Sunday, March 31, 2024

Penyebab Kepuasan Kerja

 


Kreitner dan Kinicki (2005: 271) menjelaskan terdapat 5
(lima) faktor yang menyebabkan timbulnya kepuasan kerja pada
karyawan, yaitu:
1) Pemenuhan Kebutuhan
Kepuasan karyawan ditentukan oleh tingkat karakteristik
pekerjaan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Perbedaan
Kepuasan merupakan suatu hasil dalam memenuhi harapan.
Pemenuhan harapan tersebut mencerminkan adanya perbedaan
antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dalam
pekerjaannya.
3) Pencapaian Nilai
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang
memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4) Keadilan
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat mereka bekerja. Kepuasan merupakan
hasil persepsi dari setiap individu mengenai perbandingan
antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan
dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukan pekerjaan lainnya.
5) Komponen genetik
Model ini dimaksudkan dalam kepuasan individu terhadap
variasi lingkungan kerja. Model ini didasarkan pada keyakinan
bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi
dan faktor genetik dari masing-masing individu.

Dimensi Kepuasan Kerja

 


Luthans (2005: 212) menjelaskan kepuasan kerja memiliki
3 (tiga) dimensi, antara lain:
1) Kepuasan kerja merupakan jawaban emosional terhadap suatu
situasi pekerjaan.
2) Kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai
sikap lainnya dari para individual.
3) Kepuasan kerja sering ditentukan oleh sebagaimana hasil kerja
memenuhi atau melebihi harapan seseorang.
Smith, et. al. (dalam Luthans, 2005) menunjukkan ada 6
(enam) dimensi kepuasan kerja karyawan, yaitu:
1) Pekerjaan Itu Sendiri
Aspek ini menjelaskan mengenai sejauh mana karyawan
memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik,
memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang untuk
menerima tanggung jawab.
2) Upah atau Gaji
Upah atau gaji merupakan jumlah balas jasa secara finansial
yang diterima karyawan dan tingkat dimana hal ini dipandang
sebagai sesuatu hal yang adil dalam organisasi.
3) Kesempatan karyawan untuk dapat naik jabatan dalam jenjang
karir.
Semua karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk dapat
naik jabatan. Kesempatan yang diberikan perusahaan akan
membuat mereka termotivasi dalam pekerjaannya.
4) Pengawasan (supervisi)
Pengawasan (supervisi) merupakan kemampuan penyelia untuk
memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan
dukungan. Pengawasan yang buruk dapat berakibat pada
absensi dan turnover.
5) Rekan Kerja
Aspek rekan kerja meliputi dukungan teman dan sikap
solidaritas untuk hal-hal positif terutama dalam hal
menegakkan disiplin dan meningkatkan produktivitas kerja.
6) Kondisi Kerja
Kondisi kerja meliputi kondisi peralatan kerja yang memenuhi
standar keamanan dan lingkungan kerja yang sehat. Apabila
kondisi kerja karyawan baik (bersih, menarik, dan lingkungan
kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah
menyelesaikan pekerjaannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

 


As’ad (dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, antara
lain:
1) Faktor psikologis, faktor ini berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap
terhadap kerja, bakat, dan ketrampilan.
2) Faktor sosial, faktor ini berhubungan dengan interaksi sosial
antar karyawan, karyawan dengan atasan, maupun antar
karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
3) Faktor fisik, faktor ini berhubungan dengan kondisi fisik dari
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis
pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat,
perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan,
pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan
sebagainya.
4) Faktor finansial, faktor ini berhubungan dengan jaminan dan
kesejahteraan karyawan yang meliputi gaji, jaminan sosial,
macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi,
dan sebagainya

Pengertian Kepuasan Karyawan

 


Robbins (dalam Wibowo: 2011) mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya, selisih antara banyaknya imbalan yang diterima
seorang pekerja dan mereka yakini yang seharusnya mereka
terima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni kerja
yang secara mental menantang, kondisi kerja yang mendukung,
rekan kerja yang mendukung, keadilan yang diterapkan, serta
kepribadian dengan pekerjaan. Sementara itu Hani Handoko (2000:
193) menyatakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
mengenai bagaimana para karyawan memandang pekerjaan
mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang
terhadap pekerjaannya.
Mangkunegara (2005: 117) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel seperti
keadilan prosedural, turnover, tingkat absensi, umur, tingkat
pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan. Kepuasan kerja
berhubungan dengan keadilan prosedural mengandung arti bahwa
keadilan prosedural yang baik yang diterapkan oleh perusahaan
dihubungkan dengan kepuasan kerja yang tinggi pada karyawan
dan dibuktikan dengan kinerja karyawan yang baik.

Aturan dalam keadilan prosedural

 


Masterson, dkk (2000) mengemukakan dalam setiap
perusahaan memiliki prosedur yang sudah ditetapkan. Prosedur-
prosedur tersebut memiliki aturan agar dapat dianggap adil oleh
karyawan. Aturan-aturan pokok tersebut antara lain:
1) Konsistensi
Perusahaan harus memiliki prosedur yang adil dan prosedur
tersebut harus konsisten. Konsisten dalam artian tidak
membedakan antara orang satu dengan yang lainnya dari waktu
ke waktu. Setiap karyawan memiliki hak dan diperlakukan
sama dalam satu prosedur yang sama.
2) Meminimalisasi Bias
Terdapat dua sumber bias yang sering muncul, yaitu
kepentingan individu dan doktrin yang memihak. Dalam upaya
meminimalisasi bias, perusahaan harus dapat menghindarkan
kepentingan individu maupun pemihakan. Pengambilan
keputusan yang dibuat harus bersifat netral, dan tidak ada unsur
kepentingan pribadi.
3) Informasi yang Akurat
Informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian
keadilan akurat adalah dengan mendasarkan pada fakta.
Apabila opini sebagai dasar, maka hal itu harus disampaikan
oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan, dan
informasi yang disampaikan harus lengkap. Informasi dan
pendapat harus dikumpulkan dan diproses dengan kesalahan
seminim mungkin.
4) Dapat Diperbaiki
Upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu
tujuan penting perlu ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu,
prosedur yang adil harus mengandung aturan yang bertujuan
mempertimbangkan prosedur-prosedur yang ada untuk
memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang
mungkin muncul.
5) Etis
Prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan
moral. Dengan demikian, meskipun berbagai hal lain dipenuhi,
apabila tidak memenuhi standar etika dan moral, maka tidak
bisa dikatakan adil.
6) Representatif/Keterwakilan
Prosedur dikatakan adil apabila sejak awal ada upaya untuk
melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun
keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan subsub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan
dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol
juga terbuka

Model Keadilan Prosedural


Persepsi mengenai model keadilan prosedural dijelaskan
oleh dua model, yaitu:
1) Model Kepentingan pribadi (selft interest) yang diajukan
Thibaut dan Walker (dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013),
menyatakan bahwa individu akan berupaya untuk
mengoptimalkan keuntungan pribadinya ketika berinteraksi
dengan individu lain dan mengevaluasi prosedur dengan
mempertimbangkan kemampuannya untuk menghasilkan
outcomes yang diinginkannya. Penilaian seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh keadilan distributif atau keputusan tertentu,
melainkan pada proses atau bagaimana sebuah keputusan itu
dibuat.
Prosedur akan dikatakan adil manakala pihak terkait dapat
mengakomodasikan kepentingan individu. Permasalahannya
adalah setiap individu memiliki kepentingan yang berbedabeda, dan sering bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Kondisi yang demikian dapat mengakibatkan konflik sehingga
salah satu cara yang paling tepat adalah menghadirkan pihak
ketiga apabila keduanya tidak dapat menyelesaikan masalah
tersebut.
2) Model nilai kelompok menganggap bahwa individu tidak dapat
lepas dari kelompoknya. Salah satu kritik penting yang
disampaikan Lind dan Tyler terhadap model keadilan
prosedural yang dikembangkan oleh Thibaut dan Walker
(dalam Rakhmawati Hajiyanti: 2013) menyatakan bahwa
pengembangan konsep keadilan prosedural tidak hanya
berbasis pada perselisihan antar individu sebagai titik tolak
pengembangan konsep. Model tersebut dikenal dengan asumsi
model nilai-nilai kelompok. Dalam hal ini mereka memandang
bahwa individu tidak bisa lepas dari kelompoknya. Individu
adalah mahkluk sosial yang perlu berinteraksi dengan individu
lain dan membentuk kelompok untuk bekerjasama dalam
mencapai kepentingannya. Konsekuensinya adalah mereka
lebih mengutamakan kepentingan kelompk dibandingkan
dengan kepentingan individu.
Model keadilan prosedural dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa keadilan prosedural memberikan persepsi
untuk kepentingan diri sendiri dan dengan kelompoknya. Pada
model ini kelompok memiliki arti bahwa keadilan yang
dirasakan karyawan adalah mereka saling membutuhkan dan
bekerjasama dalam menjalankan tugas-tugas mereka.

Pengertian Keadilan Prosedural

 


Rakmawati Hajiyanti (2013) menyatakan bahwa keadilan
prosedural adalah persepsi yang ditujukan oleh karyawan ketika
melihat perusahaan dalam menjalankan aturan-aturan yang ada.
Dengan demikian, apabila aturan dilaksanakan dengan baik oleh
perusahaan maka karyawan merasa diperlakukan secara adil dan
sebaliknya. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan
adanya keadilan prosedural pada saat aturan prosedur yang ada
dalam organisasi dapat dilaksanakan dengan baik oleh para
pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur tersebut
dilanggar maka individu dalam organisasi akan mempersepsikan
adanya ketidak-adilan. Oleh karena itu, keputusan dibuat secara
konsisten tanpa adanya pengaruh kepentingan pribadi di dalamnya.
Achmad Badarudin (2006) menyatakan bahwa keadilan
prosedural berhubungan dengan persepsi bawahan akan suatu
bentuk keadilan dari semua proses yang telah diterapkan oleh
pihak atasan dalam perusahaan tersebut dan digunakan untuk
mengevaluasi kinerja para karyawannya. Anggapan adil atau tidak
adil mengenai proses dan prosedur yang telah diterapkan
menunjukkan tingkat tinggi/rendahnya keadilan prosedural
menurut bawahan.