Showing posts with label Judul Kesehatan. Show all posts
Showing posts with label Judul Kesehatan. Show all posts

Thursday, February 20, 2020

Pemeriksaan antropometri untuk Status Gizi (skripsi dan tesis)

 Antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh manusia dalam hal ini dimensi tulang, otot, dan jaringan lemak (Hendarto, 2011). Antropometri saat ini telah digunakan untuk menilai status nutrisi, kesehatan, dan perkembangan dari anak (Srivastava, 2012).   Ada beberapa dasar pengukuran tinggi dan berat badan, berdasarkan buku Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik tahun 2011, ukuran – ukuran yang lazim digunakan dalam menilai tumbuh kembang anak, antara lain: 
1. Tinggi badan
 Panjang badan diukur dengan menggunakan papan pengukur panjang untuk anak dibawah 2 tahun atau PB kurang dari 85 cm. Pengukuran panjang badan dilakukan oleh 2 orang pemeriksa. Pemeriksa pertama memposisikan sang bayi agar lurus dipapan pengukur sehingga kepala sang bayi agar lurus di papan pengukur sehingga kepala sang bayi menyentuh papan penahan kepala dalam posisi bidang datar. Pemeriksa kedua menahan agar lutut dan tumit sang bayi menempel dengan papan penahan kaki (Hendarto, 2011). Untuk anak yang dapat berdiri tanpa bantuan dan kooperatif, tinggi badan diukur dengan menggunakan stadiometer, yang memiliki penahan kepala yang bersudut 90 terhadap stadiometer yang dapat digerakkan. Sang anak diukur dengan telanjang kaki atau dengan kaus kaki tipis dan dengan pakaian minimal agar pengukur dapat memeriksa apakah posisi anak tersebut sudah benar. Saat pengukuran sang anak harus berdiri tegak, kedua kaki menempel, tumit, bokong, dan belakang kepala menyentuh stadiometer, dan menatap kedepan pada bidang datar (Hendarto, 2011). 2. Berat badan 
Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan berat badan. Sampai anak berumur 24 bulan atau berdiri sendiri, maka digunakan timbangan bayi. Sebelum menimbang, timbangan dikalibrasi sehingga jarum menunjuk angka nol. Pada saat melakukan penimbangan, sebaiknya menggunakan pakaian seminimal mungkin. Berat badan dicatat dengan ketelitian 0,01 Kg pada bayi dan 0,1 Kg pada anak yang lebih besar (Hendarto, 2011)
 3. Lingkar kepala 
Lingkar kepala diukur dengan menggunakan pita pengukur fleksibel yang tidak dapat diregangkan. Panjang lingkar sebaiknya diambil dari lingkar maksimum dari kepala, yaitu diatas tonjolan supraorbital dan melingkari oksiput. Saat pengukuran harus diperhatikan agar pita pengukur tetap datar pada permukaan kepala dan paralel di kedua sisi. Pengukuran dicatat dengan ketelitian sampai 0,1 cm (Hendarto, 2011)
. 4. Lingkar lengan atas (LILA)
 Untuk pengukuran LILA, anak harus berdiri tegak lurus dengan lengan dilemaskan disisi tubuh. Pita ukur yang fleksibel dan tidak dapat diregangkan diletakkan tegak lurus dengan aksis panjang dari lengan, dirapatkan melingkari lengan, dan dicatat dengan ketelitian sampai ke 0,1 cm. sebaiknya dilakukan 3 kali dan diambil nilai rata – ratanya (Hendarto, 2011).
 5. Tebal lipatan kulit triseps (TLK) 
Dalam mengukur TLK, seorang anak harus dalam posisi tegak dengan lengan disisi tubuh. TLK diukur di pertengahan lengan atas, tepat ditengah otot triseps di lengan bagian belakang (diukur dan diberi tanda sebelumnya). Pengukur mencubit lemak dengan ibu jari dan jari telunjuk, sekitar 1 cm diatas titik tengah yang telah ditandai, dan dengan menempatkan caliper pada titik yang telah ditandai. Empat detik kemudian, caliper dilepaskan, hasil pengukuran diambil lalu caliper dilepaskan. Pengukuran sebaiknya dilakukan 3 kali, lalu diambil rata – ratanya (Hendarto, 2011). 

Masalah gizi anak usia sekolah (skripsi dan tesis)

 Ada beberapa masalah gizi yang terjadi pada anak usia sekolah dalam buku Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan tahun 2012, antara lain: 
1. Anemia defisiensi besi
 Keadaan ini terjadi, karena terlalu sedikit kandungan zat besi dalam makanan yang dikonsumsi terutama pada anak yang sering jajan sehingga mengendurkan keinginan untuk menyantap makanan lain (Adriani, 2012) 
2. Penyakit Defisiensi Yodium 
Salah satu gambaran penyakit kekurangan yodium adalah pembesaran kelenjer gondok yang disebut penyakit gondok oleh awam atau nama ilmiahnya struma simpleks (Adriani, 2012).
 3. Karies gigi  Karies gigi sering terjadi pada anak, karena terlalu sering makan cemilan yang lengket dan banyak mengandung gula. Karies yang terjadi pada gigi sulung memang tidak berbahaya, namun kejadian ini biasanya terus berlangsung sampai anak menjadi dewasa. Gigi yang berlubang akan menyerang gigi yang permanen bahkan sebelum gigi tersebut menembus gusi (Adriani, 2012).
 4. Berat badan berlebih (Obesitas) 
Jika tidak teratasi, berat badan berlebih akan berlanjut sampai remaja dan dewasa. Sama seperti pada orang dewasa, kelebihan berat badan terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar. Berbeda dengan dewasa, berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan berat selayaknya dihentikan atau diperlambat sampai proporsi berat badan terhadap tinggi badan kembali normal. Perlambatan ini dicapai dengan cara mengurangi makan dan memperbanyak olahraga (Adriani, 2012).
 5. Berat Badan Kurang
 Kekurangan berat yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius. Kondisi ini mencerminkan kebiasaan yang buruk. Sama seperti masalah kelebihan berat, langkah penanganan harus didasarkan kepada penyebab serta kemungkinan pemecahannya (Adriani, 2012)

Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi (skripsi dan tesis)

A. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain:
 1) Pendapatan Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya adalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli yang dimiliki keluarga tersebut (Santoso, 1999).
 2) Pendidikan Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua atau masyarakat untuk mewujudkan status gizi baik (Suliha, 2001). 
3) Pekerjaan Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang hidup keluarganya. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu – ibu akan mempunyai pengaruh terhadap keluarga (Markum, 1991). 
4) Budaya Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan (Soetjiningsih, 1998). 
B. Faktor Internal Faktor internal yang mempengaruhi status gizi antara lain: 
1) Usia Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi anak balita (Nursalam, 2001).
 2) Jenis Kelamin Jenis kelamin sepertinya mempengaruhi status nutrisi dari segi genetik (Felix, 2010). 
3) Kondisi Fisik Mereka yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesadaran mereka yang buruk. Bayi dan anak – anak yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan, karena pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.
 4) Infeksi Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan (Suhardjo, et, all, 1986).s gizi  (skripsi dan tesis)

Definisi Gizi (skripsi dan tesis)

 Gizi adalah asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan diet tubuh. Gizi baik adalah keseimbangan antara asupan makanan dan aktivitas fisik. Kurang gizi dapat menyebabkan kekebalan tubuh berkurang, peningkatan kerentanan terhadap penyakit, gangguan perkembangan fisik dan mental, serta mengurangi produktivitas (WHO, 2013). Gizi kurang didefinisikan sebagai asupan makanan yang tidak mencukupi dan menyebabkan terjadinya penyakit infeksi yang berulang. Dalam hal ini termasuk kurus untuk usia seseorang, terlalu pendek, dan kekurangan vitamin dan mineral (UNICEF, 2006). Gizi lebih didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang berlebihan atau makanan yang berlebihan dimana akhirnya mempengaruhi kesehatan yang dapat berkembang menjadi obesitas, yang meningkatkan risiko gangguan kesehatan yang serius, termasuk penyakit jantung, hipertensi, kanker dan diabetes tipe 2 (UNITE FOR SIGHT, 2012). Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya (Cakrawati, 2012). Status nutrisi berbanding lurus dengan kesehatan tubuh dari individu (Goon et al, 2011).

Wednesday, February 19, 2020

Faktor penyebab gizi buruk (skripsi dan tesis)

 WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan gizi buruk, yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan yang buruk, infeksi berat dan berulang terutama pada populasi yang kurang mampu. Diet yang tidak memadai, dan penyakit infeksi terkait erat dengan standar umum hidup, kondisi lingkungan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan dan perawatan kesehatan (WHO, 2012). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Kusriadi, 2010).
 a. Konsumsi zat gizi
 Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan dan keterlambatan perkembangan otak serta dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Krisnansari d, 2010). Selain itu faktor kurangnya asupan makanan disebabkan oleh ketersediaan pangan, nafsu makan anak,gangguan sistem pencernaan serta penyakit infeksi yang diderita (Proverawati A, 2009). 
b. Penyakit infeksi 
Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi pada anak-anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan kerusakan fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi (RodriquesL, 2011) 
c. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan
 Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam mengelola makan keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita merupakan segala bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai zat makanan yang dibutuhkan bagi tubuh balita dan kemampuan ibu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Mulyaningsih F, 2008). Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi (Notoadmodjo S, 2003). Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita (Nainggolan J dan Zuraida R, 2010).
 d. Pendidikan ibu 
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Ihsan M.Hiswani, Jemadi, 2012). Pendidikan ibu yang relatif rendah akan berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya (Oktavianis, 2016). http://repository.unimus.ac.id 
 e. Pola asuh anak 
Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita dan pemeliharaan kesehatan (Siti M, 2015). Pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makanPola asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu sebaliknya (Istiany,dkk, 2007). 
f. Sanitasi 
Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi. Gizi buruk dan infeksi kedua – duanya bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk (Suharjo, 2010). Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan memperbaiki status gizinya (Hidayat T, dan Fuada N, 2011).
 g. Tingkat pendapatan 
Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi balita (Mulyana DW, 2013). Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi pada anak balita ( Supariasa IDN, 2012). Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan cukup (Persulessy V, 2013). 
h. Ketersediaan pangan 
Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk (Roehadi S, 2013). Masalah gizi yang muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumahtangga, yaitu kemampuan rumahtangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya (Sobila ET, 2009).
 i. Jumlah anggota keluarga
 Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang. Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi. apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang, asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab langsung karena dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan atau terhambat pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita (Faradevi R, 2017).
 j. Sosial budaya
 Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah gizi buruk (Arifn Z, 2015). 

Definisi Gizi Buruk (skripsi dan tesis)

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) kurang dari -3 SD (Kemenkes, 2011). Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Wiku A, 2005

Sanitasi lingkungan Terhadap Status Gizi (skripsi dan tesis)

 Menurut Behrman dan Deolalikar (1989), serta Strauss and Thomos (1995), rumah tangga merupakan fungsi pengguna yang menentukan dalam hal kesehatan dan status gizi masing-masing anggota keluarga. Teori lain yang ada saat ini menyatakan status gizi yang baik untuk usia pra sekolah bergantung pada keamanan rumah tangga, lingkungan yang cukup sehat dan perawatan kelahiran dan jumlah anak (ACC/SCN , 1992). Sekalipun demikian, status gizi tersebut tidak hanya hasil dari keiga faktor tersebut, tetapi juga interaksi antara ketiganya (Blau et al, 1996; Haddad et al, 1996; Smit and Haddad, 1999; ACC/ SCN/ IFPRI, 2000). Lingkungan dapat dikatakan sebagai suatu benda maupun suasana yang terbentuk akibat dari interaksi yang ada dialam tersebut. Lingkungan memiliki cakrawala yang sangat luas, sehingga untuk memudahkan pemahaman tentang lingkungan, seringkali diklasifikasikan sesuai kebutuhan. Lingkungan air, udara dan tanah merupakan lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh manusia.Lingkungan biologis yang terdiri dari flora dan fauna juga merupakan lingkungan yang diperlukan manusia, meski memiliki efek positif dan negative untuk kesehatan manusia. Jika manusia tidak mampu memelihara lingkungan tersebut, maka akan dapat menimbulkan masalah kesehtan yang dapat bersifat langsung maupun tak langsung. Pengaruh langsung oleh karena lingkungan banyak mengandung bakteri atau kandungan lain yang tak sesuai dengan standar bagi kesehatan manusia. Sedangkan pengaruh tidak langsung dapat muncul sebagai dampak pendayagunaan, misalnya air industri yang menimbulkan pencemaran sehingga dapat mengganggu kesehatan. Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai unsur fisis maupun biologis. Namun, sebagian besar penyakit dapat timbul dari perilaku dan adat kebiasaan yang menyimpang dari standar sehat. Hal tersebut dikarenakan ketidak tahuan atau ketidak pedulian masyarakat terhadap kesehatan, dan hasil akhirnya adalah pencemaran lingkungan, kesehatan yang terganggu sehingga muncul gangguan status gizi

Akses pelayanan kesehatan Terhadap Status Gizi (skripsi dan tesis)

Kategori pelayanan kesehatan yang berorientasi pada public lebih diarahkan secara langsung. Sarana transportasi menjadi pendukung dalam partisipasi seseorang dalam menggunakan layanan kesehatan.Kemudahan dalam mengakses lokasi atau tempat kegiatan dan waktu pelaksanaan kegiatan menjadi penguat dalam partisipasi penggunaan layanan kesehatan (Ife & Tesoriero, 2008).Selain itu, jarak tempuh yang dicapai dari rumah dengan tempat pelayanan kesehatan juga menjadi perhatian seseorang dalam keaktifan memanfaatkan pelayanan kesehatan (Asdhany & Kartini, 2012). Hasil penelitian Maulana (2013) menunjukkan bahwa ibu yang aktif ke posyandu mempunyai status gizi balita yang tidak BGM (Bawah Garis 22 Merah) sebesar 90,16% dan ibu yang tidak aktif ke posyandu dengan status gizi BGM sebesar 77,08%. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa keaktifan mengikuti posyandu berhubungan dengan status gizi pada balita

Riwayat ASI Eksklusif Terhadap Status Gizi (skripsi dan tesis0

ASI Eksklusif dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi pada bayi secara eksklusif. Depkes RI (2004) menyatakan bahwa pemberian ASI Eksklusif tanpa makanan dan minuman melainkan air susu ibu saja dalam waktu nol sampai enam bulan. Setelah 6 bulan, bayi bisa diberikan makanan tambahan lain, sedangkan ASI sendiri sebaiknya diberikan sampai usia 2 tahun. Hasil penelitian Widyastuti (2007) menunjukkan bahwa status gizi pada balita berhubungan dengan ASI Eksklusif

Penyakit Infeksi Terhadap Status Gizi (skripsi dan tesis)

 Penyakit infeksi dapat dikatakan sebagai proses alamiah karena akibat dari masalah gizi yang diakibatkan interaksi bakteri dengan lingkungan. Ketidakseimbangan faktor ini akan merubah proses metabolisme sehingga muncul penyakit. Tingkat kesakitan yang dimulai dari ringan sampai berat dapat menimbulkan sakit kronis, cacat bahkan kematian (Supariasa, 2002). 20 Penurunan nafsu makan dan adanya gangguan penyerapan dalam sauran pencernaan bisa diakibatkan karena adanya penyakit.Usia balita rentan terhadap penyakit infeksi dikarenakan penyempurnaan jaringan tubuh yang masih mengalami proses untuk membentuk pertahanan tubuh. Pada umumnya penyakit yang menyerang bayi maupun balita bersifat akut yaitu dapat terjadi secara mendadak dan timbulnya gejala sangat cepat.Status gizi dengan penyakit infeksi dikatakan hubungan sebab akibat, karena penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi begitupun sebaliknya (Supariasa, 2002). Kesehatan lingkungan sebagai suatu hal yang sangat perlu diperhatikan, karena faktor lingkungan ini dapat berpengaruh terhadap timbulnya suatu penyakit. Penyakit infeksi misalnya diare atau ISPA akan dapat menyebabkan perubahan status gizi pada balita. Adapun ruang lingkup kesehatan lingkungan yang saat ini menjadi perhatian puskesmas sebagai salah satu program nya adalah kondisi rumah, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, pembuangan air limbah dan sanitasi tempat pengolahan makan (Depkes RI, 2010). Hasil penelitian Lestari (2015) yang dilakukan di Kendari dengan lokasi penelitian dipesisir pantai, menunjukkan bahwa gizi balita berhubungan dnegan penyakit infeksi. Sebagian besar balita yang menderita 21 penyakit infeksi akan mengalami malnutrisi karena kebutuhan nutrisi yang tidak seimbang dalam tubuh

Asupan nutrisi (skripsi dan tesis)

Asupan nutrisi berkaitan dengan ketidakcukupan zat gizi yang diperoleh, apabila hal ini berlangsung lama makan terjadi penurunan berat badan. Terjadinya perubahan fungsi ditandai dengan ciri yang khas akan merubah struktur anatomi dengan munculnya tanda yang klasik (Supariasa, 2002). Masa balita sebagai masa yang paling penting dan memerlukan perhatian khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Pemantauan dapat dilakukan melalui proses pengaturan pola makan yang baik. hal ini akan mempengaruhi kecukupan nutrisinya. Kurang gizi yang merupakan gangguan akibat kesalahan dalam memenuhi kebutuhan pangan secara kualitas maupun kuantitasnya. Penyediaan pangan yang kurang, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidakpahaman akan kebutuhan zat gizi juga mempengaruhi status gizi seseorang khususnya balita. Pola makan anak 1-5 tahun terbentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan lingkungan luar. Kebiasaan makan yang dipelajari lebih awal dalam keluarga akan lebih bertahan dibandingkan dengan lingkungan luar. Oleh sebab itu, masa balita merupakan waktu yang tepat untuk membentuk kebiasaan atau pola makan yang baik (Waladouw dkk, 2013).
 Kebiasaan makan antara satu keluarga berbeda dengan keluarga yang lain akibat dari perbedaan tempat tinggal, ketersediaan pangan, kondisi kesehatan anak, selera makan, kemampuan daya beli dan kebiasaan makan keluarga (Walalangi, dkk, 2015). Menurut Almatseir (2009), ikatan kimia yang membentuk zat gizi diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya dalam membentuk energi, memelihara jaringan dan mengatur metabolisme tubuh. Tubuh memerlukan zat-zat yang penting bagi tubuh. Karbohidrat sebagai sumber energi dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang dapat diperoleh dari golongan tepung seperti beras, kentang, dan kelompok gula. Kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein) merupakan akibat yang dapat ditimbulkan apabila kekurangan protein.Zat makanan yang berupa protein juga dapat diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan ataupun hewan.Kedua jenis protein tersebut berfungsi dalam me-regenerasi sel yang rusak, pembentukan enzim dan 18 hormon. Satu gram protein akan menghasilkan sekitar 4,1 kalori. 
Tubuh yang kekurangan protein akan terserang penyakit busung lapar. Protein dapat ditemukan pada ikan, daging, telur, kedelai, dll. Selain itu, lemak juga merupakan sumber tenaga yang berfungsi dalam menghasilkan kalori.Zat makanan vitamin dan mineral juga diklasifikasikan menjadi larut dan tidak larut.Zat besi sebagai salah satu jenis dari mineral diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit. Pembentukan jaringan, tulang, hormone, enzim, keseimbangan cairan dan proses pembekuan darah merupakan beberapa fungsi dari zat besi dalam tubuh. Selain itu, zat besi juga sebagai komponen penting dalam pernafasan yakni terbentuknya hemoglobin dalam mengikat oksigen pada sel darah merah. Asupan nutrisi balita yang disesuaikan dengan umur dan bentuk makanan yang dimakan menurut DepKes RI (2002), yaitu asi eksklusif pada umur 0-4 bulan, makanan lumat usia 4-6 bulan, makanan lembek usia 6-12 bulan dan makanan keluarga yaitusatu sampai satu setengah piring nasi/pengganti, dua sampai tiga potong lauk hewani, satu sampai dua potong lauk nabati, setengah mangkuk sayur, dua sampai tiga potong buah dan satu gelas susu usia 12-24 bulan. Adapun bentuk makanan yang dikonsumsi satu sampai tiga piring nasi/pengganti, dua sampai tiga potong lauk hewani, satu sampai dua potong lauk nabati, satu sampai satu setengah mangkuk sayur, dua sampai tiga potong buah-buahan dan satu sampai dua 19 gelas susu usia 24 bulan keatas. Makanan lumat yang dimaksud berupa makanan yang dihancurkan dan dibuat dari tepung, sedangkan makanan lunak yaitu dimasak dengan air yang lebih banyak dan tampak berair. Balita sebagai salah satu anggota keluarga yang sangat membutuhkan perhatian khusus setidaknya cukup makan perharinya untuk memenuhi kebutuhan dalam pertumbuhannya. Oleh sebab itu, keluarga membutuhkan pengetahuan lebih terkait penyediaan gizi yang baik di rumah.Pemerataan pembagian makanan dalam keluarga juga sangat diperlukan sehingga setiap anggota keluarga tercukupi kebutuhannya dan keanekaragaman makanan yang dikonsumsi juga perlu menjadi perhatian khusus (Indarti, 2016). Hasil penelitian Erni dkk (2008) terkait asupan zat gizi di suku anak dalam Provinsi Jambi menunjukkan hubungan yang erat asupan energy dan protein dengan status gizi balita dilihat dari BB/U, TB/U dan BB/TB.Hal ini berarti balita dengan asupan energy dan protein yang cukup, mempunyai status gizi yang baik

Karakteristik Ibu (skripsi dan tesis)

a. Umur
 Umur bagi ibu hamil berkisar antara 20-35 tahun karena akan berdampak pada kondisi bayi yang akan dilahirkan. Apabila kurang dari 20 tahun keadaan ibu masih belum siap secara biologis berkaitan dengan makanan yang dikonsumsi, sehingga lebih banyak untuk kebutuhan diri sendiri. Kondisi rahim maupun organ lainnya juga belum terbentuk secara sempurna.Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan janin. Adapun secara psikologis ibu dengan usia kurang dari 20 tahun memiliki emosi yang labil, sedangkan ibu dengan usia lebih dari 35 tahun memiliki kondisi kesehatan yang rentan terhadap penyakit sehingga berakibat terhambatnya pertumbuhan balita tersebut (UNICEF, 2002). Usia ibu berhubungan secara signifikan dengan status gizi menurut hasil penelitian Khotimah, dkk (2013). Namun Himawan (2006) berkata lain dalam penelitiannya, bahwaumur ibu tidak berhubungan dengan status gizi balita.
 b. Pendidikan 
Pendidikan ibu merupakan factor utama dalam hal menyusun makan keluarga, pengasuhan maupun perawatan anak (Suhardjo, 2003). Peningkatan pendidikan wanita dapat menimbulkan kesadaran akan pengembangan diri dalam melakukan kegiatan sosial. Tuntutan kebutuhan akan ekonomi yang meningkat menimbulkan keharusan ibu akan pekerjaan terkait pendapatan dalam keluarga (Engle, 2000). Hasil penelitian Kristianti (2013), menjelaskan bahwa pendidikan ibu tidak ada kaitannya dengan status gizi, karena sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan tinggi sehingga cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan mudah dalam menangkap informasi yang diterima. Namun, dalam penelitian Khaidir (2015) dengan menganalisis data Riskesdas 2010 menjelaskan bahwa status pekerjaan dapat berhubungan dengan status gizi balita. 
 c. Pekerjaan 
Pekerjaan erat kaitannya dengan pendapatan yang diperoleh. Hal yang muncul selain memperoleh materi yaitu penelantaran anak akibat dari kegiatan ibu di luar rumah. Pengasuhan dan keadaan gizi sejak bayiakan mempengaruhi masa-masa penting di usia 5 tahun kebawah. Penurunan berat badan tidak jarang terjadi pada balita karena perilaku ibu yang kurang mempersiapkan makan anak. Pekerjaan diluar rumah maupun didalam rumah akan berpengaruh terhadap kurangnya pemantauan ibu dalam konsumsi makan anaknya. Kristianti dalam penelitianya di Salomo Pontianak menyatakan jikapekerjaan ibu tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak.Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Himawan (2006) yakni ada kaitanpekerjaan dengan status gizi balita. d. Paritas Paritas dikategorikan tinggi apabila melahirkan anak ke-4 atau lebih. Dampak yang ditimbulkan pada ibu dengan paritas tinggi dan masih memberikan ASI pada anak sebelumnya, maka perhatian ibu akan lebih focus pada anak yang baru dilahirkan. Oleh karena itulah, pemberhentian ASI yang dilakukan pada anak sebelumnya akan menjadi faktor pendorong terjadinya gizi buruk (Sjahmien, 2003). Sejalan dengan penjelasan tersebut,  Himawan(2006) dalam penelitiannya juga menjelaskankaitan yang erat paritas ibu dengan status gizi balita. 
e. Jumlah balita 
Jumlah balita yang dilimili dalam keluarga akan mempengaruhi ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan dalam keluarga akan berbeda antara keluarga yang satu dengan yang lain, dikarenakan perbedaan penghasilan. Status ekonomi yang rendah didukung oleh jumlah anak dalam keluarga yang besar akan memberikan peluang kepada anak tersebut untuk menderita gizi kurang maupun gizi buruk. Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin berpeluang besar untuk mengalami gangguan status gizi. Sama halnya dengan anak yang paling kecil akan berpengaruh terhadap kekurangan pangan. Apabila anggota keluarga bertambah khususnya balita, maka pangan yang akan diterima oleh balita lainnya akan berkurang. Asupan nutrisi yang tidak seimbang mempengaruhi terjadinya penurunan berat badan. Oleh sebab itu, jumlah anak akan menentukan status gizi balita (Faradevi, 2011). Hasil penelitian Karundeng dkk (2015) menyatakan bahwa status gizi balita tidak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga.Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu sudah mempunyai pengalaman dalam merawat anak.Namun fenomena yang terjadi dalam penelitian ini, yaitu  masih ditemukannya jumlah anak yang kurang dari 3 tahun berstatus gizi kurang.
 f. Jarak kelahiran
 Jarak kelahiran tidak dapat dipisahkan dari paritas atau jumlah kelahiran. Paritas yang tinggi akan secara langsung berpengaruh pada jarak kelahiran yang semakin pendek.Seorang ibu paling tidak memerlukan sedikitnya 24 bulan untuk pemulihan setelah melahirkan.Adapun kemungkinan yang dapat terjadi adalah lahir premature atau bayi yang lahir dengan berat badan rendah (UNICEF, 2002). Berdasarkan hasil analisis penelitian Karundeng (2015), membuktikan adanya hubungan jarak kelahiran dengan status gizi balita. Namun penelitian ini menjelaskan ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya status gizi baik pada jarak kelahiran kurang dari 3 tahun.
 g. Status Perkawinan 
Perkawinan menurut Soekanto (2000) merupakan ikatan yang sah antara seorang laki-laki dengan perempuan, sehingga timbul hak-hak dan kewajiban antara mereka.Ikatan lahir dan batin sebagai suami istri menjadi dasar dari status perkawinan. 
h. Tingkat pengetahuan 
Kurang gizi yang banyak didirita oleh balita dikatakan sebagai golongan rawan pada anak. Masa peralihan antara penyapihan dengan 16 waktu pertama makan akan dipengaruhi oleh pola pengasuhan ibu terkait asupan nutrisinya. Pengetahuan ibu terkait status gizi sangat berperan dalam menyiapkan bahan makanan yang akan dberikan, maupun kebiasaan pemberina makanan pada balita (Suhardjo, 2003). Hilmawan (2006) dalam hasil analisinya menyatakan jika pengetahuan ibu berhubungan dengan status gizi balit.Walaupun demikian, usaha untuk meningkatkan pengetahuan terkait status gizi tetap dilakukan melalui penyuluhan maupun kunjungan rumah yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan petugas gizi ke masyaraka

Penilaian Status Gizi (skripsi dan tesis)

Status gizi dapat dinilai secara langsung melalui pemeriksaan ukuran tubuh manusia, metode klinis dengan melihat perubahan yang terjadi secara fisik pada tubuh seseorang, metode biokimia dengan pemeriksaan specimen yang diuji menggunakan laboratorium dan secara biofisik dengan melihat kemampuan fungsi jaringan.Adapun secara tidak langsung dapat dinilai melalui survey konsumsi makanan (supariasa, 2001). Penilaian status gizi didasarkan pada tiga kategori BB/U, TB/U dan BB/TB dengan mengkonversikan nilai berat badan dan tinggi badan kedalam Z-Score, menggunakan baku antropometri WHO (2006) . Dikatakan gizi kurang, pendek ataupun kurus jika nilai Z-Score (≥ 3,0 s.d <-2,0) dan gizi baik (≥ -2,0 s.d ≤2,0). Kebutuhan zat gizi tidak sama bagi setiap orang, tergantung banyak hal salah satunya adalah usia. Balita membutuhkan zat gizi didasarkan pada kecukupan gizi (AKG) asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat sesuai kelompok umur dan rata-rata perhari diantaranya yaitu pada usia 0-6 bulan (550 kkal, 12 gr, 34gr dan 58 gr), usia 7-11 bulan (725 kkal, 18gr, 36gr dan 82gr), usia 1-3 tahun (1125kkal, 26gr, 44gr dan 155gr) dan pada usia 4-6 tahun (1600kkal, 35gr, 62gr dan 220gr) (Permenkes RI, 2013).

Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (skripsi dan tesis)


Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran keckupan rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuiakan dengan golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi (Depkes, 2005b ). Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi dengan pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. 
Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004). 

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi (skripsi dan tesis)

.1. Umur 
Kebutuhan energi individu disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan tingkat aktivitas. Jika kebutuhan energi (zat tenaga) terpenuhi dengan baik maka dapat meningkatkan produktivitas kerja, sehingga membuat seseorang lebih semangat dalam melakukan pekerjaan. Apabila kekurangan energi maka produktivitas kerja seseorang akan menurun, dimana seseorang akan malas bekerja dan cenderung untuk bekerja lebih lamban. Semakin bertambahnya umur akan semakin meningkat pula kebutuhan zat tenaga bagi tubuh. Zat tenaga dibutuhkan untuk mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik (Apriadji, 1986). 
2. Frekuensi Makan Frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan berapa banyak makanan yang dikonsumsi seseorang. Menurut Hui (1985), sebagian besar remaja melewatkan satu atau lebih waktu makan, yaitu sarapan. Sarapan adalah waktu makan yang paling banyak dilewatkan, disusul oleh makan siang. Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang malas untuk sarapan, antara lain mereka sedang dalam keadaan terburu-buru, menghemat waktu, tidak lapar, menjaga berat badan dan tidak tersedianya makanan yang akan dimakan. Melewatkan waktu makan dapat menyebabkan penurunan konsumsi energi, protein dan zat gizi lain (Brown et al, 2005). Pada bangsa-bangsa yang frekuensi makannya dua kali dalam sehari lebih banyak orang yang gemuk dibandingkan bangsa dengan frekuensi makan sebanyak  tiga kali dalam sehari. Hal ini berarti bahwa frekuensi makan sering dengan jumlah yang sedikit lebih baik daripada jarang makan tetapi sekali makan dalam jumlah yang banyak (Suyono, 1986). 
3. Asupan Energi 
Energi merupakan asupan utama yang sangant diperlukan oleh tubuh. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik (Krummel & Etherton, 1996). Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4 kkal/ gram (Baliwati, 2004). 
4. Asupan Protein 
Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2001). Fungsi lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur keseimbangan air, dan mempertahankan kenetralan asam basa tubuh. Pertumbuhan, kehamilan, dan infeksi penyakit meningkatkan kebutuhan protein seseorang (Baliwati, 2004)Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari (Almatsier, 2001). Anjuran asupan protein berkisar antara 10 – 15% dari total energi (WKNPG, 2004). 
5. Asupan Karbohidrat
 Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah (Djunaedi, 2001). Sumber karbohidrat berasal dari padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung, taslas, dan sagu (Almatsier, 2001). Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram. Angka kecukupan karbohidrat sebesar 50-65% dari total energi. (WKNPG, 2004). WHO (1990) menganjurkan agar 55 – 75% konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi sebagai zat pembangun (Almatsier, 2001). Faktor-faktor..., Desy Khairina, FKMUI, 2008
.6. Asupan Lemak
 Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap kesehataan tubuh manusia (WKNPG, 2004). Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10% dari total energi. Lemak menghasilkan 9 kkal/ gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem pencernaan tubuh manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan, maka akan mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 25% dari total energi dalam makanan seharihari. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya berasal dari mentega, margarin, dan lemak hewan (Almatsier, 2001). 
7. Tingkat Pendidikan 
Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan pengetahuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka sangat diharapkan semakin tinggi pula pengetahuan orang tersebut mengenai gizi dan kesehatan. Pendidikan yang tingggi dapat membuat seseorang lebih memperhatikan makanan untuk memenuhi asupan zat-zat gizi yang seimbang. Adanya pola makan yang baik dapat mengurangi bahkan mencegah dari timbulnya masalah yang tidak diinginkan mengenai gizi dan kesehatan (Apriadji, 1986). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, akan mudah dalam menyerap dan menerapkan informasi gizi, sehingga diharapkan dapat menimbulkan perilaku dan gaya hidup yang sesuai dengan informasi yang didapatkan mengenai gizi dan kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan (WKNPG, 2004). Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan status gizi seseorang. Pada umumnya tingkat pendidikan pembantu rumah tangga masih rendah (tamat SD dan tamat SMP). Pendidikan yang rendah sejalan dengan pengetahuan yang rendah, karena dengan pendidikan rendah akan membuat seseorang sulit dalam menerima informasi mengenai hal-hal baru di lingkungan sekitar, misalnya pengetahuan gizi. Pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi sangat diperlukan oleh pembantu rumah tangga. Selain untuk diri sendiri, pendidikan dan pengetahuan gizi yang diperoleh dapat dipraktekkan dalam pekerjaan yang mereka lakukan. 
8. Pendapatan 
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi status gizi, Pembantu rumah tangga mendapatkan gaji (pendapatan) yang masih di bawah UMR (Gunanti, 2005). Besarnya gaji yang diperoleh terkadang tidak sesuai dengan banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan. Pendapatan seseorang akan menentukan kemampuan orang tersebut dalam memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan jumlah yang diperlukan oleh tubuh. Apabila makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi jumlah zat-zat gizi dibutuhkan oleh tubuh, maka dapat mengakibatkan perubahan pada status gizi seseorang (Apriadji, 1986). Ada dua aspek kunci yang berhubungan antara pendapatan dengan pola konsumsi makan, yaitu pengeluaran makanan dan tipe makanan yang dikonsumsi. Apabila seseorang memiliki pendapatan yang tinggi maka dia dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya (Gesissler, 2005). Faktor-faktor..., Desy Khairina, FKMUI, 2008 26 Meningkatnya pendapatan perorangan juga dapat menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Kebiasaan makan seseorang berubah sejalan dengan berubahnya pendapatan seseorang (Suhardjo, 1989). Meningkatnya pendapatan seseorang merupakan cerminan dari suatu kemakmuran. Orang yang sudah meningkat pendapatannya, cenderung untuk berkehidupan serba mewah. Kehidupan mewah dapat mempengaruhi seseorang dalam hal memilih dan membeli jenis makanan. Orang akan mudah membeli makanan yang tinggi kalori. Semakin banyak mengonsumsi makanan berkalori tinggi dapat menimbulkan kelebihan energi yang disimpan tubuh dalam bentuk lemak. Semakin banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh dapat mengakibatkan kegemukan (Suyono, 1986). 
9. Pengetahuan 
Tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi tingkat pengetahuannya akan gizi. Orang yang memiliki tingkat pendidikan hanya sebatas tamat SD, tentu memiliki pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan orang dengan tingkat pendidikan tamat SMA atau Sarjana. Tetapi, sebaliknya, seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi sekalipun belum tentu memiliki pengetahuan gizi yang cukup jika ia jarang mendapatkan informasi mengenai gizi, baik melalui media iklan, penyuluhan, dan lain sebagainya. Tetapi, perlu diingat bahwa rendah-tingginya pendidikan seseorang juga turut menentukan mudah tidaknya orang tersebut dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Berdasarkan hal ini, kita dapat menentukan metode penyuluhan gizi yang tepat. Di samping itu, dilihat dari segi kepentingan gizi keluarga, pendidikan itu sendiri amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan secepatnya (Apriadji, 1986). Pengetahuan gizi sangat penting, dengan adanya pengetahuan tentang zat gizi maka seseorang dengan mudah mengetahui status gizi mereka. Zat gizi yang cukup dapat dipenuhi oleh seseorang sesuai dengan makanan yang dikonsumsi yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan. Pengetahuan gizi dapat memberikan perbaikan gizi pada individu maupun masyarakat (Suhardjo, 1986). 

Metode Pengukuran Konsumsi Makanan (skrispi dan tesis)


Metode pengukuran konsumsi makanan digunakan untuk mendapatkan data konsumsi makanan tingkat individu. Ada beberapa metode pengukuran konsumsi makanan, yaitu sebagai berikut : 
1. Recall 24 jam (24 Hour Recall) Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman yang telah dikonsumsi dalam 24 jam yang lalu. Recall dilakukan pada saat wawancara dilakukan dan mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Wawancara menggunakan formulir recall harus dilakukan oleh petugas yang telah terlatih. Data yang didapatkan dari hasil recall lebih bersifat kualitatif. Untuk mendapatkan data kuantitatif maka perlu ditanyakanenggunaan URT (Ukuran Rumah Tangga). Sebaiknya recall dilakukan minimal dua kali dengan tidak berturut-turut. Recall yang dilakukan sebanyak satu kali kurang dapat menggambarkan kebiasaan makan seseorang (Supariasa, 2001). Metode recall sangat tergantung dengan daya ingat individu, sehingga sebaiknya responden memiliki ingatan yang baik agar dapat menggambarkan konsumsi yang sebenarnya tanpa ada satu jenis makanan yang terlupakan. Recall tidak cocok bila dilakukan pada responden yang di bawah 7 tahun dan di atas 70 tahun. Recall dapat menimbulkan the flat slope syndrome, yaitu kecenderungan responden untuk melaporkan konsumsinya. Responden kurus akan melaporkan konsumsinya lebih banyak dan responden gemuk akan melaporkan konsumsi lebih sedikit, sehingga kurang menggambarkan asupan energi, protein, karbohidrat, dan lemak yang sebenarnya (Supariasa, 2001). 
2. Food Record
 Food record merupakan catatan responden mengenai jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam satu periode waktu, biasanya 1 sampai 7 hari dan dapat dikuantifikasikan dengan estimasi menggunakan ukuran rumah tangga (estimated food record) atau menimbang (weighed food record) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007). 
3. Food Frequency Questionnaire (FFQ)
 FFQ merupakan metode pengukuran konsumsi makanan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data mengenai frekuensiseseorang dalam mengonsumi makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Kuesioner terdiri dari daftar jenis makanan dan minuman (Supariasa, 2001).
 4. Penimbangan makanan (Food Weighing)
 Metode penimbangan makanan dilakukan dengan cara menimbang makanan disertai dengan mencatat seluruh makanan dan minuman yang dikonsumsi responden selama satu hari. Persiapan pembuatan makanan, penjelasan mengenai bahan-bahan yang digunakan dan merk makanan (jika ada) sebaiknya harus diketahui (Gibson, 2005). 5. Metode Riwayat Makan Metode riwayat makan dilakukan untuk menghitung asupan makanan yang selalu dimakan dan pola makan seseorang dalam waktu yang relatif lama, misalnya satu minggu, satu bulan, maupun satu tahun. Metode ini terdiri dari 3 komponen, yaitu wawancara recall 24 jam, memeriksa kebenaran recall 24 jam dengan menggunakan kuesioner berdasarkan frekuensi konsumsi sejumlah makanan, dan konsumsi makanan selama tiga hari, termasuk porsi makanan (Gibson, 2005)

Masalah Gizi Lebih (skripsi dan tesis)

 Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Soerjodibroto, 1993). Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2 , sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2 . Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anakanak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula. Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Suyono, 1986).

Masalah Gizi Kurang (skripsi dan tesis)

 Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,  perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan (Sampoerno, 1992). Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2001). Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Jalal dan Atmojo, 1998). Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 1986).

Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh (skripsi dan tesis)

Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Gibson, 2005).
 IMT =  Berat badan (kg)
             Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)  


Indeks Antropometri (skripsi dan tesis)

Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2001). IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia  harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa yang berumur diatas  tahun. Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh, terdiri dari : 
1. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein, lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan (Gibson, 2005).
 2. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal (tulang) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).