Showing posts with label Analisis Spasial. Show all posts
Showing posts with label Analisis Spasial. Show all posts

Thursday, July 12, 2018

Kajian dan Analisis Wilayah Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)




Sebagaimana bentuk perencanaan lain, pengumpulan dan analisis data adalah komponen penting pada perencanaan pelayanan sosial. Ada dua macam data yang dibutuhkan, pertama data ketersediaan fasilitas pelayanan dan yang kedua data kebutuhan akan pelayanan di masa mendatang (Conyers, 1982).

Untuk menilai ketersediaan pelayanan dikenal tiga metode, pertama Metode Ketersediaan Pelayanan {Service Availability), menilai dengan ada atau tidaknya fasilitas pelayanan. Jika pelayanan tersedia diberi nilai 1, dan jika tidak tersedia diberi nilai 0. Metode ini disebut juga Gutman Sculling Methods. Metode yang kedua disebut Metode Tingkat Ketersediaan (Size of Availability) adalah metode yang memperhatikan jumlah unit pelayanan yang tersedia. Metode yang sering digunakan adalah Scalogram. Sedangkan yang terakhir dikenal dengan fungsi pelayanan atau daya layan (Function of Availability) merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas dengan variabel pembanding. Variabel pembanding dapat berupa penggunaan aktual, pengguna potensial, penduduk keseluruhan, dan dengan pembanding standard (Muta'ali, 1999).
Salah satu standar dalam petunjuk tersebut disusun berdasarkan Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) dan Christaller. Turunan (derivation) teori ini menyatakan bahwa setiap barang atau jasa yang disediakan fasilitas pelayanan mempunyai batas atas dan batas bawah. Batas atas (upper limit) adalah jarak maksimum dimana konsumen akan pergi ke fasilitas pclayanan untuk mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya melalui beberapa pelayanan terdekat (Herbert, 1982). Konsep ini kemudian dikenal dengan distance treshold atau jarak ambang Sebagai konsekuensinya daerah maksimum yang dilayani dan pusat pelayanan merupakan daerah lingkaran komplementer. Sedangkan batas bawah (lower limit) adalah jarak minimum yang dibutuhkan pada kondisi dimana daerah pelayanan memiliki penduduk yang cukup untuk menghasilkan permintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi ekonomis bagi fasilitas pelayanan tersebut (Herbert, 1982). Konsep penduduk yang cukup untuk menghasilkan pemintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi eknomis ini kemudian disebut population treshold atau penduduk ambang.

Teori ini berperan dalam memberitahukan kepada perencana, daerah-daerah mana yang "tak terlayani" (unserved) dan "terlayani" (underserved) melalui identifikasi keberadaan wilayah pelayanan (Huisman, 1987). Dalam persebarannya secara keruangan kadang-kadang wilayah pelayanan saling tumpang tindih (overlap), hal ini tidaklah bermanfaat, sehingga keberadaan satu atau beberapa pelayanan tersebut harus dipertimbangkan (UN ESCAP, 1979).

Persebaran pelayanan sendiri menyangkut dua aspek, aspek sosial dan keruangan (Huisman, 1987). Aspek sosial berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai oleh berbagai kelompok sosial dan masyarakat, sedangkan aspek Keruangan berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai perwilayah/daerah.

Pola persebaran keruangan (permukiman) secara kuantitatif dapat memberikan perbandingan antar pola keruangan obyek dengan lebih baik dibandingkan secara deskriptif dari segi waktu dan dari segi ruang. Analisinya disebut analisis tetangga terdekat yang memberikan ukuran kuantitatif terhadap pola acak, tersebar, dan mengelompok (Bintarto, 1991).

Salah satu a1at yang dapat mengkaji persebaran keruangan fasilitas pelayanan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah kombinasi unsur yang dirancang untuk menyimpan, memanggil, manipulasi, dan menampilkan data geografi atau informasi tentang lokasi. Unsur-unsumya berupa perangkat keras,  perangkat  lunak,  data,  dan  operator  (ESRL,   199S).  Dalam perkembangannya yang pesat aplikasi SIG dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan telah melalui tiga tahap perkembangan. Dari hanya penyadapan data, informasi data base, dan inventarisasi ke arah yang lebih analisis, modelling dan manajemen. Pada tahap ketiga atau paling mutakhir, ditandai dengan evolusi sistem informasi dari proses transaction ke arah sistem penunjang pengambilan keputusan dengan analisis yang  lebih canggih dan operasi modeling yang berbasis pada analisis keruangan. Aplikasi umum dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan di tahap ini termasuk analisis lokasi fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan (Longley, 1995).

Hasil pcnelitian M. Rosul di Bantul (1996) menyimpulkan bahwa keberadaan sarana dan prasarana di tiap desa daerah penelitian bervariasi. Keberadaan sarana dan prasarana dipengaruhi oleh kondisi penduduk, keadaan lahan, dan kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor penduduk meliputi pertumbuhan penduduk, pergerakan penduduk, mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan dan distribusi penduduk. Faktor-faktor lahan meliputi topografi, keadaan drainase, luas, dan keadaan ketersediaan air minum. Kebijakan pemerintah dalam hal ini menyangkut kebijaksanaan penataan ruang dan kelembagaan pemerintah.








Pelavanan Sosial dasar dan Pendidikan di Indonesia Ditinjau Dari Pembangunan Keruangan (skripsi dan tesis)



            Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kasual gejala-gejala muka bumi dan peristiwa yang terjadi di permukaaan bumi baik fisik maupun yang menyangkut mahluk hidup beserta permaslahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan ( Bintarto, 1983 )
            Pembangunan keruangan biasanya dicirikan dengan adanya pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial yang membawa tekanan-tekanan tak terelakkan terhadap kebijaksanaan regional tergantung dari tingkatan atau tahapan pembangunan dan pengorganisasian tata ruang yang bersangkutan. Pentingnya kebijaksanaan regional dan jenis-jenis permasalahan yang harus dihadapi akan berubah-ubah ( Fisher, 1975 ).  Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sebagai tempat kegiatan diperlukan adanya penataan ruang agar dicapai penyebaran yang efisisen.
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan memenuhi peningkatan permintaan pelayanan di kota sekunder negara dunia ketiga sangatlah rendah selama dua dekade belakangan. Penelitian Osborn di bebcrapa kota menengah di Indonesia membuktikan bahwa pelayanan infrastruktur dan kebutuhan dasar seperti sekolah, rumah sakit, air bersih, drainase, dan bangunan fisik sangatlah kurang (Osbom dalam Rondinelli, 1983). Sisi lain diungkapkan oleh Conyers (1982) yang menyatakan bahwa fasilitas pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan di negara dunia keliga menyerap lebih banyak sumber dana dan tenaga kerja dibandingkan jenis pelayanan sosial lainnya.

Bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas utama dalam kebijakan pembangunan, dimana investasi di bidang ini tersebar luas di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun secara kualitas dalam bidang kesehatan kurang mendapat perhatian, akibatnya kota-kota besar mendapatkan pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding kota-kota kecil. Hal ini dapat terlihat dari variasi jumlah dan jenis dokter spesialis yang tersedia (Atmodirono, 1974).

Kekurangan fasilitas pelayanan pendidikan telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan pembangunan fasilitas secara cepat. Presiden Republik Indonesia secara khusus di tahun 70-an mengeluarkan instruksi (yang kemudian dikenal dengan inpres) untuk menyediakan bangunan Sekolah Dasar setiap tahunnya dengan dana berasal dari penjualan ekspor minyak bumi. Hingga tahun 1978 telah dibangun 24.065 Sekolah Dasar Inpres dengan total proporsi 30% dari keselumhan Sekolah dasar di negeri ini. Tahun 1979-1980 saja telah dibangun 10.000 Sekolah Dasar baru, 15.000 kelas baru, dan perbaikan 15.000 bangunan Sekolah Dasar lainnya. Untuk tingkat menengah, pembangunan dikonsentrasikan pada pengembangan laboratorium sains dimana selama tahun 1974-1975 telah berdiri 1000 laboratorium baru bagi tingkat SLTP dan 200 lainnya untuk tingkat SLTA (Postlethwaite, 1980).

Hal yang terjadi kemudian adalah sistem sentralistik dalam pengelolaan dan alokasi program pendidikan terjadi bukan hanya dalam hal pengadaan sarana dan prasarana, tapi ke semua aspek program, sehingga telah membentuk sikap tertentu kepada pengelola pendidikan baik di pusat maupun di daerah. Salah satu sikap yang selama ini terbentuk adalah adanya ketergantungan pengelola pendidikan baik di daerah dan sekolah kepada pemerintah pusat dalam hal orientasi program pendidikan dan penyediaan dana pendidikan (Indryamo, 1998).