Sunday, April 21, 2024

Word Of Mouth (WOM)

 


Secara sederhana definisi Word of Mouth atau WOM adalah suatu tindakan yang
dilakukan konsumen untuk menyampaikan informasi apapun terkait produk oleh
konsumen kepada konsumen lain. Word Of Mouth (WOM) menurut WOMMA
(Word of Mouth Marketing Assoctation) adalah suatu aktifitas di mana konsumen
memberikan informasi mengenai suatu merek atau produk kepada konsumen lain.
Dan Word of Mouth Marketing adalah kegiatan pemasaran yang memicu
konsumen untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan hingga
menjual merek suatu produk kepada calon konsumen lainnya (Sumardy dkk.,
2011:71).
Dari seluruh media promosi baik itu Above The Line maupun Below The line, WOM merupakan aktivitas promosi yang tingkat pengendaliannya oleh line, 22
WOM merupakan aktivitas promosi yang tingkat pengendaliannya oleh produk
atau merek perusahaan. Perusahaan dapat mendorong dan memfasilitasi
percakapan dari mulut ke mulut tersebut dengan terlebih dahulu memastikan
bahwa produk atau merek dari perusahaan memang unik, inovatif dan patut
menjadi conversation product sehingga terciptalah Word Of Mouth (WOM) yang
positif yang pada ujungnya akan menghasilkan penjualan bagi perusahaan
(Yosevina, 2008:13).

Hubunagn Lokasi Dengan Minat Beli

 


Menurut Sopiah (2008:236) syarat yang harus dipenuhi peritel dalam mendirikan
toko atau minimarket adalah lokasi atau tempat yang tepat. Maksudnya konsumen
atau pasar sasaran bisa dengan mudah menjangkau lokasi tersebut, baik
menggunakan kendaraan sendiri maupun menggunakan kendaraan umum. Dalam
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa memang loksai mempinyai hubungan
terhadap minat beli konsumen.
Hubungan lokasi yang diterapkan oleh perusahaan kaitannya dengan minat beli
konsumen. Lokasi toko atau minimarket harus sesuai dengan jenis apa yang
dijualnya. Karena kesalahan kesalahan dalam melakukan sistem pemilihan lokasi
dapat menurunkan tingkat minat beli konsumen, bahkan dapat berdampak pada
laba yang akan di dapat oleh suatu toko atau minimarket, serta memberikan
peluang bagi pesaing untuk masuk serta membuka kemungkinan konsumen
berlaih minatnya untuk membeli kepara pesaing baru.

Faktor-Faktor dalam Menentukan Kebijakan Penetapan Harga

 


Dalam menetapkan harga perusahaan harus mempertimbangkan faktor dalam
menentukan kebijakan penetapan harganya, sehingga harga yang nantinya
diterapkan dapat diterima oleh konsumen. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penetapan harga tersebut adalah (Kotler dan Keller, 2008:83) :

  1. Biaya menjadi batas bawah.
  2. Harga pesaing dan harga barang pengganti menjadi titik orientasi yang perlu
    dipertimbangkan perusahaan.
  3. Penilaian pelanggan terhadap fitur-fitur produk yang unik dari penawaran
    perusahaan menjadi batas atas harga.

Harga

 


Menurut Kotler, (1999 :255) penetapan harga merupakan suatu masalah ketika
perusahaan harus menentukan harga pertama kali. Dalam situasi tertentu, para
konsumen sangatlah sensitif terhadap harga, sehingga harga yang relatif tinggi
dibanding para pesaingnya dapat mengeliminasi produk dari pertimbangan
konsumen. Akan tetapi, dalam kasus lainnya harga dapat dipergunakan sebagai
indikator pengganti kualitas produk, dengan hasil bahwa harga yang lebih tinggi
dipandang positif oleh segmen tertentu. Kemudian harga produk dapat
memberikan baik pengaruh positif maupun negatif terhadap konsumen. Ini
merupakan konsep penting yang harus diingat oleh para manajer.
Sedangkan menurut William J. Stanton dalam Angipora (1999:174) menyatakan
harga adalah jumlah uang (kemungkinan ditambah beberapa barang) yang
dibutuhkan untuk memperoleh beberapa kombinasi sebuah produk dan pelayanan
yang menyertainya. Jerome Mc Carthy dalam Angipora (1999:174) juga
menyatakan harga (price) adalah apa yang dibebankan oleh sesuatu. Pengertian
sesuatu yang dikemukakan tersebut memiliki makna yang luas dan terdiri dari
(harga yang dilihat dari anggota-anggota saluran).
Angipora (1999:174) mengatakan bahwa dalam teori ekonomi ada beberapa
konsep yang saling berkaitan yaitu: harga (price), nilai (value), dan manfaat
(utility). Nilai adalah sebuah ukuran kuantitatif bobot dari sebuah produk yang
dapat ditukarkan dengan produk lain.

Hubungan Kualitas Produk dengan Minat Beli

 


Menurut Fandy Tjiptono (2000:54) kualitas produk mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan sikap konsumen, dimana kualitas produk memberikan suatu
dorongan kepada konsumen untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan
perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan
untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka.
Hubungan kualitas produk yang akan atau sudah diterapkan oleh perusahaan
kaitannya dengan minat beli konsumen. Kualitas produk yang diberikan
perusahaan harus sesuai dengan jenis produk dan kondisi perusahaan, karena
kesalahan dalam melakukan sistem pemasaran yang diberikan kepada konsumen
dapat menurunkan tingkat minat beli konsumen, bahkan dapat berdampak pada
image yang kurang baik bagi perusahaan dan memberi peluang kepada pesaing
untuk masuk serta membuka kemungkinan konsumen akan beralih pada
perusahaan pesaing.

Alasan Memproduksi Produk Berkualitas

 


Produk yang memiliki kualitas prima memang akan lebih diinginkan oleh
konsumen, bahkan akhirnya dapat meningkatkan volume penjualan. Tetapi lebih
dari itu, produk berkualitas mempunyai aspek penting lain, yakni
(Prawirosentono, 2002:2):

  1. Konsumen yang membeli produk berdasarkan mutu, umumnya dia
    mempunyai loyalitas produk yang besar dibandingkan dengan konsumen yang
    membeli berdasarkan orientasi harga. Konsumen berbasis mutu akan selalu
    membeli produk tersebut sampai saat produk tersebut membuat dia merasa
    tidak puas karena adanya produk lain yang lebih bermutu. Tetapi selama
    produk semula masih selalu melakukan perbaikan mutu (quality improvement)
    dia akan tetap setia dengan tetap membelinya. Berbeda dengan konsumen
    berbasis harga, dia akan mencari produk yang harganya lebih murah, apapun
    mereknya. Jadi konsumen terakhir tersebut tidak mempunyai loyalitas produk.
  2. Bersifat kontradiktif dengan cara pikir bisnis tradisional, ternyata bahwa
    memproduksi barang bermutu, tidak secara otomatis lebih mahal dengan
    memproduksi produk bermutu rendah. Banyak perusahaan menemukan bahwa
    memproduksi produk bermutu tidak harus berharga lebih mahal.
    Menghasilkan produk bermutu tinggi secara simultan meningkatkan
    produktivitas, antara lain mengurangi penggunaan bahan (reduce
    materialsusage) dan mengurangi biaya.
  3. Menjual barang tidak bermutu, kemungkinan akan banyak menerima keluhan
    dan pengembalian barang dari konsumen. Atau biaya untuk memperbaikinya
    menjadi sangat besar, selain memperoleh citra tidak baik. Belum lagi,
    kecelakaan yang diderita konsumen akibat pemakaian produk yang bermutu
    rendah. Konsumen tersebut mungkin akan menuntut ganti rugi melalui
    pengadilan.

Ciri-ciri Produk Berkualitas

 


Menurut I Gede Auditta dimensi kualitas untuk industri manufaktur meliputi:

  1. Performance: kesesuaian produk dengan fungsi utama produk itu sendiri.
  2. Feature: ciri khas produk yang membedakan dari produk lain.
  3. Reliability: kepercayaan pelanggan terhadap produk karena kehandalannya
    atau karena kemungkinan kerusakan yang rendah.
  4. Conformance: kesesuaian produk dengan syarat, ukuran, karakteristik desain,
    dan operasi yang ditetapkan.
  5. Durability: tingkat ketahanan/awet produk atau lama umur produk.
  6. Serviceability, yaitu kemudahan perbaikan atau ketersediaan komponen
    produk.
  7. Aesthetic: keindahan atau daya tarik produk.
  8. Perception: fanatisme konsumen akan merek suatu produk tertentu karena
    citra atau reputasinya. Kualitas pada industri manufaktur selain menekankan
    pada produk yang dihasilkan, juga perlu diperhatikan kualitas pada proses
    produksi.
    Dimensi kualitas pada industri jasa, antara lain:
  9. Communication: hubungan antara penerima jasa dengan pemberi jasa.
  10. Credibility: kepercayaan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa.
  11. Security: keamanan terhadap jasa yang ditawarkan.
  12. Knowing the customer: pemahaman pemberi jasa terhadap kebutuhan dan
    harapan pemakai jasa.
  13. Tangibles: dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan harus dapat
    diukur atau dibuat standarnya.
  14. Reliability: konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa
    dalam memenuhi janji para penerima jasa.
  15. Responsiveness: tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan
    penerima jasa.
  16. Competence: kemampuan atau keterampilan pemberi jasa untuk memberikan
    jasanya kepada penerima jasa.
  17. Access: kemudahan pemberi jasa untuk dihubungi oleh penerima jasa.
  18. Courtesy: kesopanan, respek, perhatian, dan kesamaan dalam hubungan
    personil. Meningkatkan kualitas jasa yang ditawarkan tidak semudah usaha
    meningkatkan kualitas produk, karena karakteristiknya yang unik.
    Peningkatan kualitas jasa juga akan berdampak pada organisasi secara
    menyeluruh.