Showing posts with label Judul Geografi. Show all posts
Showing posts with label Judul Geografi. Show all posts

Thursday, July 12, 2018

Perspektif geografi dalam penelitian (skripsi dan tesis)


       Perspektif geografi terhadap suatu fenomena geosfer tidak lepas dari pendekatan dan konsep. Pendekatan yang diterapkan dalam penelitian geografi yaitu  pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecological analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex analysis). Penelitian ini menggunakan analisa pendekatan keruangan. Pendekatan analisa keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting yang memperhatikan penyebaran penggunaan ruang dan penyediaan ruang untuk berbagai kegunaan yang dirancangkan (Bintarto dan Surastopo hadisumarno 1979: 12-24).
        Keruangan dalam perspektif geografi menjadi basis utama dalam setiap analisis geografi. Ruang dalam geografi dipandang sebagai ruang absolut dan relatif.  Ruang absolut bisa diamati secara kasat mata secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan ruang secara relatif merupakan konsep yang diciptakan manusia dan bersifat persepsual. Pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang sebagai variabel utama dalam setiap analisis. geografi mengartikan ruang sebagai bagian tertentu dari permukaan bumi yang mampu mengakomodasikan berbagai bentuk kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Hadi Sabari Yunus 2010: 44-69). Analisis ruang dalam penelitian geografi mengkaji karakteristik tatanan sebaran elemen pembentuk ruang yang saling berkaitan. Analisis dalam penelitian ini mengidentifikasi fenomena atau obyek-obyek berupa struktur, pola, dan proses keruangan pada kawasan bencana merapi di Kabupaten Magelang. Kawasan bencana merapi tersebut dibuat zonasi wilayah berdasarkan tingkat kerawanan bencana. Hal ini dapat diketahui pemanfaatan zona tersebut untuk keperluan arahan penataan ruang berbasis mitigasi bencana. 
        Geografi menggunakan konsep untuk mengkaji fenomena yang terjadi. Konsep merupakan suatu abstraksi, suatu pengertian atau merupakan definisi operasional yang terdiri dari kesadaran, pemahaman, dan pengalaman yang kompleks melambangkan hubungan -hubungan dan gejala-gejala empiris (Widoyo Alfandi, 2001: 85). Sepuluh konsep yang digunakan untuk menganalisis suatu fenomena menurut Suharyono dan Moch. Amien (2013: 35), sebagai berikut: konsep lokasi, jarak, keterjangkauan, pola, morfologi, aglomerasi, nilai kegunaan, interaksi dan interdependensi, diferensiasi area, dan keterkaitan ruang. Konsep geografi yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi: (1) Konsep Lokasi menunjukkan letak suatu tempat. Konsep lokasi dibedakan antara lokasi absolut dan lokasi relatif. Konsep lokasi dalam penelitian ini berkaitan dengan tempat daerah penelitian yakni di Kabupaten Magelang; (2) Konsep Jarak merupakan pembatas alami yang diukur dari satu obyek ke obyek lain. Konsep jarak dalam penelitian ini berkaitan dengan jarak titik- titik lokasi dengan sumber bencana; (3) Konsep Morfologi menggambarkan perwujudan dataran muka bumi sebagai hasil pengangkatan atau penurunan wilayah (secara geologi) yang biasanya disertai dengan erosi dan sedimentasi hingga terbentuk dataran luas berpegunungan dengan lereng-lereng tererosi, lembah-lembah dan dataran aluvialnya. Konsep morfologi dalam penelian ini menunjukkan keadaan medan serta pengaruhnya dari morfologi dengan kerawanan bencana akibat gunung meletus pada titik lokasi penelitian; (4) Konsep Keterjangkauan menunjukkan kaitan antara lokasi, jarak, dan medan yang menghubungkan tempat satu dengan yang lain. Keterjangkauan erat kaitannya dengan jaringan jalan, sarana angkutan dan komunikasi yang dapat dipakai. Konsep keterjangkauan dalam penelitian ini terdapat pada titik-titik lokasi penelitian yang rawan akibat bencana gunung meletus dengan jalur dan lokasi untuk evakuasi; (5) Konsep Pola berkaitan dengan persebaran alami maupun yang bersifat sosial budaya. Dalam penelitian ini, pola berkaitan dengan alur sungai, vegetasi, permukiman penduduk dan sebagainya.

Masyarakat dan Fasilitas Pelayanan Pendidikan (skripsi dan tesis)

Keberhasilan proyek pembangunan yang berorientasi pada masyarakat, dikenal sangat tergantung pada perhatian yang diberikan pada faktor manusia. Apabila hanya digunakan pendekatan teknis belaka dengan asimisi pemenuhan kebutuhan masyarakat secara otomatis, maka hal ini tidak akan membawa hasil. Sangat disayangkan bahwa pada banyak tahap perencanaan pembangunan tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan pokok tentang kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Ini membuktikan bahwa pendekatan lama secara vertikal (top down) belum berubah menjadi bottom up yang efektif (Rukmana, 1993).

Dengan adanya reformasi disegala bidang termasuk pendidikan tentu saja akan diikuti dengan perubahan dalam sistem pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Kesadaran anggota masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan dan program publik pada umumnya akan semakin meningkat. Keadaan ini akan terjadi pada sektor pendidikan. Orang tua dan anggota masyarakat akan menjadi stake holder yang semakin aktif dalam memantau pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan (Indryanto, 1998).

Implikasinya, public accountability dan efficacy menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Manakala anggota masyarakat dan orang tua menjadi stake holder yang aktif terhadap kebijakan dan program pendidikan. maka mereka juga menuntut bahwa kebijakan dan program pendidikan juga mencerminkan kepentingan mereka. Permasalahan yang dikemukakan tidak hanya pada kebijakan dan program apa yang akan dilaksanakan, tetapi mengapa kebijakan program pendidikan itu yang dilaksanakan. Anggota masyarakat dan orang tua melalui kelompok kepentingannya akan secara lebih langsung terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Melalui proses ini mekanisme public accountability akan berlangsung.

Sayangnya yang terjadi selama ini peran serta masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan proses pendidikan (Pengambilan keputusan, monitoring, pengawasan dan akuntabilitas). Dengan demikian, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada orang tua sebagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan (Anonymous, 2000).

Untuk mengkaji dan mengevaluasi tercapainya tujuan perencanaan adalah dengan penelitian. Salah satu penelitian yang berguna dalam mengevaluasi sasaran dan tujuan suatu program, terutama yang berorientasi kepada masyarakat adalah Penelitian Survai. Dari penelitian ini dapat diketahui sejauh mana tujuan yang digariskan pada awal program tercapai (Mantra, 1998).

Jalur Transportasi dan Ketersediaan Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)



Penelitian Sunardi (1999) di Kabupaten Magelang membuktikan bahwa faktor aksesibilitas merupakan faktor potensi wilayah yang mempunyai hubungan paling erat dengan ketersediaan fasilitas pelayanan dibandingkan dengan faktor potensi wilayah yang lain. Faktor aksesibilitas ditentukan dengan membandingkan luas wilayah dengan panjang jalan. Dengan kata lain bahwa semakin padat jalur-jalur transportasi maka kemungkinan semakin besar tersedianya suatu fasilitas pelayanan.

Terdapat dua teori utama yang secara khusus menerangkan peranan jalur transportasi dalam pengembangan wilayah perkotaan (Sabari, 1994). Teori tersebut adalah Teori Poros oleh Babcock dan Teori Sewa-Nilai Lahan dari Haig. Teori Poros memandang peran jalur transportasi dalam perspektif ekologis, keberadaan poros transportasi akan mengembangkan pertumbuhan daerah perkotaan karena sepanjang jalur ini berasosiasi dengan mobilitas tinggi sehingga berimplikasi pada perkembangan zone-zone yang ada disepanjang poros transportasi lebih besar dari zone-zone yang lain. Haig memandang dari perspektif ekonomi, sewa dan nilai lahan sepanjang jalur transportasi yang memiliki sewa dan nilai lahan tinggi sebagai fungsi aksesibilitas akan tumbuh terutama karena investasi di sektor-sektor non agraris.

Jalur-jalur transportasi dan utililas kota merupakan pembentuk pola penggunaan lahan di kota. Sejak awal pertumbuhan komunitas, berbagai kegiatan usaha memilih lokasi di sepanjang jalur-jalur lalu lintas primer dan tempat-tempat yang merupakan konsentrasi para pelanggan potensial (Branch, 1995). Sehingga kota-kota yang dilalui jalur transportasi padat aktifitas ekonomi akan cenderung lebih berkembang dan mampu melayani daerah belakangnya.

Pada semua kota, terdapat hubungan yang erat antara struktur jaringan transportasi, bentuk fisik kota, dan pola keruangan aktifitas kekotaan. Saat proses pembangunan kota berlangsung, perubahan sistem transportasi perkotaan akan mempengaruhi unsur-unsur fungsional pada fisik kekotaan dan mengarahkan pola pertumbuhan kota (Herbert, 1982).


Kajian dan Analisis Wilayah Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)




Sebagaimana bentuk perencanaan lain, pengumpulan dan analisis data adalah komponen penting pada perencanaan pelayanan sosial. Ada dua macam data yang dibutuhkan, pertama data ketersediaan fasilitas pelayanan dan yang kedua data kebutuhan akan pelayanan di masa mendatang (Conyers, 1982).

Untuk menilai ketersediaan pelayanan dikenal tiga metode, pertama Metode Ketersediaan Pelayanan {Service Availability), menilai dengan ada atau tidaknya fasilitas pelayanan. Jika pelayanan tersedia diberi nilai 1, dan jika tidak tersedia diberi nilai 0. Metode ini disebut juga Gutman Sculling Methods. Metode yang kedua disebut Metode Tingkat Ketersediaan (Size of Availability) adalah metode yang memperhatikan jumlah unit pelayanan yang tersedia. Metode yang sering digunakan adalah Scalogram. Sedangkan yang terakhir dikenal dengan fungsi pelayanan atau daya layan (Function of Availability) merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas dengan variabel pembanding. Variabel pembanding dapat berupa penggunaan aktual, pengguna potensial, penduduk keseluruhan, dan dengan pembanding standard (Muta'ali, 1999).
Salah satu standar dalam petunjuk tersebut disusun berdasarkan Teori Tempat Sentral (Central Place Theory) dan Christaller. Turunan (derivation) teori ini menyatakan bahwa setiap barang atau jasa yang disediakan fasilitas pelayanan mempunyai batas atas dan batas bawah. Batas atas (upper limit) adalah jarak maksimum dimana konsumen akan pergi ke fasilitas pclayanan untuk mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya melalui beberapa pelayanan terdekat (Herbert, 1982). Konsep ini kemudian dikenal dengan distance treshold atau jarak ambang Sebagai konsekuensinya daerah maksimum yang dilayani dan pusat pelayanan merupakan daerah lingkaran komplementer. Sedangkan batas bawah (lower limit) adalah jarak minimum yang dibutuhkan pada kondisi dimana daerah pelayanan memiliki penduduk yang cukup untuk menghasilkan permintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi ekonomis bagi fasilitas pelayanan tersebut (Herbert, 1982). Konsep penduduk yang cukup untuk menghasilkan pemintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi eknomis ini kemudian disebut population treshold atau penduduk ambang.

Teori ini berperan dalam memberitahukan kepada perencana, daerah-daerah mana yang "tak terlayani" (unserved) dan "terlayani" (underserved) melalui identifikasi keberadaan wilayah pelayanan (Huisman, 1987). Dalam persebarannya secara keruangan kadang-kadang wilayah pelayanan saling tumpang tindih (overlap), hal ini tidaklah bermanfaat, sehingga keberadaan satu atau beberapa pelayanan tersebut harus dipertimbangkan (UN ESCAP, 1979).

Persebaran pelayanan sendiri menyangkut dua aspek, aspek sosial dan keruangan (Huisman, 1987). Aspek sosial berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai oleh berbagai kelompok sosial dan masyarakat, sedangkan aspek Keruangan berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai perwilayah/daerah.

Pola persebaran keruangan (permukiman) secara kuantitatif dapat memberikan perbandingan antar pola keruangan obyek dengan lebih baik dibandingkan secara deskriptif dari segi waktu dan dari segi ruang. Analisinya disebut analisis tetangga terdekat yang memberikan ukuran kuantitatif terhadap pola acak, tersebar, dan mengelompok (Bintarto, 1991).

Salah satu a1at yang dapat mengkaji persebaran keruangan fasilitas pelayanan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah kombinasi unsur yang dirancang untuk menyimpan, memanggil, manipulasi, dan menampilkan data geografi atau informasi tentang lokasi. Unsur-unsumya berupa perangkat keras,  perangkat  lunak,  data,  dan  operator  (ESRL,   199S).  Dalam perkembangannya yang pesat aplikasi SIG dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan telah melalui tiga tahap perkembangan. Dari hanya penyadapan data, informasi data base, dan inventarisasi ke arah yang lebih analisis, modelling dan manajemen. Pada tahap ketiga atau paling mutakhir, ditandai dengan evolusi sistem informasi dari proses transaction ke arah sistem penunjang pengambilan keputusan dengan analisis yang  lebih canggih dan operasi modeling yang berbasis pada analisis keruangan. Aplikasi umum dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan di tahap ini termasuk analisis lokasi fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan (Longley, 1995).

Hasil pcnelitian M. Rosul di Bantul (1996) menyimpulkan bahwa keberadaan sarana dan prasarana di tiap desa daerah penelitian bervariasi. Keberadaan sarana dan prasarana dipengaruhi oleh kondisi penduduk, keadaan lahan, dan kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor penduduk meliputi pertumbuhan penduduk, pergerakan penduduk, mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan dan distribusi penduduk. Faktor-faktor lahan meliputi topografi, keadaan drainase, luas, dan keadaan ketersediaan air minum. Kebijakan pemerintah dalam hal ini menyangkut kebijaksanaan penataan ruang dan kelembagaan pemerintah.








Pelavanan Sosial dasar dan Pendidikan di Indonesia Ditinjau Dari Pembangunan Keruangan (skripsi dan tesis)



            Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kasual gejala-gejala muka bumi dan peristiwa yang terjadi di permukaaan bumi baik fisik maupun yang menyangkut mahluk hidup beserta permaslahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan ( Bintarto, 1983 )
            Pembangunan keruangan biasanya dicirikan dengan adanya pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial yang membawa tekanan-tekanan tak terelakkan terhadap kebijaksanaan regional tergantung dari tingkatan atau tahapan pembangunan dan pengorganisasian tata ruang yang bersangkutan. Pentingnya kebijaksanaan regional dan jenis-jenis permasalahan yang harus dihadapi akan berubah-ubah ( Fisher, 1975 ).  Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sebagai tempat kegiatan diperlukan adanya penataan ruang agar dicapai penyebaran yang efisisen.
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan memenuhi peningkatan permintaan pelayanan di kota sekunder negara dunia ketiga sangatlah rendah selama dua dekade belakangan. Penelitian Osborn di bebcrapa kota menengah di Indonesia membuktikan bahwa pelayanan infrastruktur dan kebutuhan dasar seperti sekolah, rumah sakit, air bersih, drainase, dan bangunan fisik sangatlah kurang (Osbom dalam Rondinelli, 1983). Sisi lain diungkapkan oleh Conyers (1982) yang menyatakan bahwa fasilitas pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan di negara dunia keliga menyerap lebih banyak sumber dana dan tenaga kerja dibandingkan jenis pelayanan sosial lainnya.

Bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas utama dalam kebijakan pembangunan, dimana investasi di bidang ini tersebar luas di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun secara kualitas dalam bidang kesehatan kurang mendapat perhatian, akibatnya kota-kota besar mendapatkan pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding kota-kota kecil. Hal ini dapat terlihat dari variasi jumlah dan jenis dokter spesialis yang tersedia (Atmodirono, 1974).

Kekurangan fasilitas pelayanan pendidikan telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan pembangunan fasilitas secara cepat. Presiden Republik Indonesia secara khusus di tahun 70-an mengeluarkan instruksi (yang kemudian dikenal dengan inpres) untuk menyediakan bangunan Sekolah Dasar setiap tahunnya dengan dana berasal dari penjualan ekspor minyak bumi. Hingga tahun 1978 telah dibangun 24.065 Sekolah Dasar Inpres dengan total proporsi 30% dari keselumhan Sekolah dasar di negeri ini. Tahun 1979-1980 saja telah dibangun 10.000 Sekolah Dasar baru, 15.000 kelas baru, dan perbaikan 15.000 bangunan Sekolah Dasar lainnya. Untuk tingkat menengah, pembangunan dikonsentrasikan pada pengembangan laboratorium sains dimana selama tahun 1974-1975 telah berdiri 1000 laboratorium baru bagi tingkat SLTP dan 200 lainnya untuk tingkat SLTA (Postlethwaite, 1980).

Hal yang terjadi kemudian adalah sistem sentralistik dalam pengelolaan dan alokasi program pendidikan terjadi bukan hanya dalam hal pengadaan sarana dan prasarana, tapi ke semua aspek program, sehingga telah membentuk sikap tertentu kepada pengelola pendidikan baik di pusat maupun di daerah. Salah satu sikap yang selama ini terbentuk adalah adanya ketergantungan pengelola pendidikan baik di daerah dan sekolah kepada pemerintah pusat dalam hal orientasi program pendidikan dan penyediaan dana pendidikan (Indryamo, 1998).