Friday, May 24, 2019

Asumsi dalam Analisis Jalur (skripsi dan tesis)


Asumsi yang melandasi analisis jalur diantaranya adalah (Solimun 2002,
Riduan dan Kuncoro 2011 dikutip oleh Sunjoyo dkk, 2013):
1. Hubungan antar variabel haruslah linear dan aditif.
2. Ukuran sampel yang memadai sebaiknya diatas 100.
3. Pola hubungan antara variabel adalah rekursif (satu arah).
4. Data berskala interval

Manfaat Analisis Jalur (skripsi dan tesis)


Menurut Saparina (2013), ada beberapa manfaat analisis jalur diantaranya
adalah:
1. Sebagai penjelas terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti.
2. Untuk prediksi nilai variabel endogenous (Y) berdasarkan nilai variabel
eksogenous (X).
3. Sebagai faktor determinan yaitu penentuan variabel eksogenous (X) mana
yang berpengaruh dominan terhadap variabel endogenous (Y), juga untuk
menelusuri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh variabel eksogenous (X)
terhadap variabel endogenous (Y).
4. Pengujian model, menggunakan theory triming, baik untuk uji reabilitas
konsep yang sudah ada ataupun uji pengembang konsep baru.

Pengertian Analisis Jalur (skripsi dan tesis)

Analisis jalur ini merupakan perluasan atau kepanjangan dari regresi
berganda yang digunakan untuk menaksir hubungan kausalitas (sebab-akibat)
antar variabel yang telah ditetapkan sebelumnya, serta menguji besarnya
sumbangan atau kontribusi masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen (Ghozali 2006, Riduan dan Kuncoro 2011 dikutip oleh Sunjoyo dkk, 2013).
Dalam pengujian hubungan kausal tersebut yang didasarkan pada teori
yang memang menyatakan bahwa variabel yang dikaji memiliki hubungan secara kausal. Analisis jalur bukan ditujukan untuk menurunkan teori kausal, melainkan dalam penggunaannya harus didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa hubungan antar variabel tersebut bersifat kausal. Dengan demikian, kuat lemahnya teori yang digunakan dalam menggambarkan hubungan kausal tersebut menentukan dalam penyusunan diagram jalur dan mempengaruhi hasil dari analisis serta pengimplementasian secara keilmuan (Widiyanto, 2013). Menurut Pedhazur dalam Kerlinger (1983) dikutip oleh Widiyanto (2013), analisis jalur merupakan suatu bentuk terapan dari analisis multiregresi. Dalam analisis ini digunakan diagram jalur untuk membantu konseptualisasi masalah atau menguji hipotesis yang kompleks dan juga untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat.
Analisis jalur ialah suatu tehnik untuk menganalisis hubungan sebab akibat
yang terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung (Robert D. Rutherford 1993 dikutip oleh Sarwono, 2007).
Defenisi lain mengatakan “Analisis jalur merupakan pengembangan
langsung bentuk regresi berganda dengan tujuan untuk memberikan estimasi
tingkat kepentingan (magnitude) dan signifikasi (significance) hubungan sebab
akibat hipotetikal dalam seperangkat variabel” (Paul Webley 1997 dikutip oleh
Sarwono, 2007).
David Garson dari North Carolina State University mendefenisikan
analisis jalur sebagai model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji
keselarasan matriks korelasi dengan dua atau lebih model hubungan sebab akibat yang dibandingkan oleh peneliti. Modelnya digambarkan dalam bentuk gambar lingkaran dan panah dimana anak panah tunggal menunjukkan sebagai penyebab. Regresi dikenakan pada masing-masing variabel dalam suatu model sebagai variabel tergantung (pemberi respons) sedang yang lain sebagai penyebab. Pembobotan regresi diprediksikan dalam suatu model yang dibandingkan dengan  matriks korelasi yang diobservasi untuk semua variabel dan dilakukan juga penghitungan uji keselarasan statistik (David Garson 2003 dikutip oleh Sarwono, 2007).

Wednesday, May 22, 2019

Atribut Tunggal vs Atribut Komposit Skala Pengukuran (skripsi dan tesis)


            Sekalipun suatu skala psikologi bertujuan untuk mengukur variable yang konstraknya merupakan atribut tunggal, namun dalam perancangannya atribut tersebut seringkali perlu di uraikan menjadi beberapa dimensi atau komponen guna memperluas cakupan afektifnya dan memperjelas operasionalisasinya.
Pada skala yang dibuat untuk mengukur atribut tunggal seperti itu interkorelasi antar komponen atau dimensinya di harapkan tinggi karena memang komponen-komponen tersebut dirancang untuk mengukur hal yang sama. Dalam seleksi aitem aitemnya pun kita memilih daya beda aitem tertinggi yang ada dengan membandingkan indeksnya secara keseluruhan, bukan perkomponen. Adanya komponen yang ternyata berisi aitem aitem yang berkoefisien korelasi rix rendah menunjukkan antara lain bahwa komponen yang bersangkutan memang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dan dapat dihapuskan. Lebih lanjut, untuk pengujian reliabilitasnya cukup dilakukan satu pengujian saja bagi seluruh aitem yang terpilih sehingga yanga ada adalah koefisien reliabilitas skala bukan koefisien-koefisien reliabilitas komponen.
Di sisi lain, ada skala psikologi yang dirancang untuk mengukur satu atribut namun atribut tersebut dikonsepkan sebagai terdiri atas beberapa aspek atau dimensi yang mengungkap subdomain yang berbeda satu sama lain. Skor-skor dari setiap aspek tersebut akan dijadikan satu skor komposit yang mengindikasikan ada tidaknya atribut semula sebagai tujuan ukurnya. Misalnya WAIS, WAIS bertujuan untuk mengukur IQ. IQ sendiri disimpulkan dari intelegensi yang konsepsinya terdiri atas 11 aspek kecakapan yang berbeda beda. Tidak satupun di antara aspek kecakapan yanga da dalam WAIS itu yang dinamai intelegensi. Setelah skor dari setiap aspek diperoleh dan dikompositkan sedemikian rupa, barulah skor akhir tersebut dinamai IQ yang mencerminkan intelegensi sebagaimana tujuan ukur semula.
Daslam hal pengukuran atribut komposit seperti ini, kita mengharapkan agar interkorelasi antaraspek atau anatardimensi itu rendah karena hal itu berarti bahwa setiap aspek memiliki fungsi ukur yang unik dan tidak ada tumpang tindih. Dari segi pemilihan aitemnya, kita harus melakukan analisis aitem bagi setiap aspek ( menghitung korelasi aitem dengta skor aspek, bukan denga skor skala), dengan membandingkan indeks daya deskrimminasinya dalam aspek masing-masing, bukan secara keseluruhan. Begitu juga dalam emnguji reliabilitasnya, lebih dahulu dilakukan komputasi koefisien reliabilitas bagi masing masing aspek, baru kemudian dihitung reliabilitas secara keseluruhan yang dikenal dengan nama reliabilitas skor komposit ( Mosier, 1943 dalam Azwar , 1997) .
Sebagaimana telah dijelaskan , seleksi aitem dengan menggunakan komputasi korelasi antara skor aitem dan skor total skala menghasilkan indeks daya diskriminasi aitem atau dikenal juga dengan indeks konsistensi aitem total. Peril di ingatkan bahwa indeks daya diskriminasi ini tidak sama dengan koefisien validitas aitem. Daya deskriminasi aitem dan validitas aitem merupakan dua hal berbeda dan pengertiannya tidak untuk dicampuradukkan. Indeks diskriminasi aitem semata-mata menunjukkan sejauh mana aitem yang bersangkutan berfungsi aseperti skala. Indeks daya diskriminasi aitem yangrendah berarti bahwa fungsi aitem yang bersangkutan tidak selaras dengan tujuan ukur skala.
Suatu skala yang seluruhnya berisi aitem dengan indeks diskriminasi tinggi berarti bahwa skala itu merupakan kumpulan aitem yang memiliki tujuan dan fungsi yang sama, tapi hal itu belum menunjukkan fungsi apa yang sebenarnya dimilikinya. Artinya suatu skala yang daya diskriminasi aitem-aitemnya tinggi, belum tentu valid untuk tujuan ukur yang direncanakan. Daya diskriminasi aitem tidak memiliki hubungan langsung dengan validitas skala. Dengan demikian, diharapkan para penyusun skala dan para peneliti yang menggunakan skala akan dapat melakukan evaluasi kualitas aitem dan kualitas skalanya dengan cara yang tepat dan menempatkan prosedur seleksi aitem pada proporsi yang selayaknya.

Memilih Aitem Berdasarkan Koefisien Korelasi Aitem Total (skripsi dan tesis)


            Parameter daya beda aitem yang berupa koefisien korelasi aitem total memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam mengungkap perbedaan individual. Dengan demikian guna mengoptimalkan fungsi skala maka sangat logis apabila pemilihan aitem-aitemnya didasarkan pada besarnya koefisien korelasi termaksud.
Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan tanda positif atau negative. Semakin baik daya diskriminasi aitem maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00. Koefisien yang mendekati angka 0 atau yang memiliki tanda negative mengindikasikan daya diskriminasi yang tidak baik.
Sebagai kriteria pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya pembedanya di anggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix atau ri(X-i) kurang dari 0,30 dapat di interpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah. Batasan ini merupakan suatu konvensi. Penyusun tes boleh menentukan sendiri batasan daya diskriminasi aitemnya dengan mempertimbangkan isi dan tujuan skala yangs edang disusun.
Apabila aitem yang memiliki indeks diskriminasi sama dengan atau lebih besar daripada 0,30 jumlahnya melebihi jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka kita dapat memilih aitem-aitem yang memiliki indeks daya diskriminasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang di inginkan, kita dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 – menjadi 0,25 misalnya sehingga jumlah aitem yang di inginkan dapat tercapai. Apabila hal ini tidak juga menolong, maka sangat mungkin kita harus merevisi seluruh aitem aitem baru sama sekali dan kemudian melakukan field testing kembali karena menurunkan batas kriteria rix dibawah 0,20 sangat tidak di sarankan.
Harus pula diketahui bahwa tingginya korelasi skor aitem dengan skor skala, sekalipun berperanan dalam meningkatkan reliabilitas skala, namun tidak selalu akan meningkatkan validitas skala. Bahkan semata-mata memilih aitem-aitem yang berkorelasi tinggi dengan skor skala akan berakibat menurunkan validitas isi dan validitas yang didasarkan pada kriteria ( lemke & Wiersma, 1976; Azwar, 1997 ).
Oleh karena itu, parameter daya diskriminasi aitem rixhendaknya tidak dijadikan patokan tunggal dalam menentukan aitem mana yang akhirnya diikutkan sebagai bagian skala dalam bentuk final dikarenakan di samping korelasi aitem total tersebut masih ada pertimbangan lain yang juga tidak kalah besar peranannya dalam menentukan kualitas skala. Pettimbangan itu antara lain adalah tujuan penggunaan hasil ukur skala dan komposisi aspek-aspek atau komponen-komponen yang dicakup oleh kawasan ukur yang harus diungkap oleh skala.

Koreksi Terhadap Efek Spurios Overlap (skripsi dan tesis)


            Apabila koefisien korelasi aitem total itu dihitung pada suatu skala yang berisi hanya sedikit aitem maka sangat mungkin akan diperol;eh koefisien korelasi aitem-total yang overestimated (lebih tinggi daripada sebenarnya) dikarenakan adanya overlap antara skor aitem dengan skor skala (Guilford,1965). Overestimasi ini dapat terjadi dikarenakan pengaruh kontribusi skor masing-masing aitem dalam ikut menentukan besarnya skor skala.
Sebagai contoh misalnya dalam sebuah skala skor di dapatkan dari penjumlahan skor-skor yang terdapat pada aitem-aitemnya, oleh karena itu dengan sendirinya skor setiap aitem menjadi bagian atau porsi dari skor skala tersebut. Porsi ini akan semakin besar apabila jumlah aitem dalam skala semakin sedikit. Dengan begitu, sewaktu kita menghitung koefisien korelasi suatu aitem dengan skor skala, sesungguhnya kita menghitung korelasi antara skor aitem yang bersangkutan. Dengan kata lain, kita menghitung korelasi skor dengan bagian dari dirinya sendiri dan hal ini tentu saja menyebabkan koefisien korelasinya cenderung menjadi lebih tinggi daripada kalau korelasi tersebut dihitung antara skor aitem dengan skor skala yang tidak mengandung aitem yang bersangkutan.
Semakin sedikit aitem yang ada dalam skala akan semakin besar overlap yang terjadi. Sebaliknya, semakin banyak jumlah aitem dalam skala maka akibat yang ditimbulkan oleh spurious overlap semakin kecil dan tidak signifikan. Sebagai pegangan kasar, bila jumlah aitem dalam skala lebih dari 30 buah maka umumnya efek spurious overlap tidak begitu besar dan karenanya dapat di abaikan, sedangkan apabila jumlah aitem dalam skala kurang dari 30 buah maka pengaruhnya menjadi substansial sehingga perlu diperhitungtkan.
Untuk korelasi aitem total yang dihitung dengan formula product moment Spearmen, formula koreksi terhadap efek spurious overlap adalah :
Ri(x-i) =                      rixs– si

                √[Sx2 + Si– 2rixSiSx ]
Ri(x-i)  = koefisien korelasi aitem total setelah dikoreksi dari efek spurious overlap
rix            = Koefisien korelasi aitem total sebelum dikoreksi
si             = deviasi standar skor aitem yang bersangkutan
sx         = Deviasi skor standar skala

Parameter Aitem Untuk Skala  Pengukuran  (skripsi dan tesis)


            Daya beda atau daya diskriminasi aitem merupakan parameter yang paling penting dalam seleksi aitem skala psikologi yang mengukur atribut afektif. Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang di ukur. Contohnya pada suatu skala yang disusun untuk mengungkap agresivitas, maka aitem yang berdaya beda tinggi adalah aitem yang mampu menunjukkan mana individu atau kelompok individu yang memiliki agresivitas tinggi dan mana yang tidak. Untuk skala sikap, aitem yang berdaya beda tinggi adalah aitem yang mampu membedakan mana subjek yang bersikap positif dan mana subjek yang bersikap negative.
            Indkes daya diskriminasi aitem merupakan pula indicator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total. Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini adalah memilih aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh penyusunnya. Atau dapat dikatakan memilih aitem yang mengukur hal sama dengan apa yang di ukur oleh skala sebagai keseluruhan.
            Pengujian daya diskriminasi aitem menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriterian yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total yang dikenal pula dengan sebutan parameter daya beda aitem.
            Formula korelasi yang tepat untuk digunakan dalam komputasinya tergantung pada sifat penskalaan dan distribusi skor aitem dan skor skala itu sendiri. Bagi skala-skala yang setiap aitemnya diberi skor pada level interval dapat digunakan formula koefisien korelasi positif antara skor aitemdengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik. Bila koefisien korelasi yang dimaksud ternyata negative artinya terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan.
            Bila menggunakan formula person untuk komputasi koefisien korelasi aitem-total, dapat dipakai rumusan :
  rix  =                   ∑iX – ( ∑i)(∑X)/n
                    √[∑i– ( ∑i)/ n][∑X– (∑X)/n]
  I = Skor aitem
X = Skor skala
N = Banyaknya subjek