Thursday, January 30, 2020

Manfaat Team Building (skripsi dan tesis)

 Ada kecenderungan setiap individu lebih menyukai tim yang efektif dalam bekerja karena lebih banyak manfaatnya. Mengutip pendapat dari Robert B. Maddux (2001), dalam bukunya Team building yang mengatakan bahwa Tim yang efektif memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Dengan adanya tim, maka sasaran yang realistis ditentukan dan dapat dicapai secara optimal. 2. Anggota tim dan impinan Tim memiliki komitmen untuk saling mendukung satu sama lain agar berhasil. 3. Anggota tim memahami prioritas anggota lainnya, dan dapat saling membantu satu-sama lain. 41 4. Komunikasi bersifat terbuka, diskusi cara kerja baru atau memperbaiki kinerja lebih berjalan dengan baik, karena anggota tim terdorong untuk lebih memikirkan permasalahannya. 5. Pemecahan masalah lebih efektif karena kemampuan tim lebih memadai. 6. Umpan balik kinerja lebih memadai karena anggota tim mengetahui apa yang diharapkan dan dapat membandingkan kinerja mereka terhadap sasaran tim. 7. Konflik diterima sebagai hal yang wajar dan dianggap sebagai kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Melalui diskusi bersama anggota tim lainnya, konflik bisa diselesaikan secara maksimal. 8. Keseimbangan tercapainya produktifitas tim dengan pemenuhan kebutuhan pribadi. 9. Tim dihargai atas hasil yang sangat baik dan setiap anggota dipuji atas kontribusi pribadinya. 10. Anggota kelompok termotifasi untuk mengeluarkan ide-idenya dan mengujinya serta menularkan dan mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. 11. Anggota kelompok menyadari pentingnya disiplin sebagai kebiasaan kerja dan menyesuaikan perilakunya untuk mencapai standar kelompok. 12. Anggota kelompok lebih berprestasi dalam bekerja sama dengan tim dan tim lainnya. Beberapa pernyataan tersebut di atas menunjukan bahwa bekerja dengan tim akan lebih banyak mendatangkan keuntungan dan hasil maksimal dibandingkan bekerja secara individu

Aspek- Aspek Team Building (skripsi dan tesis)

 Kazemak (dalam Stott dan Walker, 1995),menyatakan bahwa ada beberapa aspek yang digunakan untuk membangun tim yang efektif yaitu, sebagai berikut: a. Memiliki tujuan yang sama; teamwork yang efektif memiliki tujuan dan semua anggota tim tahu benar tujuan yang hendak dicapai organisasi. b. Antusiasme yang tinggi; antusiasme tinggi bisa dibangkitkan jika kondisi kerja juga menyenangkan. Anggota tim tidak merasa takut menyatakan pendapat, mereka juga diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian mereka dengan menjadi diri sendiri sehingga kontribusi yang mereka berikan juga bisa optimal. c. Peran dan tanggung jawab yang jelas; setiap anggota tim harus mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing yang jelas. d. Komunikasi yang efektif; dalam proses meraih tujuan harus ada komunikasi yang efektif antar anggota tim. e. Resolusi konflik; dalam mencapai tujuan mungkin saja ada konflik, jangan didiamkan ataupun dihindari tapi perlu segera dikendalikan. f. Shared Power; tiap anggota tim perlu diberikan kesempatan untuk menjadi “pemimpin”, menunjukkan kekuasaannya di bidang yang menjadi keahlian dan tanggung jawab mereka masing-masing sehingga mereka merasa ikut bertanggung jawab untuk kesuksesan tercapainya tujuan bersama. 37 g. Keahlian; tim yang terdiri dari anggota-anggota dengan berbagai keahlian yang saling menunjang akan lebih mudah bekerjasama mencapai tujuan. Berbagai keahlian yang berbeda tersebut dapat saling menunjang sehingga pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat diselesaikan. h. Evaluasi; bagaimana sebuah tim bias mengetahui sudah sedekat apa mereka dari tujuan, jika mereka tidak menyediakan waktu sejenak untuk melakukan evaluasi? Evaluasi yang dilakukan secara periodic selama proses pencapaian tujuan masih berlangsung bias membantu mendeteksi lebih dini penyimpangan yang terjadi, sehingga bias segera diperbaiki. Evaluasi juga bisa dilakukan tidak sekadar untuk koreksi, tetapi untuk mencari cara yang lebih baik. Evaluasi bisa dilakukan dalam berbagai cara: observasi, riset pelanggan, riset karyawan, interview, evaluasi diri, evaluasi keluhan pelanggan yang masuk, atau sekedar polling pendapat pada saat meeting. Menurut Johnson dan Johnson (2000) dan Robbins (2003), untuk menyesuaikan tujuan dan masalah spesifik yang dihadapi tim, aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan dalam team building adalah menekankan pada aktivitasaktivitas tertentu saja atau keseluruhan dari aktivitas berikut: a. Penyusunan sasaran yang ditujukan untuk mengatasi perbedaan persepsi tujuan tim, mengevaluasi efektivitas tim dalam menyusun prioritas dan mencapai sasaran, mengidentifikasi area yang berpotensi menjadi masalah. b. Membangun hubungan interpersonal antar anggota tim. Dalam Logan dan Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan adalah empati, komunikasi efektif, kesadaran sosial, membangun hubungan, kepemimpinan dan kolaborasi. 38 c. Analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai pekerjaan mereka yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan untuk dikerjakan. d. Analisis proses tim dilakukan dengan menganalisis proses kunci yang terjadi dalam tim untuk mengidentifikasikan cara kerja dan bagaimana proses ini dapat diperbaiki untuk membuat tim lebih efektif. e. Kemampuan beradaptasi dengan kondisi dan tuntutan yang berubah. Menurut Logan dan Stokes (2004), kompetensi yang dibutuhkan antara lain adalah fleksibilitas dan kemampuan tim dalam memecahkan masalah secara terstruktur atau dengan mengikuti format berpikir kritis. Walaupun memiliki tujuan dan cara yang beragam, Buller (1986, dalam Spector, 2000) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik dari team building, yaitu: a. Team building merupakan aktivitas terencana yang terdiri dari satu atau lebih latihan atau pengalaman yang dirancang untuk mencapai sasaran tertentu. b. Team building biasanya difasilitasi oleh konsultan atau trainer yang berkualitas, dan akan sulit bagi tim untuk melaksanakannya jika trainer adalah bagian dari pengalaman. c. Team building biasanya melibatkan tim dimana anggota timnya memiliki keterlibatan dalam pekerjaan masing-masing. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik dimensi tim kerja yang efektif yaitu antara lain: adanya tujuan yang sama, antusiasme yang tinggi, peran dan tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang 39 efektif, resolusi konflik, shared power, keahlian, dan evaluasi.Team building juga sebagai aktifitas analisis peran yang bertujuan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi peran setiap anggota tim, memikirkan kembali mengenai pekerjaan mereka yang sesungguhnya, dan tugas spesifik yang mereka harapkan untuk dikerjakan. Para ahli dibidang team building lebih memilih menggunakan metode yang bersifat aktif yaitu pembelajaran eksperimental. Teknik ini cocok diterapkan pada training yang memiliki tujuan untuk meningkatkan perilaku dan afeksi individu (Kreitner dan Kinicki, 2008). Sesuai dengan tujuan intervensi dari penelitian ini yaitu untuk meningkatkan perilaku inovatif maka peneliti memilih menerapkan tekhnik pembelajaran eksperimental.
Menurut Silberman (2006), teknik pelatihan pembelajaran eksperimental memiliki pendekatan yaitu bermain peran, permainan dan simulasi, observasi, mental imajeri, tugas menulis dan action learning. Rancangan pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan pada metode permainan dan simulasi supaya peserta dapat merasakan langsung manfaat dari kegiatan yang dilakukan jika diterapkan di tempat kerja dan mendapatkan pemahaman melalui pengalaman secara langsung. Suatu permainan menurut Newstorm dan Scanell (dalam Ratnasari Deasi, 2013) merupakan salah satu metode yang dapat mencegah kebosanan karena permainan meliputi variasi aktifitas yang beragam, latihan yang dapat membuat team building training menjadi lebih menyenangkan, dapat membangkitkan semangat diantara anggota tim serta dapat menunjukkan emosi dan perasaan anggota tim. Menurut Silberman (2006) salah satu keuntungan dari metode permainan dan simulasi adalah partisipan didorong untuk berhadapan langsung dengan sikap  dan nilai-nilai yang dianut oleh dirinya. Selain itu metode permainan dapat membantu partisipan untuk fokus pada cara-cara mereka bertindak di lingkungan mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan individu yang baru mereka kenal. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building adalah aktivitas dalam proses membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama yang baik antara masing-masing anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya

Pengertian Pelatihan Team Building (skripsi dan tesis)

Pelatihan adalah usaha terencana dari organisasi untuk memfasilitasi pembelajaran karyawan atas kompetensi yang terkait dengan pekerjaan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang penting bagi kinerja (Noe, 2010). Pelatihan bertujuan agar karyawan menguasai pengetahuan dan keterampilan, serta dapat menerapkan hal tersebut dalam kegiatan sehari-hari. Pelatihan juga dapat dijadikan cara untuk mencapai keunggulan kompetitif bagi perusahaan (Noe, 2010). Pelaksanaan di dalam organisasi mengacu pada teori belajar orang dewasa (andragogy) karena peserta pelatihannya adalah para karyawan. Noe (2010) mengemukakan bahwa dalam teori pembelajaran orang dewasa yang dikembangkan oleh Malcolm Knowles terdapat lima asumsi yang perlu diperhatikan, antara lain : Pertama, orang dewasa memiliki kebutuhan untuk mengetahui alasan mengapa ia harus mempelajari sesuatu hal. Kedua, orang dewasa memiliki kebutuhan yang muncul dari dirinya sendiri. Ketiga, orang dewasa akan lebih sering mengaitkan pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan ke dalam situasi belajar. Keempat, orang dewasa merasakan pengalaman belajar dengan menggunakan pendekatan yag fokus pada masalah. 35 Terakhir, orang dewasa termotivasi untuk belajar karena adanya motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Team Building adalah aktivitas kelompok yang memiliki interaksi tinggi untuk meningkatkan produktivitas karyawan dalam menuntaskan tugas-tugas terutama yang memiliki interdependensi dengan orang lain melalui serangkaian aktivitas yang dirancang secara hati-hati untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Robbins, 2003; Spector, 2000; Johnson & Johnson, 2000). Levi (2001) menyatakan bahwa team building adalah sebuah tipe intervensi dalam pengembangan organisasi yang memusatkan pada peningkatan operasi kerja tim. 
Reic (2010) menunjukkan team building merupakan proses membangun suatu tim yang handal seperti kerjasama yang baik antara masingmasing anggota tim, dan juga merupakan pelatihan yang dapat membantu menciptakan kohesivitas dan kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan terbentuk suatu jalinan komunikasi yang baik pula. Pelatihan tersebut dilakukan melalui pendekatan sinergi masing-masing anggota tim secara keseluruhan yang pada akhirnya membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008), pelatihan team building adalah sebuah proses pembelajaran dengan pendekatan eksperimental yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi internal kelompok seperti kerjasama diantara sesama anggota tim, meningkatkan kualitas komunikasi dan mengurangi konflik disfungsional. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa team building merupakan suatu aktivitas kelompok yang bertujuan untuk membangun suatu 36 tim yang handal dalam hal kerjasama yang baik antara sesama anggota tim, dan juga dapat membantu kepercayaan diantara anggota tim sehingga akan terbentuk suatu jalinan komunikasi yang baik pula.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)

 Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya perilaku inovatif karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor eksternal maupun faktor internal yaitu : a. Faktor Eksternal 1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek positif untuk munculnya perilaku inovatif. 2) Social – Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap ingin mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja yang terus berkembang dan lebih baik. 
b. Faktor Internal 1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan),karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja. Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya dan menghormati.2) Interaksi dengan grup rekan kerja (Team Work), karyawan yang memiliki hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka juga meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja mereka. Dan hal ini memudahkan perilaku inovatif kerja untuk berkembang.
 Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut pendapat Etikariena & Muluk (2014) ; yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor tersebut adalah: 
a. Faktor Internal 1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat. 2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang memiliki gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide sehingga menghasilkan solusi yang baru. 
b. Faktor Eksternal 1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kutrang dapat menjaga hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat membuat perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang memiliki hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung memunculkan perilaku inovatif pada karyawan. Harapan yang tinggi dari pemimpin agar karyawannya menjadi inovatif juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku inovatif pada karyawan (Scott & Bruce, Dalam Ratnasari Deasi, 2013). 2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam organisasi tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi karyawan tersebut . (Scott & Bruce,Dalam Ratnasari Deasi, 2013). 3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif. Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan tersebut. Salah satu hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi tersebut adalah perilaku inovatif. Etikariena & Muluk,( 2014). 4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh karyawan. Etikariena & Muluk,( 2014). Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok, dan organisasi. 
Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Berikut penjelasan faktor-faktor yang memfasilitas inovasi pada ketiga level, yaitu: 27 1. Level Individu Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Hammond et al. (2011) dan Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) menunjukkan sejumlah faktor yang memfasilitasi inovasi pada level individu. Faktor-faktor ini dibagi kedalam lima kelompok, antara lain: a. Kepribadian. Diketahui bahwa kepribadian kreatif berhubungan dengan perilaku inovatif. Selain itu, berdasarkan trait kepribadian the Big Five Factors, keterbukaan (openness) terhadap pengalaman dikaitkan dengan perilaku inovatif. Individu yang derajat openness yang tinggi memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, mandiri, dan sensitivitas terhadap karya senin (McCrae, dalam Hammond et al., 2011). Terlebih individu dengan openness yang tinggi cenderung lebih berpikir secara divergent. Selain itu, aspek kepribadian, seperti tolerance of ambiguity, percaya diri, tidak konvensional, originality, authoritarianism, mandiri (independence), dan proaktif, turut mempengaruhi inovasi pada level individu (Anderson et al., 2004). b. Demografis Pada aspek demografis, seperti pendidikan dan lamanya masa kerja, merefleksikan penguasaan pengetahuan terhadap tugas-tugas melalu pendidikan formal, pelatihan, atau pengalaman kerja (Oldham & Cummings, dalam Hammond et al., 2011). Individu yang memperoleh pengetahuan dan pengalaman, lebih akan membangun dan mengintegrasikan gagasan, fakta, dan peluangpeluang sehingga 28 menghasilkan ide yang kreatif terhadap permasalahan (Amabile, dalam Hammond et al., 2011). c. Kemampuan Dari hasil kajian studi yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004), ditemukan beberapa faktor kemampuan yang memfasilitasi perilaku inovasi, yaitu intelegensi di atas rata-rata, taskspecific knowledge, gaya berpikir divergent, dan ideational fluency. d. Motivasi Motivasi, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, memiliki hubungan positif dengan perilaku inovasi. Motivasi intrinsik merujuk pada motivasi yang berasal dari engagement individu terhadap tugas, sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari faktor di luar tugas, seperti rewards dan kompensasi. Hammond et al., (2011). Selain itu, selfefficacy, baik keyakinan diri individu terhadap kompetensi pekerjaan maupun kompetensi kreativitas, juga mempengaruhi motivasi individu untuk terlibat dalam inovasi. Selain itu, tekad untuk berhasil dan personal initiative juga turut memfasilitasi inovasi (Anderson et al., 2004). e. Karakteristik Pekerjaan Terdapat beberapa karakteristik pekerjaan sebagai prediktor inovasi, di antaranya kompleksitas pekerjaan, otonomi, time pressure, dan role requirement. Kompleksitas pekerjaan yang tidak bersifat rutinitas dan lebih menantang dapat meningkatkan idea generation. Terdapat hubungan yang postif antara otonomi dan idea generation, 29 pengujian gagasan, serta implementasi inovasi. Dengan memberikan keleluasaan dan kemandirian pada karyawan dalam menyelesaikan tugas, dapat menstimulus individu untuk berinovasi (Axtell, dalam Hammond et al., 2011). 
Selain itu, persepsi terhadap ekspektasi atau persyaratan akan berinovasi juga memiliki korelasi yang positif dengan perilaku individu (Scott & Bruce, dalam Hammond et al., 2011). Anderson et al. (2004) menemukan karakteristik pekerjaan lainnya yang turut mempengaruhi inovasi, yaitu kepuasan kerja, tuntuan pekerjaan, dukungan untuk berinovasi, mentor guidance, dan pemberian pelatihan yang sesuai. 2. Level Tim. Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel level tim sebagai prediktor inovasi berdasarkan model perfoma tim ke dalam input-process-output. a. Variabel Input Tim. Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengidentifikasi komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota kelompok (team member diversity), team size, dan tenure. Job-relevant diversity memiliki kolerasi yang positif dengan inovasi. Jobrelevant diversity merujuk pada heterogenitas anggota kelompok sesuai dengan pekerjaan atau tugas yang terkait, seperti function, profesi, pendidikan, tenure, pengetahuan, keterampilalan, dan kemahiran. Keragamaman semacam ini menghasilkan inovasi tim. Selain itu, task and goal interdependence menstimulus interaksi interpersonal, komunikasi, dan kerja sama dalam tim, sehingga mampu memfasilitasi inovasi. Task and goal interdependence adalah sejauhmana anggota kelompok saling bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas mereka dan meraih tujuan bersama. Lalu, team size juga memiliki hubungan positif dengan inovasi karena dalam tim yang besar memiliki beragam sudut pandang, keterampilan, dan perspektif. Berbeda halnya dengan team longevity, tim yang sudah terbangun lama cenderung kurang inovatif dari waktu ke waktu. Angggota kelompok cenderung lebih rentan terhadap groupthink, lebih homogen, kurang kritis, dan kurang tertarik terhadap tantangan. Oleh karena itu, semakin lama suatu tim terbangun, semakin berkurang inovasi yang ditampilkan. b. Variabel Proses Tim. West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009) menspesifikan tujuh variabel proses yang meningkatkan inovasi tim. Pertama, visi memiliki hubungan positif dengan inovasi. Visi mengukur sejauhmana anggota kelompok memiliki pemahaman yang sama terhadap tujuan-tujuan dan menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap tujuan kelompok. Dengan adanya tujuan tujuan yang jelas membantu anggota kelompok memberikan kontribusinya, memberikan kebermaknaan kerja, serta memotivasi individu untuk meningkatkan performa inovasi.  Kedua, participative safety juga berkorelasi secara postif dengan inovasi. Participative safety ditandai dengan partisipasi dalam membuat keputusan dan intragroup safety. Intragroup safety merujuk pada iklim psikologis yang tidak mengancam dalam tim, dimana adanya trust dan mutual support. Psychological safety memiliki tiga fungsi penting terhadap inovasi tim, yaitu berkontribusi dalam formulasi rencana, memfasilitasi eksekusi rencana, dan meningkatkan team learning. Ketiga, dukungan untuk inovasi memberikan pengaruh yang positif terhadap inovasi. Dukungan untuk inovasi dideskripsikan sebagai ekspektasi, penerimaan, dan dukungan pelaksanaan dalam memperkenalkan cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan. Keempat, task orientation berhubungan secara postif terhadap inovasi. Task orientation, yang biasa disebut climate for excellence, dideskripsikan sebagai fokus bersama terhadap kualitas perfoma pekerjaan yang excellent sesuai dengan visi. Kelima, kohesi pun turut mempengaruhi inovasi. Kohesi merujuk pada komitmen anggota kelompok terhadap pekerjaan tim dan hasrat mereka untuk menjaga keanggotaan kelompoknya (Lott & Lott, dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009). Para peneliti inovasi menganggap bahwa kohesi merupakan prasyarat penting untuk menampilkan perilaku inovatif (West & Farr, 1989; Woodman et al., 1993). Anggota kelompok yang memiliki belongingness yang kuat dan 32 merasa saling attach dengan sesama anggota kelompok, cenderung lebih koperatif, saling berinteraksi, dan bertukar ide. Keenam, komunikasi, baik bersifat internal dan eksternal diyakini memiliki hubungan postif dengan inovasi. Komunikasi ekternal yang dimaksud ialah menjalin relasi interpersonal dengan orang-orang diluar tim atau organisasinya. Hal ini membantu tim dalam memperoleh pengetahuan dan perspektif baru. Melalui komunikasi, terjadi sharing informasi dan ide, dimana hal tersebut merupakan sumber inovasi. Selain itu, komunikasi berperan dalam implementasi ide-ide baru, dimana adanya mutual monitoring dan umpan balik. Terakhir, task conflict dianggap memilki hubungan yang postif dengan inovasi, sebaliknya relationship conflict berhubungan negatif dengan inovasi. Task-related disagreement dapat memicu anggota kelompok untuk bertukar informasi, melalui eksplorasi opini yang saling bertentangan, sehingga membantu proses generation gagasan-gagasan baru dan solusi serta membantu dalam pemecahan masalah. Sebaliknya, konflik relasi dapat menyebabkan reaksi psikologis yang negatif, seperti ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi, sehingga mengalihkan fokus anggota kelompok untuk berinovasi. 3. Level Organisasi Hasil konten analisis yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, dan Nijstad (2004) terhadap berbagai penelitian inovasi, menghasilkan klasifikasi fasilitator inovasi pada level organisasi ke dalam struktur, 33 strategi, sumber daya, dan budaya organisasi. Pertama, struktur organisasi yang cenderung specialization, dimana memiliki beragam specialist, pembedaan functional, dan professionalism diasosiasikan secara positif dengan inovasi organisasi. Disisi lain, organisasi yang centralization dan formalization, cenderung kurang berinovasi. Kedua, strategi organisasi dengan prospector type diyakini mendukung berkembangnya inovasi dalam organisasi. Ketiga, semakin besar jumlah karyawan dalam suatu organisasi, cenderung lebih berinovasi. Di sisi lain, semakin luasnya market share (pangsa pasar), justru menurunkan inovasi dalam organisasi. Keempat, sumber daya (resources), baik dari segi annual turnover dan ketersediaan sumber daya, turut mempengaruhi inovasi dalam organisasi. Terakhir, budaya organisasi yang mendukung karyawan untuk bereksperimen, yang menoleransi terhadap kegagalan ide, dan yang berani mengambil risiko, mempengaruhi tumbuhnya inovasi dalam organisasi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan dengan rekan kerja, dukungan untuk berinovasi dari anggota tim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif. Untuk dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja yang berada dalam sebuah tim dapat dilakukan melalui pelatihan team building. Team building adalah salah satu aktivitas dalam proses yang dapat meningkatkan perilaku inovatif, kerjasama yang baik antara masing-masing anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya

Aspek Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)


Perilaku inovatif merupakan proses multi tahapan, dengan aktifitas dan perilaku individu yang berbeda-beda di setiap tahapannya (Scott & Bruce, 1994). Lebih lanjut, Janssen (2000) menambahkan bahwa perilaku inovatif ini merupakan perilaku kompleks yang terdiri dari tiga tahap, yaitu idea generation, idea promotion, idea realization. Berikut akan dijelaskan setiap tahapan dari perilaku inovatif, yaitu : a. Idea Generation Inovasi individu dimulai dengan adanya kesadaran dari individu untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu permasalahan yang muncul (Kanter, dalam Janssen 2000). Janssen (2000) menambahkan bahwa persepsi mengenai permasalahan dalam pekerjaan, merasakan adanya keganjilan, atau munculnya tren merupakan pencetus atau dorongan dalam menghasilkan ide-ide baru. Kemudian dari peluang tersebut, individu akan mulai untuk memproduksi atau membuat suatu ide baru yang bermanfaat dalam berbagai domain pekerjaan. Pendalaman suatu peluang dapat dilakukan dengan mencari cara untuk meningkatkan proses pelayanan atau memikirkan langkah alternatif dalam proses kerja, produk atau layanan (Kanter, dalam Janssen 2000). Inovasi dipacu oleh adanya pengakuan atas suatu peluang baru. Ketika peluang tersebut dihargai, seseorang perlu mengerahkan tenaga untuk memunculkan ide-ide tersebut. Permasalahan utama yang muncul dalam tahapan ini adalah bagaimana membuat individu memusatkan perhatiannya dan bagaimana cara memicu  tindakan individu untuk mengapresiasi dan memusatkan perhatian pada gagasan, kebutuhan dan peluang baru. 
b. Idea Promotion Tahap selanjutnya dari proses inovasi adalah idea promotion. Dalam tahapan ini, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta berusaha untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi tersebut. Scott & Bruce, (1994). Ketika individu telah menghasilkan suatu gagasan, ia harus terlibat dalam aktivitas sosial untuk memperoleh rekan, penyokong dan pendukung ide di sekitarnya (Janssen, 2000). Kanter (1988) juga menjelaskan bahwa individu harus dapat membangun kekuasaan (power) dengan mengajukan gagasan inovasi kepada aliansi yang berpotensi. Hal ini penting dilakukan karena sebagian besar gagasan bersifat tidak pasti, bisa saja memerlukan biaya lebih untuk mengembangkan dan mengimplementasikan inovasi serta memunculkan reaksi penolakan terhadap perubahan. Selain itu, keberhasilan dari suatu inovasi sangat bergantung pada jumlah dan jenis dari kekuatan orangorang yang mendukung ide-ide tersebut. Sebaliknya, kegagalan dari inovasi biasanya disebabkan oleh dukungan yang tidak pasti dan sumber daya yang tidak memadai selama tahapan awal pembangunan ide. Janssen (2000). 
c. Idea Realization Pada tahapan terakhir dari proses inovasi ini, yaitu idea realization, individu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau prototype atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi secara keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan, diproduksi secara massal, ataupun digunakan secara produktif Janssen (2000). Tahapan ketiga pada proses inovasi ini melibatkan kerja sama kelompok untuk menyelesaikan ide tersebut dengan mengubahnya menjadi objek konkret dan nyata (secara fisik atau intelektual) yang dapat di transfer kepada orang lain. Inovasi yang sederhana umumnya dapat diimplementasikan oleh individu atau karyawan itu sendiri, sedangkan inovasi yang lebih kompleks biasanya memerlukan kerjasama kelompok yang memiliki anggota dengan berbagai variasi pengetahuan, kompetensi dan peran kerja . Janssen , (2000). Menurut Kleysen & Street (2001), mengklasifikasikan perilaku inovatif memiliki 5 aspek, yaitu : a. Oppurtunity Exploration ; Aspek ini mengacu pada mempelajari atau mengetahui lebih banyak mengenai peluang untuk berinovasi. b. Generativity ; Aspek ini mengacu pada pemunculan konsep-konsep untuk tujuan pengembangan. c. Formative Investigation ; Aspek ini mengacu pada pemberian perhatian untuk menyempurnakan ide, solusi, opini, dan melakukan peninjauan terhadap ide-ide tersebut. d. Championing ; Aspek ini mengacu pada adanya praktek-praktek usaha untuk merealisasikan ide-ide. e. Application ;Aspek ini mengacu pada mencoba untuk mengembangkan, menguji coba, dan mengkomersialisasikan ide-ide inovatif. 
Sedangkan De Jong & Hartog (2007) mengemukakan dan menyederhanakan menjadi empat dimensi perilaku inovatif sebagai berikut: a. Oppurtunity exploration, proses inovasi ditentukan oleh kesempatan. Kesempatan akan memicu individu untuk mencari cara untuk meningkatkan pelayanan, proses pengiriman, atau berusaha memikirkan sebuah alternatif baru mengenai proses kerja, produk atau pelayanan. b. Idea generation, membangkitkan sebuah konsep untuk peningkatan. Idea generation merupakan pengelolaan kembali informasi dan konsep yang telah ada untuk meningkatkan performansi. Individu yang tinggi dalam level ini akan dapat melihat solusi dari sebuah masalah dengan cara pikir yang berbeda. c. Championing, melibatkan perilaku untuk mencari dukungan dan membangun koalisi, seperti mengajak dan mempengaruhi karyawan atau manajemen, dan bernegoisasi mengenai suatu solusi. d. Application, individu tidak hanya memikirkan ide-ide kreatif terhadap suatu hal tapi juga mengevaluasi dan mengaplikasikan ide tersebut ke dalam tindakan nyata Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang memiliki perilaku inovatif adalah adanya kesadaran dari individu untuk melihat dan mengenali akan adanya peluang baru dari suatu permasalahan yang muncul, individu mencari dukungan untuk ide yang ia bawa serta berusaha untuk membangun sebuah koalisi untuk mendukung ide inovasi tersebut, serta individu yang mampu melengkapi idenya dengan membuat suatu produk atau prototype atau model dari ide inovasi tersebut yang dapat dialami langsung dan 24 diterapkan dalam suatu pekerjaan, kelompok kerja, ataupun organisasi secara keseluruhan, sehingga nantinya ide tersebut dapat disebarkan, diproduksi secara massal, ataupun digunakan secara produktif

Pengertian Perilaku Inovatif (skripsi dan tesis)

 Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap individu. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktifitas-aktifitas tersebut dinamakan innovative work behavioral (perilaku inovatif) (Janssen, 2000). Janssen (2000) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai penciptaan, pengenalan dan pengaplikasian gagasan-gagasan baru secara sengaja dalam suatu pekerjaan, kelompok, atau organisasi untuk memperoleh keuntungan dalam kinerja suatu pekerjaan, kelompok atau organisasi. Definisi ini membatasi perilaku inovatif sebagai usaha-usaha yang sengaja dilakukan untuk mendatangkan hasil (outcome) baru yang menguntungkan. Perkembangan dari inovasi ini membutuhkan kontribusi dari setiap individu. Oleh karena itu penting untuk memahami tentang aktivitas individu yang mengarah pada inovasi. Dalam perspektif psikologi organisasi, aktivitas - aktivitas tersebut dinamakan innovative work behavior atau perilaku inovatif (Janssen, 2000). Anderson, De Dreu, dan Nijstad (2004) menjelaskan bahwa Psikologi Organisasi menekankan inovasi pada perspektif individu, termasuk di dalamnya adalah karakteristik individual dan kontekstual yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu inovasi. Penelitian-penelitian mengenai perilaku inovatif ini berusaha untuk menjelaskan mengenai perilaku yang indvidu tunjukkan di lingkungan kerjanya ketika inovasi terjadi 
 Menurut De Jong & Hartog (2007) menyatakan perilaku inovatif kerja adalah perilaku yang meliputi eksplorasi peluang dan ide-ide baru, juga dapat mencakup perilaku mengimplementasikan ide baru, menerapkan pengetahuan baru dan untuk mencapai peningkatan kinerja pribadi atau bisnis. Perilaku inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut memang berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah proses untuk menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan dengan produk, servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku inovatif kerja tidak hanya sekedar menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut khususnya pada seting pekerjaan (De Jong & Hartog, 2010). Messman (2012) mengatakan perilaku inovatif kerja adalah jumlah dari aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks pekerjaan mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu rangkaian tugas yang dibutuhkan untuk tujuan pengembangan inovasi. Dari sudut pandang pekerja, efektivitas perilaku kerja inovatif berhubungan dengan pengamatan pekerja dalam mengantisipasi permasalahan pekerjaan dan respon rekan kerja terhadap alternatif solusi yang diajukan (De Jong & Hartog 2010). Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif kerja merupakan perilaku kerja individu yang melalui proses pemunculan ide baru untuk menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan ide baru yang bermanfaat bagi pribadi maupun perusahaan

Pengaruh Perceived Enjoyment terhadap Intention to Use (skripsi dan tesis)

Setiap konsumen dapat mengalami kesenangan secara langsung atau kesenangan dari menggunakan sistem tertentu, dan dapat merasakan keterlibatan secara aktif dalam menggunakan teknologi baru yang akan menjadi menyenangkan dalam diri individu (Davis, 1989; Igbaria, Schiffman, dan Wieckowski, 1994 dalam Liao et at.,2008 ). Intention to Use merupakan aspek manusia yang selalu memberikan perhatian sehingga seseorang bisa merasa senang kepada obyek tersebut yang dapat mendorong tercapai tujuan (Kusumah, 2009). Faktor Perceived Enjoyment ditambahkan dalam TAM menurut Liao et al., (2008) dan (Cheema et al., 2013) penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi kesenangan mempengaruhi minat menggunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Norazah dan Norbayah (2009) membuktikan bahwa faktor-faktor yang ada pada perceived enjoyment berpengaruh signifikan positif terhadap intention to use