Showing posts with label judul ilmu ekonomi. Show all posts
Showing posts with label judul ilmu ekonomi. Show all posts

Wednesday, February 15, 2023

Sistem pengelolaan keuangan daerah

 2       Salah satu unsur yang paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah sistem atau cara pengelolaan keuangan daerah, hal ini penting dan mendasar untuk memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada serta upaya untuk mengakomodasi berbagai tuntutan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang akan dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).  Pasal 4 dan 5 menyebutkan bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.

Devas, dkk (1989) mengemukakan bahwa pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut.

  1. Tanggung jawab (accountability). Pemerintah Daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.
  2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
  3. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
  4. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
  5. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.

Mardiasmo (2000) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah.  Anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.  Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah.

Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai perwujudan dari rencana kerja keuangan akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan selain berdasarkan pada ketentuan umum juga berdasarkan pada:

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
  5. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 Pelaksanaan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah

Konsep manajemen strategis

  

            Managemen strategis menurut Suwarsono (1994:6) dapat diartikan sebagai usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Komponen pokok dari manajemen strategis adalah:

  1. analisis lingkungan yang diperlukan untuk mendeteksi peluang dan ancaman;
  2. analisis profil perusahaan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan;
  3. strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan misi.

            Menurut Salusu (1996:493), manajemen strategis adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi secara efektif dan efisien, sampai kepada implementasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Menurut Wahyudi (1996:15) manajemen strategis adalah suatu seni dan ilmu dari pembuatan (formulating), penerapan (implementing) dan evaluasi (evaluating) terhadap keputusan strategis antara fungsi-fungsi yang memungkinkan organisasi mencapai masa depan. Siagian (1995:15-42) mengatakan bahwa merumuskan manajemen strategis sebagai rangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.

            Dengan berkembangnya organisasi menjadi sangat kompleks, di mana pengelolaan sumber daya organisasi menjadi semakin rumit. Keadaan ini menyebabkan semakin pentingnya suatu manajemen strategi agar organisasi berkembang secara sehat dan mampu mempertahankan eksistensinya. Membahas konsep manajemen strategis berarti membicarakan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya, lingkungan internal dan lingkungan eksternal.

            Dalam lingkungan organisasi, manajemen strategis mampu menciptakan sinergi dan  l'esprit de corps yaitu semangat korps yang penuh integritas sehingga dapat melicinkan jalan menuju sasaran organisasi. Semangat itu diharapkan akan meningkatkan produktivitas mereka. Dengan begitu organisasi akan mampu bertahan lama bebas dari perasaan curiga antar karyawan. Hasilnya akan lebih mampu memberikan pelayanan terbaik kepada konsumennya.

            Manajemen strategis di lingkungan pemerintahan akan banyak berkaitan dengan pengalokasian kekuasaan dan sumber daya, pendelegasian wewenang mengambil keputusan, penggalian sumber-sumber keuangan pemanfaatan dana yang diperoleh dari rakyat berupa pajak dengan cara yang paling efisien dan paling efektif. Manajemen strategis tidak terlepas dari strategi itu sendiri. Strategi secara luas dapat dipandang sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan atau alokasi sumber daya yang mendefinisikan bagaimana organisasi itu, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi itu melakukannya (Bryson, 1988:5).

            Hax dan Majluf (1991) menawarkan rumusan yang komprehensif tentang strategi sebagai berikut (lihat Salusu,1996: 100-101).

  1. strategi adalah suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral.
  2. menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya.
  3. menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti organisasi.
  4. mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya .
  5. melibatkan semua tingkat hierarki dari organisasi.

            Dengan definisi ini, strategi menjadi suatu kerangka yang fundamental tempat suatu organisasi akan mampu menyatakan kontinuitasnya yang vital, sementara pada saat yang bersamaan organisasi  akan memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Menurut Salusu (1996:101) strategi ialah suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Oleh karena itu strategi dapat dikatakan sebagai perluasan misi guna menjembatani organisasi dan lingkungannya dalam pencapaian tujuan. Strategi dikembangkan untuk mengatasi isu strategis, strategi menjelaskan tentang respon organisasi terhadap pilihan kebijakan pokok.

            Manajemen strategis adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi secara efektif dan efisien, sampai kepada implementasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Dengan manajemen strategis, organisasi dimungkinkan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dalam lingkungan eksternal dan sekaligus memanfaatkannya. Ancaman dari lingkungan dapat dihindari seminimal mungkin dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki organisasi.     Dengan peluang dan kekuatan, organisasipun dapat memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Bahkan manajemen strategis dapat memberi petunjuk awal bagaimana mengantisipasi perubahan-perubahan awal dari lingkungan eksternal (Salusu, 1996:495).

            Manfaat dari penggunaan manajemen strategik menurut Yoo dan Digman (1987) adalah (lihat Salusu 1996:498).

  1. manajemen strategik mampu memberikan petunjuk bagaimana mengantisipasi masalah-masalah dan peluang di masa yang akan datang;
  2. memungkinkan para karyawan memahami tujuan dan sasaran organisasi;
  3. meningkatkan kepuasan dan motivasi karyawan;
  4. menyediakan informasi kepada para pengambil keputusan tepat pada waktunya;
  5. mempercepat pengambilan keputusan yang bermutu dan bisa menghemat biaya.

Kinerja perusahaan

  

         Setiap perusahaan  baik milik  swasta maupun pemerintah memiliki tujuan yang harus dicapai. Di dalam organisasi/perusahaan terdapat pimpinan atau manajer yang bertugas membuat keputusan strategik yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kinerja suatu organisasi atau perusahaan tergantung pada kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Penilaian kinerja suatu organisasi atau perusahaan oleh berbagai pihak memiliki sudut pandang yang berbeda.

            Helfert, (1991: 52-53) mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan adalah hasil dari semua keputusan yang dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu untuk menilai kinerja perusahaan perlu menaikannya dengan kinerja keuangan komulatif dan ekonomi dari keputusan-keputusan itu. Analisis kinerja keuangan didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan, seperti tercermin di dalam laporan keuangan yang dapat dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim. Kinerja keuangan perusahaan harus diukur untuk melihat apakah kinerja keuangan perusahaan mengalami pertumbuhan atau tidak. Ukuran ini diperlukan untuk menyediakan informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan, yang dapat dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan manajemen di masa yang akan datang.

            Pendapat tersebut menegaskan bahwa hasil dari pelaksanaan semua keputusan manajemen merupakan perwujudan dari kinerja perusahaan. Pembuatan keputusan manajemen bukan hanya didasarkan pada pertimbangan internal perusahaan, tetapi juga menyangkut aspek-aspek eksternal seperti pemilik perusahaan, kreditor, pemerintah, masyarakat serta calon investor. Oleh karena itu, kelompok eksternal tersebut juga berkepentingan dalam mengevaluasi kinerja perusahaan.

           Penilaian kinerja perusahaan fokusnya berbeda dengan instansi pemerintah, karena kegiatan perusahaan tidak terlepas dari aspek ekonomi , yaitu mencari keuntungan, sedangkan instansi pemerintah berorientasi sosial, sehingga harus mengutamakan kepuasan masyarakat secara adil dan merata. Konsekuensi dari orientasi perusahaan tersebut, maka penilaian kinerjanya lebih dominan diukur dari aspek keuangan.

            Powell (1992:551-558) mengungkapkan bahwa secara umum manajemen strategis memperbaiki kinerja lebih sering dibandingkan jika tanpa perubahan.  Tercapainya kesesuaian antara lingkungan organisasi dan strategi, struktur serta proses organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa pengetahuan tentang manajemen strategis sangat penting bagi kinerja bisnis yang efektif dalam lingkungan yang berubah. Penggunaan perencanaan strategis dan pemilihan latihan-latihan alternatif dari tindakan berdasarkan penilaian faktor-faktor internal dan eksternal merupakan bagian penting dari pekerjaan manajer (lihat Wheelen dan Hunger, 2001:6)

            Salah satu pemicu yang mendorong sebuah perusahaan untuk melakukan perubahan strategi adalah kesenjangan kinerja (Wheelen dan Hunger, 2001:8), yaitu ketika kinerja perusahaan tidak memenuhi harapan. Kesenjangan kinerja biasanya terjadi ketika penjualan dan laba menurun atau ketika tidak ada kemajuan penjualan sedangkan para pesaing mengalami peningkatan.

BUMN/BUMD

  

            BUMN/BUMD merupakan wujud nyata dari investasi negara dalam dunia usaha, tujuannya adalah untuk mendorong dan mengembangkan aktivitas perekonomian nasional. Adapun tujuan BUMN menurut Rees (1984) adalah (lihat Sri Maemunah,1996:14-19) adalah:

  1. guna efisiensi ekonomi yang meliputi alokasi teknologi dan manajerial;
  2. kemampuan memperoleh laba, yang merupakan sumber pendapatan negara berupa pajak penghasilan atas laba yang diperoleh BUMN dan bagian laba yang diterima pemerintah sebagai pemilik. Meningkatkan kemampuan laba adalah penting bagi BUMN karena menjadi sumber dana intern juga merupakan sumber pendapatan pemerintah;
  3. distribusi pendapatan, merupakan alat pemerintah untuk mengadakan distribusi pendapatan melalui kebijaksanaan harga di bawah rata-rata atau dengan keputusan investasi yang mengabaikan economies of scale untuk meningkatkan pendapatan riil golongan tertentu;
  4. tujuan bersifat makro, sebagai alat kebijaksanaan pemerintah mempunyai tujuan yang bersifat agregate, antara lain untuk memperluas kesempatan kerja, memperbaiki neraca pembayaran, menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

            Menurut Sri Maemunah (1996:7) tujuan BUMN adalah: (1). Menunjang perkembangan ekonomi. (2). Mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal melalui perintisan usaha dan pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. (3). Menjaga stabilitas dengan menyediakan persediaan barang yang cukup terutama menyangkut hajat hidup orang banyak. (4). Mencapai efisiensi teknik agar dapat menjual dengan harga yang terjangkau tanpa mengurangi mutu dan kemampuan memupuk dana dari keuntungan. (5). Menunjang terselenggaranya rencana pembangunan.

            Tujuan BUMN selalu terdiri dari tujuan sosial dan tujuan komersial. Sebaiknya tujuan sosial dibedakan dari tujuan komersial, untuk tujuan sosial pemerintah memberi subsidi sedang tujuan komersial dibayar oleh konsumen.Turut campur tangan pemerintah dalam perekonomian dalam bentuk BUMN/BUMD, secara ekonomis merupakan tindakan untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar dalam distribusi sumber daya secara optimal, yang berarti pula mengatasi adanya kegagalan mekanisme pasar dalam mencapai nilai ekonomis yang optimal atas sumber daya.

            Kegagalan pasar pertama adalah kegagalan yang disebabkan oleh struktur pasar di mana tingkat teknologi yang menyebabkan turunnya biaya (decreasing cost technology) menyebabkan terbentuknya  monopoli secara alamiah (natural monopoly) atau oligopoli. Apabila terjadi monopoli atau oligopoli maka pasar akan dikuasai oleh sebuah atau beberapa perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan dengan mengurangi produksi dan menaikkan harga di atas biaya marginal.

            Kegagalan pasar yang lain adalah eksternalitas yaitu adanya perbedaan nilai dan manfaat sosial dengan manfaat dan nilai pribadi (Mangkoesoebroto. 2000:43). Kegagalan pasar yang lain adalah kegagalan mekanisme pasar secara dinamis yang disebabkan belum berkembangnya pasar modal dan keengganan pihak swasta terhadap resiko usaha. Apabila kondisi ini dibiarkan tanpa adanya turut campur tangan pemerintah maka akan terjadi kebangkrutan, dan pengangguran yang mempunyai akibat luas terhadap perekonomian  suatu negara.

            BUMN mempunyai peran penting dalam pembangunan negara berkembang. Timbulnya BUMN dapat disebabkan oleh beberapa alasan  karena kegagalan mekanisme pasar mencapai alokasi sumber daya secara optimal, disebabkan adanya monopoli dan eksternalitas, alasan idiologi, alasan sosial politis, dan sebagai warisan sejarah.

            BUMN merupakan organisasi yang mempunyai 2 (dua) dimensi. Sebagai badan usaha harus menghasilkan keuntungan, tumbuh dan selalu menjaga kelangsungan usahanya. Sebagai alat kebijakan pemerintah ia mempunyai tujuan yang berorientasi kepentingan masyarakat. Dua kepentingan berbeda dan mungkin berlawanan itu harus dipadukan secara berimbang, walaupun sulit untuk dilaksanakan. Senada dengan pernyataan tersebut,  Jones, dkk (1982:12) mengemukakan bahwa BUMN mempunyai dua dimensi yaitu dimensi publik dan dimensi badan usaha (enterprise). Dimensi publik sebuah badan usaha akan ditentukan oleh pemilikan (ownership) dan oleh pengawasan dari pemerintah yaitu sejauh mana keputusan intern dapat dilakukan oleh pimpinan perusahaan.

            Sepherd (1979:406), berpendapat bahwa untuk memperjelas arti BUMN ada 3 (tiga) dimensi ekonomi yang akan menentukan menentukan dimensi publik dari sebuah badan usaha:

  1. pemilikan sebagian atau seluruh modal badan usaha oleh negara;
  2. subsidi dari pemerintah yang disebabkan oleh penetapan harga di bawah biaya atau adanya tambahan modal oleh pemerintah;
  3. pengawasan oleh pemerintah.

            Perbedaan konseptual antara BUMN dengan perusahaan swasta terletak pada definisi public purpose (Sicherl, 1983:79). Pada perusahaan swasta sasaran perusahaan ditentukan di dalam perusahaan oleh pimpinan/pemilik  untuk mencapai hasil yang optimal sesuai dengan kepentingan mereka. Dampak terhadap masyarakat berada di luar kepentingan mereka. Sasaran BUMN ditetapkan berdasarkan tujuan dasar negara yang ditetapkan sebagai public purpose. Ini berarti tujuan BUMN merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional.

            Public ownership menyatakan adanya pemilikan perusahaan oleh pemerintah. Pemilikan saham dapat secara langsung/tidak langsung melalui pemilikan saham sebesar 50% dari modal saham atau lebih. Hal ini untuk menjamin pengawasan dari pemerintah atas perusahaan. Pemilikan di bawah 50% dari modal saham hanya akan membawa pengaruh besar atas perusahaan apabila pemerintah melengkapi pemilikan tersebut dengan pengawasan ketat.

            Public control adalah pengawasan atas pelaksanaan top manajeman yang meliputi keputusan investasi, modal, penetapan harga, kebijakan upah, corporate plan, dan pengangkatan direksi. Implikasi lebih jauh dari public control adalah publik manajemen. Implikasi public control dan publik manajemen adalah public accountability yang merupakan fenomena kompleks yang meliputi evaluasi kinerja atas berbagai tujuan multi dimensi dan ketepatan dari tindakan manajerial BUMN bertanggung jawab kepada berbagai pengawasan dan kepentingan.

            BUMD dalam hal ini, tidaklah jauh berbeda dengan tujuan BUMN, yang bertujuan menunjang perkembangan ekonomi, mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal bagi masyarakat, menyediakan persediaan barang yang cukup bagi hajat hidup orang banyak, mampu untuk memupuk keuntungan dan menunjang terselenggaranya rencana pembangunan.  Hanya perbedaannya terletak pada kepemilikan yaitu dalam konteks negara dan daerah. Salah satu BUMD yang mengemban amanat dan peran strategis di daerah adalah PDAM, yang berfungsi melayani kebutuhan hajat hidup orang banyak dan sekaligus menggali dana masyarakat melalui perolehan keuntungan dari usahanya untuk digunakan kembali dalam membangun sarana dan prasarana yang diperlukan oleh masyarakat.

            Dengan demikian PDAM dalam usahanya sebagai badan usaha milik pemerintah daerah, yang melaksanakan fungsi pelayanan menghasilkan kebutuhan air minum/air bersih bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan pelayanan  akan air bersih yang  merata kepada seluruh lapisan masyarakat, membantu perkembangan bagi dunia usaha dan menetapkan struktur tarif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat. Dalam hal ini keberadaan PDAM sebagai BUMD dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, menunjang bagi perkembangan kelangsungan dunia usaha dan perkembangan ekonomi di daerah, percepatan pembangunan di daerah, karena produk air bersih yang dihasilkan oleh PDAM merupakan barang yang essential  yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

            Di sisi lain dengan menjual air bersih ini PDAM diharapkan juga memiliki efisiensi sehingga memiliki kemampuan dalam memupuk dana dan menghasilkan keuntungan, yang juga merupakan kontribusi bagi PAD. Dana dari PAD ini yang kemudian diharapkan mampu menunjang terselenggaranya rencana pembangunan di daerah, dan hasil pembangunan itu pada akhirnya dapat dinikmati  kembali oleh masyarakat.  Maka sejalan dengan itu agar PDAM berjalan dengan tujuan dan fungsinya, memerlukan  pengelolaan yang baik dan benar dengan memperhatikan segala kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimilikinya, dalam upayanya makin mensejahterakan masyarakat di era otonomi ini.

Prinsip- prinsip Pokok dalam Siklus Anggaran Daerah

 Prinsip-prinsip pokok manajemen keuangan, seperti yang diuraikan diatas harus diterapkan pada setiap tahap siklus anggaran. Hal ini perlu dilakukan agar anggaran daerah benar-benar dapat mencapai visi dan misi yang dibebankan kepadannya. Bagi pengelola keuangan daerah, prinsip-prinsip pokok tersebut  merupakan koridor bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah, sehingga dapat menjamin pengelolaan keuangan daerah selalu berorientasi pada kepentingan publik.

Dalam suasana otonomi daerah, dengan diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbanganan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka prinsip-prinsip pokok siklus anggaran daerah perlu dianalisis keberadaannya selama ini. Analisis  akan dilihat berdasarkan tahapan yang diuraikan sebelumnya dan dengan asumsi tidak ada perubahan struktur organisasi pemda yang drastis. Mardiasmo (1999:396-400), lebih jauh menjelaskan tahapan siklus anggaran daerah dalam konteks otonomi daerah

1). Tahap Persiapan Anggaran

Berdasarkan pasal 86  ayat 1 UU No.22/1999 dan pasal 20 ayat 1 UU No.25/1999, maka anggaran daerah dapat disiapkan dan direncanakan dengan baik untuk mendukung prinsip dan fungsi anggaran sebagai alat perencana keuangan daerah. Dana yang berasal dari pusat terutama yang termasuk Dana Alokasi Umum, prosedur penentuan dan pendistribusiannya harus berdasar pada sistem dan prosedur yang jelas dan transparan serta tepat waktu.

Untuk merencanakan pendapatan daerah, maka fungsi DIPENDA sebagai koordinator harus diperankan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengalaman masa lalu, sering salah digunakan pengertian ‘target’ dengan ‘potensi’, sehingga sering terjadi efektifitas pencapaian pendapatan melampaui target yang ditetapkan padahal target itu ditetapkan dibawah potensi yang sebenarnya.

Untuk perencanaan pengeluaran khususnya belanja pembangunan, hendaknya fungsi BAPPEDA harus ditempatkan sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya sebagai badan perencana, bukan sebagai pelaksana. Rakorbang dengan segala tahapannya seperti Pra-Rakorbang perlu direview agar sesuai dengan maksud dan tujuan hakiki dari diadakannya Rakorbang tersebut. Demikian pula ketrlibatan dalam proses pengusulan kegiatan pembangunan  betul-betul melibatkan pihak-pihak yang berkompeten sehingga sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.

Untuk perencanaan belanja rutin yang dikoordinir oleh bagian keuangan, hendaknya standar biaya yang digunakan tidak lagi tergantung pada petunjuk pusat, yang terkadang kurang rasional, tetapi menggunakan standar biaya yang sesuai dengan kondisi setempat. Dalam kaitan ini semua “line item budgeting” perlu ditinjau kembali.

2). Tahap Ratifikasi Anggaran

Mengacu pada UU No.25/1999 pasal 14 dan 16 yang menyatakan adanya pemisahan fungsi yang jelas antara ekskutif danlegislatif. Dengan terpisahnya kedua fungsi tersebut, maka pihak pemda lebih berfungsi sebagai pihak yang mengajukan anggaran dan DPRD lebih berfungsi sebagai pihak yang menyetujui/menolak anggaran, walaupun dapat pula menentukan anggaran. Hal ini didukung pula oleh proses ratifikasi yang tidak perlu melibatkan pemerintah tingkat atas (pusat/provinsi). Selain itu tahap ratifikasi pada saat revisi anggaran seperti yang dikehendaki oleh pasal 20 ayat 2 UU No.25/1999. Dengan demikian secara teoritis tahap ratifikasi dilakukan DPRD, baik pada saat anggaran dibuat dan ditetapkannya anggaran awal (initial budget) maupun revisi anggaran sudah menunjukkan semakin besarnya peran DPRD dalam asas desentralisasi sekarang ini.

3). Tahap Implementasi Anggaran

Setelah anggaran daerah diratifikasi oleh DPRD lalu dilaksanakan oleh pemda. Pada tahap ini penting sekali optimalisasi peranan badan pengawasan yang dilaksanakan oleh Inspektorat  Wilayah Kabupaten/Kota (Badan Pengawasan Daerah) sebagai internal auditor. Dengan menjalankan fungsi pengawasan secara optimal diharapkan dapat memonitor secara dini pelaksanaan belanja pembangunan dan belanja rutin, sejak awal pelaksanaan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terhadap kegiatan yang akan menyimpang. Optimalisasi peran badan pengawasan ini hendaknya lebih diarahkan secara preventif guna meluruskan kembali apabila terjadi kesalahan.

4). Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran

Pada tahap pelaporan dan evaluasi ini secar teoritis tidak akan lepas dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pelaporan keuangan seperti Nota Perhitungan APBD oleh Pemda, yang diinginkan tidak hanya untuk pihak DPRD sebagai ‘stakeholders’, tetapi juga untuk masyarakat sebagai ‘stakeholders’. Agar pelaporan tersebut lebih meyakinkan semestinya dimungkinkan keterlibatan pihak independen dalam ‘menilai’ pelaporan yang dibuat oleh Pemda. Dengan melibatkan pihak luar yang independen diharapkan  DPRD mempunyai dasar yang kuat dalam menerima atau menolak laporan pihak ekskutif. Sesuai dengan jiwa pasal 24 ayat 2 UU No.25/1999 dalam menilai pelaporan ini dimungkinkan untuk menghadirkan pihak-pihak diluar anggota DPRD seperti, tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan wakil-wakil perguruan tinggi, sehingga terjadi “horizontal communication”. Selanjutnya mendorong pula terjadinya “horizontal accountability”.

Sesuai dengan asas desentralisasi dan otonomi yang lebih luas, maka dalam tahap evaluasi hendaknya ada indikator kinerja yang lebih jelas, dan dapat dimungkinkan berbeda-beda antar daerah, mengingat heterogenitas Pemda Kabupaten/Kota yang sangat tinggi. Dengan demikian evaluasi akan lebih akurat, adil dan tepat sasaran. Dengan indikator yang berbeda maka dimungkinkan pula adanya pelaporan/pertanggungjawaban yang berbeda, sepanjang tidak menyalahi standar akuntansi keuangan Pemda. Untuk maksud tersebut perlu adanya kesepakatan antara Pemda sebagai pelaksana anggaran daerah dengan DPRD sebagai pihak yang mengesahkan pelaporan, tentang bentuk dan format pelaporan yang diinginkan sehingga dapat dimengerti semua pihak lebih akurat dan tepat sasaran.

Pengendalian Keuangan Daerah

  

Penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah harus sering dimonitor, yaitu, harus dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai/direalisasikan. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians/selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah, agar secepat mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.

Transparansi Keuangan Daerah

  

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh  DPRD dan masyarakat.

Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntbel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Value for Money

  

Kinerja anggaran pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus dapat memanfaatkan uang sebaik mungkin dengan konsep value for money yang berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini berarti dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut harus mencerminkan tiga pilar utama (3 E) dalam proses penganggaran, yaitu: ekonomis, efisiensi dan efektifitas.

  1. ekonomis, merupakan ukuran penggunaan dana masyarakat sesuai dengan kebutuhan sesungguhnya.
  2. Efisiensi, merupakan ukuran penggunaan dana masyarakat (public money) yang dapat menghasilkan output maksimal (berdayaguna).
  3. Efektifitas, merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dapat mencapai tujuan kepentingan publik.

Peran pemerintah daerah bukan lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat, melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Konsep VFM ini penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasinya akan memberikan manfaat seperti:

  1. efektifitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran;
  2. meningkatkan mutu pelayanan publik;
  3. biaya pelayanan yang murah, karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan sumber daya (resources);
  4. alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik;
  5. meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik.

Dalam konteks otonomi daerah, VFM merupakan jembatan untuk mengantarkan pemda mencapai good governance, yaitu pemda yang transparan, ekonomis, efisien, efektif serta responsif dan akuntabel. VFM tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.

Akuntabilitas Keuangan Daerah

  

Akuntabilitas keuangan daerah adalah kewajiban Pemda untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan ialah : pertama, aspek legalitas penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Setiap transaksi yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya. Kedua, pengelolaan keuangan daerah secara baik, perlindungan asset fisik dan finansial, serta mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Prinsip-prinsip akuntabilitas keuangan daerah meliputi: pertama, adanya suatu sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua, setiap pengeluaran daerah yang dilakukan harus berorientasi pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (manfaat) yang akan dicapai.

Pengelolaan APBD sebagai komponen utama manajemen keuangan daerah

  

Perbaikan kinerja anggaran dan pengelolaan  keuangan daerah menduduki posisi penting  dalam strategi pemberdayaan  Pemerintah Daerah, terlebih lagi dalam era otonomi daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. World Bank (1988) menyebutkan bahwa perencanaan pengeluaran yang berorientasi pada kinerja akan meningkatkan kinerja anggaran daerah.

Prakiraan jumlah alokasi dana yang dibutuhkan setiap unit kerja pemerintah daerah dan atau program kerja dalam menghasilkan suatu tingkat pelayanan publik, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Indentifikasi input, teknik produksi pelayanan publik dan tingkat kualitas minimal yang harus dihasilkan oleh suatu unit kerja menjadi syarat dalam menentukan alokasi dana yang optimal untuk setiap unit kerja pelayanan publik.            Dengan demikian pengeluaran pemerintah daerah dapat dijadikan ukuran kinerja yang akan mempermudah dalam melakukan kegiatan pengendalian dan evaluasi kebijakan sehingga setiap kegiatan pemerintahan dan pembangunan akan lebih dekat dengan gerak dinamis masyarakatnya yang setiap saat membutuhkan pelayanan publik yang bermutu, cepat dan tepat.

Anggaran daerah merupakan rancangan teknis untuk pelaksanaan strategi kebijakan, yang konsekuensinya apabila pengeluaran pemerintah mempunyai kualitas yang rendah maka kualitas pelayanan fungsi-fungsi pemda juga cenderung melemah yang berakibat kepada wujud pemerintah daerah yang baik dan terpercaya sulit dicapai. Ediharsi, dkk, (1998), menyebutkan bahwa pengelompokkan anggaran menurut sektor lebih mengarah kepada pemberian informasi tentang prioritas pembangunan  daripada penentuan target pertumbuhan.

Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek penting adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu diperlukan manajemen keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah  secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World Bank (1998:46), menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah, penganggaran daan manajemen keuangan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pokok yang meliputi : komprehensif dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi, fleksibilitas, terprediksi dan informatif. Selanjutnya Mardiasmo (2000:1-3) mengemukakan elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi: akuntabilitas, value for money, kejujuran, transparansi dan pengendalian.

Kantor Samsat

  

  1. Dasar Hukum yang digunakan, seperti yang disebutkan di bawah ini sebagai berikut.
  2. Instruksi Bersama Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999 dan Nomor 6/IMK.014/1999.
  3. Surat Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor Skep/06/X/1999, Nomor 973-1228 dan Nomor SKEP/02/X/1999.
  4. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor.
  5. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
  6. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda 3/98.
  7. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda 4/98.

 

  1. Beberapa ketentuan tentang Kantor Samsat.
  2. Sistem Administrasi Manunggal di Bawah Satu Atap (Samsat) merupakan wadah yang melaksanakan tugas secara bersama dari 3 (tiga) Instansi yaitu Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah, Dinas Pendapatan Daerah dan PT. Jasa Raharja.
  3. Tugas pokoknya adalah melaksanakan pungutan pajak terhadap kendaraan bermotor dan membantu pelayanan terhadap masyarakat yang berkait dengan kepemilikan kendaraan bermotor tersebut.
  4. Koordinator Samsat adalah Kepala Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah sedang yang menjadi anggota adalah petugas dari unsur Dinas Pendapatan Daerah dan PT. Jasa Raharja.
  5. Fasilitator untuk keberadaan Samsat ini adalah Pemerintah Daerah dalam hal ini diserahkan tugasnya kepada Dinas Pendapatan Daerah.
  6. Lokasi Samsat berada di setiap kabupaten dan kota, dengan memperhatikan situasi, kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
  7. Kegiatan Samsat adalah mengolah dan memproses produk dengan hasil antara lain berupa Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), pungutan PKB dan BBNKB serta Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas (SWDKLL).

PKB dan BBNKB

  

  1. Dasar Hukum yang digunakan, antara lain sebagai berikut.
  2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.
  4. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Kendaraan Bermotor.
  5. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
  6. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pajak Daerah.
  7. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda 3/98.
  8. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda 4/98.
  9. Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) Tahun 2001 di Propinsi DIY.
  10. Beberapa pengertian yang diatur Peraturan-Peraturan di atas, antara lain adalah sebagai berikut.
  11. PKB adalah pajak yang dipungutan atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor.
  12. BBNKB adalah pajak yang dipungutan oleh daerah atas setiap penyerahan kendaraan bermotor.
  13. Wajib Pajak PKB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan atau menguasai kendaraan bermotor.
  14. Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima kendaraan bermotor.
  15. Surat Pendaftaran dan Pendataan Kendaraan Bermotor yang disingkat menjadi SPPKB adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mendaftarkan kendaraan bermotor yang dimiliki dan merupakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).
  16. Surat Ketetapan Pajak Daerah adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terhutang.
  17. Nilai Jual Kendaraan Bermotor adalah nilai jual kendaraan bermotor yang diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor sebagaimana yang tercantum dalam Tabel Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang berlaku.

Kemampuan keuangan daerah.

 Kemampuan keuangan dan anggaran daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya. Di sini akan lebih mengarah pada aspek kemandirian dalam bidang keuangan, yang biasanya diukur dengan desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal daerah, yang dapat diketahui melalui perhitungan kontribusi PAD terhadap total APBD serta kontribusi sumbangan dan bantuan terhadap total APBD. Pengukuran derajat desentralisasi fiskal daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan rasio antara PAD dengan penerimaan daerah (Suparmoko, 1987: 42), di mana upaya desentralisasi di Indonesia diletakkan dalam kerangka sentralisasi (Kuncoro, 1995: 3-17).

            Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri RI bekerjasama dengan FISIPOL UGM (1991: 42-47) mengemukakan bahwa untuk menentukan corak otonomi daerah digunakan variabel-variabel pokok seperti: kemampuan keuangan, aparatur, partisipasi masyarakat, ekonomi, demografi, organisasi masyarakat dan penunjang, terdiri atas aspek politik dan hukum. Kriteria kemampuan keuangan daerah dapat dikategorikan sebagai berikut:

 

 

Tabel 2.2

Skala Interval Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota

 

Prosentase PAD

Kemampuan Keuangan Daerah

0,00 - 10,00

10,01 - 20,00

20,01 - 30,00

30,01 - 40,00

40,01 - 50,00

> 50,00

Sangat kurang

Kurang

Sedang

Cukup

Baik

Sangat baik

                Sumber : Tim Litbang Depdagri - Fisipol UGM, 1991

 

Perkembangan APBD.

 Anggaran daerah terdiri dari anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1975 jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 1989 maka untuk anggaran pendapatan meliputi:

  1. sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu : terdiri atas sisa kas pada akhir tahun anggaran dan sisa UUDP rutin dan pembangunan.
  2. pendapatan asli daerah sendiri : terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan.
  3. bagian pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan atau instansi yang lebih tinggi terdiri atas bagi hasil pajak dan bukan pajak, subsidi daerah otonom, bantuan pembangunan dan penerimaan lainnya.
  4. bagian pinjaman pemerintah daerah : terdiri atas pinjaman dari pemerintah pusat dan pinjaman dari lembaga keuangan dalam negeri.

Selanjutnya untuk anggaran belanja terdiri atas belanja rutin yang meliputi: belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, belanja lain-lain, angsuran pinjaman, hutang dan bunga, belanja pensiunan dan bantuan (onderstand), ganjaran/subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan, pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran yang tidak tersangka, serta untuk belanja pembangunan meliputi 21 (dua puluh satu) sektor.

Efisiensi APBD

 . Efisiensi meliputi beberapa hal sebagai berikut (lihat Bana, 2001: 20) :

  1. efisiensi pada sektor usaha swasta (private sector efficiency). Efisiensi pada sektor usaha swasta dijelaskan dengan konsep input output, yaitu rasio dari output dan input;
  2. efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat (public sector efficiency). Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin;
  3. suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien, jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output), dengan biaya (input) yang rendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang diinginkan.

Pemerintah Kabupaten/Kota secara substansial kurang menggunakan unit cost atau indikator efisiensi jika dibandingkan dengan tipe ukuran yang lain, walaupun ukuran efisiensi sering dianggap penting untuk tujuan penganggaran (Poister dan Streib, 1999: 331-335). Menurut Baswir (1993: 176) rasionalitas hampir selalu berkaitan dengan efisiensi, artinya secara ekonomis suatu tindakan dikatakan rasional bilamana tindakan itu ada kaitannya dengan usaha mencapai hasil sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya.

Dengan mengacu pada pengertian efektivitas dan efisiensi, dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar unit satuan kerja daerah mulai menggunakan ukuran beban kerja, untuk memberikan suatu gambaran tentang kedua hal tersebut. Khususnya dalam hal penganggaran diarahkan untuk berorientasikan hasil melalui pengukuran efisiensi serta pencapaian tujuan melalui efektivitas. Untuk itu diharapkan dengan dukungan proses manajemen lainnya seperti perencanaan strategi, manajemen evaluasi program, manajemen kinerja, manajemen kualitas dan benchmarking, akan membuahkan hasil suatu pelaksanaan anggaran yang tertib dan terkendali.

Adapun faktor penentu efektivitas dan efisiensi sebagaimana yang dikutip oleh Bana (2001: 21) sebagai berikut:

  1. faktor sumber daya, baik sumber daya manusia seperti tenaga kerja, kemampuan kerja maupun sumber daya fisik seperti peralatan kerja, tempat kerja serta ketersediaan dana;
  2. faktor struktur organisasi yaitu susunan yang stabil dari jabatan-jabatan, baik struktural maupun fungsional;
  3. faktor teknologi dalam pelaksanaan pekerjaan/tugas;
  4. faktor dukungan kepada aparatur dan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, baik dari pimpinan maupun masyarakat.
  5. faktor pimpinan dalam arti adanya kemampuan untuk mengkombinasikan keempat faktor diatas kedalam suatu usaha yang dapat berdayaguna dan berhasilguna untuk percepatan pencapaian sasaran/tujuan.

Efektivitas APBD.

 Pengertian efektivitas berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan suatu aktivitas sektor publik, sehingga suatu kegiatan akan dikatakan efektif bilamana kegiatan dimaksud mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemampuan penyediaan layanan publik, yang tidak lain merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Devas, dkk. (1989: 279-280) menyatakan bahwa efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah dalam mengurus keuangan daerah haruslah sedemikian rupa, sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Pemikiran lain yang sejalan oleh Jones (1995: 10) efektivitas menunjukkan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai suatu tujuan (objectives), sehingga efektivitas hanya berkepentingan dengan keluaran.  Suadi (1997: 7) efektivitas adalah perbandingan antara keluaran dengan tujuan. Oleh karena itu suatu tujuan harus dinyatakan secara spesifik dan rinci, sehingga pengukuran efektivitas dapat lebih bermanfaat dan bermakna.

Proses penyusunan APBD.

  Proses penyusunan APBD diawali dengan:

  1. penentuan perkiraan target penerimaan daerah;
  2. penentuan rencana anggaran belanja rutin;
  3. penentuan rencana anggaran belanja pembangunan.

Selanjutnya dari hasil rancangan rencana anggaran yang telah disusun secara terpadu dan setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah, disampaikan kepada DPRD untuk diproses melalui mekanisme pembahasan yang kemudian akan ditetapkan menjadi peraturan daerah. Adapun rangkaian proses tahapannya pada tabel 2.1 berikut ini:

 

 

Tabel 2.1

Tahapan Proses Penyusunan APBD

No

Tahap

Bulan

Uraian

Instansi

1

2

3

4

5

1

 

 

2

 

 

 

 

 

3

I

 

 

II

 

 

 

 

 

III

September

 

 

Oktober Minggu I & II

 

 

 

 

Oktober Minggu III & IV

 

Pengajuan DUKDA dan DUPDA.

 

Penelitian dan pembahasan DUKDA dan DUPDA.

 

 

 

 

Pengolahan DUKDA dan DUPDA serta penyesuaian skala prioritas.

 

Unit Satuan Kerja Daerah

 

Bappeda, Bagian Penyusunan Program, Bagian Keuangan dan Unit Satuan Kerja Daerah

 

Bappeda, Bagian Penyusunan Program dan Bagian Keuangan

 

4

 

 

 

 

 

5

 

 

 

 

 

 

6

IV

 

 

 

 

 

V

 

 

 

 

 

 

VI

Nopember Minggu I & II

 

 

 

 

Nopember Minggu III & IV s/d

Desember Minggu I & II

 

 

Desember Minggu III & IV

DUKDA dan DUPDA yang dibahas diajukan kepada Kepala Daerah dalam bentuk Rancangan APBD untuk disampaikan kepada DPRD.

 

Penyampaian Nota Keuangan atas Rancangan APBD;

Pembahasan

 

Persetujuan

Penetapan Perda

 

Pengesahan Perda tentang APBD

Pencatatan dalam lembaran daerah

Persiapan pelaksanaan APBD

Tim Tetap Penyusunan APBD

 

 

 

 

Oleh eksekutif

DPRD bersama eksekutif

 

DPRD

DPRD

 

Pejabat berwenang

 

Eksekutif

 

Unit Satuan Kerja Daerah

Prinsip penyusunan APBD.

 Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah RI dan PAU-SE UGM (2000: 5-8) sebagai berikut.

  1. Keadilan anggaran

Keadilan Anggaran merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkatkan dan kesempatan kerja juga akan semakin bertambah, apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat layanan bagi masyarakat daerah;

  1. Efisiensi dan efektivitas anggaran

Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental  yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya, akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran;

  1. Anggaran berimbang dan defisit

Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran, akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penetapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan keuangan maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;

  1. Disiplin anggaran

Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Pencatatan atas penggunaan anggaran daerah disesuaikan dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia.

Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu harus pula dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;

  1. Transparansi dan akuntabilitas anggaran

Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Sejalan dengan Code of Good Practices on Fiscal Transparancy  yang diperkenalkan oleh IMF, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.

Dasar hukum pengelolaan APBD

            Dalam proses mekanisme pelaksanaan APBD sebagai suatu perwujudan dari rencana kerja keuangan, maka terdapat ketentuan-ketentuan sebagai dasar hukum sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah.
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD;
  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
  7. Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan APBD.

Tujuan pengelolaan APBD.

 Berkenaan dengan tujuan pengelolaan APBD oleh Devas, dkk. (1989: 279) meliputi: 1) tanggung jawab; 2) memenuhi kewajiban keuangan;   3) kejujuran; 4) hasil guna dan daya guna; dan 5) pengendalian.

 

Penjelasan selengkapnya sebagai berikut:

  • ketanggungjawaban (accountability): pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur penting tanggung jawab mencakup keabsahan dan pengawasan;
  • mampu memenuhi kewajiban keuangan: keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang (termasuk pinjaman jangka panjang);
  • kejujuran : urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur dan kesempatan berbuat curang diperkecil;
  • hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah: tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya;
  • pengendalian: petugas keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut diatas tercapai.