Wednesday, March 25, 2020

Pengaruh Kesadaran Merek Terhadap Kesesuaian Merek Diri (skripsi dan tesis)


Giovinni et al., (2015) menunjukkan bahwa tingkat kesadaran merek yang
tinggi secara positif mempengaruhi kesesuaian merek diri. Ini berarti konsumen dengan
kesadaran merek tinggi lebih cenderung memiliki motivasi kuat untuk membeli
merek/produk yang dengannya mereka merasakan koneksi yang kuat. Individu dengan
tingkat kesadaran merek yang tinggi juga memiliki tingkat motivasi konsumsi yang
mencolok. Memahami hubungan kompleks antara kesadaran merek, dan kesesuaian
merek diri sangat penting. Strategi pemasaran yang memposisikan merek fashion
mewah sebagai simbol status yang mendukung atau mendorong gaya hidup atau nilai
personal tertentu akan berguna saat menargetkan konsumen Generasi Y. Jenis strategi
ini juga didukung oleh penelitian Sirgy (1985) dalam Giovannini et al., (2015) yang
menentukan bahwa konsumen yang terdorong untuk merasakan hubungan dengan
produk yang mereka beli cenderung mencari merek yang mencerminkan citra diri
mereka.
Menurut Jinzhao Lu and Yingjiao Xu (2015), efek kesesuaian merek diri
berasal dari kecocokan konsep diri konsumen dengan citra merek. Secara tradisional,
citra merek dioperasionalkan sebagai "citra pengguna merek". Kesamaan citra merek
pengguna didefinisikan sebagai tingkat kesamaan yang dirasakan yang dilihat pembeli
potensial dari pengguna tipikal merek dengan dirinya sendiri. Kesesuaian diri yang
tinggi akan berarti bahwa konsumen merasakan pengguna dari merek tertentu sangat
cocok dengan citranya

Kesadaran merek berpengaruh terhadap konsumsi yang mencolok (skripsi dan tesis)

Penelitian oleh Fernandez (2009) yang menyimpulkan bahwa konsumen muda
lebih memilih untuk membeli pakaian merek karena mereka peduli dengan bagaimana
rekan mereka memandang mereka. Agar lebih efektif terhubung dengan konsumen
Generasi Y harus mengembangkan strategi yang meningkatkan kesadaran merek
dengan memusatkan perhatian pada atribut produk yang membantu konsumen merasa
percaya diri tentang membeli merek. Amatulli dan Guido (2011) dalam Giovannini et
al., (2015) mengemukakan bahwa konsumen menginginkan produk mewah yang
memiliki kepribadian sesuai dengan keinginan mereka. Produk mewah memberi
konsumen kesempatan untuk mengekspresikan individualitas mereka.
Chaudhuri dkk. (2011) dalam Giovannini et al., (2015) memusatkan perhatian pada
perbedaan konsumen yang mencolok dalam studi mereka. Penelitian mereka
mengaitkan ciri-ciri kepribadian serta motivasi sosial sebagai faktor pendukung untuk
konsumsi yang mencolok. Perilaku konsumsi yang mencolok dipengaruhi oleh
karakteristik konsumen, termasuk individualisme, visibilitas sosial, keinginan untuk
keunikan, harga diri, dan materialisme.


Harga diri berpengaruh terhadap kesadaran merek (Skripsi dan tesis)

Demikian pula, dengan rendahnya harga diri dipandang sebagai sinyal tingkat
tertentu dari "pengecualian sosial", merek terkenal dapat dipilih atau disukai sebagai
cara bagi konsumen dengan harga diri rendah untuk mendapatkan persetujuan sosial
(Giovannini et al., 2015).
Menurut penelitian (Peters et al., 2011) kebutuhan untuk memiliki harga diri tinggi
yang membuat generasi Y konsumen lebih cenderung sadar merek. Kebutuhan
konsumen generasi Y untuk harga diri dapat membantu pemasar untuk lebih
memasarkan merek mereka ke kelompok konsumen ini. Pesan iklan yang
menggunakan pendekatan peer-to-peer, akan mendukung hubungan yang kuat antara
kebutuhan harga diri dan kesadaran merek yang tinggi.

kesadaran diri publik berpengaruh terhadap kesadaran merek (skripsi dan tesis)

Kesadaran diri publik mencerminkan orang-orang menggambarkan diri mereka
sendiri dan bagaimana orang lain mempersepsikan mereka. Konsumen yang sangat
sadar publik cenderung terlalu khawatir tentang penampilan dan mode mereka
Quoquab et al., (2014). Menurut Casidy et al., (2015) bahwa tingkat kesadaran publik
yang kuat secara signifikan terkait dengan kesadaran fashion terhadap merek terkenal
dan mode pakaian dapat digunakan untuk meningkatkan citra diri sosial. Namun,

meskipun sejumlah besar studi telah meneliti kesadaran diri publik dari perspektif
psiko-sosiologis, sampai saat ini sedikit penelitian telah dikhususkan untuk memeriksa
kesadaran publik terhadap perilaku konsumen (Workman dan Seung-Hee, 2011).
Hasil penelitian Giovannini et al., (2015) menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
diri publik pada individu secara positif mempengaruhi kesadaran merek mereka.
Karena itu semakin banyak individu yang melihat pakaian yang dikenakan maka
tingkat kesadaran merek mereka tinggi. Kesadaran merek mengacu pada keinginan
konsumen untuk membeli produk merek terkenal. Dengan kata lain, konsumen dengan
kesadaran merek yang kuat cenderung membeli produk merek yang terkenal, mahal,
dan sangat dipasarkan.

Loyalitas Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (2013) menjelaskan bahwa kesetian merek adalah suatu indikator
hubungan pelanggan pada suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari Brand
Equity yang menjadi gagasan dalam pemasaran, karena hal ini digambarkan sebagai
perilaku pembelian berulang terhadap suatu merek tertentu yang dilakukan secara
konsisten untuk jangka waktu relatif lama. Kotler & Keller (2013) dengan pengelolaan
dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merekdapat menjadi aset strategis bagi
perusahaan. Loyalitas merek memiliki 5 tingkatan, yaitu:
1. Switcher/ Price Buyer (pembeli yang berpindah-pindah)
Merupakan tingkat loyalitas yang paling besar.Dalam hal ini merek memegang
peranan yang kecil dalam keputusan pembelian, dimana konsumen lebih
memperhatikan harga dalam pembelian.
2. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Merupakan pembeli yang puas dalam mengkonsumsi suatu produk atau
minimal konsumen tidak mengalami kekecewaan. Tidak ada alasan yang kuat
baginya untuk berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan
usaha atau suatu tambahan biaya. Jadi, konsumen membeli suatu merek produk
karena kebiasaan.
3. Statisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Merupakan kategori yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun
mereka dapat saja berpindah merek dengan memikul biaya peralihan
(Switching cost) seperti waktu, biaya, atau resiko yang timbul akibat biaya
peralihan tersebut.
4. Liker the Brand (menyukai merek)
Merupakan kategori pembeli yang benar-benar menyukai merek tersebut. Rasa
suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaian
pengalaman merek, atau persepsi kualitas yang tinggi.
5. Commited Buyer (pembeli yang berkomitmen)
Merupakan kategori pelanggan yang setia. Mereka mempunyai kebanggaan
dalam menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat
penting bagi mereka baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi
mengenai siapa mereka sebenarnya. Ciri-ciri yang tampak pada kategori ini
adalah tindakan pembeli untuk merekomendasikan atau mempromosikan
merek yang mereka gunakan kepada oranglain.

Kesadaran Merek (Brand Consciousness) (Skripsi dan tesis)


Kesadaran merek artinya kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali
atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk
tertentu (Kotler dan Keller, 2016). Kesadaran merek terdiri dari kinerja pengakuan
merek dan penarikan merek kembali. Pengakuan merek adalah kemampuan konsumen
untuk mengenal suatu merek ketika diberikan pilihan merek sebagai isyarat. Penarikan
merek kembali adalah kemampuan konsumen untuk mengingat merek dari ingatan
ketika diberikan kategori produk, kebutuhan terpenuhi oleh kategori, atau pembelian
atau penggunaan situasi sebagai petunjuk (Kotler dan Keller, 2016).
Menurut Aaker (2013) kesadaran merek menyediakan sejumlah besar keunggulan
kompetitif yaitu :
1. Kesadaran menyediakan merek dengan rasa keakraban/dikenal, dan konsumen
biasanya menyukai sesuatu hal/merek yang dikenal dan akrab dengan dirinya.
2. Kesadaran merek dapat menjadikan sinyal kehadiran, komitmen dan atribut
yang dapat menjadi sangat penting bagi konsumen untuk mempertahankan
posisi merek di pasaran.
3. Keunggulan merek akan menentukan apabila konsumen mengingat

Harga Diri (Self Esteem) (skripsi dan tesis)


Menurut Kochar (2018) mendefinisikan harga diri sebagai tingkat dimana
seseorang tidak hanya menghargai kemampuannya tetapi juga menghargai dirinya
sendiri. Ini membantu mempersiapkan individu untuk memenuhi harapan dirinya
tentang penerimaan kekuatan dan kesuksesan pribadi. Pyszczynski et al., (2004) dalam
Giovannini et al., (2015) menemukan bahwa harga diri berpengaruh pada cara orang
bertindak dan berfungsi sebagai motivasi untuk beberapa perilaku mereka. Harga diri
juga dipandang sebagai tingkat kebutuhan manusia. Oleh karena itu, ketika seseorang
mengalami tingkat harga diri yang rendah, dia akan cenderung untuk mengadopsi /
menjalankan aktivitas yang dapat membantu meningkatkan tingkat harga diri mereka.
Studi tentang persepsi dan perilaku remaja terhadap merek (Isaksen dan Roper
2012 dalam Giovannini et al., 2015) menemukan bahwa, sebagai akibat tekanan teman
sebaya dan pentingnya kesesuaian atau kesetaraan di antara remaja yang menggunakan
barang mewah dapat mengakibatkan terjadinya penerimaan sosial dalam hal
mendapatkan pertemanan dan harga diri. Harga diri konsumen mempengaruhi
konsumen untuk membeli barang secara impulsif, karena ini adalah cara bagi
konsumen untuk mendapatkan penerimaan dengan orang lain dan kepuasan dengan diri
mereka sendiri.