Monday, February 15, 2021

Definisi Keadilan Organisasional (skripsi dan tesis)


 Cropanzano et al. (2007) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai penilaian personal mengenaistandar etika dan moral dari perilaku manajerial. Gibson et al. (2012) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai suatu tingkat di mana seorang individu merasa diperlakukan oleh organisasi di tempat dia bekerja. Definisi lain mengatakan bahwa keadilan organisasional adalah persepsi adil dari seseorang terhadap keputusan yang diambil oleh atas-annya (Colquitt et al., 2001). Colquitt et al. (2001) mengemukakan bahwa keadilan organisasional mempunyai empat tipe, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional. Tipe keadilan organisasional menurut Moorman dan Colquitt masing-masing mempunyai keunggulannya masing-masing dan sekarang lebih sering digunakan ketimbang teori keadilan organisasional yang lain (Cropanzano, 2009). Keadilan distributif ditandai sebagai keadilan terkait dengan distribusi sumber daya dan hasil keputusan (Usmani, 2013). Robbins & Judge (2008:47) mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan jumlah dan penghargaan yang dirasakan diantara individu-individu. Noe et al. (2011) menyebutnya sebagai keadilan imbalan yang didefinisikan sebagai penilaian yang dibuat orang terkait imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima orang lain yang menjadi acuannya. 

 Keadilan prosedural menurut Robbins & Judge (2008:48), didefinisikan sebagai keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi imbalan. Noe et al. (2011) mendefinisikannya sebagai konsep keadilan yang berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan imbalan yang diterima. Terdapat enam prinsip yang menentukan apakah orang merasa prosedur yang dijalankan sudah cukup adil, yaitu konsistensi, peniadaan bias, keakuratan informasi, kemungkinan koreksi, keterwakilan, dan kesantunan. Keadilan distributif dan keadilan prosedural secara konsep berbeda. Colquitt et al. (2001) melakukan meta-analisis dan menunjukkan bahwa keadilan distributif dan prosedural dapat dibedakan pengukurannya. Ambrose & Arnaud (2005) menyatakan bahwa pengukuran terhadap keadilan distributif secara relatif konsisten pada seluruh penelitian, sedangkan meski pengukuran keadilan prosedural berbeda-beda dalam operasionalisasinya, riset menunjukkan bahwa konstruk tersebut dapat diukur secara memadai. Dia juga menyatakan bahwa dalil yang diterima secara luas adalah bahwa keadilan prosedural berpengaruh kuat terhadap perilaku global sedangkan keadilan distributif terhadap perilaku yang spesifik. Meta analisis yang dilakukan Colquitt et al. (2001) memperkuat dalil ini dan menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh kuat terhadap perilaku spesifik, misalnya kepuasan imbalan dan kepuasan kerja, sedangkan keadilan prosedural berpengaruh kuat terhadap perilaku global, misalnya komitmen organisasional, komitmen kelompok, dan intensi keluar. Supaya kedua dimensi keadilan tersebut dapat dianggap sebagai konstruk yang berbeda, keduanya perlu memiliki sekumpulan anteseden yang unik. Ambrose & Arnaud (2005) menyatakan bahwa outcomes organisasional yang 13 mempengaruhi persepsi keadilan distributif, misalnya penghasilan, benefits, keamanan, kompleksitas pekerjaan, supervisi, imbalan intrinsik, senioritas, dan status pekerjaan. Sedangkan, kesempatan untuk memperoleh informasi selama proses pembuatan keputusan meningkatkan persepsi keadilan prosedural. Keadilan interaksional menurut Robbins & Judge (2008:49), didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat, perhatian, dan rasa hormat. Beberapa penulis menganggap keadilan interaksional sebagai sub-komponen keadilan prosedural (Greenberg, 1993). Namun, dua keadilan ini merupakan konsep yang berbeda. Bies (2005) dalam Kristanto (2013) menyatakan bahwa keadilan interaksional dihubungkan dengan evaluasi supervisor langsung sedangkan keadilan prosedural dihubungkan dengan evaluasi sistem organisasional, sehingga keduanya merupakan konstruk yang independen. Menurut Greenberg (1987) keadilan informasional adalah bagian dari keadilan interaksional. Keadilan informasional didefinisikan sebagai persepsi individu tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan (Robbins dan Judge, 2008:50). Keadilan informasional mengacu pada penjelasan dan status sosial, yang difokuskan atas pemberian informasi kepada orang-orang tentang mengapa suatu prosedur digunakan dengan cara yang jelas atau mengapa outcome didistribusikan dengan suatu cara tertentu (Colquitt et al.2001). Colquitt et al. (2001) menyatakan bahwa keadilan informasional berbeda dengan keadilan interaksional. Pernyataan tersebut diperkuat dengan dalil bahwa keadilan informasional menekankan kepada akurasi dan kualitas penjelasan yang individu terima (Lewis, 2013). Oleh karena itu keadilan informasional berkaitan  dengan ketersediaan informasi dari organisasi sedangkan keadilan interaksional menyangkut bagaimana perlakuan atasan kepada bawahan.

Indikator Turnover Intention (skripsi dan tesis)

 


Penelitian yang dikembangkan oleh Chen et al. (2000) mendapatkan
indikator dari adanya turnover intention meliputi.
1) Keinginan untuk mencari pekerjaan lain, menunjukan keinginan untuk
mencari pekerjaan dalam satu tahun mendatang.
2) Keinginan untuk tetap bekerja, menunjukan keinginan untuk tetap bekerja
sampai pensiun
3) Pikiran untuk meninggalkan organisasi, menunjukan seberapa sering
pikiran untuk meninggalkan perusahaan

Pengertian Turnover Intention (skripsi dan tesis)

 

Perilaku dan intensi perilaku seperti halnya ketidakhadiran, keluar, dan penolakan sering dikelompokkan menjadi penarikan diri. Tett dan Meyer (1993) menyatakan bahwa intensi keluar adalah kesadaran dan keinginan yang disengaja untuk meninggalkan organisasi. Hal itu dapat digambarkan sebagai tanggapan yang bersifat psikologis terhadap kondisi khusus organisasi yang bergerak sepanjang kontinum dari sekedar membayangkan untuk keluar dari organisasi sampai secara fisik benar-benar meninggalkan organisasi. Hom dan Griffeth (1991) mendefinisikan intensi keluar sebagai kemungkinan yang diperkirakan sendiri oleh karyawan bahwa dia memiliki kesadaran dan sengaja ingin untuk secara permanen meninggalkan organisasi suatu saat. Jaros (1997) menyatakan bahwa intensi keluar dipandang sebagai 15 komitmen afektif karyawan kepada organisasi. Karyawan yang tidak berkomitmen dan tidak terikat dengan pekerjaan mereka lebih suka untuk meninggalkan organisasi. Hal ini merupakan faktor penting untuk menentukan kualitas kontribusi individu, dan terutama produktivitasnya. Hom dan Griffeth (1984) menguji validitas teori Mobley dan membuktikan bahwa ketidakpuasan membangkitan pikiran individu untuk meninggalkan organisasi. Hom dan Griffeth (1991) mengulangi lagi pembuktian teori tersebut dengan menggunakan data cross-sectional dan longitudinal dan menemukan bahwa ketidakpuasan kerja dapat menstimulasi kecenderungan perilaku umum untuk menarik diri, yang selanjutnya dapat menggerakkan intensi penarikan diri yang lebih spesifik. Coomber dan Bariball (2007) melakukan penelitian di Inggris yang mengalami kekurangan tenaga perawat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak komponen-komponen kepuasan kerja terhadap intensi keluar perawat di rumah sakit dan mengidentifikasi faktor yang paling berpengaruh

Indikator kepuasan kerja (skripsi dan tesis)


Hasibuan (2009:202) menyatakan bahwa indikator kepuasan kerja dapat dilihat sebagai berikut.  1) Isi pekerjaan, merupakan penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan. 2) Supervisi, merupakan pengarahan dan pengendalian kepada tingkat karyawan yang ada dibawahnya dalam suatu organisasi. 3) Organisasi, merupakan suatu alat atau wadah kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. 4) Kesempatan untuk maju, merupakan keadaan dimana karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan karir

Pengetian Kepuasan Kerja (skripsi dan tesis)

 

McShane dan Von Glinow (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya. Menurut Martoyo (2007:156) kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara balas jasa kerja karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Menurut Ardana et al. (2009:23) kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada (factual), semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang sesungguhnya ada (factual) seseorang cenderung merasa semakin puas. Bakhshi et al. (2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah salah satu variabel yang paling banyak digunakan dalam riset keadilan organisasional

Pengukuran Keadilan Interaksional (skripsi dan tesis)


Menurut Cropanzano et al. (2007) menyebutkan bahwa keadilan interaksional terdiri dari 2 indikator yaitu sebagai berikut:   1. Keadilan interpersonal Memperlakukan seorang karyawan dengan martabat, perhatian, dan rasa hormat. 2. Keadilan informasional Berbagi informasi yang relevan dengan karyawan

Pengertian Keadilan Interaksional (skripsi dan tesis)


 Keadilan interaksional didefinisikan sebagai kualitas interpersonal yang orang terima ketika prosedur yang diterapkan dan hasil didistribusikan (Bies dan Moag, 1986). Menurut Robbins dan Judge (2008), keadilan interaksional didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat, perhatian, dan rasa hormat. Keadilan interaksional berfokus pada individu terhadap perlakuan interpersonal yang diterima dari pemimpin, dua elemen penting dari persepsi keadilan interaksional yaitu apakah alasan yang mendasari keputusan alokasi sumber daya jelas dan jujur serta dapat memberikan penjelasan kepada individu yang terkena imbasnya (Kadaruddin dkk., 2012). Perlakuan yang sama di tempat kerja dianggap sebagai salah satu hak yang paling mendasar dari karyawan (Svensson dan Genugten, 2013)