Saturday, May 30, 2020

Proses Resiliensi (skripsi dan tesis)


Menurut O’Leary dan Ickovics dalam Carver (1998) terdapat empat pola proses yang dapat terjadi ketika individu mengalami kondisi yang menekan. Pertama adalah Succumbing, yaitu sebuah sikap mengalah atau menyerah terhadap tekanan hidup yang terjadi pada diri individu. Tahapan ini dapat terjadi ketika individu mengalami tantangan hidup yang terlalu besar dan sulit. Houlmes dan Rahe dalam Gunawan (2012) menyebutkan bahwa pada orangtua tunggal pasca kematian pasangan hidup memiliki tingkatan stres paling tinggi pada skala stres. Semakin tinggi tingkat skala stres menunjukkan bahwa sejauh mana permasalahan hidup yang dihadapi seorang individu. Houlmes dan Rahe dalam teknik rating scale tentang tingkatan stres menyatakan bahwa semakin mendekati angka 500 maka stres yang dialami individu sangatlah berat. Tidak jarang karena saking cepatnya permasalahan yang terjadi menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidaksiapan untuk beradaptasi dengan keadaan dan menyebabkan sakit psikologis (Houlmes dan Rahe, dalam Gunawan, 2012).
Tahap kedua adalah Survival, yaitu individu mampu bertahan dari kondisi yang
menekan. Akan tetapi, beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, seperti mengalami perasaan-perasaan negatif, dan perilaku-perilaku negatif. Pada kehidupan awal memasuki orangtua tunggal fase ini adalah fase dimana individu mulai menyalahkan keadaan. Tidak jarang menyalahkan oranglain di luar diri Individu. Individu dituntut memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik untuk tetap mampu penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Tahap ketiga adalah tahap recovery, yaitu tahap dimana individu berada pada
kondisi semula, kondisi sebelum mengalami tekanan hidup. Pada tahapan ini, individu mampu bangkit dan beradaptasi setelah terjadinya kondisi menekan. Pada fase ini individu mulai belajar mengenai cara mengatur emosi dan dorongan-dorongan dari luar agar tidak menganggu individu. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa sikap optimis adalah salah satu sikap yang mendorong individu lebih cepat untuk mencapai tahap recovery kembali seperti semula.
Tahap terakhir adalah Thriving, yaitu individu tidak hanya dapat kembali bangkit ke kondisi semula, namun dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik. Pada tahapan ini, individu dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum terjadinya kondisi traumatik. Nasution (2011) menyebutkan hal ini dengan istilah gaya pegas, setiap individu yang menghadapi trauma kehidupan yang dihadapinya akan memiliki daya pegas yang tinggi untuk menjalani tantangan hidup serupa di depannya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Furqon (2013) dijelaskan bahwa pada kedua janda mengalami empat proses resiliensi yang sama dengan proses resiliensi yang diungkapkan oleh O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) yaitu: 1. Succumbing yaitu kedua responden mengalami rasa tepuruk pasca meninggal suami, bahkan salah satu responden mengalami kesedihan dan depresi yang lama, 2. Survival yaitu kedua responden mampu bertahan dan mulai menerima kondisi ditinggal suami walaupun masih sulit mengembalikan diri ke kondisi emosi positif, 3. Recovery yaitu kedua responden seiring waktu mulai kembali pada fungsi psikologis dan emosi yang positif, 4. Thriving yaitu kedua responden dapat kembali beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan belajar dari pengalaman sebelumnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan, dapat dirangkum bahwa terdapat empat proses yang dilalui oleh individu untuk dapat beresiliensi, yaitu menyerah terhadap tekanan hidup, kondisi bertahan meskipun beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, kembali ke kondisi semula, dan berkembang pesat terkait dengan beberapa fungsi psikologis jauh lebih baik.

Aspek-Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek resiliensi pada individu, yaitu :
1. Pengendalian Emosi (Emotion Regulation)
Pengendalian emosi adalah kemampuan seseorang untuk tetap berada pada
keadaan tenang dan terkendali meskipun pada kondisi yang menekan. Kondisi yang menekan memiliki hubungan yang erat dengan emosi negatif. Individu yang kurang mampu mengendalikan emosi negatif dengan baik, maka akan cenderung tidak mampu dalam membina persahabatan dan mengalami kesulitan dalam bekerja (Reivich dan Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan ada dua buah keterampilan
untuk memudahkan individu mampu mengatur emosi yaitu tenang dan fokus. Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu dan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Hal ini bukan berarti emosi harus selalu dikontrol dan tidak dapat diekspresikan, Reivich dan Shatte mengungkapkan mengekspresikan emosi baik negatif maupun positif adalah hal yang harus dilakukan. Mengekspresikan emosi secara tepat dan terkontrol merupakan ciri dari kemampuan resiliensi (Reivich dan Shatte,2002).
Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa kemampuan mengendalikan emosi
negatif merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki individu. Hal ini
disebabkan jika emosi negatif dan destruktif semakin meningkat dan tidak
tersalurkan dengan bijak maka akan berdampak pada munculnya stres dan
penyakit-penyakit psikosomatis pada individu. Pada individu yang hidup sebagai orangtua tunggal, fase awal memasuki hidup sebagai orangtua tunggal adalah fase yang paling sulit untuk dihadapi (Heyman, 2010). Marah adalah emosi destruktif yang sering kali muncul ketika individu tidak dapat menerima keadaan hidup yang terjadi. Kemarahan dapat hadir akibat ketiadaaan pasangan hidup dan ketiadaan dukungan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi masalah (Heyman, 2010).
Ketika individu tidak mampu untuk mengontrol dan menyalurkan emosi negatif dalam diri dengan baik, maka dapat berdampak pada emosi yang meledak-ledak dan sulit untuk di kontrol (Gunawan, 2012). Emosi yang tidak terkontrol sering kali membuat hubungan individu dengan lingkungan menjadi kurang harmonis (Heyman, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan emosi yang baik adalah salah satu aspek penting untuk individu mencapai kemampuan resiliensi.
2. Pengendalian Dorongan (Impuls Control)
Pengaturan emosi dan pengendalian dorongan memiliki hubungan yang
erat, ketika individu memiliki faktor pengendalian dorongan yang tinggi maka
individu akan lebih mudah dalam pengaturan emosi. Kemampuan individu dalam mengatur dorongan penting untuk menjaga agar setiap prilaku yang dilakukan oleh individu masih dalam kontrol individu sendiri dan tidak lepas kendali (Reivich dan Shatte, 2002). Pengendalian dorongan meliputi kemampuan untuk mengendalikan keinginan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki pengendalian dorongan yang rendah maka akan lebih cepat untuk mengalami perubahan-perubahan emosi yang kemudian mengendalikan pikiran dan perilaku individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Gunawan (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
individu stres dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor stres dan faktor nonstres. Faktor stres adalah faktor yang muncul dari luar individu dan memberikan tekanan, seperti masalah hidup saat ini yang belum terselesaikan dan masalah dari masa lalu yang belum terselesaikan. Faktor nonstres adalah dorongan stres yang muncul dari konflik di dalam diri individu sendiri seperti motivasi, memori sakit, konflik di dalam diri, imprint, alter, kebiasaan menghukum diri sendiri dan ego stage (Gunawan, 2012).
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa pengendalian dorongan
bermanfaat untuk memberikan kesempatan individu untuk berpikir mengenai
respon yang tepat tentang masalah yang dihadapi. Kemampuan untuk menunda dan berespon yang tepat yang tepat adalah salah satu ciri-ciri individu yang mampu mengendalikan dorongan. Ketidakmampuan individu untuk menyalurkan dorongan-dorongan penyebab stres dengan bijak dapat berdampak pada timbulnya emosi-emosi destruktif yang terpendam, emosi yang tidak terkontrol atau bahkan sakit-sakit psikosomatis (Gunawan, 2012).
Gunawan (2012) mengungkapkan juga bahwa sumber stres yang paling
sering dijumpai adalah pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan dan
masalah saat ini yang belum terselesaikan. Bagi individu yang menjadi orangtua tunggal dengan masalah perceraian dan kematian, dua sumber stres tersebut adalah sumber stres yang paling tinggi memiliki dampak bagi individu. Kemampuan untuk mengatur dorongan stres yang masuk serta penyaluran tekanan mental merupakan hal yang wajib untuk individu atur dengan baik agar sistem tubuh menjadi lebih seimbang (Gunawan, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan dorongan adalah salah satu aspek penting untuk individu yang menjadi orangtua tunggal mencapai kemampuan resiliensi.
3. Optimis (Optimist)
Individu yang mempunyai kemampuan resiliensi adalah individu yang
optimis. Optimis adalah kepercayaan pada diri bahwa segala sesuatu akan dapat berubah menjadi lebih baik, mempunyai harapan akan masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol kehidupan seperti apa yang individu inginkan (Reivich dan Shatte, 2002). Dalam resiliensi sikap optimis yang dimiliki adalah sikap optimis yang realistis, sehingga setiap sikap optimis dalam menghadapi keadaan selaras dengan usaha untuk merealisasikan (Reivich dan Shatte, 2002). Optimis sangat berhubungan sekali dengan self efficacy, semakin tinggi self efficacy seseorang maka sikap optimis akan semakin tinggi (Reivich dan Shatte, 2002).
Seligman (1991) mendefinisikan sifat optimis sebagai suatu sikap yang
mengharapkan hasil yang positif dalam menghadapi masalah, dan berharap untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif. Seligman (1991) menjelaskan bahwa sikap optimis yang tinggi berasal dari dalam diri individu dan dukungan dari lingkungan yang membuat individu merasa dihargai. Chalkoun (2010) menyatakan hidup sebagai orangtua tunggal memiliki banyak gambaran negatif baik dari dalam ataupun dari lingkungan. Individu yang mampu untuk mengadopsi sikap positif dan optimis dalam kehidupan sehari-hari akan memiliki dampak hidup yang lebih bertenaga dan memiliki resiliensi yang tinggi (Chalkoun, 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa sikap optimis adalah aspek penting bagi orangtua tunggal dalam beresiliensi.
4. Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis)
Analisis penyebab masalah adalah kemampuan untuk mengidentifikasi
penyebab dari sebuah peristiwa yang dialami oleh individu. Individu dapat menilai penyebab dari suatu permasalahan dan tidak secara langsung menyalahkan orang lain sebagai sumber masalah. Hal ini penting untuk menjaga diri individu tidak mengambil tindakan yang salah dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).
Seligman (1991) menyatakan bahwa pola pendekatan dalam analisis
penyebab masalah yang baik adalah ketika individu tidak berpikir bahwa setiap masalah selalu tidak dapat berubah dan hal tersebut mempengaruhi semua aspek hidup individu dengan buruk. Fleksibilitas dalam berpikir adalah ciri utama dari individu yang mampu mengembangkan kemampuan analisis masalah dengan baik (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik maka akan mampu untuk fokus terhadap penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Morisette (2014) mengungkapkan bahwa kemampuan untuk berpikir
fleksibel adalah salah satu kemampuan yang diperlukan oleh orangtua tunggal. Konflik-konflik yang hadir baik antara orangtua dan antara orangtua dengan anak menyebabkan kemampuan berpikir fleksibel penting agar individu dapat
beradaptasi dengan kreatif dan percaya diri untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Morisette, 2014).
5. Empati (Empathy)
Empati merupakan sebuah kemampuan individu untuk turut merasa atau
mengidentifikasi diri dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang lain atau kelompok lain. Ketika individu mampu mengembangkan
kemampuan empati, maka individu akan menjadi lebih mudah untuk keluar dari perasaan dan mengkondisikan diri dengan keadaan terutama yang berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang individu untuk menjadi empati terhadap orang lain menimbulkan hubungan sosial yang lebih positif. Individu yang kurang mampu mengembangkan kemampuan empati maka cenderung tidak peka terhadap perasaan orang lain dan rentan menimbulkan konflik (Reivich dan Shatte, 2002).
Kemampuan untuk empati juga diperlukan pada individu yang hidup
sebagai orangtua tunggal. Pickhardt (2006) mengungkapkan sikap empati pada orangtua tunggal bermanfaat agar individu mampu merasakan bahwa ada orang lain yang juga memiliki masalah sebagai orangtua tunggal. Perasaan kesamaan untuk orangtua tunggal adalah hal penting untuk tidak terjebak pada masalah yang sama berulang-ulang (Pickhardt, 2006). Individu yang mampu mengembangkan kemampuan untuk empati dengan baik maka tidak akan merasa sendiri dan mampu untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain yang memiliki emosi yang berbedabeda (Reivich dan Shatte, 2002).
6. Efikasi Diri (Self-Efficacy)
Efikasi diri menggambarkan sebuah keyakinan bahwa individu dapat
memecahkan masalah dan dapat meraih kesuksesan. Individu yang memiliki
keyakinan untuk dapat memecahkan masalah akan muncul seperti seorang
pemimpin yang akan mampu mengarahkan diri dan tidak tergantung dengan
pendapat orang lain. Individu dengan efikasi diri tinggi cenderung mencoba-coba cara yang baru untuk mengatasi suatu permasalahan dan selalu percaya bahwa masalah yang dihadapi mampu untuk dilewati (Reivich dan Shatte,2002).
Priastuti (2011) mengungkapkan bahwa efikasi diri pada orangtua tunggal
dapat dilihat pada kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut dalam
menjalankan peran sebagai orangtua tunggal. Individu yang memiliki efikasi diri rendah maka akan cenderung mudah menyerah ketika mengalami kesulitan sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan tetap teguh menghadapi masalah apabila dihadapkan pada tugas sebagai orangtua tunggal yang sulit. Hal tersebut menunjukkan bahwa Individu yang menjadi orangtua tunggal dengan efikasi diri tinggi maka akan menunjukkan sikap akan terus berusaha keras mewujudkan harapan dan resilien dengan keadaan yang dialami (Priastuti, 2011).
7. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan (Reaching out)
Kemampuan meraih yang diinginkan merupakan kemampuan seseorang
untuk mencapai sesuatu kondisi yang diinginkan. Individu yang mampu untuk
memperbaiki dan mencapai keinginan yang dituju, maka akan memiliki aspek yang lebih positif. Individu yang gagal untuk mencapai keinginan adalah individu yang merasa takut gagal untuk mencoba sebuah keinginan sehingga resolusi keinginan tidak terealisasikan. Individu yang berhasil dengan keinginan adalah individu yang tidak takut gagal dan selalu bisa mengambil aspek positif dan pembelajaran dari setiap kegagalan dan keinginan yang tercapai (Reivich dan Shatte, 2002).
Indivara (2009) mengungkapkan bahwa ketika individu hidup sebagai
orangtua tunggal maka segala fokus diprioritaskan untuk anak. Keinginan pada orangtua tunggal yang utama adalah untuk menjaga agar kondisi anak dan diri untuk tetap tegar dan mampu bersyukur dalam menghadapi tekanan. Yuliawan (2014) mengungkapkan bahwa ketika seseorang mampu untuk mencapai keinginan maka hal tersebut akan menimbulkan emosi positif yang tinggi dan dapat digunakan untuk memancing emosi-emosi positif selanjutnya untuk timbul. Ketika individu sudah memiliki pilar sikap berpikir yang baik maka kegagalan tidak lagi dianggap sebagai kegagalan namun adalah sebuah pertanda ada kesalahan yang harus diperbaiki dari sebuah tindakan yang dilakukan (Yuliawan, 2014). Maka dari hal tersebut dapat dirangkum bahwa kemampuan untuk mencapai keinginan adalah hal penting bagi orangtua tunggal untuk beradaptasi dan bangkit terhadap keadaan.
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan mengenai aspek-aspek resiliensi dapat dilihat bahwa aspek-aspek dari resiliensi dibedakan kedalam tujuh aspek, yaitu pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimis, menganalisis penyebab masalah terkait dengan kemampuan mengidentifikasi masalah, empati, efikasi diri terkait dengan keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, dan kemampuan meraih sesuatu yang diinginkan.

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)


Resiliensi berasal dari bahasa latin “re-silere” yang memiliki makna bangkit kembali (Daveson, 2003). Grotberg (1999), menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan ataupun mengubah diri dari keadaan yang membuat individu mengalami kesengsaraan dalam hidup. Barnet (2001) menyebutkan bahwa resiliensi adalah sebuah kemampuan individu untuk mengatasi peristiwa yang tidak terduga hingga kemudian kembali pada kondisi semula. Lebih spesifik Barnet (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan resiliensi juga memiliki makna sebagai suatu kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan membentuk sebuah kondisi akhir yang lebih baik. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk merespon secara yang sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan ataupun trauma. Resiliensi adalah kemampuan seorang individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Kemampuan ini sangat penting digunakan untuk mengelola stres dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik maka akan lebih sukses menghadapi permasalahan hidup yang sedang dihadapi (Reivich dan Shatte, 2002).
Menurut Folke (2006) resiliensi adalah sebuah kemampuan untuk bertahan dan memunculkan inovasi-inovasi dalam melewati perubahan kehidupan. Zautra (2009) menjelaskan bahwa resiliensi juga dapat didefinisikan sebagai kesuksesan dalam 19 beradaptasi dalam menghadapi kesulitan. Menurut Kent terdapat tiga poin untuk mengidentifikasi resiliensi, yaitu adanya situasi yang negatif, kemampuan individu menghadapi, dan respon terhadap kondisi. Poin pertama mengenai adanya situasi yang negatif, berhubungan dengan kecenderungan sebuah kondisi negatif akan menimbulkan beberapa perubahan dalam fungsi psikologis individu seperti mengalami perubahan emosi, perubahan kinerja serta perubahan kesehatan mental atau fisik bagi individu. Poin kedua mengenai kemampuan individu dalam menghadapi, berhubungan dengan mampu atau tidaknya individu dalam menghadapi situasi yang menekan ketika pertama kali menghadapi kondisi yang menekan. Poin ketiga mengenai respon terhadap kondisi didefinisikan sebagai respon individu terhadap situasi yang menekan (Kent, 2011). Adanya kemampuan resiliensi pada setiap individu dalam kehidupan berkeluarga merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan. Keluarga adalah fase penuh dengan penyesuaian akan perubahan baru dan tekanan kehidupan. Perubahan dan penyesuaian tersebut kian sulit apabila hubungan keluarga yang terbangun harus mengalami perpisahan. Walsh menyebutkan bahwa kehidupan individu yang mengalami perpisahan dalam perkawinan dan kemudian hidup sebagai orangtua tunggal mengalami dua kesulitan utama jika tidak mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik yaitu mengalami kekurangan dan kerusakan (Walsh, 2003). Coleman dan Ganog (2004) menyebutkan bahwa ada tiga perubahan dan penyesuaian yang perlu dilakukan pada keluarga dengan orangtua tunggal yaitu pada keadaan ekonomi yang berkurang, pembagian tugas dalam keluarga, dan dalam perawatan anak. Perempuan dalam keluarga juga membutuhkan pengembangan kemampuan resiliensi. Levine (2006) menjelaskan ketidakmampuan seseorang perempuan bereseliensi menyebabkan ganguan maladaptif pada diri seperti depresi 20 berkepanjangan. Hal yang tidak jauh berbeda juga juga dijelaskan McCallion & Toseland (1993) bahwa perempuan dalam keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus tetap menjaga suasana keluarga agar tetap positif karena orangtua adalah fokus keluarga dalam menguatkan perasaan yang memberdayakan Berdasarkan pemaparan tentang resiliensi dapat dirangkum bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan bangkit dari suatu kondisi yang penuh tekanan menuju kondisi semula ataupun lebih positif lagi. Individu yang mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik maka akan lebih mudah untuk mengembalikan diri kepada kondisi semula dibandingkan individu yang tidak mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik. Pada kehidupan orangtua tunggal kemampuan untuk mengembangkan resiliensi adalah hal yang penting agar individu dapat bangkit dari keadaan yang menekan dalam mengahadapi permasalahan sebagai orangtua tunggal.

Hubungan Internal Locus of Control dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)


Kehidupan sosial tidak pernah lepas dari kesukaran misalnya, hidup
penuh dengan kekecewaan, kegagalan, rintangan, kesengsaraan, kemunduran
hidup, frustrasi dan ketidakadilan. Keraguan diri dapat dengan cepat terbentuk
segera setelah mengalami hal-hal negatif seperti kegagalan. Hal yang terpenting adalah tidak perlu menimbulkan kesulitan dengan keraguan diri, hal tersebut adalah reaksi yang wajar atau alami, akan tetapi bagaimana kecepatan individu tersebut dapat pulih kembali, merasa yakin setelah mengalami kegagalan Bandura (dalam Ismail dan Yusuf, 2013).
Difabel fisik tentu saja dalam menjalankan kehidupan mempunyai
kendala, walaupun tidak sepenuhnya menghambat kegiatan dalam hidupnya.
Misalnya individu yang mengalami keterbatasan pendengaran ataupun
keterbatasan penglihatan tentu saja akan sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain, individu dengan keterbatasan fisik tentu saja akan sulit untuk melakukan kegiatan secara cepat seperti orang normal pada umumnya, tentu saja hal itu sangat menghambat seseorang penyandang tunadaksa dalam melakukan aktivitas. Kondisi yang sulit ini akan memaksa difabel fisik untuk bangkit dari situasi sulit itu, agar bisa keluar dari situasi sulit dan terus berjuang untuk menjalankan hidupnya kembali.
Resiliensi sangat diperlukan oleh individu untuk bisa keluar dari maslah
dan situasi sulit yang di hadapi. Munculnya resiliensi pada diri individu di
pengaruhi oleh banyak fakor misalnya faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor
budaya, faktor sosial dan ekonomi, faktor dukungan sosial, faktor religiusitas,
serta faktor kepribadian. Chugani (dalam Chairani dan dipayanti, 2006)
mengungkapkan salah satu faktor protektif internal yang berperan dalam
pembentukan resiliensi adalah locus of control.
Menurut Rooter (1966) locus of control dibedakan atas dua yakni
internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal adalah adalah individu yang percaya bahwa hasil yang ia dapat disebabkan oleh faktor dari luar dirinya serta keberuntungan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan kebahagiaan. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal memahami hasil yang ia peroleh tergantung pada seberapa besar usaha yang ia lakukan. Menurut Rahim (dalam Khan dkk, 2011) seseorang dengan internal
locus of control yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah
yang dihadapi secara fungsional dan lebih efektif. Individu dengan internal locus of control yang tinggi akan melihat bahwa ia mampu mengontrol perilakunya.
Iswati (dalam Jaya dan Rahmat, 2005) berpendapat bahwa secara konseptual
perbedaan kecenderungan locus of control internal dan eksternal akan
mempengaruhi ciri sifat dan kepribadian seseorang termasuk kemampuan
seseorang dalam bertahan dan mengatasi segala tekanan serta permasalahan
kehidupan. Perbedaan orientasi locus of control akan mempengaruhi perbedaan dalam penilaian terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Locus of control dalam diri individu memiliki andil untuk menentukan
tinggi rendahnya kemampuan individu untuk bertahan, mengatasi segala tekanan dan permasalahan kehidupan dengan suatu hal yang positif sehingga tercapai suatu kesuksesan hidup. Individu yang mempunyai kemampuan locus of control akan lebih mudah membentuk resiliensi pada dirinya. Hal itu karena locus of control merupakan dasar dalam membangun keyakinan dan harapan untuk percaya bahwa individu bisa bangkit dari situasi sulit yang sedang di hadapi.

Penyebab Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Menurut France dan Koening (dalam Soemantri, 2006) kecacatan atau
difabel fisik disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1) Faktor sebelum lahir
a. Pengaruh genetik (keturunan)
b. Trauma dan infeksi pada saat kehamilan
c. Usia ibu yang sudah lanjut saat melahirkan anak
d. Pendaharahan pada waktu kehamilan
e. Keguguran yang dialami ibu
2) Faktor saat kelahiran
a. Penggunaan alat bantu kelahiran (tang, tabung, vacum, dsb)
b. Obat bius
3) Faktor sesudah melahirkan
a. Infeksi
b. Trauma
c. Tumor
d. Kondisi-kondisi lainya
Soemantri (2006) berpendapat bahwa cacat tubuh atau difabel fisik
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Penyakit yang datang dari luar, misalnya kelumpuhan, akibat folio yang
biasa menyerang pada anak.
2. Kecelakaan yang dapat menyebabkan patah tulang. Kelumpuhan dan
sebagainya.
3. Cacat sejak lahir, anak yang memang sejak lahir sudah dihinggapi suatu
kecacatan. Contohnya tidak memiliki tangan, kaki, organ yang tidak
sempurna.
4. Cacat akibat obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat masa kehamilan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa difabel fisik
dapat terjadi karena adanya faktor-faktor bawaan sejak lahir, penyakit ataupun
karena kecelakaan

Jenis Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Koening (dalam Praviasari dan Wardoyo, 2012) menjelaskan tentang tiga
golongan difabel fisik antara lain:
1. Difabel fisik ringan
Difabel fisik jenis ini pada umumnya hanya sedikit mengalami gangguan
mental dan kecerdasannya. Kelompok ini lebih disebabkan adanya
kelainan anggota tubuh seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang
(buntung), dan cacat fisik.
2. Difabel fisik sedang
Difabel fisik yang termasuk dalam ketegori ini adalah tunadaksa akibat
cacat bawaan, cerebral palcy, tunamental yang disertai dengan turunnya
daya ingat.
3. Difabel fisik berat
Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah akibat cerebral palcy berat
akibat infeksi. Pada umumnya individu yang terkena kecacatan ini,
kecerdasannya tergolong dalam tinggat debil, embesil, dan idiot.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis
difabel fisik yakni: ringan, sedang, dan berat

Pengertian Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Esherick (2009) berpendapat bahwa cacat fisik adalah kondisi yang
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan pengeliatan, pendengaran,
berjalan, berbicara, menaiki tangga, mengangkat, membawa, atau melakukan
aktivitas sehari-hari. Kesulitan ini membuat individu tidak bisa melakukan
aktivitas sehari-hari secara sempurna seperti yang dilakukan individu lain pada
umumnya.
Damayanti dan Rostiana (dalam Machdan dan Hartini 2012), difabel
fisik adalah kerusakan /kecacatan/ketidaknormalan pada tubuh seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari.
Akibat dari kecacatan yang dimiliki, individu tunadaksa menghadapi berbagai
masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja. Karyana dan Widati (2013)
berpendapat bahwa difabel fisik adalah salah satu jenis anak berkebutuhan
khusus yang memiliki kelainan atau kecacatan pada fisiknya yaitu pada sistem
otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit, kecelakaan, bawaan
sejak lahir, dan kerusakan otak.
Astati (dalamVirlia dan Wijaya 2015), mendefenisikan difabel fisik
sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian
yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan. Difabel fisik/ketunadaksaan yaitu
individu yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan
persendian, karena kecelakaan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku, dan adaptasi sehingga mereka memerlukasn layanan informasi secara khusus menurut Aziz (2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian difabel
fisik adalah suatu jenis anak berkebutuhan khusus dengan kondisi dimana
individu mengalami kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh
yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, dan
persepsi sehingga memerlukan layanan informasi khusus