Keberhasilan proyek pembangunan yang berorientasi pada masyarakat, dikenal sangat tergantung pada perhatian yang diberikan pada faktor manusia. Apabila hanya digunakan pendekatan teknis belaka dengan asimisi pemenuhan kebutuhan masyarakat secara otomatis, maka hal ini tidak akan membawa hasil. Sangat disayangkan bahwa pada banyak tahap perencanaan pembangunan tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan pokok tentang kebutuhan masyarakat akan pelayanan. Ini membuktikan bahwa pendekatan lama secara vertikal (top down) belum berubah menjadi bottom up yang efektif (Rukmana, 1993).
Dengan adanya reformasi disegala bidang termasuk pendidikan tentu saja akan diikuti dengan perubahan dalam sistem pertanggungjawaban dalam pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Kesadaran anggota masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan dan program publik pada umumnya akan semakin meningkat. Keadaan ini akan terjadi pada sektor pendidikan. Orang tua dan anggota masyarakat akan menjadi stake holder yang semakin aktif dalam memantau pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan (Indryanto, 1998).
Implikasinya, public accountability dan efficacy menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Manakala anggota masyarakat dan orang tua menjadi stake holder yang aktif terhadap kebijakan dan program pendidikan. maka mereka juga menuntut bahwa kebijakan dan program pendidikan juga mencerminkan kepentingan mereka. Permasalahan yang dikemukakan tidak hanya pada kebijakan dan program apa yang akan dilaksanakan, tetapi mengapa kebijakan program pendidikan itu yang dilaksanakan. Anggota masyarakat dan orang tua melalui kelompok kepentingannya akan secara lebih langsung terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan program pendidikan. Melalui proses ini mekanisme public accountability akan berlangsung.
Sayangnya yang terjadi selama ini peran serta masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan proses pendidikan (Pengambilan keputusan, monitoring, pengawasan dan akuntabilitas). Dengan demikian, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada orang tua sebagai pihak yang berkepentingan dengan pendidikan (Anonymous, 2000).
Untuk mengkaji dan mengevaluasi tercapainya tujuan perencanaan adalah dengan penelitian. Salah satu penelitian yang berguna dalam mengevaluasi sasaran dan tujuan suatu program, terutama yang berorientasi kepada masyarakat adalah Penelitian Survai. Dari penelitian ini dapat diketahui sejauh mana tujuan yang digariskan pada awal program tercapai (Mantra, 1998).
Thursday, July 12, 2018
Jalur Transportasi dan Ketersediaan Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)
Penelitian Sunardi (1999) di Kabupaten
Magelang membuktikan bahwa faktor aksesibilitas merupakan faktor potensi
wilayah yang mempunyai hubungan paling erat dengan ketersediaan fasilitas
pelayanan dibandingkan dengan faktor potensi wilayah yang lain. Faktor aksesibilitas ditentukan dengan
membandingkan luas wilayah dengan panjang jalan. Dengan kata lain bahwa semakin
padat jalur-jalur transportasi maka kemungkinan semakin besar tersedianya suatu
fasilitas pelayanan.
Terdapat dua teori utama yang secara khusus menerangkan peranan jalur
transportasi dalam pengembangan wilayah perkotaan (Sabari, 1994). Teori tersebut
adalah Teori Poros oleh Babcock dan Teori Sewa-Nilai Lahan dari Haig. Teori
Poros memandang peran jalur transportasi dalam perspektif ekologis, keberadaan
poros transportasi akan mengembangkan pertumbuhan daerah perkotaan karena
sepanjang jalur ini berasosiasi dengan mobilitas tinggi sehingga berimplikasi
pada perkembangan zone-zone yang ada disepanjang poros transportasi lebih besar
dari zone-zone yang lain. Haig memandang dari perspektif ekonomi, sewa dan
nilai lahan sepanjang jalur transportasi yang memiliki sewa dan nilai lahan
tinggi sebagai fungsi aksesibilitas akan tumbuh terutama karena investasi di
sektor-sektor non agraris.
Jalur-jalur transportasi dan utililas kota merupakan pembentuk pola
penggunaan lahan di kota. Sejak awal pertumbuhan komunitas, berbagai kegiatan
usaha memilih lokasi di sepanjang jalur-jalur lalu lintas primer dan
tempat-tempat yang merupakan konsentrasi para pelanggan potensial (Branch,
1995). Sehingga kota-kota yang dilalui jalur transportasi padat aktifitas
ekonomi akan cenderung lebih berkembang dan mampu melayani daerah belakangnya.
Pada semua kota, terdapat hubungan yang erat antara struktur jaringan
transportasi, bentuk fisik kota, dan pola keruangan aktifitas kekotaan. Saat
proses pembangunan kota berlangsung, perubahan sistem transportasi perkotaan
akan mempengaruhi unsur-unsur fungsional pada fisik kekotaan dan mengarahkan
pola pertumbuhan kota (Herbert, 1982).
Kajian dan Analisis Wilayah Fasilitas Pelayanan (skripsi dan tesis)
Sebagaimana bentuk perencanaan lain, pengumpulan dan analisis data adalah
komponen penting pada perencanaan pelayanan sosial. Ada dua macam data yang
dibutuhkan, pertama data ketersediaan fasilitas pelayanan dan yang kedua data
kebutuhan akan pelayanan di masa mendatang (Conyers, 1982).
Untuk menilai ketersediaan pelayanan dikenal tiga metode, pertama Metode
Ketersediaan Pelayanan {Service Availability), menilai dengan ada atau
tidaknya fasilitas pelayanan. Jika pelayanan tersedia diberi nilai 1, dan jika
tidak tersedia diberi nilai 0. Metode ini disebut juga Gutman Sculling
Methods. Metode yang kedua disebut Metode Tingkat Ketersediaan (Size of
Availability) adalah metode yang memperhatikan jumlah unit pelayanan yang
tersedia. Metode yang sering digunakan adalah Scalogram. Sedangkan yang
terakhir dikenal dengan fungsi pelayanan atau daya layan (Function of
Availability) merupakan perbandingan antara ketersediaan fasilitas dengan
variabel pembanding. Variabel pembanding dapat berupa penggunaan aktual,
pengguna potensial, penduduk keseluruhan, dan dengan pembanding standard
(Muta'ali, 1999).
Salah satu standar dalam petunjuk tersebut disusun berdasarkan Teori Tempat
Sentral (Central Place Theory) dan Christaller. Turunan (derivation)
teori ini menyatakan bahwa setiap barang atau jasa yang disediakan fasilitas
pelayanan mempunyai batas atas dan batas bawah. Batas atas (upper limit)
adalah jarak maksimum dimana konsumen akan pergi ke fasilitas pclayanan untuk
mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya melalui beberapa pelayanan
terdekat (Herbert, 1982). Konsep ini kemudian dikenal dengan distance treshold
atau jarak ambang Sebagai konsekuensinya daerah maksimum yang dilayani dan
pusat pelayanan merupakan daerah lingkaran komplementer. Sedangkan batas bawah
(lower limit) adalah jarak minimum yang dibutuhkan pada kondisi dimana
daerah pelayanan memiliki penduduk yang cukup untuk menghasilkan permintaan
konsumen sehingga penawaran barang menjadi ekonomis bagi fasilitas pelayanan
tersebut (Herbert, 1982). Konsep penduduk yang cukup untuk menghasilkan
pemintaan konsumen sehingga penawaran barang menjadi eknomis ini kemudian
disebut population treshold atau penduduk ambang.
Teori ini berperan dalam memberitahukan kepada perencana, daerah-daerah
mana yang "tak terlayani" (unserved) dan "terlayani"
(underserved) melalui identifikasi keberadaan wilayah pelayanan (Huisman,
1987). Dalam persebarannya secara keruangan kadang-kadang wilayah pelayanan
saling tumpang tindih (overlap), hal ini tidaklah bermanfaat, sehingga
keberadaan satu atau beberapa pelayanan tersebut harus dipertimbangkan (UN
ESCAP, 1979).
Persebaran pelayanan sendiri menyangkut dua aspek, aspek sosial dan
keruangan (Huisman, 1987). Aspek sosial berkaitan dengan tingkat kemudahan
dicapai oleh berbagai kelompok sosial dan masyarakat, sedangkan aspek Keruangan
berkaitan dengan tingkat kemudahan dicapai perwilayah/daerah.
Pola persebaran keruangan (permukiman) secara kuantitatif dapat memberikan
perbandingan antar pola keruangan obyek dengan lebih baik dibandingkan secara
deskriptif dari segi waktu dan dari segi ruang. Analisinya disebut analisis
tetangga terdekat yang memberikan ukuran kuantitatif terhadap pola acak,
tersebar, dan mengelompok (Bintarto, 1991).
Salah satu a1at yang dapat mengkaji persebaran keruangan fasilitas
pelayanan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah kombinasi unsur yang
dirancang untuk menyimpan, memanggil, manipulasi, dan menampilkan data geografi
atau informasi tentang lokasi. Unsur-unsumya berupa perangkat keras, perangkat
lunak, data, dan
operator (ESRL, 199S).
Dalam perkembangannya yang pesat aplikasi SIG dalam bidang bisnis dan
perencanaan pelayanan telah melalui tiga tahap perkembangan. Dari hanya
penyadapan data, informasi data base, dan inventarisasi ke arah yang lebih
analisis, modelling dan manajemen. Pada tahap ketiga atau paling mutakhir,
ditandai dengan evolusi sistem informasi dari proses transaction ke arah
sistem penunjang pengambilan keputusan dengan analisis yang lebih canggih dan operasi modeling yang
berbasis pada analisis keruangan. Aplikasi umum dalam bidang bisnis dan
perencanaan pelayanan di tahap ini termasuk analisis lokasi fasilitas pelayanan
pendidikan dan kesehatan (Longley, 1995).
Hasil pcnelitian M. Rosul di Bantul (1996) menyimpulkan bahwa keberadaan
sarana dan prasarana di tiap desa daerah penelitian bervariasi. Keberadaan
sarana dan prasarana dipengaruhi oleh kondisi penduduk, keadaan lahan, dan
kebijaksanaan pemerintah. Faktor-faktor penduduk meliputi pertumbuhan penduduk,
pergerakan penduduk, mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan dan
distribusi penduduk. Faktor-faktor lahan meliputi topografi, keadaan drainase,
luas, dan keadaan ketersediaan air minum. Kebijakan pemerintah dalam hal ini menyangkut
kebijaksanaan penataan ruang dan kelembagaan pemerintah.
Pelavanan Sosial dasar dan Pendidikan di Indonesia Ditinjau Dari Pembangunan Keruangan (skripsi dan tesis)
Geografi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari hubungan kasual gejala-gejala muka bumi dan peristiwa yang
terjadi di permukaaan bumi baik fisik maupun yang menyangkut mahluk hidup
beserta permaslahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan kompleks
wilayah untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (
Bintarto, 1983 )
Pembangunan keruangan biasanya
dicirikan dengan adanya pengorganisasian tata ruang (spatial organization) dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial
yang membawa tekanan-tekanan tak terelakkan terhadap kebijaksanaan regional
tergantung dari tingkatan atau tahapan pembangunan dan pengorganisasian tata
ruang yang bersangkutan. Pentingnya kebijaksanaan regional dan jenis-jenis
permasalahan yang harus dihadapi akan berubah-ubah ( Fisher, 1975 ). Pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah sebagai
tempat kegiatan diperlukan adanya penataan ruang agar dicapai penyebaran yang
efisisen.
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan memenuhi peningkatan permintaan
pelayanan di kota sekunder negara dunia ketiga sangatlah rendah selama dua dekade
belakangan. Penelitian Osborn di bebcrapa kota menengah di Indonesia
membuktikan bahwa pelayanan infrastruktur dan kebutuhan dasar seperti sekolah,
rumah sakit, air bersih, drainase, dan bangunan fisik sangatlah kurang (Osbom
dalam Rondinelli, 1983). Sisi lain diungkapkan oleh Conyers (1982) yang
menyatakan bahwa fasilitas pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan di negara
dunia keliga menyerap lebih banyak sumber dana dan tenaga kerja dibandingkan
jenis pelayanan sosial lainnya.
Bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas
utama dalam kebijakan pembangunan, dimana investasi di bidang ini tersebar luas
di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun secara kualitas dalam bidang
kesehatan kurang mendapat perhatian, akibatnya kota-kota besar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik dibanding kota-kota kecil. Hal ini
dapat terlihat dari variasi jumlah dan jenis dokter spesialis yang tersedia
(Atmodirono, 1974).
Kekurangan fasilitas pelayanan pendidikan telah mendorong pemerintah untuk
segera melakukan pembangunan fasilitas secara cepat. Presiden Republik
Indonesia secara khusus di tahun 70-an mengeluarkan instruksi (yang kemudian
dikenal dengan inpres) untuk menyediakan bangunan Sekolah Dasar setiap tahunnya
dengan dana berasal dari penjualan ekspor minyak bumi. Hingga tahun 1978 telah
dibangun 24.065 Sekolah Dasar Inpres dengan total proporsi 30% dari keselumhan
Sekolah dasar di negeri ini. Tahun 1979-1980 saja telah dibangun 10.000 Sekolah
Dasar baru, 15.000 kelas baru, dan perbaikan 15.000 bangunan Sekolah Dasar
lainnya. Untuk tingkat menengah, pembangunan dikonsentrasikan pada pengembangan
laboratorium sains dimana selama tahun 1974-1975 telah berdiri 1000
laboratorium baru bagi tingkat SLTP dan 200 lainnya untuk tingkat SLTA
(Postlethwaite, 1980).
Hal yang terjadi kemudian adalah sistem sentralistik dalam pengelolaan dan
alokasi program pendidikan terjadi bukan hanya dalam hal pengadaan sarana dan
prasarana, tapi ke semua aspek program, sehingga telah membentuk sikap tertentu
kepada pengelola pendidikan baik di pusat maupun di daerah. Salah satu sikap
yang selama ini terbentuk adalah adanya ketergantungan pengelola pendidikan
baik di daerah dan sekolah kepada pemerintah pusat dalam hal orientasi program
pendidikan dan penyediaan dana pendidikan (Indryamo, 1998).
Wednesday, July 11, 2018
Tahap-tahap pemecahan masalah dengan AHP Analytical Hierarchy Process (AHP) (skripsi dan tesis)
Misalkan kita akan memilih
lokasi pabrik baru dengan tiga alternatif
pilihan A, B dan C maka terlebih
dahulu kita harus menetapkan
kriteria pengambilan keputusan
terhadap alternatif – alternatif tersebut, misalkan harga, jarak dan tenaga kerja. Maka struktur hirarki lengkap
dari masalah pemilihan lokasi
pabrik yang disederhanakan ini ditunjukkan seperti pada gambar berikut.
Tingkat 1
Fokus :
Pemilihan lokasi pabrik
Tingkat 2
Kriteria :
Harga
Jarak
Tenaga
Alternatif
Gambar 2.1 Contoh hirarki lengkap pilihan lokasi pabrik
Langkah-langkah penyelesaian masalah selanjutnya adalah
(Leo. 2014):
1. Membuat matrik hubungan
perbandingan berpasangan antara tiap alternatif untuk setiap kriteria keputusan.
Perbandingan dilakukan berdasarkan pilihan dari pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan / preference level suatu alternatif dibandingkan alternatif lainnya.
A B C
A 1 3 2
B 1/3 1 1/5
C 1/2 5 1
Jarak
B 1/6 1 1/9
C 3 9 1
Tenaga
Kerja
B 3 1 7
C 1 1/7 1
2. Untuk setiap matriks kriteria, dilakukan penjumlahan nilai tiap kolom.
3. Membagi setiap nilai alternatif berpasangan dengan hasil penjumlahan
pada
kolom terkait, hasil pembagian
kemudian dijumlahkan searah
kolom, hasilnya seharusnya sama dengan
1 untuk menunjukkan konsistensinya.
4. Merubah nilai ke bilangan desimal dan mencari nilai rata-rata pada tiap baris,
sehingga dari seluruh
kriteria akan didapat
matriks baru sebagai berikut.
A .5012 .2819 .1790
B .1185 .0598 .6850
C .3803 .6583 .1360
Gambar 2.3
Contoh matriks nilai Alternatif vs kriteria
Kriteria
|
Harga
|
Jarak
|
Tenaga Kerja
|
Harga
|
1
|
1/5
|
3
|
Jarak
|
5
|
1
|
9
|
Tenaga Kerja
|
1/3
|
1/9
|
1
|
Gambar 2.4
Contoh matriks nilai kriteria
6. Mengulangi
langkah 2 sampai dengan 4 untuk matriks baru ini. Nilai akkhir
yang didapat dari matriks
baru ini merupakan eigen
vector (vektor pengali)
untuk matriks pada langkah
4.
|
.1790 X
.6850
.1360
Kriteria
Jarak .6535
Tenaga Kerja .0860
Gambar 2.5 Perkalian matriks akhir
7. Mengalikan
kedua matriks pada Gambar
2.5 diatas. Alternatif dengan nilai
terbesar merupakan alternatif yang harus
dipilih.
Subscribe to:
Posts (Atom)