Monday, February 27, 2023

Uji Validitas dan Reliabilitas

 Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dapat melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Esensi dari validitas adalah akurasi, suatu instrumen pengukur dikatakan valid jika instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur (Indrianto dan Supomo, 1999).

Pengujian validitas merupakan proses menguji butir-butir pertanyaan yang terdapat dalam sebuah angket, apakah isi dari butir pertanyaan tersebut sudah valid. Pengujian validitas dalam penelitian ini hanya dilakukan terhadap variabel-variabel yang mencakup multiple items pertanyaan/pernyataan dengan menggunakan analisis faktor (factor analysis) Suatu butir dianggap valid apabila memenuhi KMO > 0,5 dan loading factor (component matrix) yang dihasilkan memenuhi kaidah pengujian, yaitu lebih besar dari 0,4.

Menurut Indrianto dan Supomo, (1999) reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten  atau stabil dari waktu ke waktu.

Untuk menguji reliabilitas sampel ini digunakan testing kehandalan “Croanbach Alpha” yang akan menunjukkan ada tidaknya konsistensi antara pertanyaan dan sub bagian kelompok pertanyaan. Konsistensi internal, ditujukan untuk mengetahui konsistensi butir – butir pertanyaan yang digunakan untuk mengukur contruct. Suatu construct atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Croanbach Alpha > 0,60 (Indrianto dan Supomo, 1999).

Keamanan Kerja (skripsi, tesis, dan disertasi)

MenurutMuh Rezky dan Azma, (2019:1), Keamanan dan Keselamatan Kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani. Dengan keamanan dan keselamatan kerja maka para pihak diharapkan dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman.Pekerjaan dikatakan aman jika apapun yang dilakukanoleh pekerja tersebut, resiko yangmungkin muncul dapat dihindari. Keamanan kerja adalah suatu usaha untuk menjaga dan melindungi pekerja dan fasilitas/asset yang dimiliki, baik yang berada di dalam kantor maupun yang berada di luar lingkungan kantor. Upaya memberikan jaminan keamanan kerja tidak hanya diperuntukkan bagi tenaga kerja yang bekerja di dalam lingkungan kantor, tetapi juga bagi tenaga kerja yang bekerja di lapangan, misalnya: Pegawai bank yang bertugas mengambil atau mengantarkan uang ke suatu tempat perlu mendapat pengawalan yang ketat untuk mengantisipasi tindak kejahatan.Menurut Undang-Undang Hukum Perdata, khusus mengenai keamanan kerja dijelaskan bahwa pihak kantor wajib mengatur dan memelihara ruangan, alat, dan perkakas, dimana kantor menyuruh Pegawainya melakukan pekerjaan sehingga para pekerja terlindung dari bahaya.Keamanan kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semangat kerja. Secara psikologis para pegawai memerlukan faktor keamanan dirinya dalam bekerja. Dalam kenyataanya fator keamanan bagi pegawai bukan hanya keamanan fisiknya saja, namunmenyangkut keamanan bagi masa depannya. Secara teoritis dan hasil penelitian terdahulu mendukung hasil penelitian inikeamanan kerja merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hal ini karena keamanan kerja menurut Soedarmadi dkk (2017:94) merupakanharapan-harapan karyawan terhadap keberlangsungan pekerjaan yang mencakup hal-hal seperti adanya kesempatan promusi, kondisi pekerja.umumnya dan
 
 kesempatan karir jangka panjang. Artinya, jika apa yang menjadi harapan-harapan karyawan terhadap pekerjaannya terpenuhi maka karyawan tersebut diharapkan akan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk menghasilkan kinerja yang tinggi.Menurut Mizar 2008 dalam Arninda (2019:4) Job insecuritysebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity. Keselamatan Kerja merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurityyang dirasakan terus menerus oleh karyawan dapat mempengaruhi kualitas kerja. Perasaan tidak aman akan membawa dampak pada job attitudeskaryawan, penurunan komitmen, bahkan keinginan untuk berpindah kerja yang semakin besar. Menurut Hellgren 2002 dalam Arninda (2019:4)terdapat dua bentuk job insecurityyaitu job insecuritykuantitatif, yaitu khawatir akan kehilangan pekerjaan itu sendiri, dan perasaan khawatir kehilangan pekerjaan. Sementara job insecuritykualitatif mengacu pada perasaan potensi kerugian dalam kualitas posisi organisasi, seperti memburuknya kondisi kerja, kurangnya kesempatan karir, penurunan gaji pengembangan. Kedua sisi yang berbeda dari job insecurityadalah untuk dijadikan pengalaman subjektif, berdasarkan pada persepsi individu dan pemahaman tentang lingkungan dan situasi, dan mengacu pada antisipasi dari peristiwa stress kehilangan pekerjaan itu sendiri.Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt 1984dalam Arninda (2019:4)mengkategorikan penyebab job insecurityke dalam tiga kelompok sebagai berikut: 1.Kondisi lingkungan dan organisasi Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional
 dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing,restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan. 2.Karakteristik individual dan jabatan pekerja Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari:usia, senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya, status sosial ekonomi, dan pengalaman kerja. 3.Karakteristik personal pekerja Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecuritymisalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan

   Pengaruh Struktur organisasi, koordinasi dan kemampuan SDM   terhadap efektivitas kerja

 Penelitian Yanti Budiasih (2012) menemukan bahwa Struktur Organisasi, Desain Kerja dan Budaya Organisasi berpengaruh terhadap produktivitas karyawan, demikian pula penelitian Prasetyaningsih (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara variabel bebas struktur organisasi, kepemimpinan, dan kemampuan SDM terhadap efektivitas pelayanan Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal. Oleh karena itu penelitiian ini selain menguji masing-masing variabel bebas terhadap efektivitas kerja, juga menghitung pengaruh ketiga variabel bebas tersebut secara bersama-sama terhadap efektivitas kerja.

 

Koordinasi

 Menurut E. F. L. Brech dalam bukunya, The Principle and Practice of Management yang dikutip Prasetyaningsih (2009) Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.

Sedangkan menurut G. R. Terry dalam bukunya, Principle of Management yang dikutip Prasetyaningsih (2009) koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron / teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Menurut tinjauan manajemen, koordinasi menurut Terry meliputi :

  • Jumlah usaha baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif
  • Waktu yang tepat dari usaha-usaha tersebut
  • Directing atau penentuan arah usaha-usaha tersebut

Mc. Farlan dalam Handayaningrat, (2002:90) menyebutkan bahwa ciri-ciri koordinasi adalah “Tanggung jawab pimpinan; adanya proses; pengaturan kelompok; kesatuan tindakan dan tujuan koordinasi”. Koordinasi memerlukan kesadaran setiap anggota organisasi atau satuan organisasi untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota atau satuan organisasi lainnya agar tidak berjalan sendiri-sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain, juga antar anggota organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran atau tumpang tindih, agar sasaran dan tujuan dapat dicapai dengan cara memperoleh keseimbangan dan keharmonisan kerja antar individu maupun kelompok kerja. Hal ini berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah kegiatan yang bertujuan :

  1. Menimbulkan keselarasan.
  2. Menciptakan sinkronisasi.
  3. Keseimbangan antara bagian-bagian.
  4. Penyesuaian antar bagian-bagian.
  5. Menciptakan kesatuan arah.
  6. Menciptakan tujuan yang efisien, efektif dan produktif.

 

Dengan tujuan koordinasi di atas maka diharapkan koordinasi mempunyai manfaat yang besar. Sutarto (2002 : 69) menyebutkan manfaat dari pada koordinasi sebagai berikut :

  • Dengan koordinasi dapat dihindari perasaan lepas satu sama lain antara satuan-satuan organisasi atau antara para pejabat yang ada dalam organisasi.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan atau suatu pendapat bahwa organisasinya atau jabatannya merupakan bagian yang paling penting.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan timbulnya pertentangan antara satuan organisasi atau antar para pejabat.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan terjadinya perebutan fasilitas.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan terjadinya pemborosan waktu.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan kemungkinan terjadi kesamaan pekerjaan terhadap sesuatu aktifitas oleh satuan-satuan organisasi atau kekembaran terhadap tugas oleh para pejabat.
  • Dengan koordinasi dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya kekosongan pekerjaan terhadap sesuatu aktivitas oleh satuan organisasi atau kekosongan pekerjaan terhadap tugas oleh para pejabat.
  • Dengan koordinasi dapat ditumbuhkan kesadaran di antara para pejabat untuk saling membantu satu sama lain terutama di antara pejabat yang ada dalam satuan organisasi yang sama.
  • Dengan koordinasi dapat ditumbuhkan kesadaran di antara para pejabat untuk saling memberitahu masalah yang dihadapi bersama sehingga dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya kebaikan bagi dirinya atau kerugian atau kejatuhan sesama pejabat lainnya.
  • Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan tindakan.
  • Dengan koordinasi dapat dijamin kesatuan sikap antar pejabat.
  • Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan langkah antara para pejabat.
  • Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan kebijaksanaan antar para pejabat.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa banyak manfaat yang diperoleh dengan adanya koordinasi. Maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa koordinasi merupakan hal yang pokok di dalam suatu organisasi, terutama dengan adanya spesialisasi tugas yang merupakan fenomena organisasi modern. Dengan koordinasi spesialisasi tugas tersebut dapat diintegrasikan sehingga terwujudlah kesatuan arah, kesatuan tindakan, kesatuan sikap serta kesatuan kebijakan.

Menurut Handoko (2004:55) mekanisme dasar di dalam pencapaian koordinasi adalah merupakan komponen vital dari manajemen yakni :

  • Rencana dan Penetapan Tujuan

Pengembangan rencana dan tujuan dapat digunakan untuk pengkoordinasian meliputi pengarahan seluruh satuan organisasi terhadap sasaran yang sama. Ini diperlukan bila aturan dan prosedur tidak mampu lagi memproses seluruh informasi yang diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan satuan-satuan organisasi.

  • Aturan dan Prosedur

Aturan-aturan dan prosedur-prosedur adalah merupakan keputusan-keputusan manajer yang dibuat untuk menangani kejadian-kejadian rutin, sehingga dapat juga menjadi alat yang efisien untuk koordinasi dan pengawasan.

  • Hirarki Manajerial

Hirarki manajerial yaitu rantai perintah, aliran informasi dan kerja, wewenang formal, hubungan tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas dapat memperlancar pelaksanaan dengan pengarahan yang tepat.

Apabila mekanisme dasar yang diuraikan di atas tidak cukup efektif, sebaiknya dilakukan mekanisme tambahan. Potensi koordinasi dapat ditingkatkan dalam dua arah secara vertikal dan lateral, seperti yang dikemukakan Stoner dalam Sarwoto (2003:49) yaitu :

  • Sistem informasi vertikal

Sistem informasi vertikal ini merupakan cara mengirimkan data ke tingkat atas dan bawah organisasi. Komunikasi dapat terjadi di dalam atau di luar garis. Sistem informasi manajemen telah dikembangkan dalam aktivitas-aktivitas seperti pemasaran, keuangan, produksi dan operasi internasional untuk meningkatkan informasi yang tersedia bagi perencanaan, koordinasi dan pengendalian.

  • Hubungan Lateral

Dengan memotong garis komando hubungan lateral memungkinkan pertukaran informasi yang pengambilan keputusan pada tingkat yang benar-benar membutuhkan informasi.

  • Kemampuan Sumber Daya Manusia

Menurut Hendri Simamora dalam Prasetyaningsih (2009) manajemen sumber daya manusia adalah pemberdayaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja.

Menurut Hani Handoko dalam Prasetyaningsih (2009), manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatan, pengembangan, pemberian konpensasi, pengintegrasian, memelihara dan pelepasan SDM agar tercapai tujuan organisasi. Tercapainya tujuan suatu organisasi sangat tergantung dari kemampuan sumber daya manusia dalam memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena hal ini akan mendorong tercapainya tujuan organisasi dengan lebih cepat, efektif, dan efesien, sehingga dengan sendirinya organisasi akan selalu siap menghadapi dan beradaptasi dengan setiap perubahan yang ada, khusunya yang berhubungan dengan usaha kearah pengembangan organisasi.

Kemapanan suatu organisasi sangat bergantung pada ketersediaan dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. Sumber daya manusia dalam hal ini pegawai yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena hal ini akan mendorong tercapainya tujuan organisasi dengan lebih cepat, efektif dan efisien, sehingga dengan sendirinya organisasi akan selalu siap menghadapi dan beradaptasi dengan setiap perubahan yang ada, khususnya yang berhubungan dengan usaha kearah pengembangan organisasi. Sebaliknya, suatu organisasi yang tidak didukung dengan kemampuan pegawai yang memadai akan sangat terancam keberadannya, sebagai contoh organisasi publik tidak akan bisa memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat manakala pegawainya belum memahami dan menguasai tentang tugas pokok dan fungsinya.

Demikian hal dengan pegawai negeri sipil yang mempunyai mandat sebagai public servant , bila dihubungkan dengan pekerjaan dapat diartikan sebagai suatu keadaan pada diri seseorang yang secara penuh bersungguh sungguh bekerja, berdaya guna untuk melaksanakan pekerjaan, sehingga memungkinkan sesuatu tujuan yang akan tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Moenir dalam Prasetyaningsih (2009), yang menyebutkan bahwa “kemampuan sebagai suatu keadaan pada seseorang yang secara penuh, kesungguhan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang optimal”.

Sumber daya manusia merupakan faktor yang terpenting dalam suatu organisasi, karena merupakan faktor penggerak utama dalam suatu organisasi. Oleh sebab itu diperlukan adanya kemampuan pegawai yang memadai terutama bagi para aparatur pemerintahan yang bertugas memberdayakan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang mengarah pada terwujudnya “good governance”.

Sehubungan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan bagian penting dalam pembinaan pegawai, dimana melalui pendidikan dan pelatihan dibentuk sosok pegawai yang diinginkan. Di samping itu pendidikan juga dapat diartikan sebagai tujuan untuk meningkatkan pengertian atau sikap para tenaga kerja sehingga mereka dapat lebih menyesuaikan dengan lingkungan kerjanya, sedangkan pelatihan merupakan proses aplikasi terutama terhadap tingkat kecakapan yang diperlukan untuk mempelajari bagaimana caranya melaksanakan tugas pekerjaan itu.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kemampuan tersebut dapat digaris bawahi bahwa untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, kemampuan seseorang sangat menentukan dimana kemampuan itu sendiri terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu :

  • Pengetahuan yakni dapat ditempuh melalui jalur pendidikan formal yang berfungsi agar pegawai yang bersangkutan cepat tanggap dan paham tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya.
  • Ketrampilan (skill) yaitu dapat diperoleh melalui jalur pendidikan dan latihan, misalnya training atau kursus-kursus keterampilan yang disesuaikan dengan bidang kerjanya masing-masing, hal ini diharapkan pegawai yang bersangkutan akan dengan cekatan dan terampil dalam menyelesaikan tugas pokok dan fungsinya secara tepat waktu.

          Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa untuk mengetahui tingkat kemampuan pegawai dapat dilihat dari seberapa jauh ia menguasai dan memahami pelaksanaan tugasnya, kemudian keterampilan yang ia kuasai kaitannya dengan bidang tugas yang ia kerjakan disamping dedikasi yang cenderung kearah sifat emosional personil, yakni sangat erat dengan pengalaman kerja yang pernah ia lalui serta kesesuaian antara bidang tugasnya dengan potensi atau karakter pribadinya.

          Sehubungan dengan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan, bahwa kemampuan sumber daya manusia (pegawai) dapat diartikan sebagai kondisi seorang pegawai yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pengalaman kerja serta keminatan dalam melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepada sehingga dapat melaksanakan tugas tepat dan benar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Struktur Organisasi

 Menurut Anderson dalam Prasetyaningsih (2009), “Struktur adalah susunan berupa kerangka yang memberikan bentuk dan wujud, dengan demikian akan terlihat prosedur kerjanya”. Menurut Stoner dalam Budiasih (2012), “struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antar bagian-bagian, komponen dan posisi dalam suatu perusahaan”.  Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins dalam Prasetyaningsih (2009) bahwa “struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti”. Lebih jauh Robbins mengatakan bahwa struktur organisasi mempunyai tiga komponen, yaitu : kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas berarti dalam struktur orgaisasi mempertimbangkan tingkat differensiasi yang ada dalam organisasi termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau pembagian kerja, jumlah tingkatan dalam organisasi serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara geografis. Formalisasi berarti dalam struktur organisasi memuat tentang tata cara atau prosedur bagaimana suatu kegiatan itu dilaksanakan (Standard Operating Prosedures), apa yang boleh dan tidak dapat dilakukan. Sentralisasi berarti dalam struktur organisasi memuat tentang kewenangan pengambilan keputusan, apakah disentralisasi atau didesentralisasi.

Menurut Gibson dalam Prasetyaningsih (2009) menyebutkan bahwa: “Efektifitas dalam konteks perilaku organisasi merupakan hubungan optimal antara produksi, kualitas, efisiensi, fleksibility, kepuasan dan sifat keunggulan”. Untuk menentukan pencapaian tujuan secara efektif harus ada struktur organisasi yang menjelaskan tugas yang jelas (job discription), wewenang (authority), dan tanggung jawab (accountabillity) antar bagian/seksi dalam organisasi dan hubungan antar personal yang dipercayainya akan menghubungkan perilaku individu dan kelompok. Sehingga dengan demikian struktur organisasi sangat berpengaruh terhadap efektifitas kerja.

Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, apabila komponen-komponen struktur organisasi disusun dengan baik antara pembagian kerja atau spesialisasi disusun sesuai dengan kebutuhan, dapat saling menunjang, jelas wewenang tugas dan tanggung jawabnya, tidak tumpang tindih, sebaran dan tingkatan dalam organisasi memungkinkan dilakukannya pengawasan yang efektif.

Salah satu fungsi Struktur Organisasi adalah pengawasan yang merupakan unsur penting dalam mewujudkan efektivitas pada organisasi. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa penerapan fungsi pengawasan secara baik dan tepat akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas organisasi, hal ini dikarenakan dalam fungsi pengawasan terdapat integrasi berbagai kepentingan untuk mencapai satu tujuan setelah melalui proses komunikasi dan penyamaan persepsi. Pemahaman tersebut dikuatkan dengan pendapatnya Hendayaningrat dalam Prasetyaningsih (2009), yang menyebutkan, bahwa “Pengawasan yang baik mempunyai efek adanya efisiensi terhadap organisasi, karena itu maka struktur organisasi adalah memberikan sumbangan (kontribusi) guna tercapainya efisiensi dan efektivitas terhadap tugas-tugas, pengawasan mempunyai efek terhadap moral terhadap organisasi tersebut, terutama yang berhubungan dengan peranan kepemimpinan (leadership), pengawasan mempunyai efek terhadap perkembangan terhadap personal di dalam organisasi itu, artinya bahwa unsur pengendalian personal dalam pengawasan itu harusnya selalu ada”.

 Dalam pengendalian pelayanan perlu prosedur yang runtut yaitu antara lain penentuan ukuran, identifikasi, pemeliharaan catatan untuk inspeksi dan peralatan uji, penilaian, penjaminan dan perlindungan (Gaspersz dalam Prasetyaningsih 2009). Oleh karena itu struktur organisasi yang demikian akan berpengaruh positif terhadap pencapaian efektivitas pelayanan. Akan tetapi, apabila struktur organisasi tidak disusun dengan baik maka akan dapat menghambat efektivitas pelayanan publik yang baik.

Efektivitas Kerja

 Efektivitas adalah suatu kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu : “Efective” yang berarti berhasil ditaati, mengesahkan, mujarab dan mujur. Dari sederetan arti di atas, maka yang paling tepat adalah berhasil dengan baik. Jika seseorang dapat bekerja dengan baik maka ia dapat dikatakan bekerja secara efektif. Permasalahan efektivitas, bukanlah sesederhana pengertian di atas, karena efektivitas itu menyangkut banyak hal, oleh karena itu para ahli memberikan defenisi yang beragam untuk menjelaskan apa arti batasan dari pengertian efektivitas itu.

Widjaya dalam Prasetyaningsih (2009) mengemukakan: “Efektivitas adalah hasil membuat keputusan yang mengarahkan melakukan sesuatu dengan benar, yang membantu memenuhi misi suatu perusahan atau pencapaian tujuan” Selanjutnya Wesha dalam Prasetyaningsih (2009) mengatakan “Efektivitas adalah keadaan atau kemampuan berhasilnya suatu kerja yang dilakukan oleh manusia untuk memberikan guna yang diharapkan.

Sedangkan Komaruddin dalam Prasetyaningsih (2009) menyebutkan efektivitas adalah “Suatu keadaan dalam mencapai tujuan manajemen yang efektif perlu disertai dengan manajemen yang efisien”. Menunjukkan tingkat keberhasilan yang efisien. Oleh karena itu manajemen tidak boleh diukur dengan efektivitas juga diperlukan efisiensi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan efektivitas merupakan suatu keadaan yang menunjukkan keberhasilan kerja yang ditetapkan. Efektivitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditentukan, artinya pelaksanaan suatu tugas ditandai baik atau tidak, sangat tergantung pada penyelesaian tugas tersebut, bagaimana cara melaksanakannya dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu. Hal ini lebih menekankan pada penyelesaian tugas yang telah ditentukan sebelumnya.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas kerja berhubungan dengan hasil yang telah ditentukan sebelumnya. Satu hal yang perlu digaris bawahi efektivitas kerja tidak dapat dipisahkan dengan efisiensi kerja. Efesiensi kerja berhubungan dengan biaya, tenaga, mutu dan pemikiran. Jadi efektivitas kerja dalam organisasi merupakan usaha untuk mencapai prestasi yang maksimal dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam waktu yang relatif singkat tanpa menunggu keseimbangan tujuan alat dan tenaga serta waktu.

Apa yang dimaksud dengan efektifitas kerja dipertegas Siagian dalam Prasetyaningsih (2009) yaitu “Penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang ditentukan, artinya apabila pelaksanaan tugas dinilai baik atau tidak adalah sangat tergantung pada bilamana tugas tersebut diselesaikan dan bukan terutama menjawab tentang bagaimana melaksanakannya serta berapa biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan tersebut”. Dari definisi Siagian di atas dapatlah kiranya diinterprestasi bahwa efektifitas kerja mengandung arti tentang penekanan pada segi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dimana semakin cepat pekerjaan itu terselesaikan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, maka akan semakin baik pula efektifitas kerja yang dicapai. Demikian pula sebaliknya dengan semakin lamanya pekerjaan tersebut terselesaikan, maka semakin jauh pula pekerjaan tersebut dari keefektifannya.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemilihan alternatif yang tepat sangat menentukan tingkat efektifitas kerja yang sangat tinggi dan tentunya akan sangat berpengaruh besar terhadapat kualitas hasil pekerjaan dan kualitas pekerjaan itu sendiri. Pada dasarnya efektifitas kerja dimaksudkan untuk mengukur hasil pekerjaan yang dicapai sesuai dengan rencana, sesuai dengan kebijakan atau dengan kata lain mencapai tujuan, maka hal itu dikatakan efektif. Nilai efektifitas pada dasarnya ditentukan oleh tercapainya tujuan organisasai serta faktor kesesuaian dalam melaksanakan tugas atau pekerjaanya. Jadi efektifitas kerja pada tiap – tiap organisasi akan berbeda – beda antara organisasi yang satu dengan ornganisasi yang lainnya, tergantung pada jenis dan sifat dari pada organisasi yang bersangkutan.

Untuk mengukur efektifitas kerja tersebut telah dilakukan tinjauan yang baru–baru ini dibuat oleh Campbell dalam Prasetyaningsih (2009) untuk mengukur efektifitas kerja yaitu :

  • Kesiagaan

Penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan bahwa organisasi mampu menyelesaikan sebuah tugas khusus dengan baik jika diminta. Kesiagaan dalam hal ini adalah struktur organisasi dan koordinasi yang berjalan baiak serta kompetensi pegawai yaitu menyangkut kewenangan setiap individu untuk melakukan tugas atau mengambil keputusan sesuai dengan perannya dalam organisasi, yang relevan dengan keahlian, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

  • Semangat kerja

Kemauan seseorang di dalam menyelesaikan pekerjaan terhadap pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan peraturan perusahaan merupakan bentuk semangat kerja. Kemampuan sumber daya manusia (pegawai) yang berusaha lebih keras mencapai tujuan dan sasaran organsasi termasuk perasaan terikat. Semangat kerja adalah gejala kelompok yang melibatkan kerjasama dan perasaan memilliki.

  • Kepuasan kerja

Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan perasaan sikap seseorang, senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Pelaksanaan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan individu tersebut, makin berjalan baik struktur organisasi dan koordinasi maka makin tinggi kepuasan kerja yang diterima.

  • Motivasi

Motivasi adalah kecenderungan seorang individu melibatkan diri dalam kegiatan yang mengarah pada sasaran dalam pekerjaan, ini bukanlah perasaan senang yang relatif terhadap hasil berbagai pekerjaan sebagaimana halnya kepuasan, tetapi lebih merupakan perasaan sedia atau rela bekerja untuk mencapai tujuan pekerjaan. Seseorang mau bekerja dengan sungguh - sungguh dan bersemangat apabila ada motivasi dari organisasi atau pimpinan. Struktur organisasi dan koordinasi antara pimpinan kepada bawahan yang baik serta kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni berpotensi meningkatkan motivasi yang mengarah pada efektifitas kerja.

  • Beban pekerjaan yang sesuai

Keberhasilan organsisai dalam mencapai tujuannya tidak dapat melepaskan diri dari perlunya pembagian kerja yang tepat supaya setiap pegawai bisa melaksanakan tugas–tugasnya secara efektif. Pengukuran efektifitas kerja yang peneliti lakukan didasarkan atas banyaknya tugas yang dipikul dan jumlah pegawai yang melaksanakan tugas tersebut, sehingga dari kedua hal tersebut dapat disusun sesuai dengan kebutuhan perusahaan/organisasi sehingga menghasilkan efektifitas kerja sebagaimana yang diharapkan. Ini menuntut koordinasi yang baik dan kemempuan sumber daya manusia yang sesuai dengan beban pekerjaan yang ditugaskan.

  • Penyelesaian tugas tepat pada waktunya

Waktu merupakan salah satu pengukuran efektifitas kerja yang sangat penting, penyelesaian tugas tepat waktu yang dapat menunjukan efektifitas kerja memerlukan struktur organisasi dan koordinasi yang berjalan baik, serta kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Faktor yang mempengaruhi psychosocial safety climate (skripsi, tesis, dan disertasi)

  Johansson dan Rubernowitz (1994) menjelaskan faktor-faktor psychosocial yang mempengaruhi dalam kinerja, yaitu : a.Pengaruh dan kontrol pekerjaan Dalam hal ini ada beberapa hal yang bisa dilihat antara lain pengaruh tingkatan kerja, pengaruh metode kerja, pengaruh alokasi kerja dan kontrol teknis serta pengaruh peraturan kerja. b.Komunikasi terhadap atasan Komunikasi yang bisa dilihat adalah kontak dengan atasan, ketika atasan meminta saran dan masukan terhadap masalah-masalah dengan pekerjaan, saat atasan memberikan pertimbangan sudut pandang tertentu dan memberikan informasi yang dibutuhkan serta iklim dalam berkomunikasi di organisasi ataupun perusahaan. c.Rangsangan dari kerja itu sendiri Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pekerjaan tersebut menarik dan menstimulasi individu untuk bekerja atau tidak, apakah pekerjaan tersebut bervariasi dan terbagi-bagi atau tidak, kesempatan untuk mempergunakan bakat dan keterampilan, kesempatan untuk belajar banyak hal baru dari pekerjaan dan perasaan keseluruhan tentang pekerjaan yang dilakukan. d.Hubungan dengan rekan kerja Hubungan dan kontak dengan rekan kerja, pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan rekan kerja, perluasan pengalaman dalam suasana kerja yang menyenangkan, diskusi tentang masalah yang berkaitan dengan

 pekerjaan dan penghargaan rekan kerja sebagai seorang teman yang baik atau bukan. e.Beban kerja secara psikologis Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah stres kerja, beban kerja, perasaan lelah dan kejenuhan sehabis bekerja yang meningkat. Ada atau tidaknya kemungkinan relaksasi dan beristirahat saat bekerja dan beban mental yang ditimbulkan oleh pekerjaan itu sendiri. Selain itu Amawidiyati dan Utami (2007) penelitian yang sudah dilakukan oleh Amawidyati dan Utami (2007) menunjukkan bahwa, semakin tinggi tingkat religiusitas, maka semakin tinggi pula kesehatan psikologis individu tersebut. Hal tersebut dikarenakan ketika individu dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman bergamanya, individu akan lebih tenang dalam menjalani hidup karena sudah menyerahkan hidupnya pada Tuhan