Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts

Monday, July 15, 2019

Ciri-Ciri Pengelolaan Emosi (skripsi dan tesis)

Menurut Safaria dan Saputra (2009: 8) bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih cakap menangani ketegangan emosi, akan lebih. Kemampuan mengelola emosi dikarenakan adanya pengaturan terhadap Pengekspresian emosi, baik negatif maupun positif merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Reivich & Shatte (dalam Khoerunisya, 2015) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua ketrampilan ini dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stres Hal ini dapat dilihat bahwa individu dengan kemampuan mengelola emosi dengan baik cenderung terhindar dari stres, kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan yang berlebihan. Sebaliknya, individu dengan kemampuan mengelola emosinya rendah akan cenderung mudah stres, marah, tersinggung, mudah kehilangan semangat. mampu menghadapi dan memecahkan konflik secara efektif.

Aspek Kemampuan Mengelola Emosi (skripsi dan tesis)


Kemampuan mengelola emosi merupakan salah satu dari kelima unsur kecerdasan emosi (mengenali emosi diri/ kesadaran diri, mengelola emosi/ pengaturan diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain/empati, dan kecakapan membina hubungan dengan orang lain) (Goleman, 2007: 57-59). Penelitian ini berfokus pada kemampuan mengelola emosi. Aspek-aspek kemampuan mengelola emosi menurut Goleman (1999: 115-166) adalah sebagai berikut:
1) Mampu mengendalikan diri (menjaga emosi yang merusak agar tetap terkendali). Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dalam mengendalikan diri akan mampu untuk:
a) Mengelola dengan baik emosi yang menekan mereka: kemampuan untuk menghadapi situasi buruk.
b) Tetap tenang kendati dalam tekanan: bertindak tenang meskipun dalam tekanan.
2) Menunjukkan sifat dapat dipercaya (menunjukkan kejujuran dan integritas). Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dalam sifat dapat dipercaya akan mampu untuk:
a) Bertindak menurut etika: tindakannya sesuai dengan etika yang berlaku.
b) Membangun kepercayaan melalui keandalan diri: membuktikan pada orang bahwa dirinya dapat dipercaya.
c) Berpegang pada prinsip: tetap teguh pada prinsipnya.
3) Menunjukkan sikap bersungguh-sungguh (menunjukkan tanggung jawab dalam mengelola diri). Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dalam kehati-hatian akan mampu untuk:
a) Memenuhi komitmen: melakukan sesuatu yang sudah menjadi janjinya.
b) Bertanggung jawab untuk memperjuangkan tujuan: ketika memiliki tujuan maka akan terus berjuang untuk mencapai tujuan tersebut.
c) Cermat dalam bekerja: teliti ketika mengerjakan sesuatu hal.
4) Menunjukkan adaptabilitas (kemampuan menyesuaikan diri dari berbagai situasi). Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dalam adaptabilitas akan mampu untuk
a) Terampil menangani perubahan situasi: mampu untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga.
b) Siap mengubah tanggapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
5) Menunjukkan inovasi (kemampuan untuk terbuka terhadap perubahan). Orang yang memiliki kemampuan mengelola emosi dalam inovasi akan mampu untuk:
a) Kreatif.
b) Mengambil resiko akibat pilihannya.

Kemampuan Mengelola Emosi (skripsi dan tesis)

Goleman (2007: 58) mengatakan bahwa kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan untuk mengatasi emosinya sendiri agar terungkap dengan pas. Individu yang tingkat kemampuan mengelola emosinya rendah akan terus menerus bertarung melwan perasaan murung, sementara orang yang pintar akan dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejauhan dalam kehidupan. Orang-orang Romawi dan gereja-gereja Kristen kuno menyebut kemampuan ini temperantia atau kedali diri, pengendalian diri, pengendalian tindakan emosional yang berlebihan. Fatimah (2006: 116) kemampuan mengelola emosi berarti kemampuan untuk menangani perasaan agar terungkap dengan tepat. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat.
Safaria dan Saputra (2009: 14) mengungkapkan bahwa orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya orang-orang yang sedang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya, menjadi rentan dan terpenjara oleh emosinya. Dalam pernyataan Solovey (dalam Azizah, 2009: 1) menyatakan bahwa pengelolaan emosi merupakan kesadaran diri dalam membantu, dan mengungkapkan perasaan. Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa pengertian pengelolaan emosi adalah kemampuan kesadaran diri individu untuk menyalurkan emosi dalam bentuk tindakan tepat yang harus dilakukan.

Cara mengungkapkan emosi (skripsi dan tesis)

Johnson (Supratiknya 1995: 55–65) mengungkapkan bahwa ada terdapat dua cara dalam mengungkapkan emosi yaitu:
  • Mengungkapkan emosi secara verbal
Yang dimaksud secara verbal yaitu mengungkapkan emosi melalui kata-kata, baik secara langsung mendeskripsikan emosi yang kita alami maupun tidak. Misalnya, seseorang yang sedang kecewa mengungkapkan emosi dengan berkata, “ saya kecewa kepadamu”
  • Mengungkapkan emosi secara nonverbal
Yang dimaksud secara nonverbal yaitu mengungkapkan emosi dengan menggunakan isyarat lain selain kata-kata, misalnya raut muka, sorot mata, bahasa tubuh, dll. Sebagai contoh, seseorang yang sedang sedih menunjukkan raut muka yang sayu.

Kegunaan emosi (skripsi dan tesis)

Emosi berguna untuk menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas berat. Emosi akan menawarkan pola persiapan tindakan tersendiri; masing-masing menuntun kita ke arah yang telah terbukti berjalan dengan baik ketika menangani tantangan yang dating berulang-ulang dalam hidup manusia (Goleman, 2009: 4).
Safaria dan Saputra (2009: 16) mengemukakan pendapatnya bahwa emosi dapat digunakan sebagai berikut:
  • Sebagai bentuk komunikasi yang dapat mempengaruhi orang lain. Guratan ekspresi yang terlihat pada raut muka seseorang adalah bagian dari emosi. Guratan ekspresi merupakan bentuk komunikasi yang lebih cepat dari kata-kata.
  • Emosi dapat digunakan untuk mengorganisasi dan memotivasi tindakan. Emosi secara teoritis dapat memotivasi perilaku. Manusia perlu mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi situasi penting karena emosi akan mempersiapkan segalanya untuk dapat melewati rintangan yang ada dalam pikiran dan lingkungan manusia.
Coleman dan Hamen (Sobur, 2009: 400) menjelaskan empat kegunaan emosi sebagai berikut:
  1. Emosi adalah pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi kita tidak sadar atau mati. Orang yang hidup akan merasai, mengalami, bereaksi, bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita; takut menggerakkan kita untuk berlari, cinta menggerakkan kita untuk saling berdekatan dan bermesraan.
  2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Jika senang, kita berhasil mencapai sebuah tujuan, sedih berarti kita kehilangan sesuatu yang berharga.
  3. Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi juga pembawa pesan dalam komunikasi intrapersonal. Kita mengetahui bahwa pembicaraan di depan umum atau pidato yang melibatkan seluruh emosi dipandang lebih hidup, lebih dinamis, dan lebih meyakinkan.
  4. Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita. Kita mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa tubuh kita sehat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita memperolehnya ketika merasakan kenikamatan estetis dalam diri kita.

Macam-macam emosi (skripsi dan tesis)

Safaria dan Saputra (2009: 13) mengungkapkan bahwa pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua:
  1. Emosi Positif: memberikan dampak menyenangkan dan menenangkan. Macam-macam emosi positif seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan senang)
  2. Emosi Negatif: memberikan dampak yang tidak menyenangkan dan menyusahkan. Macam-macam emosi negative ini diantaranya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustrasi, marah, sedih, dendam.
Menurut Goleman (2007: 411) ada beberapa golongan emosi, yaitu:
  • Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, kesal, jengkel, kebencian, tersinggung, rasa pahit,bermusuhan, tindak kekerasan.
  • Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
  • Rasa takut: cemas, takut, khawatir, gugup, waspada, idak tenang, ngeri, phobia, dan panic.
  • Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur bangga, takjub, terpesona.
  • Cinta: penerimaan, persahabatan, kebaikan hati, kepercayaan diri, bakti, hormat, kasmaran, kasihm dan rasa dekat.
  • Terkejut: terkesiap, terkesima, takjub, terpana.
  • Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
  • Malu; rasa salah, kesal hati, sesal, hina, aib, malu hati, dan hati hancur lebur.

Pengertian Emosi dan Perasaan (skripsi dan tesis)

Safaria dan Saputra (2009: 12) berpendapat bahwa emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan motion yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah energy yang terus bergerak dan bergetar. Oxford English Dictionary (Goleman, 1996: 411) mendefiniskan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 1996: 411).
Chaplin (Safaria dan Saputra (2009: 12) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang merangsang perubahan-perubahan yang disadari seperti perubahan perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu (Safaria dan Saputra, 2009: 13). Menurut Gohm & clore (Safaria dan Saputra, 2009: 13) emosi manusia terbagi menjadi dua yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah emosi yang menenangkan dan menyenangkan, seperti ceria, gembira, semangat, senang, rileks, dll. Emosi positif ini akan membuat keadaan psikologis manusia menjadi positif. Sebaliknya emosi negatif adalah emosi yang menyusahkan dan tidak menyenangkan seperti marah, dendam, kecewa, depresi, putus asa, frustrasi. Emosi negatif  ini akan membuat keadaan psikologis manusia menjadi negatif. Ketika manusia gagal menyeimbangkan emosi negatif  ini maka keadaan suasana hati menjadi buruk.
 Walgito (2004: 203) mengemukakan bahwa perasaan adalah keadaan sebagai akibat dari persepsi terhadap stimulus baik eksternal maupun internal, sedangkan emosi merupakan reaksi yang kompleks yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmaniannya serta berkaitan dengan perasaan yang kuat. Oleh karena itu, emosi lebih intens daripada perasaan, dan sering terjadi perubahan perilaku, hubungan dengan lingkungan kadang-kadang terganggu. Sobur (2009: 427) berpendapat bahwa perasaan (feeling) mempunyai dua arti berdasarkan tinjauan fisologis dan psikologis; ditinjau secara fisiologis, perasaan berarti penginderaan, sehingga merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam arti psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu menilai suatu hal; misalnya “saya rasa Mike akan mampu menyelesaikan skripsi dengan hasil yang memuaskan”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa menurut penilaian saya, Mike akan berhasil.

Karakteristik Dewasa Awal (skripsi dan tesis)

Laura King (2012: 4) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik yang bisa menunjukkan seorang individu memasuki masa dewasa awal:
  1. Eksplorasi identitas, terutama dalam cinta dan pekerjaan. Menjelang dewasa awal adalah saat terjadinya perubahan signifikan dalam identifikasi untuk semua individu.
  2. Ketidakstabilan: puncak perubahan area terjadi ketika menjelang dewasa, waktu ketika terjadi juga ketidakstabilan dalam cinta, pekerjaan, dan pendidikan.
  3. Fokus pada diri sendiri: masa dewasa awal adalah masa dimana individu akan lebih focus pada diri sendiri dalam hal tanggung jawab bersosial. Mengenai cara menjalanka tugas dan komitmen terhadap orang lain, yang membentuk mereka membentuk cara untuk menjalankan kehidupan.
  4. Merasa di tengah-tengah: sebagian besar individu pada masa dewasa awal memandang dirinya bukan sebagai remaja atau individu dewasa secara sepenuhnya.
  5. Usia kemungkinan, ketika individu memiliki kesempatan untuk mengubah kehidupannya: pada tahap dewasa awal ini digambarkan dua cara pada usia kemungkinan dari individu yang menjelang dewasa:
  • Pada masa dewasa awal banyak individu optimis mengenai masa depannya.
  • Bagi mereka pada masa dewasa awal yang telah mengalami masa-masa sulit ketika berkembang, masa dewasa awal menampilkan kesempatan untuk mengarahkan kehidupan mereka kea rah yang positif.

Definisi Masa Dewasa Awal (skripsi dan tesis)

Masa dewasa awal menurut (Hurlock, 1980: 246). adalah merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun. Menurut Jahja (dalam Bramantya 2015; 5) maka masa dewasa awal adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, seseorang dituntut untuk memerankan peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran dalam dunia kerja (berkarier).
Laura King (2012: 4) mengemukakan bahwa masa dewasa awal adalah periode transisi dari masa remaja menuju usia dewasa. Rentang usia dewasa awal adalah 18-25 tahun. Tahap ini ditandai dengan adanya keinginan individu untuk melakukan berbagai eksperimen dan eksplorasi. Pada tahap ini, banyak individu  yang ingin mengeksplor lebih dalam karier yang ingin digeluti, identitas yang mereka inginkan, dan jenis hubungan dekat yang akan mereka jalin.

Pengertian Terapi Relaksasi Religius (skripsi dan tesis)

Relaksasi adalah salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh Jacobson, seorang psikolog dari Chicago, yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebut relaksasi progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot. Jacobson berpendapat bahwa Semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada kontraksi otot (Sheridan dan Radmacher, 1992). Jika seseorang dapat diajarkan untuk merelaksasikan otot mereka, maka mereka benar-benar relaks. Seseorang yang tetap mengalami ketegangan mental atau emosional, sementara otot mereka relaks adalah orang yang mengalami ketegangan semu (Sheridan dan Radmacher, 1992). Latihan relaksasi dapat digunakan pada pasien nyeri untuk mengurangi rasa nyeri melalui kontraksi otot, mengurangi pengaruh dari situasi stres, dan mengurangi efek samping dari kemoterapi pada pasien kanker (Sheridan dan Radmacher, 1992). Relaksasi dapat juga digunakan untuk mengurangi denyut jantung, meningkatkan daya hantar kulit (skin conductance), mengurangi ketegangan otot, tekanan darah dan kecemasan (Taylor, 1995).
Relaksasi religius merupakan pengembangan dari respon relaksasi yang dikembangkan oleh Benson (2000), dimana relaksasi ini merupakan gabungan antara relaksasi dengan keyakinan agama yang dianut. Dalam metode meditasi terdapat juga meditasi yang melibatkan faktor keyakinan yaitu meditasi transendental (trancendental meditation). Meditasi ini dikembangkan oleh Mahes Yogi (Sothers, 1989) dengan megambil objek meditasi frase atau mantra yang diulang-ulang secara ritmis dimana frase tersebut berkaitan erat dengan keyakinan yang dianut.
Fokus dari relaksasi ini tidak pada pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur disertai sikap pasrah kepada objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna menenangkan.
Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih peserta agar dapat mengkondisikan diri untuk mencapai kondisi relaks. Pada waktu individu mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan.
Pelatihan relakasi religius cukup efektif untuk memperpendek waktu dari mulai merebahkan hingga tertidur dan mudah memasuki tidur. Hal ini membuktikan bahwa relaksasi religius yang dilakukan dapat membuat lebih relaks sehingga keadaan kesulitan ketika mengawali tidur dapat diatasi dengan treatmen ini. Penggunaan kaset relaksasi religius cukup membantu subjek dalam mengawali tidur. Pada umumnya subjek melaporkan bahwa dengan mengikuti kaset relaksasi dirinya lebih mudah untuk tertidur, ada beberapa hal yang menyebabkan mereka mudah tertidur antara lain instruksi diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti.
Pelatihan relaksasi dapat memunculkan keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur. Hal ini sesuai dengan pendapat Panteri (1993) yang menggambarkan neurofisiologi tidur sebagai berikut : Pada saat berbaring dalam keadaan masih terjaga seseorang berada pada gelombang otak beta, hal ini terjadi ketika subjek mulai merebahkan diri tidur dan mengikuti instruksi relaksasi religius yaitu pada tahap pengendoran otot dari atas yaitu kepala hingga jari jari kaki. Selanjutnya dalam keadaan yang lelah dan siap tidur mulai untuk memejamkan mata, pada saat ini gelombang otak yang muncul mulai melambat frekwensinya, meninggi tegangannya dan menjadi lebih teratur.

Kecemasan Menghadapi Kematian (skripsi dan tesis)

Rocfouhauld (Ghozali, 2000) memberikan ungkapan bahwa kematian secara utuh merupakan cerminan manusia modern terhadap persoalan yang sangat menggugah dan sekaligus menakutkan. Maut atau kematian merupakan suatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa maut merupakan sesuatupengharapan. Manusia tidak bisa memilih tibanya kematian dan kematianmerupakan sumber utama kecemasan.Selama belum menemukan alasan yang logis dan rasional mengenai bayangan kematian, maka bayangan tersebut akan berubah menjadi penyakit ynag mengakar kuat di dasar perasaan manusia. Penyakit ini merupakan penyakit kejiwaan yang paling kritis dan sulit, yang sering kali menguasai emosi danperilaku manusia. Dan pada akhirnya akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan (Syarif, 2000).
Sedangkan kecemasan terhadap kematian akan berkembang seiring dengan berbagai factor pengubah misalkan kebudayaa serta keadaan histories. Apabila dikaitkan dengan kecemasan menghadapi kematian dalam perspektif perkembangan pemikiran inividu tentang kematian maka akan bervariasi sepanjang siklus kehidupan manusia. Kita akan memiliki harapan-harapan yang berbeda tentang kematian seiring dengan perkembangan serta sepanjang masa hidup sehingga kita akan memiliki sikap yang berbeda terhadap kematian pada fase berbeda dalam perkembangan kota.
Oleh karenanya menurut Kalish (1987) orang-orang dewasa muda seperti halnya pengidap AIDS sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusa lebih tua. Orang-orang dewasa muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa uang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut mereka merasa kehilangan apa yang telah mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock (1990:93) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.

Sikap Dalam Kematian (skripsi dan tesis)

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang menghadapi kematian tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat (Tony 1991 : 15).
Terdapat dua sikap yang umumnya dilakukan ketika menghadapi kematian: Pertama, kematian akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, manusia yang menghadapi kematian dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya kematian, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock, 1996 : 439).
Seperti yang telah dikemukakan diatas, menghadapi kematian merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana manusia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua.
Elizabeth Kubler Ross (1969) membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang sekarat menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan.
  1. Penolakan dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler Ross di mana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Orang tersebut mungkin berkata “tidak”, “itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi namun penolakan merupakan bagian dari pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan dengan beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
  2. Kemarahan (anger) merupakan fase ke dua di mana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa benci, marah dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada diri orang yang sekarat adalah “mengapa saya?”. Pada titik ini seseorang makin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada dokter, perawat anggota keluarga juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar dan mereka yang menjadi symbol dari kehidupan, energi dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
  3. Tawar menawar (bargaining) merupakan fase ketiga menjelang kematian di masa seseorang mengembangkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang tawar menawar atau negoisasi seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kemtian. Secara psikologis seseorang berkata “Ya, saya , tapi…” dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain
  4. Depresi (depression) merupakan fase keempat menjelang kematian di mana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini satu periode depresi atau persiapan berduka mungkin akan muncul. Orang yang menjelang kemtiannya mungkin akan menjadi pendiam serta menghabiskan waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kemtianya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut untuk merenungkan ancaman kematian
  5. Penerimaan (acceptance) merupakan fase kelima menjelang kematian di mana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir dan dan dalam beberapa hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Tidak ada satu orang pun yang dapat mengkonfirmasikan bahw seseorang akan secara pasti melewati fase yang digambarkan Kubler Ross. Oleh karenanya terdapat variasi pada setiap inividual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian namun urutan yang telah dikemukakan secara optimal akan sesuai.
Oleh karenanya kecemasan terhadap kematian justru akan memperpanjang fase seseorang dalam fase penolakan. Pemahaman terhadap kontrol dapat bekerjasama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa yang sedang menghadapi kematian. Pada individu yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol kejadian seperti kecemasan menghadapi kematian akan menjadi lebih waspada dan ceria. Hal ini akan membawa perubahan diantaranya peningkatan kondisi tubuh serta penerimaan diri (Rodin dan Langer, 1977)

Pengertian Kematian (skripsi dan tesis)

Harvard Medical School (1997), mengembangkan konsep kematian menjadi lima, yaitu ketidakmampuan menerima dan merespon stimulus, tidak memiliki kemampuan dalam hal gerak atau pernafasan, tidak mempunyai reflek, EEG datar, dan tidak adanya sirkulasi dalam otak. Meskipun kematian secara biologis penting, konsep kematian secara psikologis terjadi ketika pikiran seseorang berhenti untuk berfungsi. Menurut Aiken (sitat dalam Bishop, 1994), kematian secara sosial terjadi ketika orang lain melakukan tindakan untuk orang yang sudah dinyatakan meninggal.
Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuh kembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian

Pengertian Kecemasan (skripsi dan tesis)

Kecemasan yang dimaksud adalah suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, khawatir, takut, dan tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (Lazarus, 1976). Sedangkan menurut Desy Chriswandani (2007) definisi dari kecemasan adalah keadaan dimana individu/kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam berespon terhadap ancaman yang tidak jelas, non spesifik. Pada umumnya, kecemasan yang dirasakan oleh individu yang akan lebih terkait dengan perubahan sosial, misalnya kecemasan akan indentitas sosial, perasaan takut diasingkan dan cemas karena merasa tidak mampu bersosialisasi lebih luas, (Fletcher & Hansson, 1991).

Teori Motivasi Kerja (skripsi dan tesis)

  • Teori Kebutuhan (Maslow's Model)
Model Maslow Ini sering disebut dengan model hierarki kebutuhan. Karena menyangkut kebutuhan manusia, maka teori ini digunakan untuk menunjukkan butuhan seseorang yang harus dipenuhi agar individu tersebut termotivasi untuk kerja.
  1. Kebutuhan fisiologik (physiological needs), misalnya makanan, minuman, istirahat/tidur, seks. Kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pertama dan utama yang wajib dipenuhi pertama-tama oleh tiap individu. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan ini, orang dapat mempertahankan hidup dari kematian.
  2. Kebutuhan aktualisasi diri, yakni senantiasa percaya kepada diri sendiri. Pada puncak hirarki, terdapat kebutuhan untuk realisasi diri atau aktualisasi diri.
  • Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
M = f ( R & C )
M = Motivasi
R = Reward (penghargaan) - primer/sekunder
C = Consequens (Akibat) - positif/negative
Penguatan adalah segala sesuatu yang digunakan seorang pimpinan untuk meningkatkan atau mempertahankan tanggapan khusus individu. Jadi menurut teori ini, motivasi seseorang bekerja tergantung pada penghargaan yang diterimanya dan akibat dari yang akan dialaminya nanti. Teori ini menyebutkan bahwa perilaku seseorang di masa mendatang dibentuk oleh akibat dari perilakunya yang sekarang (Arep Ishak & Tanjung Hendri, 2003).
Jenis reinforcement ada empat, yaitu: (a) positive reinforcement (penguatan positif), yaitu penguatan yang dilakukan ke arah kinerja yang positif; (b) negative reinforcement (penguatan negatif), yaitu penguatan yang dilakukan karena mengurangi atau menghentikan keadaan yang tidak disukai. Misalnya, berupaya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan karena tidak tahan mendengar atasan mengomel terus-menerus; (c) extinction (peredaan), yaitu tidak mengukuhkan suatu perilaku, sehingga perilaku tersebut mereda atau punah sama sekali. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan; (d) punishment, yaitu konsekuensi yang tidak menyenangkan dari tanggapan perilaku tertentu.
Reward adalah pertukaran (penghargaan) yang diberikan perusahaan atau jasa yang diberikan penghargaan, yang secara garis besar terbagi dua kategori, yaitu: (a) gaji, keuntungan, liburan; (b) kenaikan pangkat dan jabatan, bonus, promosi, simbol (bintang) dan penugasan yang menarik.
Sistem yang efektif untuk pemberian reward (penghargaan) kepada para karyawan harus: (a) mcmenuhi kebutuhan pegawai; (b) dibandingkan dengan reward yang diberikan oleh perusahaan lain; (c) di distribusikan secara wajar dan adil; (d) dapat diberikan dalam berbagai bentuk; (e) dikaitkan dengan prestasi.
  • Teori Harapan (Expectacy Theory)
Teori ekspetansi menyatakan bahwa motivasi kerja dideterminasi oleh keyakinan-keyakinan individual sehubungan dengan hubungan upaya-kinerja dan di dambakannya berbagai macam hasil kerja, yang berkaitan dengan tingkat kinerja yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori tersebut berlandaskan logika: "Orang-orang akan melakukan apa yang dapat mereka lakukan, apabila mereka berkeinginan untuk melakukannya".
Vroom (dalam Winardi, 2002:109-110) berpendapat bahwa motivasi terhadap kerja merupakan hasil dari ekspektansi kali instrumentalitas, kali valensi. Hubungan multiplikatif tersebut berarti bahwa daya tarik motivasional jalur pekerjaan tertentu, sangat berkurang, apabila salah satu di antara hal berikut: ekspektansi, jnstrumentalilas, atau valensi mendekati nol. Sebaliknya agar imbalan tertentu memiliki sebuah dampak motivasional tinggi serta positif sebagai hasil kerja, maka ekspektansi, instrumentalitas, dan valensi yang berkaitan dengan imbalan tersebut harus tinggi serta positif.
Motivasi = Ekspektansi x Instrumen x Valensi (M = E x I x V). Hubungan antara motivasi seseorang melakukan suatu kegiatan dengan kinerja yang akan diperolehnya yakni apabila motivasinya rendah jangan berharap hasil kerjanya (kinerjanya) baik. Motivasi dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan pribadi seperti rasa tertarik atau memperoleh harapan.
sederhana, dalam teori ini, motivasi merupakan interaksi antara harapan sctelah dikurangi prestasi, dengan kontribusi penilaian yang dikaitkan dengan prestasi dikurangi hasil. Karena kebutuhan di atas merupakan generalisasi, kenyataannya kebutuhan orang tidak sama, maka dikenai The Expectacy Model yang menyatakan. "Motivasi adalah fungsi dari berapa banyak yang diinginkan dan berapa besar kemungkinan pencapaiannya" (lihat Gambar 2.6).
  • Teori Penetapan Tujuan Locke
Suprihanto, dkk (2003:52-53) menyatakan bahwa teori penetapan tujuan (goal-setting theory) ini merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa tujuan yang sifatnya spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja (performance) yang lebih tinggi. Pencapaian tujuan dilakukan melalui usaha partisipasi. Meskipun dcmikian pencapaian tujuan belum tentu dilakukan oleh banyak orang. Dalam pencapaian lujuan yang partisipatif mempunyai dampak positif bcrupa timbulnya penerimaan (acceptance), artinya sesulit apapun apabila orang telah menerima suatu pekerjaan maka akan dijalankan dengan baik. Sementara itu dalam pencapaian tujuan yang partisipatif dapat pula berdampak negatif yaitu timbulnya superioritas pada orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi.

Pengertian Motivasi Kerja (skripsi dan tesis)

Untuk mempermudah pemahaman motivasi kerja, dibawah ini dikemukakan pengertian motif, motivasi dan motivasi kerja. Abraham Sperling (dalam Mangkunegara, 2002:93) mengemukakan bahwa motif di definisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri, penyesuaian diri dikatakan untuk memuaskan motif. William J. Stanton (dalam Mangkunegara, 2002:93) mendefinisikan bahwa motif adalah kebutuhan yang di stimulasi yang berorientasi kepada tujuan individu dalam mencapai rasa puas. Motivasi didefinisikan oleh Fillmore H. Stanford (dalam Mangkunegara, 2002:93) bahwa motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif merupakan suatu dorongan kebuluhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifya. Sedangkan motivasi dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal). Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. McCormick (dalam Mangkunegara, 2002:94) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

Saturday, July 13, 2019

Dinamika Hubungan Antara Harga Diri Dan Narsisme (skripsi dan tesis)


Steinberg (2009) mengatakan bahwa harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan sehari-hari juga berperan serta dalam menentukan tingkah laku seseorang. Seseorang dengan harga diri yang baik akan mampu menghargai dirinya sendiri. Menurut Dariyo dan Ling (2012) bahwa harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu itu meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut. Hal ini mengarahkan bahwa pengertian dari harga diri adalah adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri. Dimana dimensi dalam harga diri sendiri adalah Perasaan diterima (Felling Of Belonging), Perasaan Mampu (Felling Of Competence), Perasaan Berharga ( Felling Of Worth ).
Khera (2012) menyebutkan beberapa manfaat dari harga diri yang tinggi, yaitu membentuk pendirian yang kuat, membangkitkan kemauan untuk menerima tanggung jawab, membentuk sikap optimistik, meningkatkan hubungan dan hidup lebih berarti, membuat seseorang lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan mengembangkan sikap saling mengasihi, memotivasi diri dan berambisi, membuat seseorang bersikap terbuka terhadap peluang dan tantangan baru, memperbaiki kinerja dan meningkatkan kemampuan mengambil resiko, membantu seseorang dalam memberi dan menerima kritik dan penghargaan dengan bijaksana dan mudah. Sebaliknya harga diri yang rendah akan berpikir buruk tentang diri sendiri,tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, cenderung pesimis tentang masa depan, mengingat masa lalu mereka lebih negatif dan berkubang dalam suasana hati negatif mereka dan lebih rentan terhadap depresi ketika mereka menghadapi stress (Taylor, Peplau dan Sears 2009).
Harga diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku narsis. Dalam penelitian Bakti (2016) serta Kartika (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara harga diri dengan kecenderungan narsisme. Hal ini sesuai dengan penelitian Clarke (2014) menyebutkan bahwa banyak alasan yang melatarbelakangi narsis yakni harga diri, depresi, kecemasan dan perkembangan superego. Penelitian Drestya (2013) menemukan jawaban pengguna media sosial adalah untuk eksis atau menunjukan identitas diri. Dimana identitas diri berhubungan dengan harga diri seseorang. Dengan demikian seseorang dengan harga diri yang tinggi akan memiliki kemampuan mengendalikan penggunaan media sosial.
Menurut Maulina (2017) bahwa remaja dengan harga diri tinggi akan mampu mengontrol penggunaan akun. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan  mengembangkan tanggungjawab sosial, mempunyai kreativitas dalam melakukan aktivitas dengan menampilkan diri sesuai dengan realitas, dapat mengaktualisasi diri dengan baik dan mampu menyaring informasi yang ada di media jejaring sosial.
Pengertian dari narsisme sendiri adalah perilaku yang ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian, selain itu tertanam dalam dirinya perasaan paling mampu, paling unik (beda sendiri) dan merasa khusus dibandingkan dengan orang lain. Perilaku yang ditunjukkan oleh individu narsisme yaitu suka memamerkan tentang komentar dari orang lain yang mengakui keunikannya, keberhasilannya ataupun idealisme yang dijunjung tinggi oleh dirinya. Hal tersebut dilakukan ketika individu narsisme merasa harga dirinya mulai terancam saat menerima masukan atau kritikan yang mengoreksi kebiasaan atau pola pikirnya. Serta tuntutan akan perhatian yang terus menerus bukan berasal dari keegoisannya namun dari kebutuhannya untuk menyingkirkan perasaan tidak adekuat () Dimana dimensi dalam narsisme yaitu meliputi Leadership (autority)  Superiority (arogance), Self absorption (self admiration), dan Exploitiveness (entitle ment)

Dimensi Dalam Harga Diri (skripsi dan tesis)

Harga diri terdiri empat aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Tyas, 2010), yaitu:
  1. Kekuatan (Power)
Kekuatan atau power menunjuk pada adanya kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat pengakuan atas tingkah laku tersebut dari orang lain. Kekuatan dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang diterima seorang individu dari orang lain dan adanya kualitas atas pendapat yang diutarakan oleh seseorang individu yang nantinya diakui oleh orang lain. 
  1. Keberartian (significance)
Keberartian atau significance menunujuk pada kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang menunjukkan adanya penerimaan dan popularitas individu dari lingkungan sosial. Penerimaan dari lingkungan ditandai dengan adanya kehangatan, respon yang baik dari lingkungan dan adanya ketertarikan lingkungan terhadap individu dan lingkungan menyukai individu sesuai dengan keadaan diri yang sebenarnya.
  1. Kebajikan (virtue)
Kebajikan atau virtue menunjuk pada adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika serta agama dimana individu akan menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diizinkan oleh moral, etika, dan agama. Seseorang yang taat terhadap nilai moral, etika dan agama dianggap memiliki sikap yang positif dan akhirnya membuat penilaian positing terhadap diri yang artinya seseorang telah mengembangkan harga diri positif pada diri sediri.
  1. Kemampuan (competence)
Kemampuan atau competence menunjuk pada adanya  bperformansi yang tinggi untuk memenuhi keutuhan mencapai prestasi dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia seseorang.
Felker (dalam Churaisin, 2014) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari:
  1. Perasaan diterima (Felling Of Belonging)
Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu.
  1. Perasaan Mampu (Felling Of Competence )
Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.
  1. Perasaan Berharga ( Felling Of Worth )
Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini akan menggunakan alat ukur yang disusun berdasarkan teori Felker (dalam Churaisin, 2014) yang membagi harga diri dalam dimensi yaitu: Perasaan diterima (Felling Of Belonging), Perasaan Mampu (Felling Of Competence), Perasaan Berharga ( Felling Of Worth )

Pengertian Harga Diri (skripsi dan tesis)

Baron & Byrne (2012)   berpendapat bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif sampai negatif. Ditambahkan pula bahwa harga diri juga berkaitan dengan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat positif, individu yang ditampilkan nampak memiliki sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Harga diri yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri, evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Sikap terhadap diri sendiri dimulai dengan interaksi paling awal antara bayi dengan ibunya atau pengasuh lain, perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang penting bagi harga diri seseorang.
Sejalan dengan pendapat di atas maka menurut Branden (2011) harga diri adalah apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya, bukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa dirinya sebenarnya. Menurut Santrock (2012) bahwa harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya.

Faktor penyebab Narsisme (skripsi dan tesis)

Sedikides, et al (2004) memberikan hasil risetnya mengenai faktor-faktor narsistik, adalah sebagai berikut:
  1. Self-esteem (Harga Diri)
Harga dirinya tidak stabil dan terlalu tergantung pada interaksi sosialnya.
  1. Depression (Depresi)
Depresi sebagai suatu pemikiran negatif tentang dirinya, dunia, dan masa depannya, adanya rasa bersalah dan kurang percaya dalam menjalani hidup
  1. Loneliness (Kesepian)
Kesepian adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yaitu hal ini disebabkan oleh kurang mempunyai hasrat untuk berhubungan dengan orang lain.
  1. Subjective (“Perasaan Subyektif”)
Individu merasa bahwa dirinya seakan-akan menjadi pribadi yang sempurna.
Faktor lain yang dianggap mempengaruhi Menurut Millon, Grossman, Millon,Meagher, dan Ramnath (dalam Miller dan Campbell 2008: 454) berpendapat bahwa narsistik berkembang sebagai hasil dari orang tua yang menilai terlalu tinggi prestasi anak mereka dan memberikan penguatan yang tidak bergantung pada perilaku aktual. Ditambahkan pula menurut Kohut (dalam Bertens, 2016) bahwa kegagalan mengembangkan citra diri yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi berharga untuk meningkatkan citra diri orang tua.
Disebutkan pula bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi narsisme adalah faktor gen atau gen. Menurut Bertens, 2016: menunjukkan bahwa patologi narsistik disebabkan oleh faktor genetik asal-usul di awal perkembangan. Walaupun masih belum jelas penyebab pada masa kanak-kanak dan menjadi lebih terang-terangan terlihat pada individu dewasa ketika menghadap orang lain dan mengerjakan tugas dengan cara yang lebih narsistik.