Tuesday, April 27, 2021

Strategi Adaptasi Sosial Budaya John W. Bennett (skripsi dan tesis)

 

 John William Bennett sebenarnya adalah seorang antropolog ekologi. Bennett (1976; 247-248) menjelaskan bahwa asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik secara biologis atau genetik maupun secara sosial dan budaya. Sehingga proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Intervensi adaptasi harus mengakui bahwa bahkan di masyarakat yang paling fleksibel, mekanisme perubahan pasti akan dibingkai oleh konteks budaya yang mungkin menjadi jalan masuknya intervensi dan menawarkan kesempatan untuk perubahan (Ensor & Berger, 2009: 238). Adaptasi dalam masyarakat yang berbeda budaya adalah dimana pengalaman dari perbedaan budaya menghasilkan persepsi dan perilaku yang sesuai dengan budaya itu. Satu pandangan dunia yang diperluas untuk mencakup konstruksi yang relevan dari pandangan dunia budaya lainnya. Masyarakat pendatang dalam beradaptasi dapat terlibat rasa empati atau kemampuan untuk mengambil perspektif atau menggeser kerangka acuan vis- 16 à-vis budaya lain. Pergeseran dalam kehidupan bukan hanya terjadi dalam lingkup kognitif, melainkan juga perubahan dalam organisasi pengalaman hidup, yang tentu termasuk mempengaruhi dan perilaku. Proses adaptasi budaya melibatkan beberapa tingkat akomodasi untuk budaya baru dengan orang asing. Proses ini melibatkan beberapa modifikasi kebiasaan orang asing, kebiasaan, penggunaan bahasa, dan gaya hidup. Lewis dan Slade (1994; dalam Rahardjo, 2005: 54-55) menguraikan bahwa ada tiga aspek yang menjadi problematika dalam pertukaran antarbudaya, yakni adanya kendala bahasa, perbedaan nilai dan pola perilaku kultural yang dapat menimbulkan kesalahpahaman antarbudaya. Ketiganya dapat menjadi sumber kemacetan dalam melaksanakan komunikasi antarbudaya. Adaptasi tidak sama dengan asimilasi. Gagasan mendasar dari asimilasi adalah bahwa pendatang sebagai golongan minoritas harus menyerah dengan mengambil sudut pandangan terhadap nilai-nilai kehidupanmilik masyarakat tuan rumah atau budaya yang dominan. Konsep adaptasi menawarkan alternatif untuk asimilasi. Adaptasi tidak mensubstitusi satu perangkat kebudayaan lain, namun sebagai sarana yang melibatkan perluasan repertoar keyakinan dan perilaku masyarakat pendatang. Jadi dengan demikian, pendatang tidak perlu kehilangan identitas budaya utamanya untuk menjalankan kehidupan dan berkomunikasi secara efektif dalam konteks budaya yang berbeda. 17 Bennett (1969; dalam Saharuddin, 2007; 46-47) membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive strategies (strategistrategi adaptif) danadaptive processes(proses-proses adaptif).Adaptive behavior menunjuk pada cara-cara aktual masyarakat dalam menemukan atau merencanakan cara memperoleh sumberdaya untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah. Adaptive behavior merupakan suatu pilihan tindakan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikembangkan dan hasil yang akan dicapai. Adaptive strategies merupakan pola umum yang terbentuk melalui banyak priori penyesuaian pemikiran masyarakat secara terpisah. Masyarakat merespon permasalahan yang dihadapi dengan melakukan evaluasi terhadap alternatif yang mungkin dan konsekuensinya. Ada suatu upaya untuk berusaha menempatkan permasalahan tersebut dalam suatu desain strategi umumguna mengimbangi konflik kepentingan dari banyak pihak mempertanggungjawabkan tindakannya. Adaptive process adalah perubahan-perubahan yang ditunjukkan melalui proses yang panjang dengan cara menyesuaikan strategi yang dipilihnya. Adanya pengkategorian bentukbentuk adaptasi dalam sosial budaya semacam ini memudahkan kita untuk mempelajari permasalahan adaptasi. “the concept of behavioral adaptation provides such a framework: it is focused and it is neutral on the definition of environment. It refers to coping mechanism that humans display in obtaining their wants or adjusting they lives to the surrounding milieu, or the milieu to their lives and purpose” (Bennett, 1976; hlm. 246) 18 Sebagaimana yang dipaparkan Bennet di atas, konsep dari perilaku adaptasi mengajukan kerangka kerja yang berfokus pada aksi atau tindakan dan bersifat netral di atas definisi lingkungan. Hal itu sesuai dengan mekanisme koping (coping mechanism) yang manusia tampilkan dalam memperoleh apa yang diinginkan atau menyesuaikan kehidupan dengan lingkungan sekitarnya (dalam hal ini lingkungan pergaulannya). Masyarakat pendatang juga menyesuaikan pergaulan dengan gaya hidup dan tujuan-tujuan dalam kehidupan. Menurut Bennett (1976; hlm. 252-253) penjelasan perspektif ekologi membutuhkan pengidentifikasian faktor-faktor lingkungan yang paling penting dalam menghambat dan mengembangkan perilaku partisipan dan mengasumsikan bahwa organisasi sosial budaya adalah hasil dari prosesproses adaptif dalam rangka mengantisipasi kondisi ke depan. Bennett (1976; 252) sebagaimana yang dikutipnya dari Hallowell (1960) menyatakan bahwa basis ekologi manusia adalah kapasitas manusia untuk melakukanself objectification, belajar dan mengantisipasi. Manusia memiliki kemampuan dalam merasa dan menerima informasi untuk kemudian mengkonseptualkan diri sendiri agar dapat bertindak terhadap lingkungan sekitar. Berdasarkan konsep adaptasi Bennett menyatakan bahwa adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada proses penyesuaian terhadap keadaan yang berubah. Proses adaptasi adalah perubahan-perubahan yang diperkenalkan dalam waktu 19 yang relatif panjang melalui rangkaian pengulangan tindakan. Sebagaimana yang disebutkan Bennett; “the process is usually slow enough so that it cannot be observed in the lifetime of a single scientific observer; hence methods for its inferred existence and rate must be developed” (Bennett, 1976; hlm. 248) Adaptasi dalam konsep multikultural mengarah pada pengertian penyesuaian satu dengan yang lain. Penyesuaian yang dimaksud ialah ketika masyarakat dari kedua kelompok yang dominan dan non-dominan memiliki kecenderungan untuk melakukan penyesuaian perilaku satu sama lain. Kelompok dominan memiliki kekuatan untuk menuntut bahwa hanya kelompok non-dominan yang seharusnya menyesuaikan diri pada kelompok dominan. Kelompok budaya dominan dengan cara yang lebih ethnorelative justru ingin tahu tentang perbedaan budaya dan benar-benar ingin mengalami budaya lain. Kedua kelompok masyarakat tidak hanya berdiam diri. Keduanya mencari tahu perspektif budaya lain dan berusaha untuk belajar bagaimana cara untuk bertindak pada batas tertentu sesuai pada konteks budaya satu sama lain secara berimbang. Masyarakat yang bertindak demikian memiliki perspektif yang adil untuk saling beradaptasi satu sama lain. Haviland (1999; 356) menambahkan bahwa meskipun semua aspek kebudayaan berfungsi sebagai kesatuan integral, namun tidak harus berfungsi harmoni seratus persen dalam setiap aspeknya. 20 Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam teori adaptasi yang diartikan sebagai suatu perilaku yang secara sadar dan aktif dapat memilih dan memutuskan apa yang ingin dilaksanakan sebagai usaha penyesuaian. Proses perilaku semacam ini mungkin terkendali oleh berbagai sifat sistem sosial, namun tidak berlaku secara mutlak. Bennett (1976; dalam Sukadana, 1983: 18) memberi perbedaan antara adaptasi alamiah dengan adaptasi aktif yang dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang beradab. Adaptasi menjadi hal penting dalam menjalankan komunikasi antarbudaya bagi masyarakat pendatang internasional. Berbagai penjelasan mengenai teori adaptasi yang dikemukakan oleh Bennett akan digunakan dalam melihat berbagai tantangan sosial budaya yang dihadapi anak-anak Indonesia di Bangkok dan strategi adaptasi sosial budaya yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari

No comments:

Post a Comment