Thursday, March 7, 2024

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Salah satu sarana penting pada manajemen sumber daya manusia dalam
sebuah perusahaan adalah terciptanya kepuasan kerja para karyawan. Kepuasan
kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya
(Hasibuan, 2001). Menurut Handoko (2000), kepuasan kerja (job satisfaction)
adalah keadaan emosional yang menyenangkan yang mana para karyawan
memandang pekerjaan mereka. Sedangkan menurut Sondang P. Siagian (2003),
kepuasan kerja adalah suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif
maupun negatif tentang pekerjaannya. Dari pengertian tersebut berarti kepuasan
kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja
adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka
memberikan hal yang dinilai penting.
Kepuasan kerja adalah tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat
imbalan yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari
organisasi tempat mereka bekerja (Tangkilisan, 2005). Berdasarkan Robbins
(2003), kepuasan kerja adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,
selisih antara banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Kepuasan terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan
terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan karyawan;
merupakan sikap umum yang dimiliki oleh karyawan yang erat kaitanna dengan
imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan
sebuah pengorbanan.
Davis (1985) dalam Mangkunegara (2015) mengemukakan bahwa “job
satisfaction is related to a number of major employee variables, such as turnover,
absences, age, occupation, and sixe of the organization in which an employee
works”. Berdasarkan pendapat tersebut, Mangkunegara (2015) mengemukakan
bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover,
tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan.

Faktor – faktor Motivasi Kerja

 


Fredick Hezberg, dkk (Wirawan, 2013) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi Motivasi kerja :
a. Faktor Motivasi : faktor yang ada dalam pekerjaan, faktor inilah yang
dapat menimbulkan kepuasan kerja dan kemauan untuk bekerja lebih
keras. Faktor ini akan mendorong lebih banyak upaya.
b. Faktor Penyehat : faktor ini disebut penyehat karena berfungsi
mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja, faktor penyehat adalah
faktor yang jumlahnya mencukupi faktor motivator. Jika jumlah faktor
pemelihara tidak mencukupi akan menimbulkan ketidakpuasan kerja.
Jadi faktor pemelihara tidak menciptakan kepuasan kerja akan tetapi
dapat mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja.

Aspek – aspek Motivasi Kerja

 


Menurut Robbins (2008), motivasi kerja adalah kondisi keseluruhan dalam
diri individu yang menyebabkan ia melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya.
Aspek-aspek motivasi kerja antara lain adalah:
a. Prestasi, yang berarti hasil yang telah dicapai. Keinginan untuk
memperoleh prestasi ini memicu karyawan untuk bekerja dengan
sebaik-baiknya.
b. Tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib atau menanggung segala
sesuatu akibat dari tindakan sendiri atau orang lain. Contohnya merasa
tanggung jawab untuk mengembangkan diri sendiri dan kemampuan
agar bisa bersaing dengan melakukan evaluasi dan intropeksi diri.
c. Pekerjaan itu sendiri, yang berarti besar kecilnya tingkat kesulitan dan
resiko yang muncul karena pekerjaan tersebut.
d. Penghargaan, merupakan satu wujud perhatian dari perusahaan
maupun atasan kepada karyawan yang berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaannya, meliputi pujian, hadiah atas keberhasilan, karir, promosi
jabaan, kenaikan gaji, dan sebagainya.
e. Keinginan untuk maju dan berkembang adalah suatu harapan dimana
seseorang mengharapkan pengembangan karir dan jabatan dalam
pekerjaannya.
Munandar (2001) menjelaskan tentang aspek-aspek motivasi kerja adalah:
a. Adanya kedisiplinan dari karyawan
Yaitu, sikap tingkah laku atau perbuatan pada karyawan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas kerja yang sesuai dengan pola-pola
tertentu. Keputusankeputusan dan norma-norma yang telah ditetapkan
dan disetujui bersama baik tulis maupun lisan serta sanggup menerima
sanksi bila melanggar tugas dan wewenang yang diberikan.
b. Imajinasi yang tinggi dan daya kombinasi
Membuat hasil kerja dan kombinasi ide-ide atau gambaran
disusun secara lebih teliti atau inisiatif sendiri bukan ditiru dan bersifat
konstruktif sehingga membentuk suatu hasil atau produk yang
mendukung pada kualitas kerja yang lebih baik.
c. Kepercayaan Diri
Perasaan yakin yang dimiliki karyawan terhadap kemampuan
dirinya. Daya berfikir positif dalam menghadapi kenyataan yang
terjadi serta bertanggung jawab atas keputusan yang dapat diambil
sehingga dapat menyelesaikan masalahnya dengan tenang.
d. Daya tahan terhadap tekanan
Reaksi karyawan terhadap pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan yang dirasakan sebagai ancaman atau sebab adanya
ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemauan yang dimilik, dan
tekanan tersebut diselesaikan dengan cara tersendiri yang khas bagi
masing-masing individu
e. Tanggung jawab dalam melakukan pekerjaan
Suatu kesadaran pada individu untuk melaksanakan kewajiban
atau pekerjaan, diiringi rasa keberanian menerima segala resiko,
inisiatif yang besar dalam menghadapi kesulitan terhadap pekerjaan
dan dorongan yang besar untuk menyelesaikan apa yang harus dan
patut diselesaikan

Pengertian Motivasi Kerja

 


Motif seringkali diistilahkan sebagai dorongan. Dorongan atau tenaga
tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motif tersebut
merupakan driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan
didalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu (As’ad, 2013). Motivasi
secara sederhana dapat diartikan “Motivating” yang secara implisit berarti bahwa
pimpinan suatu organisasi berada di tengah-tengah bawahannya, dengan demikian
dapat memberikan bimbingan, instruksi, nasehat dan koreksi jika diperlukan
(Siagian, 2013). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa motivasi adalah
keinginan yang terdapat pada seorang individu yang merangsang untuk
melakukan tindakan (Winardi, 2000). Motivasi adalah dorongan yang ada dalam
diri manusia yang menyebabkan ia melakukan sesuatu (Wursanto, 2013).
Dalam kehidupan manusia selalu mengadakan bermacam-macam aktifitas.
Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan yang dinamakan kerja.
Menurut As’ad (2013) bekerja mengandung arti melaksanakan suatu tugas yang
diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang
bersangkutan. Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja,
adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Aktifitas dalam kerja mengandung
unsur suatu kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu, dan pada akhirnya bertujuan
untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian dibalik dari tujuan yang tidak
langsung tersebut orang bekerja juga untuk mendapatkan imbalan, upah atau gaji
dari hasil kerjanya. Jadi pada hakekatnya orang bekerja, tidak saja untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya tapi juga untuk mencapai taraf hidup
yang lebih baik. Menurut Smith dan Wakeley (As’ad, 2013) menyatakan bahwa
seseorang didorong untuk beraktivitas karena dia berharap bahwa hal ini akan
membawa pada keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaaan sekarang.
Pendapat dari Gilmer (As’ad, 2013), bahwa bekerja itu merupakan proses fisik
maupun mental manusia dalam mencapai tujuannya. 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

 


Komitmen pegawai pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui
proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers (Sopiah, 2008) menyatakan dua
faktor yang mempengaruhi komitmen seorang karyawan antara lain :
1) Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan
variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan
2) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi
dengan rekan sekerja; dan
Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan
cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya tentang
organisasi.
Sementara itu, Minner (Sopiah, 2008) mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan antara lain :
1) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pengalaman kerja dan kepribadian
2) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam
pekerjaan, konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan
3) Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk
organisasi, kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang
dilakukan organisasi terhadap karyawan
4) Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat
berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi.
Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah
puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat
komitmen yang berlainan.

Aspek-aspek Komitmen Organisasi

 


Allen & Meyer (1990) mendefinisikan komitmen sebagai suatu perilaku
yang bersifat psikologis (psychological state), yang dapat membuat seseorang
atau individu melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan organisasinya atau
merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan
memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan
keanggotaannya dalam berorganisasi. Allen & Meyer (1990) juga
mengembangkan model komponen komitmen organisasi yang selanjutnya dikenal
sebagai model komponen yang paling populer dan banyak dijadikan acuan dalam
penelitian-penelitian berikutnya. Tiga model komponen menurut Allen & Meyer
(1990) terdiri dari:
a. Komitmen Afektif (affective commitment) yang berkaitan dengan aspek
emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan di dalam suatu
organisasi. Komitmen afektif merupakan suatu proses sikap dimana
seseorang berfikir tentang hubungannya dengan organisasi dengan
mempertimbangkan kesesuaian antara nilai dan tujuannya dengan nilai dan
tujuan organisasi. Derajat kesesuaian antar nilai da tujuan individu dengan
nilai dan tujuan organisasi menunjukkan pengaruh langsung terhadap
keinginan individu untuk menetap pada organisasinya. Dengan kata lain,
seseorang dengan komitmen afektif yang tinggi akan setia dengan
organisasinya karena mereka menginginkan untuk menetap. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi komitmen afektif antara lain adalah persepsi
terhadap karakteristik pekerjaan, ketergantungan terhadap organisasi,
persepsi terhadap manajemen partisipatif dan masa kerja (Dunham, dkk,
1994). Komitmen afektif ini akan menghasilkan perilaku kesukaan untuk
bekerja seperti biasanya, mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya
dengan sebaik-baiknya dan bersedia memberi pertolongan (Meyer & Allen
dalam Meyer & Hersovitch, 2002).
b. Komitmen Berkelanjutan (continuance commitment) yaitu komponen yang
berdasarkan poersepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya
jika ia meninggalkan organisasi. Kerugian tersebut timbul dari:

  1. Investasi dalam bentuk rencana pensiun, senioritas, spesialisasi dan
    keterampilan kerja yang tidak dapat ditransfer, serta kasih sayang dan
    kekeluargaan yang diperoleh selama mereka berada diorganisasi
    tersebut dan harus dikorbankan jika berganti pekerjaan.
  2. Mereka merasa harus bertahan pada pekerjaannya yang sekarang
    karena tidak memiliki harapan akan adanya pekerjaan alternatif.
    Singkatnya karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang kuat
    memilih untuk menetap dengan organisasinya karena dia memang
    merasa perlu untuk melakukannya. Faktor-faktor yang berpotensi
    mempengaruhi komitmen ini adalah umur, masa kerja, kepuasan karir,
    intensitas untuk meninggalkan organisasi (Dunham, dkk, 1994).
    Individu yang mempunyai komitmen berkelanjutan ini hanya akan
    berbuat sedikit lebih dari yang dituntut oleh pekerjaan (Meyer & Allen
    dalam Herscovitch & Meyer, 2002). 
    c. Komitmen Normatif (normative commitment) didefinisikan sebagai
    perasaan-perasaan seperti tanggung jawab, loyalitas, atau kewajiban moral
    terhadap organisasi. Tipe komitmen ini dapat muncul dari budaya etos
    kerja seseorang yang menyebabkan mereka merasa wajib untuk tinggal di
    organisasi tersebut. Komitmen normatif berbeda dengan komitmen afektif
    dan komitmen berkelanjutan karena tidak menunjukkan kebutuhan untuk
    berhubungan dengan tujuan dan misi organisasi, dan juga tidak
    menunjukkan pertukaran ekstrinsik secara eksplisit terlibat dalam
    hubungan tersebut.
    Individu dengan komitmen normatif yang tinggi memilih untuk
    tinggal bersama organisasi tertentu karena merasa harus menetap di
    organisasi tersebut. Hal-hal yang dapat mempengaruhi komitmen ini
    adalah komitmen rekan kerja, ketergantungan organisasi dan persepsi
    terhadap manajemen partisipatif (Dunham, dkk, 1994). Karyawan dengan
    komitmen normatif yang tinggi hanya mau melakukan sesuatu yang
    menjadi bagian dari tanggung jawabnya, atau yang menghasilkan timbal
    balik berupa keuntugan yang diterima (Allen & Meyer dalam Herscovitch
    & Meyer, 2002).

Pengertian Komitmen Organisasi

 


Robbins dan Judge (2015) mendefinisikan komitmen sebagai suatu
keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan
keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi.
Sedangkan Mathis dan Jackson (Sopiah, 155) mendefinisikan komitmen
organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima
tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan
organisasinya).
Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan komitmen
organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi),
keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan
organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang
bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya.
Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana
pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya.
Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal,
karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan
tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena
meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat
upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas
terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilainilai dan tujuan organisasi.
Rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Mempersoalkan komitmen sama dengan
mempersoalkan tanggung jawab, dengan demikian, ukuran komitmen seorang
pimpinan yang dalam hal ini adalah kepala sekolah adalah terkait dengan
pendelegasian wewenang (empowerment). Dalam konsep ini pimpinan
dihadapkan pada komitmen untuk mempercayakan tugas dan tanggung jawab ke
bawahan. Sebaliknya, bawahan perlu memiliki komitmen untuk meningkatkan
kompetensi diri.
Steers (Kuntjoro, 2002) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa
identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan
untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas
(keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang
dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Dengan kata lain,
komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan
pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta
kemajuan yang berkelanjutan.
Darmawan (2013) mengemukakan bahwa komitmen organisasi merupakan
keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam sebuah
organisasi atau perusahaan dan bersedia melakukan usaha yang tinggi bagi
pencapaian tujuan orgnisasi atau perusahaan tersebut. Menurutu Imanni dan
Witjaksono (2013), komitmen organisasi merupakan sikap kesetiaan yang dimiliki
karyawan pada organisasi atau tidak akan meninggalkan organisasi dan selalu
berpihak untuk kepentingan organisasi serta bersungguh-sungguh mencapai
tujuan organisasi