dan Darliana (2015) menyatakan bahwa akuntansi forensik dan audit investigatif merupakan sebuah disiplin ilmu yang dipergunakan ketika menginvestigasi sebuah kasus kecurangan rumit yang berhubungan dengan hukum. Kaitan kedua bidang itu adalah ketika dalam proses penyidikan dan investigasi. Para akuntan forensik akan menerapkan disiplin ilmu akuntansi forensik dan audit investigatif.
 Rozali dan Darliana (2015) juga menyebutkan bahwa teknik audit diantaranya teknik audit, teknik perpajakan, follow the money, computer forensic, dan teknik kunci, tujuan dari audit investigatif itu sendiri adalah upaya pembuktian, umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan. Penelitian sebelumnya Dewi (2016) menyebutkan bahwa fraud atau kecurangan adalah objek utama yang diperangi dan dibuktikan dalam audit investigatif. Sejalan dengan penelitian itu, Wuysang, Nangoi, dan Pontoh (2016) menyebutkan bahwa Audit investigatif dilakukan sebagai tindakan represif untuk menangani fraud yang terjadi. Strategi represif harus dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktik fraud. Selain tindakan represif ada 2 pendekatan lain.
 Menurut Putra, O, dan Maemunah (2016) menyatakan bahwa pendekatan audit investigasi dapat dilakukan dengan  pendekatan yaitu, pendekatan reaktif dan pendekatan proaktif. Audit investigatif dikatakan bersifat reaktif apabila auditor melaksanakan audit setelah menerima atau mendapatkan informasi dari pihak lain mengenai kemungkinan adanya tindak kecurangan dan kejahatan. Audit investigatif yang bersifat reaktif umumnya dilaksanakan setelah auditor menerima atau mendapatkan informasi dari berbagai sumber informasi misalnya dari auditor lain yang melaksanakan audit reguler, dari pengaduan masyarakat, atau karena adanya permintaan dari aparat penegak hukum. Karena sifatnya yang reaktif maka auditor tidak akan melaksanakan audit jika tidak tersedia informasi tentang adanya dugaan atau indikasi kecurangan dan kejahatan. Sedangkan audit investigatif dikatakan bersifat proaktif apabila auditor secara aktif mengumpulkan informasi dan menganalisis informasi tersebut untuk menemukan kemungkinan adanya tindak kecurangan dan kejahatan sebelum melaksanakan audit investigatif. Auditor secara aktif mencari, mengumpulkan informasi dan menganalisis informasi-informasi yang diperoleh untuk menemukan kemungkinan adanya kecurangan dan kejahatan. Audit investigatif yang bersifat proaktif perlu dilakukan pada area atau bidang-bidang yang memiliki potensi kecurangan atau kejahatan yang tinggi. Audit yang bersifat proaktif dapat menemukan kemungkinan adanya kecurangan dan kejahatan secara lebih dini sebelum kondisi tersebut berkembang menjadi kecurangan atau kejahatan yang lebih besar. Selain itu Audit investigatif yang bersifat proaktif juga dapat menemukan kejahatan yang sedang atau masih berlangsung sehingga pengumpulan bukti untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kejahatan tersebut lebih mudah dilaksanakan.
 Oleh karena tujuan dari audit investigatif itu sendiri adalah upaya pembuktian, umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan maka hasil dari suatu audit investigatif, baik yang bersifat reaktif maupun proaktif dapat digunakan sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan kejahatan oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan hasil audit tersebut, aparat penegak hukum akan mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku untuk kepentingan penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

Kualitas Audit (skripsi dan tesis)


 Kualitas audit mutlak menjadi faktor penting dalam proses audit yang dilaksanakan oleh Akuntan Publik, IAI (2016) menyatakan bahwa kualitas audit adalah suatu indikator kunci yang memungkinkan suatu audit yang berkualitas dilaksanakan secara konsisten oleh Akuntan Publik melalui KAP sesuai dengan standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Indikator kualitas audit yang dilakukan oleh KAP dalam IAI (2016) meliputi: kompetensi auditor, etika dan independensi auditor, penggunaan waktu Personil Kunci Perikatan, pengendalian mutu perikatan, hasil reviu mutu atau inspeksi pihak eksternal dan 31 internal, rentang kendali perikatan, organisasi dan tata kelola KAP dan kebijakan imbalan jasa. Penelitian sebelumnya Iskandar, Rahmatt, dan Ismail (2010) menyebutkan bahwa kepuasan klien terkait signifikan dengan kualitas atribut tim, misalnya pengalaman, independensi, keterlibatan, pelaksanaan kerja, etika dan pengetahuan tentang standar akuntansi dan audit.
Rosnidah (2012) pernah mengungkapkan bahwa kualitas audit dari auditor internal masih menjadi sorotan karena auditor internal berada dalam organisasi dan digaji oleh organisasi sehingga independensi auditor internal terkadang masih diragukan, fakta ini banyak sekali ditemukan di pemerintah daerah, parahnya, tidak terdeteksi oleh Inspektorat tapi terdeteksi di BPK. Bawono dan Singgih (2009) menjelaskan bahwa pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik, dalam hal ini adalah kualitas auditnya. Kemudian Nugroho (2018) juga menjelaskan bahwa kualitas audit akan berpengaruh pada laporan audit yang dikeluarkan auditor oleh karenanya itu kualitas audit menjadi hal yang penting dan utama untuk menjamin akurasi dari pemeriksaan laporan keuangan. Regulasi tentang kualitas audit akan menuntut auditor untuk selalu meningkatkan kompetensi teknis dan due professional care.
Penelitian sebelumnya Pratiwi dan Astika (2013), menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh pada kualitas audit melalui due professional care berarti dengan meningkatnya kompetensi akan meningkatkan due professional care juga sehingga menghasilkan kualitas audit yang semakin baik. Sejalan dengan penelitian tersebut penelitian sebelumnya Sukmawati dan Faisal (2015) juga menyatakan bahwa keahlian audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit. Penelitian lain yang sejalan dengan itu yaitu Handayani dan Merkusiwati (2015) juga menyebutkan bahwa independensi auditor, kompetensi auditor, dan skeptisisme profesional auditor juga berpengaruh positif terhadap kualitas audit auditor

Kompetensi Auditor IAI (2001) (skripsi dan tesis)


SA 210 dalam Standar Umum Pertama menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Kemudian dijelaskan dalam nomor 2 bahwa standar umum pertama menegaskan bahwa betapa pun tingginya kemampuan seseorang dalam bidangbidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing. SA 230 dalam Standar Umum Ketiga no 1 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Kemudian dijelaskan dalam no 2 menyebutkan bahwa standar ini menuntut auditor independen untuk merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya dengan menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. Penggunaan kemahiran profesional dengan kecermatan dan keseksamaan menekankan tanggung jawab setiap profesional yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.
BPKP (2010) Pasal 1 (4) menjelaskan tentang Standar kompetensi auditor, yaitu ukuran kemampuan minimal yang harus dimiliki auditor yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge), ketrampilan/keahlian (skill), dan sikap perilaku (attitude) untuk dapat melakukan tugas-tugas dalam jabatab fungsional auditor dengan hasil baik.
 3 aspek penting yang harus dimiliki auditor, yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge).
 2. Ketrampilan/keahlian (skill).
3. Sikap Perilaku (attitude).
 Menurut IAI (2016) Kompetensi auditor merupakan kemampuan profesional individu auditor dalam menerapkan pengetahuan untuk menyelesaikan suatu perikatan baik secara bersama-sama dalam suatu tim atau secara mandiri berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik, kode etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Kompetensi auditor dapat diperoleh melalui pendidikan pada perguruan tinggi pada bidang akuntansi. Kompetensi auditor akan berpengaruh luas, penelitian sebelumnya Handayani dan Merkusiwati (2015) menyatakan bahwa kualifikasi dan kualitas dapat tercermin melalui kompetensi auditor, apabila kesalahan dalam laporan keuangan tidak mampu terdeteksi oleh auditor, maka yang patut dipertanyakan adalah kompetensi auditor dan semakin tinggi tingkat kompetensi auditor maka akan semakin tinggi pula tingkat skeptisisme profesional auditor.