Wednesday, August 30, 2023

Pengukuran Nilai Perusahaan

 


Menurut Michell Suharli (2006) dalam Uniariny (2012: 40), ada beberapa
pendekatan yang biasa dilakukan untuk nilai perusahaan, yaitu pendekatan laba
dengan metode rasio tingkat laba atau Price Earning Ratio, pendekatan arus kas
dengan metode diskonto arus kas, pendekatan dividen dengan metode
pertumbuhan dividen, pendekatan aktiva dengan metode penilaian aktiva,
pendekatan harga saham dan pendekatan Economic Value Added (EVA).
Nilai perusahaan dengan pendekatan harga saham menggunakan rasio
yang disebut rasio penilaian. Menurut I Made Sudana (2015: 23) rasio penilaian
adalah suatu rasio yang terkait dengan kinerja saham perusahaan yang telah
diperdagangkan di pasar modal.
Menurut Weston J. Fred dan Copeland (2008: 244) dalam Dwi Rynda
Windiarti (2016: 37) nilai perusahaan dapat diukur dengan rasio penilaian yang
terdiri dari Price Earning Ratio (PER), Price to Book Value (PBV) dan Tobin’s
Q. Berikut penjelasan dari rasio-rasio penilaian tersebut.
45
1. Price Earning Ratio (PER)

(Irham Fahmi, 2017: 138)
Rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar perbandingan antara
harga saham perusahaan dengan keuntungan yang diperoleh oleh pemegang
saham. Rasio ini menunjukan berapa banyak jumlah uang yang rela
dikeluarkan oleh investor untuk membayar setiap Rupiah laba yang
dilaporkan dan untuk melihat bagaimana pasar menghargai kineraja
perusahaan yang dicerminkan oleh Earning Per Sharenya. Rasio ini berfungsi
untuk mengukur perubahan kemampu labaan yang dharapkan di masa yang
akan datang. Semakin besar Price Earning Ratio (PER), maka semakin besar
pula kemungkinan perusahaan untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan
nilai perusahaan.
2. Price Book Value (PBV)

Yang mana Book Value Per Share dihitung dengan cara sebagai berikut:

(Irham Fahmi, 2017: 139)
Rasio ini mengukur perbandingan harga saham dengan nilai buku saham
untuk menunjukan apakah harga saham yang diperdagangkan overvalued (di
46
atas) atau undervalued (di bawah) nilai buku saham tersebut. Rasio Price
Book Value (PBV) menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai
buku saham perusahaan. Semakin tinggi PBV maka semakin tinggi
kepercayaan investor atau masyarakat terhadap prospek perusahaan di masa
yang akan datang.
3. Tobin’s Q
Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah
dengan menggunakan Tobin’s Q. Tobin’s Q ini dikembangkan oleh Professor
James Tobin (Weston dan Copelan, 2008: 243). Penggunaan Tobin’s Q
dimaksudkan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mengelola aset
agar tercipta nilai pasar modal yang menguntungkan (Farah Margaretha,
2011: 20). Menurut Smithers, Andrew dan Stephen Wright (2007:37) dalam
Bhekti Fitri Praseyorini (2013: 186), Tobin’s Q dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
EMV = Nilai pasar ekuitas, dihitung dengan cara jumlah saham yang
beredar x harga penutupan.
D = Nilai buku dari total utang
TA = Total aset perusahaan
(Smithers dan Wright, 2007: 37 dalam Bhekti Fitri Praseyorini, 2013: 186)
Tobin’s Q < 1 maka menunjukkan bahwa nilai buku asset perusahaan lebih
besar dari nilai pasar perusahaan (undervalued), sebaliknya jika Tobin’s Q >
1 menunjukkan bahwa nilai pasar perusahaan lebih tinggi dibanding nilai
buku asetnya, sehingga mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki potensi
pertumbuhan yang tinggi sehingga nilai perusahaan lebih dari nilai asetnya
(overvalued) (Bhekti Fitri Praseyorini, 2013:186).
Dalam penelitian ini, untuk meneliti nilai perusahaan rasio yang digunakan
adalah Tobin’s Q. Karena rasio Tobin’s Q memberikan gambaran tidak hanya
pada aspek fundamental, tetapi juga sejauh mana pasar menilai perusahaan dari
berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luas termasuk investor (Bhekti Fitri
Praseyorini, 2013:186). Serta Tobin’s Q memasukkan semua unsur utang dan
modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas
perusahaan yang dimasukkan namun seluruh aset perusahaan. Dengan
memasukkan seluruh aset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus
pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk
kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari
ekuitas saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan kreditur. Semakin besar nilai
Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang
baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset perusahaan
dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar kerelaan
investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan
tersebut (Sukmawati Sukamulja, 2004 dalam Wien Ika Permanasari, 2010: 25)..
Menurut Farah Margaretha (2011: 27), kelemahan Tobin’s Q adalah
Tobins’Q dapat menyesatkan dalam pengukuran kekuatan pasar karena sulitnya
memperkirakan biaya atas pergantian atas harta, pengeluaran untuk iklan dan
penelitian serta pengembangan menciptakan aset tidak berwujud

Jenis-Jenis Nilai dalam Nilai Perusahaan

 


Menurut Yulius J. C dan Josua Taringan (2007: 3) terdapat lima jenis nilai
perusahaan berdasarkan metode perhitungan yang digunakan, yaitu:
1. Nilai nominal
Merupakan nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar
perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan dan juga
ditulis secara jelas dalam surat saham kolektif.
2. Nilai Pasar
Nilai pasar adalah harga yang terjadi dari proses tawar menawar di pasar
saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar
saham.
3. Nilai Intrinsik
Nilai intrinsik merupaka konsep yang paling abstrak, karena mengacu kepada
perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai
intrinsik ini bukan sekedar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai
perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan
keuntungan di kemudian hari.
4. Nilai Buku
Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan konsep akuntansi.
Secara sederhana dihitung dengan membagi selisih antara total aset dan total
utang dengan jumlah saham yang beredar.
5. Nilai likuidasi
Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi
semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai likuidasi dapat dihitung dengan
cara yang sama dengan menghitung nilai buku, yaitu berdasarkan neraca
performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan dilikuidasi.

Pengertian Nilai Perusahaan

 


Menurut Harmono (2011: 233) nilai perusahaan merupakan kinerja
perusahaan yang dicerminkan oleh harga saham yang dibentuk oleh permintaan
dan penawaran di pasar modal yang merefleksikan penilaian masyarakat terhadap
kinerja perusahaan.
Sedangkan menurut Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti (2012: 7), nilai
perusahaan merupakan harga bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila
perusahaan tersebut dijual, semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar
kemakmuran yang diterima oleh perusahaan.
Selain itu, menurut Handono Mardiyanto (2009: 181), nilai perusahaan
adalah nilai sekarang dari serangkaian arus kas masuk yang dihasilkan perusahaan
pada masa mendatang.
Menurut Agus Sartono (2010: 487), nilai Perusahaan adalah nilai jual
sebuah perusahaan sebagai suatu bisnis yang sedang beroperasi. Adanya
kelebihan nilai jual diatas nilai likuidasi adalah nilai dari organisasi manajemen
yang menjalankan perusahaan itu.
Menurut Arthur J Keown (2010: 35) yang diterjemahkan oleh Chaerul D
Djakman, nilai perusahaan adalah nilai pasar dari hutang dan ekuitas perusahaan.
Modal yang diinvestasikan sedikit lebih problematis, secara konseptual, modal
yang diinvestasikan perusahaan merupakan jumlah dari seluruh dana yang telah
diinvestasikan di dalamnya.
Farah Margaretha (2011: 5) menjelaskan bahwa nilai perusahaan yang
sudah go public merupakan nilai yang tercermin dalam harga pasar saham
perusahaan, sedangkan nilai perusahaan yang belum go public nilainya terealisasi
apabila perusahaan akan dijual.
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
nilai perusahaan adalah apresiasi atau penilaian investor ataupun masyarakat
terhadap kinerja perusahaan yang dibentuk oleh permintaan dan penawaran saham
perusahaan yang tercermin pada harga saham untuk perusahaan go public dan
tercermin ke harga jual perusahaan untuk perusahaan yang belum go public.
Nilai perusahaan tercermin ke dalam harga saham. Hal ini terjadi karena
investor yang menilai perusahaan memiliki prospek yang baik di masa depan akan
cenderung membeli saham perusahaan tersebut. Akibatnya permintaan saham
yang tinggi menyebabkan harga saham meningkat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa harga saham yang meningkat menunjukan bahwa investor memberikan
nilai yang tinggi terhadap perusahaan

Pengukuran Kepemilikan Manajerial

 


Untuk mengukur kepemilikan manajerial, penelitian ini mengikuti Ikin
Solikin, Mimin Widaningsih, dan Sofie Desmiranti Lestari (2015: 729) yaitu
kepemilikan manajerial diukur dari persentase jumlah saham yang dimiliki
manajemen (direksi dan komisaris) dibanding jumlah saham perusahaan yang
beredar. Saham yang beredar adalah bagian saham perusahaan yang sudah
memiliki status dimiliki oleh orang perorangan ataupun perusahaan ataupun
lembaga. Rasio ini membandingkan saham yang dimiliki manajemen dengan jumlah saham biasa yang beredar sehingga dapat diketahui persentase kepemilikan manajerial perusahaan.

Fungsi dan Level Kepemilikan Manajerial

 


Berikut ini adalah fungsi dan level kepemilikan manajerial dalam
perusahaan menurut Yuli Soesetio (2007:390) :
1. Low Levels of Managerial Ownerdhip (0%-5%)
Untuk low levels of managerial ownership, disiplin eksternal, pengendalian
internal dan insentif masih didominasi oleh tingkah laku manajemen. Secara
empiris, Morck et al (1988), McConnel and serveas (1990) dan Hermalin and
Weisbach (1991) menyatakan perilaku insiders ini berhubungan dengan
managerials holdings dan nilai perusahaan. Manajemen dalam level ini
apabila kinerja mereka baik lebih cenderung lebih memilih paket kompensasi
seperti opsi saham dan stock grants dari pada menambah jumlah kepemilikan
saham diperusahaan sendiri.
2. Intermadicate Levels of Managerial Ownership (5%-25%)
Di level ini, insiders mulai menunjukkan perilaku sebagai pemegang saham.
Dengan bertambahnya kepemilikan maka semakin besar jumlah hak suara
mereka. Jika low levels of managerial ownership lebih memilih rencana
kompensasinya sedangkan intermediate levels of managerial ownership lebih
memilih mengambil kendali perusahaan.
3. High Levels of Managerial Owneship (40%-50%)
Di level ini, kepemilikan inseders tidak memiliki otoritas penuh terhadap
perusahaan dan disiplin eksternal tetap berlaku.
4. High Levels of Managerial Owneship (greaters than 50%)
Di level ini, insiders memiliki wewenang penuh terhadap perusahaan. Dengan
kepemilikan diatas 50% adanya tekanan dari disiplin eksternal (outside
shareholders) hampir tidak ada sehingga mengakibatkan menurunya nilai
perusahaan.
5. Very high levels of managerial ownership
Di level ini perusahaan diniliki oleh pemilik tunggal.

Pengertian Kepemilikan Manajerial

 


Bodie Z A. Kane dan A. Marcus (2006: 9) yang diterjemahkan oleh
Zuliani Dalimunthe dan Budi mendefinisikan kepemilikan manajerial adalah
sebagai berikut:
“Kepemilikan manajerial merupakan pemisahaan kepemilikan antara
pihak outsider dengan pihak insider. Jika dalam suatu perusahaan
memiliki banyak pemilih saham, maka kelompok besar individu tersebut
sudah jelas tidak dapat berpartisipasi dengan aktif dalam manajemen
perusahaan sehari-hari. Karenanya, mereka memilih dewan komisaris yang
memilih dan mengawasi manajemen perusahaan. Struktur ini berarti
bahwa pemilik berbeda dengan manajer perusahaan. Hal ini memberikan
stabilitas bagi perusagaan yang tidak dimiliki oleh perusahaan dengan
pemilik merangkap manajer”.
Menurut Sonya Majid Pracihara (2016: 6), kepemilikan manajerial adalah
pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan di dalam perusahaan, misalnya direktur dan komisaris.
Menurut Wahidahwati (2000) dalam Tedi Rustendi dan Farid Jimmi
(2008: 415) kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak
manajemen secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Direktur
dan Komisaris). Kepemilikan manajerial diukur dari jumlah prosentase saham
yang dimiliki manajer.
Menurut Yuli Soesetio (2007: 390) kepemilikan manajerial yaitu
perbandingan antara kepemilikan saham manajerial dengan jumlah saham yang
beredar. Pemegang saham dan manajer masing-masing berkepentingan
memaksimalkan tujuannya.
Menurut Robertus M. Bambang Gunawan (2016: 75), kepemilikan
manajerial adalah situasi manajer memiliki saham perusaahaan atau dengan kata
lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan.
Sehingga dapat disimpulkan, kepemilikan manajerial merupakan
kepemilikan saham oleh manajemen (direktur dan komisaris) sehingga manajer
tersebut sekaligus sebagai pemegang saham. Dan dapat diukur dengan persentase
jumlah saham yang dimiliki manajemen

Agency Theory

 


Dalam agency theory, tim manajemen diberi kewenangan untuk
mengambil keputusan yang terkait dengan operasi dan strategi perusahaan dengan
harapan keputusan-keputusan yang diambil akan memaksimumkan nilai
perusahaan. Harapan agar tim manajemen selalu mengambil keputusan yang
sejalan dengan peningkatan nilai perusahaan seringkali tidak terwujud. Banyak
keputusan yang diambil oleh manajer justru lebih menguntungkan manajer dan
mengesampingkan kepentingan pemegang saham. Asumsi bahwa orang-orang
yang terlibat dalam perusahaan akan berupaya memaksimalkan nilai perusahaan
ternyata tidak selalu terpenuhi. Agen memiliki kepentingan pribadi yang sebagian
besar bertentangan dengan kepentingan pemilik perusahaan sehingga munculah
masalah keagenan (Sugiarto, 2009: 55).
Masalah keagenan muncul ketika terdapat informasi asimetri baik
berkaitan dengan kegiatan maupun informasi yang dimiliki oleh seorang agen
(Sugiarto, 2009: 23). Manajemen merupakan pihak yang lebih banyak mengetahui
informasi-informasi perusahaan karena secara langsung berkaitan dengan kegiatan
sehari-hari yang ada di perusahaan. Sedangkan pemegang saham hanya
mendapatkan informasi dari laporan manajemen. Sehingga manajemen
mempunyai peluang untuk menyembunyikan informasi (hidden information)
ataupun menyembunyikan tindakan (hidden action) untuk kepentingan dirinya
sendiri.
Dalam upaya mengurangi atau mengatasi masalah keagenan timbul biaya
keagenan (agency cost), yaitu biaya yang ditanggung oleh pihak principal atau
pun agent untuk mengurangi masalah keagenan (agency conflict). Menurut Jensen
dan meckling (1976) dalam Sugiarto (2009: 56) biaya agensi dibagi menjadi 3
(tiga) komponen, yaitu monitoring cost, bonding cost dan residual cost.
Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk
memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati dan mengontrol
perilaku agent. Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agent untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan
bertindak untuk kepentingan principal. Sedangkan, residual cost merupakan nilai
kerugian yang dialami principal akibat keputusan yang diambil oleh agent, yang
menyimpang dari keputusan yang dibuat oleh principal jika ia memiliki informasi
dan bakat sebagaimana agent. Dengan kata lain, merupakan pengorbanan yang
berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan
keputusan agent dan keputusan principal. Antisipasi atas ketiga biaya yang
didefinisikan sebagai biaya keagenan ini Nampak pada harga saham yang
terkoreksi saat perusahaan menjual sahamnya.
Salah satu upaya untuk mengurangi atau mengatasi masalah keagenan
adalah kepemilikan manajerial. Menurut Jensen dan Mecling dalam I Made
Sudana (2015: 13), agar pihak manajemen bertindak sejalan dengan kepentingan
pemilik perusahaan, pemilik dapat menjamin pihak manajemen akan membuat
keputusan yang optimal hanya jika diberikan insentif yang cukup memadai dan
menejemen merupakan pihak yang minoritas. Insentif bisa berupa opsi saham,
bonus, mobil dan kantor yang memadai, yang besarnya sangat tergantung pada
seberapa dekat keputusan yang diambil pihak manajemen dengan kepentingan
pemilik. Maka dari itu kepemilikan manajerial bisa dikatakan sebagai alternatif
untuk memonitor manajemen agar betindak sesuai kepentingan pemegang saham.
Manajemen menjadi lebih berhati hati dalam membuat keputusan sehingga dana
yang tersedia dikelola dengan baik. Manajemen juga termotivasi untuk
meningkatkan kinerjanya sebagai bentuk tanggungjawab terhadap pemegang
saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai bagian dari pemegang saham
yang merasakan dampak langsung dari kinerja perusahaan