Sunday, May 5, 2024

Faktor Penghambat dan Pendukung Inovasi Pelayanan Publik

 


a. Faktor Penghambat
Albury (2003) dalam Suwarno menyebutkan bahwa hambatan inovasi
diidentifikasi ke dalam 8 jenis, yaitu :
1) Keengganan menutup program yang gagal, yang artinya penyelenggara
pelayanan publik tidak segera menghentikan inovasi yang sudah gagal
mencapai tujuan. Misalnya suatu inovasi pada instansi pemerintah dalam
bidang perizinan yang tujuan awalnya untuk mengurangi biaya dan tenaga
kerja, tetapi karena inovasi yang dibuat tidak diberi persiapan dan kurang
solutif, akhirnya program tersebut membuat masalah baru. Kegagalan
tersebut tidak segera diatasi dengan menghentikan program dan mencari
solusi baru, malah tetap dijalankan.
2) Ketergantungan berlebihan pada high performer, artinya banyak sumberdaya
aparatur yang bergantung pada sesama aparatur yang lebih profesional atau
lebih bekerja keras. Para aparatur tersebut menjadi tidak produktif dan
melimpahkan tanggungjawab kepada rekan yang lebih mumpuni.
3) Teknologi ada, terhambat budaya dan penataan organisasi, dimana suatu
instansi yang sebenarnya sudah memiliki fasilitas dan sarana yang cukup
tetapi banyak aparatur yang kurang terampil dan tidak mampu memanfaatkan
fasilitas dan sarana tersebut. Misalnya, banyak aparatur yang tidak bisa
menggunakan teknologi terbaru karena tidak adanya penyuluhan.
4) Tidak ada pengharaan atau insentif, dimana banyak instansi atau badan
pelayanan publik yang mampu berinovasi tetapi kurang mendapat perhatian
dari pemerintah. Misalnya para ahli-ahli yang membuat inovasi tetapi tidak
mendapat apresiasi, seperti mobil listrik, jaringan telekomuikasi 3G, dan lainlain.
5) Ketidakmampuan menghadapi resiko dan perubahan. Banyak instansi dan
badan pelayanan publik yang ragu dan tidak mampu menghadapi resiko
dengan adanya inovasi. Misalnya saja transportasi online yang sekarang ini
marak dan menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Pemerintah kurang
menyiapkan regulasi atau kebijakan bagi para pemilik angkutan konvensional
dan akhirnya menjadi suatu masalah baru.
6) Anggaran jangka pendek dan perencanaan. Pemerintah kurang memberi
anggaran pada pembuat inovasi.
7) Tekanan dan hambatan administratif, contohnya para pemilik transportasi
online yang sekarang ini lebih memilih melayani masyarakat dengan
bersembunyi, karena pada banyak pemberitaan di media massa, bahwa
angkutan umum konvensional lebih berhak meminta haknya atas regulasi
yang sudah ada.
8) Budaya risk aversion. Budaya risk aversion merupakan budaya yang
meminimalisir resiko. Hal ini berkaitan dengan sifat inovasi yang memiliki
segala resiko termasuk resiko gagal. Pada umumnya, pegawai di sektor publik
enggan mengambil tindakan yang beresiko. Para pegawai lebih memilih untuk
melaksanakan pekerjaan secara prosedural-administratif dengan resiko yang
kecil.

No comments:

Post a Comment