Thursday, March 30, 2023

Pengaruh Modal Psikologis (Psychological Capital) pada Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

 


Modal psikologis merupakan suatu hal penting yang memprediksi sikap
dan perilaku karyawan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan kinerja
organisasi. Dalam meningkatkan kinerja perlu dipertimbangkan adanya motivasi
yang dapat mempengaruhi modal psikologis karyawan agar kepuasan kerja
meningkat (Jung & Yoon, 2015: 1148). Selain itu, optimisme yang merupakan
salah satu karakteristik modal psikologis memunculkan rasa keyakinan positif,
sehingga karyawan dengan optimisme tinggi akan menemukan lebih banyak
kesenangan pada pekerjaannya dan akibatnya kepuasan kerja akan meningkat
(Luthans et al., 2007: 550). Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki modal
psikologis beranggapan bahwa pekerjaannya menyenangkan dan memberi makna
bagi dirinya, hal ini menyebabkan kepuasan kerja lebih tinggi.
Beberapa faktor yang berkontribusi pada kepuasan kerja adalah perilaku
supervisor, pekerjaan itu sendiri, gaji dan promosi, hubungan dengan rekan kerja,
kondisi pekerjaan, dan keamanan kerja (Parvin & Kabir, 2011: 113). Karyawan
yang memiliki modal psikologis tinggi juga merasa puas dengan supervisor dan
pekerjaannya (Luthans et al., 2007: 551). Kepuasan kerja yang tinggi dapat terjadi 
ketika harapan disertai optimisme dan keyakinan diri diterapkan dalam melakukan
pekerjaan dan ketahanan untuk menanggapi dengan baik setiap kegagalan yang
dialami karyawan (Luthans et al., 2007: 551). Artinya, apabila Aparatur Sipil
Negara (ASN) dalam bekerja menerapkan sikap-sikap positif dari modal
psikologis maka akan berdampak pada kepuasan kerja yang lebih tinggi.

Indikator-Indikator Kepuasan Kerja

 


Menurut (Cekmecelioglu et al., 2012: 367) kepuasan kerja memiliki lima
indikator, yaitu meliputi:
a. Pengawas (Supervisor)
Atasan atau supervisor dalam melakukan pengawasan akan mempengaruhi rasa
puas atau tidaknya karyawan dalam bekerja. Atasan yang baik berarti akan
menghargai pekerjaan bawahannya, sehingga karyawan lebih termotivasi
dalam bekerja. Atasan juga memberikan dukungan, pujian, dan mau
mendengarkan pendapat karyawan. Namun, pengawasan yang terlalu
berlebihan dapat membuat karyawan tidak nyaman dan merasa serba salah
dalam melakukan pekerjaan.
b. Pekerjaan (Job) 
Kesesuaian antara karyawan dengan pekerjaan akan menimbulkan kepuasan
dalam bekerja. Jenis pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kepribadian
seorang karyawan akan menumbuhkan rasa nyaman dan senang untuk
melakukan pekerjaan tersebut. Karyawan akan bersemangat dalam bekerja dan
berpengaruh pada hasil kerja yang maksimal, sehingga akan terciptanya
kepuasan kerja.
c. Rekan kerja (Coworkers)
Rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja pada karyawan
secara individu. Sangat penting memiliki rekan kerja yang saling mendukung,
menasehati, dan memberikan bantuan satu sama lain dalam bekerja. Hal
tersebut efektif membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, sehingga
mendorong adanya perasaan kepuasan kerja.
d. Gaji (Pay)
Gaji menjadi tolak ukur yang paling relevan untuk karyawan dikatakan puas
atau tidak dalam bekerja. Kebijakan kompensasi yang adil akan meningkatkan
kepuasan karyawan yang mencakup besarnya gaji yang diperoleh dan berbagai
macam tunjangan. Kesesuaian antara gaji dengan pekerjaan juga akan
mempengaruhi kepuasan kerja.
e. Kebijakan organisasi (Organizational policies)
Salah satu kebijakan organisasi yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah
pelaksanaan promosi. Karyawan dalam perkembangan karirnya tentu sangat
antusias untuk mendapatkan peluang promosi. Apabila karyawan tersebut 
dipromosikan, maka kepuasan kerja akan meningkat. Selain itu, pelaksanaan
promosi secara adil kepada karyawan juga meningkatkan kepuasan kerja

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Kebahagiaan karyawan di tempat kerja disebabkan adanya kepuasan kerja
yang mempengaruhi hidupnya dan berdampak positif pada kesehatan mental dan
fisik karyawan (Sen et al., 2017: 173). Hal tersebut akan meningkatkan
kebahagiaan dalam bekerja dan produktivitas kinerja dalam organisasi. Kepuasan
kerja dianggap sebagai kesesuaian antara individu dengan lingkungan kerjanya.
Beberapa pengertian dari kepuasan kerja menurut penelitian lain diantaranya:
a. Kepuasan kerja diartikan sebagai perasaan puas yang diperoleh dari
pengalaman kerja dan sikap positif yang dimiliki karyawan terhadap
pekerjaan atau kesesuaian antara karyawan dengan organisasinya (Ugboro &
Obeng, 2000: 253-254).
b. Kepuasan kerja adalah sikap individu terhadap pekerjaan yang didapat dari
emosi positif dan negatif yang dialami di tempat kerja sehingga menimbulkan
perasaan puas apabila harapan dari pekerjaan telah terpenuhi (Weiss, 2002:
176).
c. Kepuasan kerja didefinisikan sebagai emosi yang menyenangkan atau
perasaan positif berdasarkan pada persepsi kerja, penilaian lingkungan kerja, 
pengalaman kerja, dan persepsi semua elemen pekerjaan termasuk tempat
kerja (Tomazevic et al., 2018: 377-378)

Indikator-Indikator Kesejahteraan Subjektif

 


Menurut Diener et al. (2009: 143) kesejahteraan subjektif memiliki enam
indikator, yaitu:
a. Hubungan kerja (Relationships)
Hubungan kerja antara sesama karyawan maupun atasan akan mempengaruhi
kesejahteraan karyawan. Rekan kerja yang mendukung, ramah, dan saling 
menghargai akan membuat pekerjaan menyenangkan. Selain itu, atasan yang
menghargai pekerjaan bawahannya dan mau mendengarkan pendapat
bawahan juga mempengaruhi pekerjaan yang menyenangkan atau tidak. Hal
ini dapat menumbuhkan perasaan kesejahteraan pada karyawan.
b. Harga diri (Self-esteem)
Harga diri diartikan sebagai penilaian individu bahwa dirinya mampu
menghadapi tantangan hidup dan merasakan kebahagiaan. Jika harga dirinya
tinggi, maka individu tersebut merasa berharga dan layak untuk terus
berusaha. Sehingga akan membantu individu berkembang dan merasakan
kesejahteraan subjektif.
c. Tujuan hidup (Purpose of life)
Tujuan hidup memiliki arti bahwa individu memahami tujuan hidupnya
dengan jelas dan terarah, serta merasa yakin mampu mencapai suatu harapan
yang diinginkan. Sehingga dengan begitu individu dapat merasakan makna
hidup yang dijalaninya dan membuatnya lebih menghargai diri sendiri.
d. Pengalaman dan perasaan positif (Positive experience and feelings)
Perasaan positif dapat muncul jika individu mengalami suatu hal yang baik
dalam hidupnya. Selain itu, berkaitan juga dengan pengalaman emosi dan
perasaan hati yang menyenangkan seperti bahagia, optimis, sejahtera, dan
puas. Perasaan positif dapat mempengaruhi individu dalam bekerja, seperti
lebih menikmati pekerjaannya, memiliki hubungan yang baik dengan rekan
kerja, dan komitmen pada pekerjaan.
e. Pengalaman dan perasaan negatif (Negative experience and feelings) 
Perasaan negatif dapat muncul apabila individu menganggap peristiwa yang
terjadi sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu, timbul
emosi seperti kesedihan, kecemasan, kemarahan, takut, dan rasa bersalah.
Perasaan negatif ini dapat mempengaruhi hasil pekerjaan menjadi kurang
maksimal, semangat bekerja rendah, dan munculnya perasaan tertekan.

Pengertian Kesejahteraan Subjektif

 


Kesejahteraan subjektif dapat diartikan sebagai evaluasi individu tentang
kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidup serta
penilaian afektif terhadap emosinya, seperti yang sering disebut sebagai
kebahagiaan, ketentraman, dan kepuasan hidup (Diener & Chan, 2011: 1).
Seorang individu dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi
apabila mampu mengontrol dirinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam
hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, individu dengan kesejahteraan subjektif
yang rendah akan memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang
terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan sehingga muncul emosi seperti
kecemasan, depresi, dan kemarahan (Diener et al., 1999: 277). Beberapa
pengertian kesejahteraan subjektif menurut penelitian lain diantaranya:
a. Kesejahteraan subjektif adalah evaluasi individu terhadap hidupnya yang
meliputi komponen afektif yang berpengaruh positif (mengalami emosi dan
suasana hati yang menyenangkan) dan pengaruh negatif (mengalami emosi
dan suasana hati yang tidak menyenangkan) dan komponen kognitif yang
mengukur kepuasan hidup (Diener et al, 1997: 25-26).
b. Kesejahteraan subjektif didefinisikan sebagai evaluasi seseorang tentang
kehidupannya, yang dapat berupa penilaian seperti kepuasan hidup, evaluasi
berdasarkan perasaan seperti suasana hati dan emosi. Ketika merasakan 
suasana hati yang menyenangkan atau sedih, hal itu karena merasa hidupnya
berjalan dengan baik atau buruk (Diener & Chan, 2011: 2).
c. Kesejahteraan subjektif merupakan turunan dari psikologi positif,
kesejahteraan dibedakan menjadi dua kategori yaitu kesejahteraan hedonis
(hedonic well-being) dan kesejahteraan eudaimonik (eudaimonic well-being)
(Ryan & Deci, 2001: 143). Kesejahteraan hedonis menggambarkan kondisi
mental positif berupa pengalaman menyenangkan yang ditentukan secara
subjektif, sedangkan kesejahteraan eudaimonik merupakan kebahagiaan yang
muncul dari dalam diri individu bukan berasal dari faktor eksternal.
Berdasarkan beberapa pendapat dari peneliti di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif adalah s

Indikator-Indikator Modal Psikologis

 


Menurut Luthans dan Youssef (2004: 157) dan Jung dan Yoon (2015:
1156) modal psikologis memiliki empat indikator, yaitu:
a. Keyakinan diri (self-efficacy)
Keyakinan diri adalah kepercayaan seorang karyawan tentang
kemampuannya untuk mengontrol sumber daya kognitifnya, sehingga dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan hasil kerja yang maksimal (Luthans &
Youssef, 2004: 158). Karyawan yang memiliki keyakinan diri (self-efficacy)
akan memilih tugas yang menantang, meningkatkan motivasi, dan berusaha
untuk mencapai keberhasilan dari tugasnya, serta mampu bertahan ketika
menghadapi kesulitan. Terdapat empat cara yang dapat meningkatkan
kemampuan self-efficacy (Bandura, 1977: 195). Pertama, keyakinan diri dapat
dikembangkan saat karyawan mengalami kesuksesan (penguasaan terhadap
tugas). Kedua, keyakinan diri dapat dikembangkan saat karyawan belajar
melakukan sesuatu dengan mengamati orang lain (pembelajaran pribadi) pada 
kelompok perbandingan yang bersangkutan saat menyelesaikan suatu tugas.
Ketiga, keyakinan diri dikembangkan saat karyawan meyakini atau menerima
timbal balik yang positif dari saling menghormati orang lain. Keempat,
keyakinan diri ditingkatkan melalui pengurangan tingkat reaksi stres dan
tekanan selama bekerja, serta mengubah kecenderungan emosi negatif.
b. Harapan (hope)
Harapan didefinisikan sebagai keadaan kognitif atau pikiran seseorang yang
mampu menetapkan tujuan dan harapan realistis namun menantang sehingga
mencapai tujuan tersebut melalui penentuan, energi, dan persepsi diri yang
terarah pada pengendalian internal individu (Luthans et al., 2007: 545).
Seseorang memerlukan energi untuk mencapai tujuan yang ingin diraihnya
dengan memberikan tekad dan kemauan yang tinggi. Harapan yang tinggi
dapat muncul dikarenakan individu merasa seperti memiliki suatu
kemampuan untuk mengembangkan cara dalam meraih sesuatu yang
diinginkannya, sehingga memberikan kemampuan untuk melakukannya dan
mencari cara alternatif menuju pencapaian tujuan agar berhasil atau sukses
(Luthans & Youssef, 2004: 159).
c. Optimisme (optimism)
Optimisme didefinisikan sebagai suatu harapan dari diri individu akan
terjadinya berbagai peristiwa positif di masa sekarang dan masa yang akan
datang (Luthans & Youssef, 2004: 159). Lebih jauh lagi, perasaan optimis
menentukan pada alasan dan sebab yang digunakan untuk menjelaskan alasan
terjadinya peristiwa tertentu baik peristiwa yang positif maupun negatif, baik 
terjadi pada masa lalu, sekarang, atau masa depan. Secara realistis, optimisme
mencakup evaluasi terhadap sesuatu yang dapat dicapai dan tidak dapat
dicapai seseorang dalam keadaan tertentu, sehingga memunculkan keyakinan
diri dan harapan untuk berhasil (Luthans et al., 2007: 547). Seseorang yang
memiliki perasaan optimis akan selalu mengharapkan kejadian yang positif
dan diinginkan di masa depan, sementara orang pesimis adalah orang yang
terus-menerus memiliki pemikiran negatif dan yakin bahwa kejadian yang
tidak diinginkan akan terjadi (Luthans et al., 2007: 547).
d. Ketahanan (resilience)
Ketahanan adalah kemampuan individu yang berhasil bangkit kembali dari
berbagai keterpurukan dan kegagalan yang terjadi dalam kehidupannya, serta
mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut (Luthans & Youssef, 2004:
160). Ketahanan juga dapat didefinisikan sebagai kapasitas psikologi positif
seseorang untuk bangkit kembali dari kesengsaraan, ketidakpastian, konflik,
kegagalan, atau bahkan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan
tanggung jawab (Luthans & Jensen, 2002: 305). Karyawan yang memiliki
ketahanan akan lebih cepat dalam melakukan penyesuaian dan adaptasi untuk
mengubah suatu kegagalan menjadi sebuah keberhasilan. Ketahanan bukan
hanya suatu perjuangan atau usaha karyawan dalam mencapai kinerja yang
diharapkan, namun juga merupakan suatu pembelajaran untuk menghadapi
perubahan yang tidak pasti. Individu sebenarnya menjadi lebih tangguh atau
kuat terhadap situasi yang merugikan, jika individu tersebut dapat bangkit 
kembali dari kegagalan yang telah terjadi sebelumnya (Luthans et al., 2007:
547).

Pengertian Modal Psikologis

 


Modal psikologis adalah keadaan psikologis positif seorang individu yang
ditandai dengan karakteristik berikut : (1) memiliki keyakinan diri (self-efficacy)
untuk menghadapi tugas-tugas atau tantangan tertentu yang menantang; (2)
mampu membuat atribusi positif (optimism) terhadap kegagalan atau keberhasilan
yang pernah dialaminya, dan kesuksesan di masa kini dan masa depan; (3)
memiliki harapan (hope) yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam mencapai
tujuan; dan (4) ketika mengalami masalah dan kesulitan karyawan akan bertahan
bahkan mampu bangkit kembali (resilience) untuk mencapai kesuksesan (Luthans
et al., 2007: 542). Beberapa pengertian modal psikologis menurut penelitian lain
yaitu sebagai berikut:
a. Modal psikologis diartikan dengan kemampuan seorang karyawan yang
selalu mencoba untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya
menjadi kekuatan serta kelebihan untuk meningkatkan kualitas kinerjanya
(Luthans et al., 2006: 388).
b. Modal psikologis merupakan manifestasi dari kepercayaan diri, harapan,
optimisme, dan ketahanan sebagai bentuk konstruk kepribadian karyawan
untuk membangun perilaku organisasi yang positif (Karatepe & Karadas,
2014: 132).
c. Modal psikologis didefinisikan sebagai konstruk positif yang dimiliki setiap
karyawan dan menjadi sumber daya atau kekuatan dalam menghadapi
tantangan pekerjaan untuk membangun sebuah organisasi (Nafei, 2014: 250).