Friday, February 5, 2021

Definisi Kepemilikan Manajerial (skripsi dan tesis)


Jensen and Meckling (1976); Morck, dkk (1988) dan Cheng dan Warfield (2005) dalam Rahmawati (2012:103) menyatakan kepemilikan manajerial adalah sebagai berikut: “Kepemilikan manajerial adalah sebuah mekanisme penting untuk meluruskan insentif manajer dengan para pemegang saham”. Wahidahwati (2002:5) dalam Rustendi dan Jimmi (2008) menyatakan kepemilikan manajerial sebagai berikut: “Kepemilikan manajerial merupakan pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Direktur dan Komisaris). Kepemilikan manajerial diukur dari jumlah prosentase saham yang dimiliki manajer”. Kepemilikan manajerial menurut Machmud & Djakman (2008) dalam Tita Djuitaningsih (2012) adalah sebagai berikut: “Kepemilikan saham manajerial adalah tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan”. Berdasarkan ketiga definisi di atas menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak manajemen dalam perusahaan dan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Salah satu cara untuk meningkatkan kepemilikan adalah melalui ESOP, yakni program kompensasi yang berdasarkan saham. Ketika seseorang manajer diberi opsi, opsi tersebut biasanya tidak dapat digunakan sampai tiga atau empat tahun kemudian. Ketika opsi menjadi dapat digunakan (vested), manajer dapat memilih untuk menaham exercisable options atau menggunakan opsi dan daripada menahan saham (untuk membiayai penggunaan opsi, manajer pada umumnya menjual saham yang diterima dari penggunaan opsi). Manajer juga diberikan restricted stock, seperti option grants, tidak dapat diperdagangkan sampai setelah tiga atau empat tahun (Rahmawati, 2012:103). Jensen dan Mecking (1976) dalam Herawaty (2008) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Penelitian mereka menemukan bahwa kepentingan manajer dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya. Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif 19 terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny 1986 dalam Herawaty 2008)

Metode Pengukuran Ukuran Dewan Komisaris (skripsi dan tesis)

 

 Menurut Sembiring (2005) pengukuran ukuran dewan komisaris menggunakan jumlah anggota dewan komisaris. Semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitor yang dilakukan akan semakin efektif

Definisi Ukuran Dewan Komisaris (skripsi dan tesis)


Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 ayat 6 dalam Agoes dan Ardana (2014:108) dewan komisaris adalah sebagai berikut: “Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi”. KNKG (2006) mendefinisikan dewan komisaris adalah sebagai berikut: “Dewan komisaris adalah bagian dari organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG, Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional”. Menurut Sembiring (2005) ukuran dewan komisaris adalah sebagai berikut: “Ukuran dewan komisaris adalah jumlah seluruh anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan”. Berdasarkan ketiga definisi dewan komisaris di atas menunjukkan bahwa dewan komisaris adalah bagian organ perseroan (seluruh anggota dewan  komisaris) yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance

Wednesday, February 3, 2021

Pengukuran Intellectual Capital (skripsi dan tesis)

Menurut Tan, et al. (2007), terdapat dua metode dalam pengukuran intellectual capital yaitu, kategori non moneter dan kategori moneter. Berikut merupakan pengukuran dengan kategori non moneter: a. The Balance Scorecard   b. Brooking’s Technology Broker Method c. The Skandia IC Report Method d. The IC-Index e. Intangible Asset Monitor Approach f. The Heuristic Frame g. Vital Sign Scorecard h. The Erns & Young Model Sedangkan kategori moneter adalah sebagai berikut: a. The EVA and MVA model b. The Market-to-Book Value model c. Tobin’s Q Method d. Pulic’s VAICTM e. Calculated Intangible Value f. The Knowladge Capital Earnings model Kategori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kategori moneter yang diproksikan dengan Pulic’s VAICTM

Definisi Intellectual Capital (skripsi dan tesis)


Orientasi perusahaan terdahulu hanya pada aset berwujud fisik saja (tangible assets). Perkembangan ekonomi baru yang diiringi oleh perkembangan teknologi dan informasi saat ini membuat perusahaan untuk tidak mengesampingkan aset yang tidak memiliki wujud fisik (intangible assets). Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menilai dan mengukur aset tidak berwujud yaitu intellectual capital. Intellectual capital pertama kali dikenalkan oleh seorang ekonom bernama John Kenneth Galbraith pada tahun 1969, yang mengacu pada perbedaan nilai pasar organisasi dan nilai buku (Hsu dan Wenchang, 2009). Istilah intellectual capital digunakan untuk merujuk pada intangibel assets atau faktor bisnis tidak berwujud dari perusahaan, yang memiliki dampak signifikan terhadap kinerja dan keberhasilan bisnis secara keseluruhan (Pulic, et al., 2009). Kianto, et al., (2012) mengartikan intellectual capital sebagai jumlah dari semua sumber daya tidak berwujud dan pengetahuan yang terkait pada organisasi dan digunakan dalam proses produktif dalam upaya untuk menciptakan value added. Sedangkan menurut Alipour (2012) intellectual capital merupakan kelompok aset pengetahuan yang dimiliki atau dikendalikan oleh suatu organisasi dalam upaya penciptaan nilai yang paling signifikan untuk para pemangku kepentingan utama perusahaan sesuai dengan target yang telah ditetapkan

Resource Dependence Theory (skripsi dan tesis)


Resource dependence theory (teori ketergantungan terhadap sumber daya) menyatakan bahwa dewan perusahaan merupakan penghubung antara perusahaan dengan lingkungan dan sumber daya eksternal dimana perusahaan bergantung. Kebutuhan akan sumber daya, termasuk sumber daya finansial dan fisik serta informasi diperoleh dari lingkungan yang membuat organisasi tersebut bergantung pada sumber daya eksternal. Keberagaman dewan dengan diversitas yang tinggi akan mengurangi ketergantungan perusahaan pada lingkungan eksternal perusahaan. Hal ini disebabkan karena keahlian, pengalaman, dan hubungan yang dimiliki oleh anggota dewan akan memfasilitasi akses terhadap sumber daya yang diperlukan oleh perusahaan (Dewi dan Ayu, 2016). Preffer dan Salancik (1978) dalam Yogiswari dan I Dewa (2018) juga menjelaskan dalam teori ini mengenai peran jajaran dewan. Terdapat dua perspektif dalam teori ini, perspektif pertama yaitu environmental linkage perspective yang menjelaskan bahwa anggota dewan yang memiliki latar belakang yang berbeda secara individu akan menyumbang berbagai sumber daya untuk perusahaan. Perspektif kedua menjelaskan bahwa internal control dan tindakan administrasi yang dilakukan oleh dewan dapat mempengaruhi efisiensi dari perusahaan. Teori tersebut menyatakan dengan adanya struktur anggota dewan yang baik akan mempengaruhi nilai perusahaan (Sisiliano, 1996).

Tuesday, February 2, 2021

Resource Based View of the Firm Theory (skripsi dan tesis)


Resource Based View of the Firm Theory (RBV) atau biasa dikenal dengan teori berbasis sumber daya merupakan teori yang telah mengemuka lebih dari 20 tahun. Teori ini bertujuan untuk menjelaskan sumber-sumber internal perusahaan yang berkelanjutan dan mempunyai keunggulan kompetitif (Kraaijenbrink, et al., 2009). Pada tahun 1984 Wernerfelt dalam artikelnya yang berjudul “A Resource-Based View of the Firm” menjelaskan bahwa menurut pandangannya keunggulan dalam bersaing dan kinerja perusahaan yang baik adalah bagaimana cara perusahaan memiliki, menguasai, dan memanfaatkan aset-aset yang bersifat strategis baik aset berwujud maupun tidak berwujud. Teori ini dikembangkan untuk menganalisis keunggulan kompetitif di suatu perusahaan dalam bidang pengetahuan yang mengandalkan aset-aset tidak berwujud (intangible asset) (Aida dan Evi, 2015). Keunggulan kompetitif merupakan suatu hal yang melekat pada perusahaan dan sulit untuk ditiru oleh pesaingnya. Sumber daya yang sulit ditiru oleh pesaing diantaranya adalah merek perusahaan, reputasi perusahaan, dan keahlian yang dimiliki karyawannya. Dengan kata lain keberhasilan perusahaan sangat ditentukan oleh sumber daya yang dimilikinya dan kapabilitas perusahaan yang mampu merubah sumber dayanya menjadi sebuah value bagi perusahaannya. Menurut Belkaoui resource based theory ialah sumber daya yang dimiliki perusahaan sebagai pengendali utama di balik kinerja dan daya saing perusahaan. Sumber daya yang dimaksud yaitu tangible dan intangible assets, ini secara efektif dan efisien digunakan untuk menerapkan strategi khusus perusahaan yang kompetitif dan menguntungkan. Teori ini menunjukkan bahwa pengukuran tradisional yang termasuk dalam laporan keuangan tidak sepenuhnya dapat mencerminkan intangible resources perusahaan (Pohan, et al., 2018). Berdasarkan Resource Based View of the Firm Theory, kultur organisasi dan modal intelektual memenuhi kriteria-kriteria sebagai sumber daya perusahaan yang sulit ditiru dan mampu meningkatkan keunggulan kompetitif pada perusahaan sehingga menambah value bagi perusahaan. Dari penjelasan tersebut, kultur organisasi dan modal intelektual merupakan sumber daya yang dimiliki perusahaan dan mampu memberikan keunggulan kompetitif serta dapat dijadikan sebagai tolak ukur perusahaan yang mampu memberikan nilai tambah bagi perusahaan menjadi semakin baik kedepannya (Pohan, et al., 2018). Berdasarkan pendekatan tersebut disimpulkan bahwa sumber daya yang dimiliki perusahaan memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan (Sirojudin dan Ietje, 2012)