Tipologi komitmen organisasi yang pertama
dikemukakan oleh Potter, et al (1982). Komitmen organisasi yang dikemukakan
oleh Potter, et al ini bercirikan adanya: (1) belief yang kuat serta penerimaan
terhadap tujuan dan nilai organisasi; (2) kesiapan untuk bekerja keras; serta
(3) keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi. Komitmen ini tergolong
komitmen sikap atau afektif karena berkaitan dengan sejauhmana individu merasa
nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Semakin
besar kongruensi antara nilai dan tujuan individu dengan nilai dan tujuan
organisasi maka semakin tinggi pula komitmen karyawan pada organisasi.
Tipologi terakhir dikemukakan oleh Meyer dan Allen
(1991) dalam Luthans (2011). Menurutnya faktor-faktor penyebab komitmen
organisasi mengakibatkan timbulnya perbedaan bentuk komitmen organisasi yang
dibaginya atas tiga komponen, yaitu: komitmen afektif (affective commitment),
komitmen kontinuans (continuence commitment), dan komitmen normative (normative
commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya
komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu
dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan
atau tidak keanggotaannya dalam organisasi.
Allen dan Meyer (1990) lebih memilih untuk
menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen
organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam
komponen tersebut. Adapun definisi dari masing-masing komponen tersebut adalah
sebagai berikut:
1)
Komitmen
Afektif (Af ective Commitment)
Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan
emosional karyawan, pada siapa karyawan mengidentifikasikan dirinya, dan
keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki
komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka
memang ingin (want to) melakukan hal tersebut (Allen dan Meyer, 1990).
Menurut Morgan (1988) dalam (Ahmad, S, K. Shahzad,
S. Rehman, N. A. Khan & I.U. Shad 2010) komitmen afektif merupakan perasaan
pribadi karyawan dan identifikasi dirinya pada organisasi dikarenakan
kepercayaan yang kuat terhadap fungsi dan tujuan organisasi. Komitmen afektif
dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama yaitu karakteristik pribadi,
karakteristik struktur, karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan dan
pengalaman kerja. Walaupun keempat kategori ini mempengaruhi komitmen afektif
secara signifikan, kebanyakan literatur mendukung bukti bahwa pengalaman kerja
mempunyai hubungan pengaruh yang lebih kuat (Mowder, et al, 1982 dalam
Azliyanti, 2009).
2)
Komitmen
Kontinuans (Continuence Commitment)
Komitmen kontinuans berkaitan dengan adanya
pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan yang berkaitan dengan keinginan
untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans
sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran
akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah
laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama
bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena
mereka butuh (need to) melakukan hal
tersebut karena tidak adanya pilihan lain (Allen dan
Meyer, 1990).
Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al (2010)
komitmen kontinuans merupakan persepsi seseorang terhadap kerugian yang akan
dialaminya apabila meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans berdasarkan
pada persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia
meninggalkan organisasi. Komitmen ini pada saat awal dikembangkan dianggap
sebagai aktifitas yang dianggap konsisten. Ketika individu tak melanjutkan lagi
aktifitasnya pada suatu organisasi, maka akan timbul di hatinya suatu perasaan
kehilangan. Oleh sebab itu selanjutnya komitmen ini disebut juga dengan
exchanged oriented commitment atau komitmen yang berorientasi pada pertukaran
atau biasa juga disebut komitmen komulatif (Dewayani, 2007).
3)
Komitmen
Normatif (Normative Commitment)
Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib
untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki
komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan
dalam organisasi (Allen dan Meyer, 1990). Wiener (dalam Allen dan Meyer, 1990)
mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang
terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga
memenuhi tujuan dan minat organisasi.
Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al (2010) komitmen
normatif adalah perilaku yang ditunjukkan karyawan atas pertimbanan moral dan
apa yang benar untuk dilakukan. Chang, Tsai dan Tsai (2011), menyatakan bahwa
komitmen normatif mengacu kepada perasaan pekerja bahwa mereka berkewajiban
untuk tetap tinggal dalam organisasi. Sedangkan Dewayani (2007) mengatakan
bahwa komitmen normatif ini juga disebut sebagai komitmen moral, merefleksikan
persepsi individu terhadap norma, perilaku yang dapat diterima, yang timbul
sebagai akibat perlakuan organisasi terhadap karyawan. Misalnya dengan gaji
yang mereka terima serta pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti. Perasaan wajib
ini terus tumbuh sampai mereka merasa impas dan tidak mempunyai kewajiban lagi.
Meyer dan
Allen (1991) dalam Yonel (2007) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki
dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung
dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan
organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang
memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena
mereka harus melakukannya.