Friday, April 30, 2021

Pengertian Teori Keagenan (Agency Theory) (skripsi dan tesis)

 Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk

memahami suatu keputusan pendanaan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976)
dalam Sugiarto (2009) mengembangkan suatu teori tentang bagaimana struktur
kepemilikan mempengaruhi perilaku-perilaku individu dalam perusahaan. Jensen
dan Meckling (1976) dalam sugiarto (2009), menjelaskan hubungan Keagenan
sebagai:
Suatu mekanisme kontrak antara penyedia modal (the principal) dan para
agen. Hubungan keagenan merupakan kontrak, baik bersifat eksplisit
maupun implisit dimana satu orang atau lebih orang (yang disebut
Principal) meminta orang lain (yang disebut agen) utuk mengambil
tindakan atas nama principal.
Hubungan keagenan ini dapat dijelaskan dengan agency theory yang
memberikan wawasan analisis untuk mengkaji dampak dari hubungan agen dengan
principal (pemegang saham) atau pemegang saham mayoritas dengan pemegang
saham minoritas.
Ariyoto (2000) dalam Rebecca (2012), menyatakan bahwa:
Agency theory muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan
perusahaan dengan pengelolaan yang terdapat di perusahaan-perusahaan
besar modern sehingga teori perusahaan yang klasik tidak bias lagi
dijadikan basis analisis perusahaan seperti itu.
Teori keagenan juga dijelaskan oleh Jansen dan Warner (1998) dalam
Rebecca (2012), yang menyatakan bahwa:
Pada teori perusahaan klasik, pemilik perusahaan yang berjiwa wiraswasta,
mengendalikan sendiri perusahaannya, mengambil keputusan demi
kelangsungan hidup perusahaan sehingga yang diharapkan adalah
maksimum profit sebagai syarat utama untuk bisa bertahan hidup dan
berkembang. Dalam konteks pemisahan kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan, selalu muncul masalah dimana kepentingan para pengelola
tidak selalu selaras dengan kepentingan pemilik modal. Disinilah peran
Agency teory yang mengidentifikasi potensi konflik kepentingan antara
pihak-pihak dalam perusahaan yang mempengaruhi prilaku perusahaan
dalam berbagai cara yang berbeda.
Eisenhardt (1989) dalam Rebecca (2012), menyatakan bahwa teori agency
menggunakan tiga asumsi sifat manusia:
1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest)
2. Manusia memiliki daya piker terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded realitionality).
3. Manusia selalu menghindari risiko (risk averse)
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai agen akan
bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal inilah
yang kemudian konflik dalam hubungan antara principal dengan agen (agency
conflict). Konflik ini timbul karna ada keinginan manajemen (agen) untuk
melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan
kepentingan pemegang saham (principal) untuk memperoleh return dan nilai
jangka panjang perusahaan.
Jansen dan Meckling (1976) dalam Indahningrum dan Handayani (2009),
menyatakan bahwa:
Agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham
perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk
mengejar kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasarkan maksimalisasi
nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi tersebut merupakan
konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan,
manajemen tidak menanggung resiko atas kesalahan dalam mengambil
keputusan, risiko tersebut sepenuhnya ditanggung pemegang saham
(principal). Oleh karena itu manajemen cenderung melakukan pengeluaran
yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya,
seperti peningkatan gaji dan status.
Masalah keagenan muncul saat agen tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan prinsipal. Pemegang saham tentu menginginkan manajer bekerja
dengan tujuan memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Manajer
perusahaan sebaliknya bisa saja bertindak tidak untuk memaksimumkan
kemakmuran pemegang saham, tetapi memaksimumkan kemakmuran mereka
sendiri (Atmaja, 2008).
Sugiarto (2009:55) menyatakan masalah keagenan dapat muncul dalam
berbagai tipe, yaitu:
Tipe pertama adalah konflik antara manajer dengan pemegang saham.tipe
kedua adalah konflik antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang
minoritas. Tipe ketiga adalah konflik antara pemegang saham atau manajer
dengan pemberi pinjaman.
Permasalahan keagenan tipe pertama umum terjadi di negara-negara maju,
dimana banyak ditemukan perusahaan-perusahaan besar yang dikelola
manajer professional dan pemiliknya adalah bersetatus investor dengan
kepemilikan relatif kecil. Principal adalah pemilik perusahaan (pemegang
saham) dan agennya adalah tim manajemen dalam konteks perusahaan. Tim
manajemen diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang terkait
dengan operasi dan strategi perusahaan dengan harapan keputusankeputusan yang diambil akan memaksimumkan nilai perusahaan. Harapan
agar tim manajemen selalu mengambil keputusan yang sejalan dengan
peningkatan nilai perusahaan seringkali tidak terwujud. Banyak keputusan
manajer justru lebih menguntungkan manajer dan mengesampingkan
kepentingan pemegang saham.
Permasalahan keagenan tipe kedua menyoroti konflik kepentingan antara
pemengang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas,
pemegang saham yang biasanya juga menjadi manajer di perusahaan
tersebut atau paling tidak menunjuk manajer pilihannya, dapat mengambil
keputusan yang hanya menguntungkan pemegang saham mayoritas.
Permasalahan keagenan tipe ketiga menyoroti konflik anatara pemegang
saham dengan pemberi pinjaman. Konflik tersebeut disebabkan perbedaan
risiko antara dua pihak (Choi, 1992).
De Jong (1999) dan Jensen & Smith (1985) dalam sugiarto (2009),
menjelaskan bahwa:
Pemegang saham dapat memberlakukan kebijakan yang memungkinkan
terjadinya transfer kesejahteraan dari pemberi pinjaman ke pemegang
saham. Pemberi pinjaman selalu berharap agar bisnis perusahaan berjalan
aman sehingga uang yang dipinjamkan dapat kembali, namun pemegang
saham dapat saja memilih bisnis beresiko tinggi dengan harapan
memperoleh return yang lebih tinggi. Proyek beresiko tinggi hanya akan
menguntungkan pemegang saham tetapi merugikan pemberi pinjaman.
Manajer perusahaan sebagai pengelola tentu akan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan
pemilik (pemegang saham). Atmaja (2008:13), memaparkan bahwa:
Untuk meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk
kepentingan pemegang saham, pemegang saham harus mengeluarkan biaya
disebut agency cost yang meliputi antara lain: pengeluaran untuk memonitor
kegiatan manajer, pengeluaran untuk membuat sesuatu struktur organisasi
yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan, serta
opportunity cost yang timbul akibat kondisi dimana manajer tidak dapat
segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang saham.
Menurut Godfrey et al, (2010) dalam Rebecca (20012), biaya agensi yang
muncul dari konflik kepentingan antara agen dengan principal berpotensi
menimbulkan jenis biaya berikut ini :
1. Biaya yang timbul karena dilakukannya kegiatan monitoring cost
kinerja dan perilaku agen oleh principal atau disebut dengan monitoring
cost. Contoh biaya ini adalah biaya yang dikelurakan untuk
menyelenggarakan sistem audit yang dapat membatasi perilaku
oportunistik manajemen.
2. Biaya yang timbul karena dilakukannya pembatasan-pembatasan bagi
kegiatan agen oleh principal atau disebut dengan bonding cost. Contoh
biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan manajer untuk menyediakan
laporan keuangan kepada pemegang saham.
3. Biaya yang timbul meskipun sudah dilakukan monitoring dan bonding
atau disebut residual loss. Biaya ini terjadi karena kenyataan bahwa
kadang kala tindakan agen berbeda dari tindakan yang
memaksimumkan kepentingan principal.
Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost yaitu pertama
dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen. Menurut Jansen dan
Meckling (1976) dalam purba (2011), menyatakan bahwa:
Penambahan kepemilikan manajerial memiliki keuntungan untuk mensejajarkan
kepentingan manajer dan pemilik saham.
Kedua dengan menggunakan kebijakan hutang. Easterbrook (1984) dalam
purba (2011), menyatakan bahwa:
Pemegang saham akan melakukan monitoring terhadap manajemen. Namun
bila biaya monitoring tersebut tinggi maka mereka akan menggunakan
pihak ketiga yaitu debtholders. Debtholders yang sudah menanamkan
dananya di perusahaan dengan sendirinya akan melakukan pengawasan
akan menggunakan dana tersebut.
Ketiga melalui peningkatan dividen payout ratio. Crutchley dan Hansen
(1989) dalam purba (2011), menyatakan bahwa:
Pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring sekaligus bonding bagi
manajemen.
Dan alternatif keempat, institusional investor sebagai pihak yang
memonitor agen. Moh’d et al (1998) dalam Wahyu S A (2011), menyatakan bahwa:
Distribusi saham Antara pemegang saham dari luar seperti institusional investor
dapat mengurangi agency cost.

No comments:

Post a Comment