Sunday, March 31, 2024

Hubungan Pengembangan Karir Terhadap Kepuasan Kerja

 


Dalam suatu organisasi pengembangan karir adalah hal yang paling penting
dan hal yang paling dibutuhkan dikarenakan pengembangan karir berorientasi pada
tantangan dimasa yang akan datang dalam menghadapi masalah-masalah yang
semakin kompleks. Pengembangan karir memiliki eksistensi di masa depan
tergantung dari sumber daya manusianya karena sumber daya manusia harus
dilakukan pembinaan karir pada karyawan yang dilaksanakan secara berencana dan
berkelanjutan di setiap tahunnya. Jika pengembangan karir dilakukan setiap
tahunnya maka sumber daya manusia akan terus berkembang dan siap menghadapi
tantangan yang dihadapi. Dalam suatu organisasi atau perusahaan pengembangan
karir juga berpengaruh terhadap terciptanya kepuasan kerja yang dirasakan
karyawan, biasanya karyawan akan merasa dihargai jika ada promosi jabatan,
pengembangan terhadap diri karyawan tersebut. Maka dari itu pengembangan karir
sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
Menurut penelitian Bahri & Nisa (2017) menyatakan bahwa variabel
pengembangan karir berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal serupa juga
dikemukakan oleh penelitian yang dilakukan Paramita et al., (2017) dan Waspodo
et al., (2017) bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pengembangan
karir terhadap kepuasan kerja.

Indikator-indikator Kepuasana Kerja

 


Kepuasan kerja yaitu sikap emosional yang menyenangkan dan sangat
mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan
prestasi kerja. Menurut Rivai (2009: 860) dalam Bahri & Chairatun Nisa, (2017)
indikator-indikator kepuasan kerja adalah:

  1. Isi pekerjaan
    Penampilan tugas pekerjaan yang actual dan sebagai control terhadap
    pekerjaan. Karywan akan merasa puas bila tugas kerja dianggap menarik dan
    memberikan kesempatan belajar dan menerima tanggung jawab.
  2. Supervisi
    Adanya perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan,
    sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting
    dari organisasi kerja akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Sebaliknya jika
    supervisi yang buruk dapat meningkatkan turn over dan absensi karyawan.
  3. Organisasi dan manajemen
    Mampu memberikan situasi kerja yang stabil, untuk memberikan kepuasan
    kerja kepada karyawan.
  4. Kesempatan untuk maju
    Adanya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan
    kemampuan selama bekerja akan memberikan kepuasan pada karyawan terhadap
    pekerjaannya.
  5. Gaji dan insentif
    Jumlah bayaran yang diterima oleh seorang karyawansebagai akibat dari
    pelaksanaan kerja, apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil.
  6. Rekan kerja
    Relasi atau hubungan yang saling mendukung dan saling memperhatikan
    antara rekan kerja yang akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan
    hangat sehingga menimbulkan kepuasan kerja karyawan yang baik.
  7. Kondisi pekerjaan
    Kondisi ketersedian sarana dan prasarana kerja yang memadai adalah hal
    yang sangat penting yang sesuai sifat yang seharusnya diselesaikan.

Ciri-ciri intrinsik pekerjaan

 


Menurut Locke dalam Munandar (2014: 357) ciri-ciri intrinsik dari
pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah
pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan,
dan kreativitas. Ada satu unsur yang dapat dijumpai pada ciri-ciri intrinsik menurut
Locke yaitu tingkat tantangan mental. Konsep dari tantangan yang sesuai
merupakan konsep yang penting. Pekerjaan yang menuntuk kecakapan yang lebih
tinggi dari pada yang dimiliki tenaga kerja, atau tuntutan pribadi yang tidak dapat
dipenuhi tenaga kerja akan menimbulkan frustasi dan akhirnya muncul
ketidakpuasan kerja. Berdasarkan survei diagnostik pekerjaan dapat diperoleh hasil
tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja
(Munandar, 2014: 357), ciri-ciri tersebut adalah satu, keragaman keterampilan.
Dalam pekerjaan keragaman keterampilan sangatlah diperlukan, makin banyak
keterampilan yang dimiliki akan makin kurang membosankan pekerjaan. Kedua,
jati diri tugas (task identity). Dimana tugas menjadi sebuah pekerjaan yang lebih
besar dan berarti. Ketiga, tugas yang penting (task signifikan). Rasa pentingnya
suatu tugas yang diemban bagi seseorang atau karyawan maka akan cenderung
mempunyai kepuasan kerja. keempat, otonomi. Pekerjaan yang memberikan
kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil kepuasan akan cepat
menimbulkan kepuasan kerja. Kelima, pemberian balikpada pekerjaan membantu
meningkatkan tingkat kepuasan kerja

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Keith Davis dalam Mangkunegara (2017: 117) mengemukakan bahwa “Job
satisfication is the favorableness or unfavorableness with employees view their
work”. Kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang
dialami pegawai dalam bekerja. Wexley dan Yuki dalam Mangkunegara (2017:
117) mendefinisikan kepuasan kerja “Is the way an employee feels about his or her
job”. Adalah cara pegawai merasakan didirnya atau pekerjaannya. Berdasarkan
pendapat tersebut diatas, kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang mendorong
atau tidaknya diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya atau pun
dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan
aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan pengembangan karir,
penempatan kerja, jenis pekerjaan, mutu pengawasan, dan lain-lain. Sedangkan
perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan,
kemampuan, pendidikan.
Menurut Howell dan Dipboye dalam Munandar, (2014: 350) memandang
kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya
tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Sebuah perasaan positif
terhadap pekerjaan yang dihasilkan dari evaluasi atas karakteristik-karakteristiknya
(Robbins & Judge, 2015: 49). Jadi dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan
sikap tenaga kerja terhadap pekerjaan yang dikerjakannya.
Ada beberapa variable yang berhubungan dengan kepuasan kerja seperti
umur, tingkat absensi, tingkat pekerjaan, ukuran organisasi perusahaan, dan
turnover. Hal ini juga sependapat dengan yang dikemukakan oleh Keith Davis
dalam Mangkunegara (2017: 117) bahwa “job satisfaction is related to a number
of major employee variables, such as turnover, absences, age, occupation, and size
of the organization in which an employee works”.
a. Turnover
Kepuasan kerja sering dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya lebih tinggi turnover-nya.
b. Tingkat ketidak hadiran kerja (absen)
Pegawai-pegawai yang tingkat kepuasannya kurang, cenderung tingkat
absen atau ketidak hadirannya tinggi. Terkadang pegawai kurang puas sering absen
atau tidak hadirnya dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.
c. Umur
Terkadang ada kecendrungan pegawai yang tua merasa lebih puas dari pada
pegawai berumur relatif muda, hal ini diasumsikan bahwa pegawai tua lebih
berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan
pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia
kerjanya, sehingga apabila antara harapanya dengan realita kerja terdapat
kesenjangan yang dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
d. Tingkat pekerjaan
Dalam tingkat pekerjaan biasanya pegawai yang menduduki posisi yang
lebih tinggi cenderung lebih puas dari pada pegawai yang memiliki tingkatan posisi
pekerjaan lebih rendah. Pegawai yang tingkat posisi pekerjaan lebih tinggi
menunjukan kemampuan kerja lebih baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide
serta kreatif dalam bekerja.
e. Ukuran organisasi perusahaan
Ukuran perusahaan dapat mengurangi kepuasan kerja pegawai, hal ini
dikarenakan oleh besar kecilnya suatu perusahaan berhubungan dengan koordinasi,
komunikasi, dan partisipasi pegawai.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada
pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya (Mangkunegara, 2017: 120).
a. Faktor pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,
kondisi fisik, pendidikan, penhgalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi,
cara berpikir, persepsi dan sikap kerja.
b. Faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),
kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan,
interaksi sosial, dan hubungan kerja

Indikator-indikator Keadilan Organisasi

 


Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi adalah presepsi
keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas keadilan
distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Menurut Dyna dan Graham
dalam Kristanto (2015) keadilan organisasi dapat diketahui dengan mengukur tiga
hal yaitu:

  1. Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan jika memberi gaji sesuai
    dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan. Apabila perbandinganhasil kerja
    yang diterima dengan hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan tidak sebanding,
    maka karyawan akan merasa bahwa tidak terjadi keadilan.
  2. Keadilan dalam proses pengambilan keputusan.
    Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan apabila ketika pengambilan
    keputusan, karyawan diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan
    pandangannya. Selain itu setelah pengambilan keputusan tersebut dinilai sama pada
    tiap karyawan, maka karyawan akan merasakan adil pada proses pengambilan
    keputusan.
  3. Keadilan dalam presepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.
    Organisasi akan dikatakan adil oleh karyawan apabila hubungan antar
    personal yaitu atasan dengan bawahan baik, seperti mendapatkan perlakuan yang
    baik dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang didapat
    dari atasan juga mempengaruhi presepsi keadilan organisasi pada karyawan.

Pengertian Keadalian Organisasi

 


Pada masa sekarang keadilan adalah hal yang mutlak dimiliki,
permasalahan ketidakadilan mengakibatkan hal yang sangat berpengaruh pada diri
seorang karyawan yang akan menimbulkan perilaku yang menyimpang ditempat
kerja. Tidak jarang karyawan melakukan tindakan menyimpang terhadap kebijakan
perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah karyawan diperlakukan tidak adil oleh
perusahaan (Sjafri dalam Maspaitella et al., 2018). Keadilan hanya tercipta ketika
apa yang dikerjakan telah selesai dengan perjanjian yang telah dibuat atau
disepakati sebelumnya ( Thomas Huddes dalam Maspaitella et al., 2018). Menurut
Sjafri dalam Maspaitella et al., (2018) akibat selanjutnya yang terjadi, motivasi
kerja karyawan semakin menurun dan dapat mengakibatkan kinerja karyawan juga
menurun. Tentu saja akan mengganggu aktifitas bisnis dan kinerja perusahaan.
Robbins & Judge, (2015: 144) keadilan organisasi (organizational justice)
adalah presepsi keseluruhan mengenai apa itu keadilan ditempat kerja, terdiri atas
keadilan distributif, prosedural, informasional dan interpersonal. Keadilan
distributif (distributive justice) adalah keadilan yang dirasakan, baik jumlah
maupun alokasi penghargaan diantara para individu. Keadilan prosedural
(procedural justice) adalah keadilan yang dirasakan pada proses yang digunakan
untuk menentukan distribusi penghargaan. Keadilan informasional (informational
justice) adalah keadaan dimana pekerja diberikan penjelasan yang jujur dari setiap
keputusan. Keadilan interpersonal (interpersonal justice) adalah keadaan dimana
pekerja diperlakukan dengan rasa hormat dan bermartabat. Hasil penelitian
dibidang organizational justice menunjukan bahwa ketika para karyawan
diperlukan adil, mereka akan mempunyai sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk
keberhasilan perubahan organisasi bahkan dalam kondisi sulit sekalipun (Sugiarti,
2005). Sebaliknya ketika keputusan organisasi atau manajerial dianggap tidak adil
maka karyawan akan merasa tidak puas dan menolak upaya-upaya perubahan untuk
perbaikan organisasi. Menurut Thibaut dan Walker (1975) penilaian seseorang
mengenai keadilan tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka terima sebagai
akibat keputusan tertentu, tetapi juga pada proses bagaimana keputusan tersebut
dibuat.

Indikator-indikator stress kerja

 


Menurut Robbins & Judge (2015: 429) stress adalah suatu proses psikologi
yang tidak menyenangkan yang terjadi sebagai tanggapan terhadap tekanan
lingkungan. Menurut Robbins & Judge (2015: 432) ada tiga indikator untuk
mengukur stress kerja yaitu:

  1. Gejala fisiologis
    Gejala fisiologikal yaitu gejala stress yang berkaitan dengan masalah fisik
    individu yang biasanya terjadi seperti sakit perut, sakit kepala, tekanan darah
    meningkat, detak jantung, dan lain-lain.
  2. Gejala psikologis
    Gejala psikologis yaitu gejala yang terjadi kepada seorang individu terhadap
    psikisnya. Gejala ini sering terjadi dan sering dijumpai pada seorang karyawan,
    terjadi karena ketidakpuasan kerja seperti kecemasan, ketegangan, ketidakpuasan
    dalam bekerja, rasa percaya diri menurun, komunikasi yang tidak efektif, dan lainlain.
  3. Gejala perilaku
    Gejala prilaku adalah sikap atau tindakan seseorang yang terjadi dari sebab
    gejala psikologi yang mana menimpa psikisnya, gejala ini seperti gelisah dan
    mengalami gangguan tidur, tingkat absensi meningkat, performansi kerja menurun
    dan lain-lain.