Saturday, September 23, 2023

Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

 


Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia yang dikemukakan oleh
Malayu S.P. Hasibuan (2012;21) ialah sebagai berikut:
1. Perencanaan
Perencanaan (human resources planning) adalah
merencanakan tenaga kerja secara efektif serta efisien agar
sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu
terwujudnya tujuan.
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi
semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja,
hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan
koordinasi dalam bagan organisasi (organization chart).
3. Pengarahan
Pengarahan (directing) adalah kegiatan mengarahkan semua
karyawan, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif serta
efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan,
karyawan, dan masyarakat. Pengarahan dilakukan
pimpinan dengan menugaskan bawahan agar mengerjakan
semua tugasnya dengan baik.
4. Pengendalian
Pengendalian (controlling) adalah kegiatan mengendalikan
semua karyawan, agar mentaati peraturan-peraturan
perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana.
5. Pengadaan
Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi,
penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan
karyawan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
6. Pengembangan
Pengembangan (development) adalah proses peningkatan
keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral
karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.
7. Kompensasi
Kompensasi (compensation) adalah pemberian balas jasa
langsung (direct) dan tidak langsung (indirect), uang atau
barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang
diberikan kepada perusahaan.
8. Pengintegrasian
Pengintegrasian (integration) adalah kegiatan untuk
mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan
karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling
menguntungkan.
9. Pemeliharaan
Pemeliharaan (maintenance) adalah kegiatan untuk
memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan
loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama
sampai pensiun.
10. Kedisiplinan
Kedisiplinan merupakan fungsi manajemen sumber daya
manusia yang terpenting dan kunci terwujudnya tujuan, 
karena tanpa disiplin yang baik sulit terwujud tujuan yang
maksimal.
11. Pemberhentian
Pemberhentian (separation) adalah putusnya hubungan
kerja seseorang dari suatu perusahaan. pemberhentian ini
disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan
perusahaan, kontrak kerja berakhir, pensiun, dan sebabsebab lainnya.

Dewan Direksi

 


Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal
1 Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan,
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan,
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara
efektif, salah satu prinsip yang perlu dipenuhi adalah komposisi direksi
harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan
secara efektif, tepat, dan cepat, serta dapat bertindak independen (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2006)

Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

 


Manajemen sumber daya merupakan bagian dari manajemen yang mengatur
unsur manusia (Man). Manusia merupakan suatu asset utama dalam suatu organisasi
karena dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan,
pendayagunaan terhadap manusia merupakan salah satu yang menjadi tolak ukur
berjalannya suatu manajemen dalam organisasi tersebut. Maka dari itu, pada bagian
manajemen ini unsur manusia sangat diperhatikan.
Defini Manajemen Sumber Daya Manusia yang dikutip oleh Malayu S.P.
Hasibuan (2012;10) ialah “MSDM adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan
peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan, dan masyarakat”.
Sedangkan definisi Manajemen Sumber Daya Manusia yang dikutip oleh A.
A. Anwar Prabu Mangkunegara (2001;2) yaitu “Manajemen sumber daya
manusia merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian
balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam
rangka mencapai tujuan organisasi”

Teori Keagenan(Agency Theory)

 


Teori Keagenan (Agency Theory) merupakan teori yang
menjelaskan tentang adanya pemisahan kepentingan antara pemilik
perusahaan (prinsipal) dan pengelola perusahaan (agen) (Bodroastuti,
2009).Hal tersebut terjadi karena tidak tercapainya tujuan antara principal
dan agen dalam suatu perusahaan. Adanya konflik kepentingan tersebut
timbul karena pihak prinsipal sebagai pemilik perusahaan menginginkan
perusahaan menghasilkan laba yang tinggi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan prinsipal, tetapi disisi lain agen yang diberi wewenang dan
tanggungjawab untuk mengelola perusahaan berupaya untuk
meningkatkan utilitasnya sendiri dan menyalahgunakan kepercayaan
prinsipal sebagai pemilik perusahaan (Ellen dan Juniarti, 2013).
Dalam teori ini seorang manajer sebagai pengelola perusahaan akan
mengetahui seluruh informasi internal dan prospek kedepan perusahaan
dibandingkan dengan pemegang saham. Para manajer sebagai pengelola
wajib memberikan seluruh informasi mengenai kondisi perusahaan
kepada pemegang saham, namun terkadang informasi yang disampaikan
tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya dalam perusahaan.
Dalam perusahaan, mengenai masalah keagenan yang sering
dihadapi oleh investor ini mengacu kepada sulitnya investor untuk
memastikan bahwa dananya tidak disalahgunakan oleh manajemen
perusahaan untuk mendanai kegiatan yang tidak menguntungkan
(Wulandari, 2011). Menurut Jensen dan Meckling (1976), penyebab
terjadinya konflik antara manajer dan pemegang saham yaitu adalah
pembuatan suatu keputusan yang akan berkaitan dengan aktivitasaktivitas untuk pencarian dana dan bagaimana caranya dana yang telah
diperoleh tersebut untuk diinvestasikan.

Fungsi-fungsi Manajemen

 


Dalam manajemen terdapat sejumlah fungsi-fungsi operasional. Fungsi-fungsi
tersebut telah dikemukakan oleh para penulis dengan berbagai sudut pendekatan dan
sudut pandang yang berbeda.
Adapun fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan oleh para ahli yang
dikutip oleh Malayu S.P. Hasibuan (2012;3) diantaranya menurut G.R. Terry ialah
“Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling”. Sedangkan menurut John F.
Mee ialah “Planning, Organizing, Motivating, dan Controlling”. Selain itu menurut
Louis A. Allen ialah “Leading, Planning, Organizing, Controlling”. Dan menurut
MC. Namara ialah “Planning, Programming, Budgeting, dan System”

Pengertian Manajemen

 


Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Adapun unsurunsur manajemen yang terdiri dari 6M yaitu man, money, mothode, machines,
materials, dan market. Manajemen adalah suatu cara/seni mengelola sesuatu untuk
dikerjakan oleh orang lain. Untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien
yang bersifat masif, kompleks dan bernilai tinggi tentulah sangat dibutuhkan
manajemen. Sumber daya manusia merupakan kekayaan (asset) organisasi yang harus
didayagunakan secara optimal sehingga diperlukannya suatu manajemen untuk
mengatur sumber daya manusia sedemikian rupa guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sejak awal.
Adapun definisi manajemen yang dikutip oleh Malayu S.P. Hasibuan
(2012;1) menyatakan “manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif
dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu”.
Kemudian definisi Manajemen menurut Massie yang dikutip oleh Azhar
Arsyad (2002;1) menyatakan “Manajemen adalah suatu proses dimana kelompok
secara kerjasama mengerahkan tindakan atau kerjanya untuk mencapai tujuan
bersama. Proses tersebut mencakup teknik-teknik yang digunakan oleh para
manajer untuk mengkoordinasikan kegiatan atau aktifitas orang lain menuju
tercapainya tujuan bersama”. 
Sedangkan menurut G.R. Terry (2010;16) menjelaskan bahwa “Manajemen
merupakan suatu proses khas yang terdiri atas tindakan-tindakan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian untuk menentukan serta
mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya
lainnya”. 

Struktur Belanja Daerah

 

Pengeluaran atau belanja pemerintah daerah kabupaten/kota untuk keperluan pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat yang dibiayai melalui APBD. Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja Rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak tersangka. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, stuktur belanja pemerintah daerah, terdiri atas:

  1. Belanja Rutin/Operasional (RecurrentExpenditure). Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah. Belanja rutin ditujukan terutama untuk menggerakkan roda pemerintahan sehari-hari, dalam kondisi keterbatasan keuangan daerah maka belanja rutin ini perlu lebih diupayakan adanya penghematan sehingga mampu melakukan tabungan (saving) guna membiayai kegiatan proyek pembangunan. Hal ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk membiayai kegiatan pembangunan mempunyai nilai pengganda (multiplier) yang lebih besar daripada pengeluaran rutin.

            Belanja rutin terdiri dari:

            1).  Belanja administrasi umum, terdiri dari:

  1. a) Belanja Pegawai,
  2. b) Belanja Barang,
  3. c) Belanja Perjalanan Dinas, dan
  4. d) Belanja Pemeliharaan.

            2).  Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana

Belanja investasi / Pembangunan (Invesment/CapitalExpenditure). Belanja investasi/ modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah,dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaanya. Penyusunan belanja pembangunan selalu didasarkan atas kebutuhan nyata dari masyarakat tingkat bawah, untuk menentukan alokasi belanja pembangunan terhadap proyek-proyek yang akan dibangun, inisiatif harus datang dari masyarakat itu sendiri melalui lembaga pemerintahan yang berada ditingkat bawah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1982 tentang “Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pemba­ngunan di Daerah (P3D)”, bahwa mekanisme perencanaan pembangunan di daerah merupakan perpaduan antara perencanaan dari bawah (Bottom Up Planning) dengan perencanaan dari atas (Top Down Planning). Perencanaan dari bawah bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat tentang permasalahan dan kebutuhan pembangunan, sedangkan perencanaan dari atas merupakan kebijaksanaan pusat di daerah yang tercermin dari pencapaian tujuan program yang telah disusun secara nasional. Belanja investasi/pembangunan terdiri dari:

1).  Belanja publik adalah belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal (capitalexpen­diture) yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan aset daerah.

2).  Belanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.

3).  Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria:

  1. a) Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan penjualan;
  2. b) Tidak mengharapkan dibayarkembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman; dan
  3. c) Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investsi.Pengeluaran transfer tersebut terdiri atas: angsuran pinjaman, dana bantuan dan dana cadangan.

4)   Pengeluaran Tidak Tersangka. Pengeluaran tidak tersangka adalah pengeluaran yang disediakan untuk pembiayaan:

  1. a) Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah;
  2. b) Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan/atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan; dan
  3. c) Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan/atau kelebihan penerimaan.

Implikasi pelaksanakaan otonomi daerah bahwa pemerintah daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, yang tidak terlepas dari kesiapan masing-masing daerah yang menyangkut permasalahan pendanaan (Yuliati, 2001). Oleh karena itu, pemerintah daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, sebaliknya daerah yang miskin sumberdaya alam menanggapinya dengan sedikit rasa khawatir dan was-was (Mardiasmo, 2002). Hal ini sangat dirasakan oleh daerah yang miskin sumberdaya alam. Sumber dana mereka hanya akan berasal dari pendapatan asli daerah yang berupa bagian PBB dan BPHTB, serta dari hasil pungutan retribusi daerah lainnya, di samping sumber dana dari subsidi atau bantuan pemerintah pusat (Suparmoko, 2002).

Banyak daerah yang memikirkan bagaimana meningkatkan tarif pajak dan retribusi daerah serta memikirkan untuk menciptakan obyek-obyek pajak dan restribtusi daerah yang baru. Namun hal ini justeru menimbulkan keresahan di daerah, karena rakyat khawatir akan membayar pajak lebih banyak kepada pemerintah daerah dibanding dengan sebelum adanya otonomi daerah (Aswarodi, 2001). Demikian pula pernyataan Bambang Sudibyo (Suara Pembaharuan, 5 April 2001), bahwa “Pemerintah daerah dan DPR cenderung mengembangkan pendapatan asli daerahnya dengan cara memungut pajak dan retribusi daerah secara berlebihan, dan bahkan tidak pantas. Kebijakan semacam itu justeru menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian makro”.

Devas (1989) telah mengingatkan bahwa meskipun pajak dan retribusi merupakan elemen penting penerimaan daerah, namun seringkali terjadi pengenaan beban pajak melebihi kemampuan bayar masyarakat. Tampubolong (2001) menjelaskan bahwa pungutan yang berasal dari pajak dan retribusi cenderung mendistorsi ekonomi daerah melalui pengaruhnya terhadap biaya produksi dan pemasaran komoditas yang dihasilkan daerah yang bersangkutan. Moko (2001) menjelaskan bahwa dampak lebih jauh dari munculnya berbagai macam pungutan adalah banyak investor dalam dan luar negeri menjadi enggan berinvestasi di daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus selektif menggali sumber pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah dengan melakukan identifikasi potensi masing-masing komponen pajak dan retribusi daerah.

Rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang sah selama ini, selain disebabkan oleh faktor sumberdaya manusia dan kelembagaan, juga disebabkan oleh batasan hukum (Abas, 2001). Pemberlakuan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 yang mengalokasikan sebagian jenis-jenis pajak yang gemuk bagi pemerintah pusat, merupakan salah satu faktor penyebab keterbatasan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaannya. Kondisi semacam ini, jelas tidak akan mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan. Penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pem­bangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerahnya masing-masing (Saragih, 2003).

Kenyataan menunjukkan bahwa peran Pendapatan Asli Daerah dalam struktur pendapatan dan belanja daerah relatif masih sangat rendah. Anggaran belanja pemerintah daerah masih sangat bergantung terhadap peran dana perimbangan dari pusat melalui APBN (Bahri, 2001). Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik secara optimal, maka pemerintah daerah harus dapat mengelola sumber-sumber PAD untuk meningkatkan pendapatan daerahnya serta mengurangi ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Namun demikian, upaya tersebut tidak justeru menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi dan meresahkan masyarakat (Dedy, 2001).

Tiebout (1956, dalam Hyman, 1993) mengemukakan argumen yang dikenal sebagai “The Tiebout Model” dengan ungkapannya “Love it or leave it”. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya.

Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai “the market for local services would be perfectly competitive” (Aronson, 1996). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD.

Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscalcapacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Namun, perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang dibuat besar jumlahnya namun tidak dikelola dengan baik, justeru akan menimbulkan masalah, misalnya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran, karena peran pemerintah nantinya lebih bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne dan Gaebler, 1993).

Anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang, sumber pengembangan, ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja (Jones dan Pendlebury, 1996).