Showing posts with label Judul Kehutanan. Show all posts
Showing posts with label Judul Kehutanan. Show all posts

Sunday, January 13, 2019

Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia (skripsi dan tesis)



Dalam berbagai literatur terdapat beberapa istilah yang digunakan secara saling bergantian bahkan diantaranya ada yang saling tertukar sebagai padanan kata dari kehutanan masyarakat. Beberapa istilah asing untuk menyatakan kehutanan masyarakat adalah community forestry, social forestry, participatory forestry dan lain sebagainya. Istilah social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industrial yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal sekitar hutan.
Kartasubrata (1992) yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998) memandang bahwa istilah perhutanan sosial dan kehutanan sosial sebagai padanan istilah social forestry. Lokasi pengembangan social forestry sebagian berada pada tanah milik serta tanah negara seperti hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Bentuk-bentuk social forestry yang pernah dilaksanakan di Indonesia diantaranya adalah: (1) hutan Rakyat; (2) hutan Serbaguna atau Kemasyarakatan; (3) perhutanan Sosial yang kemudian menjadi program kerjasama Hutan Rakyat. Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia

No.
Nama
Status Lahan
Masa
Keterangan
Pengembangan
1.








Hutan Rakyat
Lahan milik masyarakat
Dimulai sejak tahun 1930-an
Merupakan kegiatan lanjutan yang dimulai Pemerintah Belanda
2.
Hutan Serbaguna/ Kemasyarakatan

Hutan       produksi negara  yang  tidak dikonsensikan

Sejak  Repelita ketiga  (antara 1979-1984)
Dikaitkan dengan kegiatan penghijauan
3.
Perhutanan Sosial

Hutan       produksi; Perum Perhutani


Sejak 1986-2001
Pelaksanaan berupa   usahatani tumpangsari
4.
kerjasama hutan rakyat
Hutan       produksi; Perum Perhutan
2001-sekarang
Lanjutan        dari
Perhutanan Sosial
Sumber: Suharjito dan Darusman (1998)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) (2016), melalui Peraturan Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, memberikan pengertian perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk: 1) hutan desa, 2) hutan kemasyarakatan, 3) hutan tanaman rakyat, 4) hutan rakyat, 5) hutan adat dan 6) kemitraan kehutanan. Masing-masing bentuk pengelolaan hutan tersebut diberikan pengertian sebagai berikut:
1.    Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
2.    Hutan Kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
3.    Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
4.    Hutan Rakyat atau Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
5.    Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
6.    Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (skripsi dan tesis)



Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah mulai memperhatikan aspek kemasyarakatan sejak diterbitkannya SK Menhut No. 691 tahun 1991 tentang Bina Desa Hutan. Melalui peraturan ini pemerintah berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar hutan. Keputusan tersebut kemudian direvisi melalui SK Menhut No. 69 Jo SK Menhut No. 523 tahun 1997 yang di dalamnya istilah Bina Desa Hutan diganti dengan istilah Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (Darmawan et al., 2004).
Darmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat memasuki babak baru dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberpihakan kepada rakyat adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan hutan. Dengan demikian, praktek-praktek pengeloaan hutan yang berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan rakyat perlu dirubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan masyarakat. Berbagai peraturan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.



Tabel 1. Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia

No
Jenis Peraturan
Nomor dan Tahun
Perihal
1.

Tap MPR

No. IX/MPR/2001

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam
2.
Undang-undang
No. 19 Tahun 2004
Kehutanan (Penetapan PerPPU  No. 1 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU)


3.
Undang-undang
No. 18 Tahun 2013
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
4.
Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2004
Perencanaan Kehutanan
5.
Peraturan Pemerintah
No. 45 Tahun 2004
Perlindungan Hutan
6.
Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2007
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
7.
Peraturan Pemerintah
 No. 3 Tahun 2008
Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
8.
Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 2010
Penggunaan Kawasan Hutan
9.
Peraturan Pemerintah
No. 12 Tahun 2012
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan
10.
Peraturan Pemerintah
No. 71 tahun 2014
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
11.
Peraturan Pemerintah
No. 105 Tahun 2015
Perubahan kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
12.
Peraturan Menhut
No. P.55 Tahun 2011 *)
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
13.
Peraturan Menhut
No. P.31 Tahun 2013 *)
Perubahan atas Permenhut No. P.55 Tahun 2011 Tentang Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
14.
Peraturan Menhut
No. P.39 Tahun 2013 *)
Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan
15.
Peraturan Menhut
No. P.20 Tahun 2014
Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi
16.
Peraturan Menhut
No. P.88 Tahun 2014 *)
Hutan Kemasyarakatan

17.
Peraturan Menhut
No. P.89 Tahun 2014 *)
Hutan Desa
18.
Peraturan Men LHK
No. P.21 Tahun 2015

Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak
19.
Peraturan Men LHK
No. P.32 Tahun 2015
Hutan Hak
20.
Peraturan Men LHK
No. P.83 Tahun 2016
Perhutanan Sosial (mengganti dan mencabut Permenhut No. *)
Sumber : Rangkuman Penulis
Relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di era otonomi daerah, pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi, sedangkan pengelolaan hutan yang bersifat nasional diatur oleh pemerintah pusat. Salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola hutan kerakyatan ataupun hutan kemasyarakatan.

Saturday, January 12, 2019

Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan (skripsi dan tesis)



Dalam era otonomi daerah konflik pengelolaan kawasan hutan mengalami pergeseran paradigma yang berpotensi mempercepat proses menipisnya sumber daya hutan dan degradasi lahan hutan yang berakibat pada penurunan fungsi dan daya dukung kawasan hutan.  Konflik ini terjadi secara akumulatif terhadap sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik di era Orde Baru (ORBA) di masa lalu.  Selain itu, faktor pemahaman dan penanganan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal sekitar kawasan hutan serta belum diakunya hak Adat/Hak Ulayat di beberapa lapisan masyarakat walaupun secara turun-temurun masih diakui keberadaannya dalam tatanan sosial di masyarakat. Penunjukan kawasan hutan ketika itu, masih bersifat sepihak dan Top down tanpa memperhatikan hak-hak keberadaan masyarakat lokal terutama ganti rugi atau kompensasi kepemilikan atas tanah hutan. 
Konflik diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, nilai, status, penguasaan sepihak dan kelangkaan sumberdaya. Menipisnya persediaan sumber daya hutan akan berakibat pada penurunan produktivitas berupa hasil hutan yang berwujud berupa kayu dan non kayu serta nilai jasa hutan lainnya. Konflik dapat timbul antar individu, antar kelompok atau antar lembaga. Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi yakni konflik antara masyarakat di dalam atau pinggir hutan dengan berbagai pihak di luar hutan yang dianggap memiliki otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan.




. Bentuk Interaksi dalam Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan serta Ekosistemnya Secara Lestari dan Berkelanjutan (skripsi dan tesis)


Dalam pemanfaatan sumber daya hutan dan ekosistemnya terdapat beberapa aspek penting adalah kekayaan jenis flora maupun fauna yang lebih dikenal dengan biodiversitas atau keaneka ragaman hayati.  Kekayaan spesies baik flora maupun fauna terdapat luar biasa jumlahnya, jika dibandingkan dengan jumlah spesies pada iklim sedang.  Indonesia dengan luas sekitar 1.3 % dari permukaan daratan bumi memiliki kekayaan jenis yang sangat besar antara lain mengandung 10% jenis tumbuhan berbunga di dunia (±25.000 jenis), 12% satwa menyusui (± 500 jenis),  16% jumlah jenis reptil dan ampibi ((± 3.000 jenis), 17% jenis burung ((±1.600 jenis), dan lebih dari 25% jenis ikan (±8.500 jenis),  disamping itu tercatat pula sekitar 663 jenis fauna indemik, 199 jenis mamalia, (Saparjudi:1994 dan Whitmore:1975, dalam Marsono, 2000).  Di bidang kehutanan Whitmore, (1975), melaporkan terdapat 500 jenis Dipterocarpaceae dan 3.000-4.000 jenis Ochidaeceae. Namun dalam kenyataannya, dari jumlah yang banyak tersebut pemanfaatan jenis masih sangat terbatas. Diantara jenis-jenis tumbuhan yang ada tersebut hanya sekitar 150 jenis tanaman pangan yang penting dalam perdagangan dunia.  95% sebagai bahan pengganti tidak lebih dari 30 jenis tumbuhan dan 75% kalori pangan hanya berasal dari 8 jenis tumbuhan sekitar 80% kalori pangan berasal dari 3 jenis tumbuhan yaitu padi, jangung dan gandum (Soemarwoto, 1987, dalam Marsono, 2000).  
Berbagai kawasan hutan di Indonesia diperkirakan masih banyak lagi yang mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat-obatan (herbal) namun saat ini masih terbatas penggunaan pada jenis tumbuhan tertentu.   Sedikitnya pemanfaatan tumbuhan herbal ini, karena minimnya informasi dan penelitian mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan herbal Indonesia yang sejak dahulu sudah dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dan saat ini tersebar di berbagai fungsi hutan diantaranya hutan alam produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi. 
Pemanfaatan tumbuhan obat-obatan sebenarnya telah berlangsung lama secara tradisional oleh berbagai masyarakat di Indonesia.  Hal ini terungkap dalam beberapa penelitian, Tuharea, dkk. (2000), bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan telah memanfaatkan tumbuhan obat-obata secara tradisional mereka.  Dalam beberapa kasus menurut penelitian tersebut penggunaan obat telah ditemukan seperti di Anggi sekitar 27 jenis tumbuhan dapat menyembuhkan sebanyak 25 jenis penyakit tertentu, di Kokas sedikitnya masyarakat menemukan sedikitnya 26 jenis tumbuhan dan memberikan khasiat sebanyak 36 jenis penyakit masyarakat serta di Serui terdapat sedikitnya 38 jenis tumbuhan memberikan khasiat untuk 28 jenis penyakit.  Jenis tumbuhan obat-obatan ini pemanfaatannya masih terbatas pada masyarakat sekitar kawasan hutan saja dan belum mengemuka pada tingkat dunia kedokteran modern atau diproduksi untuk kebutuhan manusia secara masal.
Dari sisi yang lain, industri pengolahan hasil tumbuhan herbal misalnya, pemerintah belum mengupayakan diversifikasi  industri lebih spesifik dan bahkan tidak ada walaupun home industry sifatnya, sebagai bagian pemberdayaan.  Marsono (2000), mengatakan bahwa sedikitnya jenis yang dimanfaatkan mewarnai berbagai kebutuhan manusia seperti obat-obatan, kosmetik, bahan pakaian dan lain sebagainya.  Oleh karenanya tidak mustahil bahwa beberapa penyakit yang belum ditemukan obatnya saat ini sebenarnya ada di sumber daya alam yang tersebar di Indonesia.
Pengembangan potensi keanekaragaman sumber daya hutan saat ini belum optimal, dan masih terbuka peluang pada berbagai kawasan hutan tertentu untuk diusahakan dengan pengembangan kelembagaan masyarakat seperti pada kawasan penyangga areal konservasi, areal pemanfaatan pada kawasan lindung dan areal hutan produksi sekalipun yang saat ini hanya berorientasi pada hasil hutan kayunya saja (eksploitatif).  Akibat dari pemanfaatan yang bersifat ekploitatif, hanya dapat mengancam kelestarian kegunaan sumber daya hutan dan ekosistemnya.  Konservasi penggunaan sumber daya hutan dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang lama dengan cara mengurangi atau membatasi tingkat pemakaian sumber daya hutan, penggunaan teknologi terbarukan terhadap tumbuhan yang diketemukan kemanfaatannya saat ini, mengurangi pemborosan baik secara ekonomis maupun sosial (Suparmoko, 2006).  Dalam konteks masa pertumbuhan atau riap, konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan yang menghasilkan penerimaan bersih maksimum dan sekaligus dapat memperbaiki kapasitas produksi atau pertumbuhan itu sendiri.
Pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung merupakan segala bentuk upaya yang mencakup beberapa unit perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan pengembangan manfaat hutan lindung secara optimal dengan tetap menjaga kelestariannya oleh instansi yang berwenang (cq. Dinas Kehutanan).  Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang juga merupakan unit pengelolaan hutan lindung adalah satu kesatuan luas wilayah pengelolaan yang meliputi satu atau lebih kelompok hutan lindung yang penetapannya didasarkan atas kriteria tertentu, dengan tercapainya pendayagunaan fungsi dan peranan hutan lindung secara optimal untuk : a) Mewujudkan sistem penyangga kehidupan yang berkualitas ; b) Mewujudkan terkendalinya tata air secara optimal; c) Menterpadukan semua unsur yang terkait dalam pengelolaan hutan lindung; d) Mengakomodasikan kepentingan dan peran serta masyarakat.
Rencana pengelolaan kawasan hutan lindung dan segala sumber daya hutannya meliputi rencana-rencana yang terdiri atas : a) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung(RIPHL); b) Rencana Pengelolaan Hutan Lindung Propinsi (RPHLP); dan c) Rencana Unit Pengelolaan Hutan Lindung(RUPHL).  Rencana induk pengelolaan hutan lindung merupakan rencana jangka panjang pengelolaan hutan lindung dalam ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam jangka waktu dua puluh lima tahunan berisi : 1) Identifikasi keadaan dan masalah yang meliputi biogeofisik, sosial budaya, sosial ekonomi, kelembagaan masyarakat dan lingkungan; 2) Kajian faktor masalah secara ilmiah; 3) Arahan dan rekomendasi pengelolaan hutan lindung; 4) Tahapan pengelolaan; 5) Rencana Induk Pengelolaan Hutan Lindung di susun dan dinilai oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, disahkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Pelestarian Alam (PHPA).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Interkasi Masyarakat dengan Hutan Lindung (skripsi dan tesis)



Secara umum terdapat tiga faktor yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi factor sebuah interaksi masyarakat yaitu: faktor geografis, sosiografis, dan psikografis Lestari (2004),. Dalam penerjemahannya tentu saja ini sangat multi dimensi. Dimana di dalamnya dapat dikaitkan dengan bidang-bidang lain.  Oleh karenanya diperlukan suatu penjelasan yang lebih implicit atau lebih mendalam lagi. Menurut Rumaropen (2009) disebutkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi interkasi masyarakat dengan hutan adalah sebagai berikut:
1.        Factor tingkat pendidikan
2.        Factor umur
3.        Factor manfaat hutan
4.        Lamanya pemukiman
5.        Tingkat pendapatan
6.        Tenaga kerja yang terlibat
Sedangkan Muljohardjo ( 1987  lebih menekankan bagaimana interkasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, umur, luas pekarangan, jenis mata pencaharian, pendapatan dan juga besar kecilnya keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat. Interaksi berkaitan erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi dari individu – individu yang terlibat, semakin tinggi status sosial ekonomi individu dalam masyarakat maka akan semakin tinggi pula kesempatan yang dapat diperoleh dalam setiap kegiatan pembangunan, begitu pula sebaliknya.

Potensi Kawasan Hutan Lindung (skripsi dan tesis)



Kekayaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri atas sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati beserta ekosistemnya ataupun gejala keunikan alam dan/atau keindahan alam lainnya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar besar kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.     
Salah satu upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditempuh melalui penetapan sebagian kawasan hutan dan/atau kawasan perairan menjadi antara lain Hutan Lindung yang salah satu fungsinya adalah karena keadaan sifat alamnya diperuntukan guna mengatur tata air (hydro-orologi), pencegahan bencana banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, perlindungan dan penyangga sistem kehidupan, obyek dan daya tarik wisata alam untuk dijadikan pusat pariwisata dan kunjungan wisata alam daerah. Pembangunan nasional di berbagai sektor telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, disamping telah meningkatkan kegiatan masyarakat diberbagai bidang, sehingga menimbulkan perubahan pola kehidupan masyarakat yang menuntut kebutuhan hidup yang semakin beragam. Kedua aspek tersebut ditambah dengan meningkatnya minat kembali ke alam terutama bagi masyarakat perkotaan, menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata alam.  Sejalan dengan itu, menurut Perrings (2002) dalam Fandeli (2003), bahwa semakin banyak sumberdaya alam yang dimanfaatkan dalam pembangunan, maka keterkaitan pembangunan itu dengan ekonomi ekologi akan semakin besar.  Pernyataan Perrings (2002); dan Fandeli (2003) tersebut tidak terkecuali pada kawasan hutan lindung dan Taman Hutan Raya (TAHURA) yang juga kewenangan pengelolaannya diserahkan pada Daerah sebagai tugas perbantuan, karena mengingat perkembangan usaha kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh potensi, estetika dan bentang alamnya yang unik dan berbeda pada tempat lainnya. 
Menurut PP. No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.  Penetapan kawasan tertentu sebagai sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; b) Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; c) Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli. 
Menurut Fandeli (2002), daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perilaku manusia dan makhluk hidup yang lain secara wajar.  Namun dalam perkembangannya istilah daya dukung kemudian dirubah menjadi daya tampung bagi lingkungan binaan.  Daya tampung diartikan sebagai kemampuan suatu lingkungan binaan untuk menampung jumlah individu maksimum.
Kawasan taman hutan raya memiliki daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan tersebut dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.  Penetapan daerah penyangga pada hakekatnya berdasarkan pertimbangan kriteria sebagai berikut : a) Secara geografis berbatasan dengan Kawasan Taman Hutan Raya; b) Secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya; c) Mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar Kawasan Taman Hutan Raya.
Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani dengan suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan tetap menghormati hak hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan dan pertimbangan kriteria yang telah disepakati. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan: a) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat; c) Rehabilitasi lahan; d)  Peningkatan produktivitas lahan; e) Kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sesuai dengan fungsinya, taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a)   Pariwisata alam dan rekreasi; b) Penelitian dan pengembangan; c) Pendidikan; d) Kegiatan penunjang budidaya.  Kunjungan wisata alam terbatas pada kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa di dalam kawasan pelestarian alam, sedangkan kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut. 
Undang-undang Nomor : 41/1999 menekankan bahwa peruntukannya fungsi hutan ditetapkan menjadi 3 (tiga) yaitu : 1) Hutan Konservasi untuk fungsi konservasi, 2) Hutan Lindung untuk fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan Hutan Produksi untuk fungsi produksi.  Namun dari ketiga fungsi tersebut pada hakikatnya hutan dikelola dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan cara, (Marsono, 2000), antara lain ;  1) Memberikan jaminan keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2) Mengoptimalkan aneka fungsi (konservasi, Lindung dan produksi) dan mencapai manfaat lingkungan, sosial-ekonomi, yang seimbang, serasi dan lestari; 3) Meningkatkan daya dukung lingkungan dan Daerah Aliran Sungai; 4) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial-ekonomi dan pangan-sandang dan papan, lapangan kerja; dan 5) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan keberlanjutan.
Perkembangan kebutuhan kepariwisataan alam, maka taman hutan raya, yang memiliki gejala keunikan alam, keindahan alam, dan lain lain, sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata alam disamping sebagai wahana penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Agar obyek dan daya tarik wisata alam tersebut dapat dimanfaatkan secara nyata diperlukan modal dan teknologi serta paradigma pengelolaan berbasis masyarakat. Untuk itu, modal masyarakat dan teknologi yang sesuai, perlu diikut sertakan dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam. Pengusahaan taman hutan raya sebagai obyek dan daya tarik wisata alami memberikan dampak positif dalam menciptakan perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan negara dan pemasukan devisa.
Pengelolaan kawasan hutan lindung, kawasan taman hutan raya di Indonesia harus harus dilaksanakan secara profesional, dilakukan oleh tenaga atau sumber daya manusia yang memenuhi syarat profesionalisme tersebut, berdedikasi tinggi untuk mewujudkan kelestarian ekosistem maupun pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management).  Pengelolaan kawasan hutan lindung dan kawasan taman hutan raya dalam bentuk Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) menurut fungsinya sesuai dengan amanat PP No. 6 Tahun 2007, agar lebih menjamin ; kepangkuan kelola, keragaman usaha, keberpihakan kepada masyarakat (pemberdayaan) dan kelestarian berkelanjutan.
UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa, pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah, yang dalam zona pemanfaatan dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat.  Dilihat dari kedua definisi di atas, maka beberapa kegiatan pengelolaan dimungkinkan untuk dilakukan pada kawasan hutan lindung, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya memberikan pengaruh positif dari sisi ekonomis maupun ekologis dalam berbagai aspek. Kegiatan pengelolaan harus benar-benar mempertimbangkan peranan ekologis dan potensi taman hutan raya dengan kata lain harus dijaga kesesuaian antara tujuan estetika, pelatihan dan penelitian dan perlindungan ketimbang dengan pilihan pemanfaatannya.
Oleh karenanya di dalam sebuah kawasan hutan dan lingkungan di sekitarnya sebagai suatu ekosistem dalam lingkungan hdiup merupakan suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesehjateraan manusia serta makluk hidup lainnya. Lingkungan hidup di Indonesia meliputi aspek social budaya ekonomi dan fisik.