Monday, May 24, 2021

Proses Resiliensi (skripsi dan tesis)

sebuah sikap mengalah atau menyerah terhadap tekanan hidup yang terjadi pada diri individu. Tahapan ini dapat terjadi ketika individu mengalami tantangan  hidup yang terlalu besar dan sulit. Houlmes dan Rahe dalam Gunawan (2012) menyebutkan bahwa pada orangtua tunggal pasca kematian pasangan hidup memiliki tingkatan stres paling tinggi pada skala stres. Semakin tinggi tingkat skala stres menunjukkan bahwa sejauh mana permasalahan hidup yang dihadapi seorang individu. Houlmes dan Rahe dalam teknik rating scale tentang tingkatan stres menyatakan bahwa semakin mendekati angka 500 maka stres yang dialami individu sangatlah berat. Tidak jarang karena saking cepatnya permasalahan yang terjadi menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidaksiapan untuk beradaptasi dengan keadaan dan menyebabkan sakit psikologis (Houlmes dan Rahe, dalam Gunawan, 2012). Tahap kedua adalah Survival, yaitu individu mampu bertahan dari kondisi yang menekan. Akan tetapi, beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, seperti mengalami perasaan-perasaan negatif, dan perilaku-perilaku negatif. Pada kehidupan awal memasuki orangtua tunggal fase ini adalah fase dimana individu mulai menyalahkan keadaan. Tidak jarang menyalahkan oranglain di luar diri Individu. Individu dituntut memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik untuk tetap mampu penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002). Tahap ketiga adalah tahap recovery, yaitu tahap dimana individu berada pada kondisi semula, kondisi sebelum mengalami tekanan hidup. Pada tahapan ini, individu mampu bangkit dan beradaptasi setelah terjadinya kondisi menekan. Pada fase ini individu mulai belajar mengenai cara mengatur emosi dan dorongan-dorongan dari luar agar tidak menganggu individu. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa sikap optimis adalah salah satu sikap yang mendorong individu lebih cepat untuk mencapai tahap recovery kembali seperti semula. Tahap terakhir adalah Thriving, yaitu individu tidak hanya dapat kembali bangkit ke kondisi semula, namun dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik. Pada tahapan ini, individu dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum terjadinya kondisi traumatik. Nasution (2011) menyebutkan hal ini dengan istilah gaya pegas, setiap individu yang menghadapi trauma kehidupan yang dihadapinya akan memiliki daya pegas yang tinggi untuk menjalani tantangan hidup serupa di depannya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Furqon (2013) dijelaskan bahwa pada kedua janda mengalami empat proses resiliensi yang sama dengan proses resiliensi yang diungkapkan oleh O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) yaitu: 1. Succumbing yaitu kedua responden mengalami rasa tepuruk pasca meninggal suami, bahkan salah satu responden mengalami kesedihan dan depresi yang lama, 2. Survival yaitu kedua responden mampu bertahan dan mulai menerima kondisi ditinggal suami walaupun masih sulit mengembalikan diri ke kondisi emosi positif, 3. Recovery yaitu kedua responden seiring waktu mulai kembali pada fungsi psikologis dan emosi yang positif, 4. Thriving yaitu kedua responden dapat kembali beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan belajar dari pengalaman sebelumnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan, dapat dirangkum bahwa terdapat empat proses yang dilalui oleh individu untuk dapat beresiliensi, yaitu menyerah terhadap tekanan hidup, kondisi bertahan meskipun beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, kembali ke kondisi semula, dan berkembang pesat terkait dengan beberapa fungsi psikologis jauh lebih baik.

Aspek-Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek resiliensi pada individu, yaitu : 1. Pengendalian Emosi (Emotion Regulation) Pengendalian emosi adalah kemampuan seseorang untuk tetap berada pada keadaan tenang dan terkendali meskipun pada kondisi yang menekan. Kondisi yang menekan memiliki hubungan yang erat dengan emosi negatif. Individu yang kurang mampu mengendalikan emosi negatif dengan baik, maka akan cenderung tidak mampu dalam membina persahabatan dan mengalami kesulitan dalam bekerja (Reivich dan Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan ada dua buah keterampilan untuk memudahkan individu mampu mengatur emosi yaitu tenang dan fokus. Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu dan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Hal ini bukan berarti emosi harus selalu dikontrol dan tidak dapat diekspresikan, Reivich dan Shatte mengungkapkan mengekspresikan emosi baik negatif maupun positif adalah hal yang harus dilakukan. Mengekspresikan emosi secara tepat dan terkontrol merupakan ciri dari kemampuan resiliensi (Reivich dan Shatte,2002). Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa kemampuan mengendalikan emosi negatif merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki individu. Hal ini disebabkan jika emosi negatif dan destruktif semakin meningkat dan tidak tersalurkan dengan bijak maka akan berdampak pada munculnya stres dan penyakit-penyakit psikosomatis pada individu. Pada individu yang hidup sebagai orangtua tunggal, fase awal memasuki hidup sebagai orangtua tunggal adalah fase yang paling sulit untuk dihadapi (Heyman, 2010). Marah adalah emosi destruktif yang sering kali muncul ketika individu tidak dapat menerima keadaan hidup yang terjadi. Kemarahan dapat hadir akibat ketiadaaan pasangan hidup dan ketiadaan dukungan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi masalah (Heyman, 2010). Ketika individu tidak mampu untuk mengontrol dan menyalurkan emosi negatif dalam diri dengan baik, maka dapat berdampak pada emosi yang meledak-ledak dan sulit untuk di kontrol (Gunawan, 2012). Emosi yang tidak terkontrol sering kali membuat hubungan individu dengan lingkungan menjadi kurang harmonis (Heyman, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan emosi yang baik adalah salah satu aspek penting untuk individu mencapai kemampuan resiliensi. 2. Pengendalian Dorongan (Impuls Control) Pengaturan emosi dan pengendalian dorongan memiliki hubungan yang erat, ketika individu memiliki faktor pengendalian dorongan yang tinggi maka individu akan lebih mudah dalam pengaturan emosi. Kemampuan individu dalam mengatur dorongan penting untuk menjaga agar setiap prilaku yang dilakukan oleh individu masih dalam kontrol individu sendiri dan tidak lepas kendali (Reivich dan Shatte, 2002). Pengendalian dorongan meliputi kemampuan untuk mengendalikan keinginan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki pengendalian dorongan yang rendah maka akan lebih cepat untuk mengalami perubahan-perubahan emosi yang kemudian mengendalikan pikiran dan perilaku individu (Reivich dan Shatte, 2002). Gunawan (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan individu stres dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor stres dan faktor nonstres. Faktor stres adalah faktor yang muncul dari luar individu dan memberikan tekanan, seperti masalah hidup saat ini yang belum terselesaikan dan masalah dari masa lalu yang belum terselesaikan. Faktor nonstres adalah dorongan stres yang muncul dari konflik di dalam diri individu sendiri seperti motivasi, memori sakit, konflik di dalam diri, imprint, alter, kebiasaan menghukum diri sendiri dan ego stage (Gunawan, 2012). Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa pengendalian dorongan bermanfaat untuk memberikan kesempatan individu untuk berpikir mengenai respon yang tepat tentang masalah yang dihadapi. Kemampuan untuk menunda dan berespon yang tepat yang tepat adalah salah satu ciri-ciri individu yang mampu mengendalikan dorongan. Ketidakmampuan individu untuk menyalurkan dorongan-dorongan penyebab stres dengan bijak dapat berdampak pada timbulnya   emosi-emosi destruktif yang terpendam, emosi yang tidak terkontrol atau bahkan sakit-sakit psikosomatis (Gunawan, 2012). Gunawan (2012) mengungkapkan juga bahwa sumber stres yang paling sering dijumpai adalah pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan dan masalah saat ini yang belum terselesaikan. Bagi individu yang menjadi orangtua tunggal dengan masalah perceraian dan kematian, dua sumber stres tersebut adalah sumber stres yang paling tinggi memiliki dampak bagi individu. Kemampuan untuk mengatur dorongan stres yang masuk serta penyaluran tekanan mental merupakan hal yang wajib untuk individu atur dengan baik agar sistem tubuh menjadi lebih seimbang (Gunawan, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan dorongan adalah salah satu aspek penting untuk individu yang menjadi orangtua tunggal mencapai kemampuan resiliensi. 3. Optimis (Optimist) Individu yang mempunyai kemampuan resiliensi adalah individu yang optimis. Optimis adalah kepercayaan pada diri bahwa segala sesuatu akan dapat berubah menjadi lebih baik, mempunyai harapan akan masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol kehidupan seperti apa yang individu inginkan (Reivich dan Shatte, 2002). Dalam resiliensi sikap optimis yang dimiliki adalah sikap optimis yang realistis, sehingga setiap sikap optimis dalam menghadapi keadaan selaras dengan usaha untuk merealisasikan (Reivich dan Shatte, 2002). Optimis sangat berhubungan sekali dengan self efficacy, semakin tinggi self efficacy seseorang maka sikap optimis akan semakin tinggi (Reivich dan Shatte, 2002). Seligman (1991) mendefinisikan sifat optimis sebagai suatu sikap yang mengharapkan hasil yang positif dalam menghadapi masalah, dan berharap untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif. Seligman (1991) menjelaskan bahwa sikap optimis yang tinggi berasal dari dalam diri individu dan dukungan dari lingkungan yang membuat individu merasa dihargai. Chalkoun (2010) menyatakan hidup sebagai orangtua tunggal memiliki banyak gambaran negatif baik dari dalam ataupun dari lingkungan. Individu yang mampu untuk mengadopsi sikap positif dan optimis dalam kehidupan sehari-hari akan memiliki dampak hidup yang lebih bertenaga dan memiliki resiliensi yang tinggi (Chalkoun, 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa sikap optimis adalah aspek penting bagi orangtua tunggal dalam beresiliensi. 4. Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis) Analisis penyebab masalah adalah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari sebuah peristiwa yang dialami oleh individu. Individu dapat menilai penyebab dari suatu permasalahan dan tidak secara langsung menyalahkan orang lain sebagai sumber masalah. Hal ini penting untuk menjaga diri individu tidak mengambil tindakan yang salah dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). Seligman (1991) menyatakan bahwa pola pendekatan dalam analisis penyebab masalah yang baik adalah ketika individu tidak berpikir bahwa setiap masalah selalu tidak dapat berubah dan hal tersebut mempengaruhi semua aspek hidup individu dengan buruk. Fleksibilitas dalam berpikir adalah ciri utama dari individu yang mampu mengembangkan kemampuan analisis masalah dengan baik (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik maka akan mampu untuk fokus terhadap penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002). Morisette (2014) mengungkapkan bahwa kemampuan untuk berpikir fleksibel adalah salah satu kemampuan yang diperlukan oleh orangtua tunggal. Konflik-konflik yang hadir baik antara orangtua dan antara orangtua dengan anak menyebabkan kemampuan berpikir fleksibel penting agar individu dapat beradaptasi dengan kreatif dan percaya diri untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Morisette, 2014). 5. Empati (Empathy) Empati merupakan sebuah kemampuan individu untuk turut merasa atau mengidentifikasi diri dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Ketika individu mampu mengembangkan kemampuan empati, maka individu akan menjadi lebih mudah untuk keluar dari perasaan dan mengkondisikan diri dengan keadaan terutama yang berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang individu untuk menjadi empati terhadap orang lain menimbulkan hubungan sosial yang lebih positif. Individu yang kurang mampu mengembangkan kemampuan empati maka cenderung tidak peka terhadap perasaan orang lain dan rentan menimbulkan konflik (Reivich dan Shatte, 2002). Kemampuan untuk empati juga diperlukan pada individu yang hidup sebagai orangtua tunggal. Pickhardt (2006) mengungkapkan sikap empati pada orangtua tunggal bermanfaat agar individu mampu merasakan bahwa ada orang lain yang juga memiliki masalah sebagai orangtua tunggal. Perasaan kesamaan untuk orangtua tunggal adalah hal penting untuk tidak terjebak pada masalah yang sama berulang-ulang (Pickhardt, 2006). Individu yang mampu mengembangkan kemampuan untuk empati dengan baik maka tidak akan merasa sendiri dan mampu untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain yang memiliki emosi yang berbedabeda (Reivich dan Shatte, 2002).  6. Efikasi Diri (Self-Efficacy) Efikasi diri menggambarkan sebuah keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah dan dapat meraih kesuksesan. Individu yang memiliki keyakinan untuk dapat memecahkan masalah akan muncul seperti seorang pemimpin yang akan mampu mengarahkan diri dan tidak tergantung dengan pendapat orang lain. Individu dengan efikasi diri tinggi cenderung mencoba-coba cara yang baru untuk mengatasi suatu permasalahan dan selalu percaya bahwa masalah yang dihadapi mampu untuk dilewati (Reivich dan Shatte,2002). Priastuti (2011) mengungkapkan bahwa efikasi diri pada orangtua tunggal dapat dilihat pada kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut dalam menjalankan peran sebagai orangtua tunggal. Individu yang memiliki efikasi diri rendah maka akan cenderung mudah menyerah ketika mengalami kesulitan sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan tetap teguh menghadapi masalah apabila dihadapkan pada tugas sebagai orangtua tunggal yang sulit. Hal tersebut menunjukkan bahwa Individu yang menjadi orangtua tunggal dengan efikasi diri tinggi maka akan menunjukkan sikap akan terus berusaha keras mewujudkan harapan dan resilien dengan keadaan yang dialami (Priastuti, 2011). 7. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan (Reaching out) Kemampuan meraih yang diinginkan merupakan kemampuan seseorang untuk mencapai sesuatu kondisi yang diinginkan. Individu yang mampu untuk memperbaiki dan mencapai keinginan yang dituju, maka akan memiliki aspek yang lebih positif. Individu yang gagal untuk mencapai keinginan adalah individu yang merasa takut gagal untuk mencoba sebuah keinginan sehingga resolusi keinginan tidak terealisasikan. Individu yang berhasil dengan keinginan adalah individu yang   tidak takut gagal dan selalu bisa mengambil aspek positif dan pembelajaran dari setiap kegagalan dan keinginan yang tercapai (Reivich dan Shatte, 2002). Indivara (2009) mengungkapkan bahwa ketika individu hidup sebagai orangtua tunggal maka segala fokus diprioritaskan untuk anak. Keinginan pada orangtua tunggal yang utama adalah untuk menjaga agar kondisi anak dan diri untuk tetap tegar dan mampu bersyukur dalam menghadapi tekanan. Yuliawan (2014) mengungkapkan bahwa ketika seseorang mampu untuk mencapai keinginan maka hal tersebut akan menimbulkan emosi positif yang tinggi dan dapat digunakan untuk memancing emosi-emosi positif selanjutnya untuk timbul. Ketika individu sudah memiliki pilar sikap berpikir yang baik maka kegagalan tidak lagi dianggap sebagai kegagalan namun adalah sebuah pertanda ada kesalahan yang harus diperbaiki dari sebuah tindakan yang dilakukan (Yuliawan, 2014). Maka dari hal tersebut dapat dirangkum bahwa kemampuan untuk mencapai keinginan adalah hal penting bagi orangtua tunggal untuk beradaptasi dan bangkit terhadap keadaan. Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan mengenai aspek-aspek resiliensi dapat dilihat bahwa aspek-aspek dari resiliensi dibedakan kedalam tujuh aspek, yaitu pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimis, menganalisis penyebab masalah terkait dengan kemampuan mengidentifikasi masalah, empati, efikasi diri terkait dengan keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, dan kemampuan meraih sesuatu yang diinginkan.

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)


Resiliensi berasal dari bahasa latin “re-silere” yang memiliki makna bangkit kembali (Daveson, 2003). Grotberg (1999), menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan ataupun mengubah diri dari keadaan yang membuat individu mengalami kesengsaraan dalam hidup. Barnet (2001) menyebutkan bahwa resiliensi adalah sebuah kemampuan individu untuk mengatasi peristiwa yang tidak terduga hingga kemudian kembali pada kondisi semula. Lebih spesifik Barnet (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan resiliensi juga memiliki makna sebagai suatu kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan membentuk sebuah kondisi akhir yang lebih baik. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk merespon secara yang sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan ataupun trauma. Resiliensi adalah kemampuan seorang individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Kemampuan ini sangat penting digunakan untuk mengelola stres dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik maka akan lebih sukses menghadapi permasalahan hidup yang sedang dihadapi (Reivich dan Shatte, 2002). Menurut Folke (2006) resiliensi adalah sebuah kemampuan untuk bertahan dan memunculkan inovasi-inovasi dalam melewati perubahan kehidupan. 

Zautra (2009) menjelaskan bahwa resiliensi juga dapat didefinisikan sebagai kesuksesan dalam  beradaptasi dalam menghadapi kesulitan. Menurut Kent terdapat tiga poin untuk mengidentifikasi resiliensi, yaitu adanya situasi yang negatif, kemampuan individu menghadapi, dan respon terhadap kondisi. Poin pertama mengenai adanya situasi yang negatif, berhubungan dengan kecenderungan sebuah kondisi negatif akan menimbulkan beberapa perubahan dalam fungsi psikologis individu seperti mengalami perubahan emosi, perubahan kinerja serta perubahan kesehatan mental atau fisik bagi individu. Poin kedua mengenai kemampuan individu dalam menghadapi, berhubungan dengan mampu atau tidaknya individu dalam menghadapi situasi yang menekan ketika pertama kali menghadapi kondisi yang menekan. Poin ketiga mengenai respon terhadap kondisi didefinisikan sebagai respon individu terhadap situasi yang menekan (Kent, 2011). Adanya kemampuan resiliensi pada setiap individu dalam kehidupan berkeluarga merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan. Keluarga adalah fase penuh dengan penyesuaian akan perubahan baru dan tekanan kehidupan. Perubahan dan penyesuaian tersebut kian sulit apabila hubungan keluarga yang terbangun harus mengalami perpisahan. Walsh menyebutkan bahwa kehidupan individu yang mengalami perpisahan dalam perkawinan dan kemudian hidup sebagai orangtua tunggal mengalami dua kesulitan utama jika tidak mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik yaitu mengalami kekurangan dan kerusakan (Walsh, 2003). Coleman dan Ganog (2004) menyebutkan bahwa ada tiga perubahan dan penyesuaian yang perlu dilakukan pada keluarga dengan orangtua tunggal yaitu pada keadaan ekonomi yang berkurang, pembagian tugas dalam keluarga, dan dalam perawatan anak. Perempuan dalam keluarga juga membutuhkan pengembangan kemampuan resiliensi. Levine (2006) menjelaskan ketidakmampuan seseorang perempuan bereseliensi menyebabkan ganguan maladaptif pada diri seperti depresi berkepanjangan. Hal yang tidak jauh berbeda juga juga dijelaskan McCallion & Toseland (1993) bahwa perempuan dalam keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus tetap menjaga suasana keluarga agar tetap positif karena orangtua adalah fokus keluarga dalam menguatkan perasaan yang memberdayakan Berdasarkan pemaparan tentang resiliensi dapat dirangkum bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan bangkit dari suatu kondisi yang penuh tekanan menuju kondisi semula ataupun lebih positif lagi. Individu yang mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik maka akan lebih mudah untuk mengembalikan diri kepada kondisi semula dibandingkan individu yang tidak mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik. Pada kehidupan orangtua tunggal kemampuan untuk mengembangkan resiliensi adalah hal yang penting agar individu dapat bangkit dari keadaan yang menekan dalam mengahadapi permasalahan sebagai orangtua tunggal

Sunday, May 23, 2021

Mini theory determinasi diri (skripsi dan tesis)

 

 Terdapat empat dasar komponen mini teori yang merupakan bagian determinasi diri dan terkoordinasi dengan semua domain jenis perilaku manusia dalam memenuhi basic needs. Berikut empat mini teori dari determinasi diri (Deci dan Ryan, 2002): 1. Cognitive evalution theory Cognitive evaluation theory adalah motivasi instrinsik yang terdapat dalam aktivitas determinasi diri. Dalam melakukan tindakan, individu dapat bertindak secara bebas, berkelanjutan dan mendapatkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan. Terdapat 2 tipe motivasi didalamnya: a. motivasi ekstrinsik yang berasal dari luar diri individu. b. motivasi instrinsik yang berasal dari diri sendiri individu. Fokus utama dalam hal ini adalah penghargaan eksternal yang dapat merusak motivasi instrinsik. Penelitian yang sudah dilakukan, penghargaan dalam bentuk barang atau benda berwujud dapat merusak motivasi instrinsik seseorang, sedangkan penghargaan secara verbal cenderung meningkatkan motivasi instrinsik seseorang. Dua hal utama yang mempengaruhi proses kognitif dari motivasi intrinsik seseorang adalah a. Perceived causality, merupakan hubungan individu dengan kebutuhan akan kebebasan; ketika individu cenderung menggunakan lokus eksternal dan tidak diberikan pilihan, maka akan merusak motivasi instrinsik. Sedangkan ketika individu fokus terhadap lokus internal dan bertindak sesuai pilihannya, maka itu dapat meningkatkan motivasi intrinsiknya. b. Perceived competence, merupakan hubungan individu dengan kebutuhan akan kompetensi, dimana ketika seseorang meningkatkan kebutuhan akan kompetensi nya maka kompetensi seseorang itu akan dapat ditingkatkan, sedangkan ketika seseorang mengurangi kebutuhan akan kompetensi nya maka motivasi intrinsiknya pun akan berkurang. Dua konteks dari CET dapat bersifat kontrol dan informasional. Bila sebuah kejadian bersifat controlling, maka kejadian itu akan menekan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu, maka siswa akan merasa memiliki kontrol dan motivasi instrinsik mereka akan hilang. Bila di pihak lain, kejadian itu memberikan informasi yang meningkatkan sense of competence, maka motivasi instrinsik akan meningkat, tetapi sebaliknya bila informasi yang diberikan membuat siswa merasa kurang kompeten, maka kemungkinan besar motivasi akan menurun. Terdapat 2 hal penting di dalam konteks ini yaitu: 1. Positive feedback sebenarnya bersifat informational tetapi jika diberikan dalam tekanan, seperti “should do well” maka positive feedback menjadi bersifat mengontrol , sedangkan Ryan, Mims, Koester (dalam Deci & Ryan, 2002) mengatakan “meskipun penghargaan bersifat mengontrol, tetapi jika diberikan dengan tidak mengevaluasi, maka dapat mendukung kebebasan. 2. Tindakan yang berasal dari dalam diri dan tidak dipengaruhi dari faktor eksternal, itu akan membuat individu lebih mempunyai harga diri sehingga akan meningkatkan competence nya. Salah satu bagian dari cognitive evaluation theory yaitu relatedness yang merupakan keinginan untuk membangun pertalian emosional dengan orang lain. Bila guru dan orang tua bersikap responsive dan menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap kesejahteraan anak mereka, maka anak tersebut dapat menunjukkan motivasi instrinsik, begitu juga sebaliknya. 2. Organismic integration theory Untuk menangani berbagai perilaku yang termotivasi secara ekstrinsik. Deci & Ryan (2002) mengonsepkan motivasi, dimulai dari tidak termotivasi, motivasi ekstrinsik, lalu motivasi instrinsik. Mereka melabelkan jenis-jenis motivasi yang berbeda sebagai gaya pengaturan diri. Motivasi instrinsik menyangkut aktifitas yang bersifat autotelic, dimana aktifitas tersebut merupakan tujuan akhir dan kesenangan individu yang telah secara bebas memilih aktivitas tersebut. Motivasi ekstrinsik menyangkut empat jenis perilaku yang termotivasi, yang dimulai dari perilaku yang awalnya sepenuhnya termotivasi secara ekstrinsik, namun kemudian dihayati dan akhirnya merasakan determinasi diri. Pada saat yang bersamaan juga, tidak semua aktivitas atau perilaku termotivasi secara instrinsik. Di sekolah terdapat struktur, kontrol, dan juga penghargaan yang sifatnya ekstrinsik, yang mungkin tidak cocok dengan determinasi diri dan motivasi instrinsik, namun dapat membantu menghasilkan perilaku yang baik dan fungsi sosial yang diinginkan. Para motivator ekstrinsik kemudian menjadikannya sebagai bagian dari proses pengaturan diri dan mengembangkan sebuah subteori yang termasuk di dalam teori determinasi diri yang lebih besar, yang dilabelkan sebagai teori integrasi organisme. Dalam teori organisme ini mengonsepkan motivasi, yang dimulai dari yang tidak termotivasi, lalu motivasi ekstrinsik, kemudian motivasi instrinsik (determinasi diri) yang merupakan sebagai dari proses pengaturan diri.penjelasan mengenai empat proses pengaturan diri di dalam organismic integration theory: 1. Pengaturan eksternal Pengaturan eksternal adalah perilaku yang ditunjukkan hanya untuk menghindari hukuman dan mendapatkan penghargaan. Ketika para murid awalnya tidak ingin mengerjakan sebuah tugas yang diberikan, namun siswa itu akan mengerjakannya untuk mendapatkan penghargan dan menghindari hukuman. Para murid ini sangat bereaksi terhadap ancaman hukuman dan penghargaan ekstrinsik, dan cenderung memenuhi perintah. Mereka tidak termotivasi secara instrinsik, dan tidak menunjukkan minat yang tinggi, namun mereka cenderung bertingkah laku dan berusaha untuk mengerjakan tugasnya agar dapat memperoleh penghargaan eksternal dan juga menghindari hukuman. Dalam hal ini, kontrol bersifat eksternal dan tidak ada determinasi diri dalam diri siswa (dalam Schonk et al, 2002, hal 381). Pengaturan eksternal merupakan teori sentral dari operant, dimana seseorang melakukan sesuatu karena permintaan rewards dan untuk menghindari hukuman (Skinner & deCharms dalam Deci & Ryan, 2002). Eksternal Introjeksi Identifikasi Integrasi 2. Pengaturan introjeksi Pengaturan introjeksi adalah perilaku yang ditunjukkan untuk menyenangkan orang lain dan adanya keterpaksaan dalam melakukan suatu aktifitas. Para murid mengerjakan sebuah tugas karena mereka merasa bahwa harus melakukannya dan mungkin merasa bersalah apabila mereka tidak melakukannya (misalnya: belajar untuk menghadapi ujian). Dalam pengaturan introjeksi ini terdapat perasaan tepat, wajib, dan bersalah, sehingga tidak ada determinasi diri dalam diri siswa. Dimana siswa ini hanya mengerjakan tugas karena perasaan “harus” sesungguhnya bersifat internal bagi individu tersebut, namun sumbernya agak eksternal, karena mereka mungkin mengerjakan tugas untuk menyenangkan individu lain (orang tua, guru) (dalam Schonk et al, 2002, hal 381). Jika ego terlibat sebagai salah satu hasil, itu dapat menghilangkan motivasi instrinik dan tujuan aktifitas mereka, sehingga dapat mengindikasikan bahwa pengaturan introjeksi ini bersifat kontrol (Deci & Ryan, 2002). 3. Pengaturan identifikasi Pengaturan identifikasi adalah perilaku yang didasarkan pada kepentingan personal. Para murid melakukan sebuah aktivitas atau mengerjakan sebuah aktivitas karena aktivitas itu secara personal penting bagi diri mereka. Sebagai contoh, seorang murid belajar berjam-jam untuk mendapatkan nilai akademis yang bagus dan dapat mengikuti suatu tes agar dapat diterima di perguruan tinggi. Perilaku ini menggambarkan tujuan murid ini sendiri dan secara sadar dipilih oleh individu, sehingga lokus kausalitasnnya lebih bersifat internal bagi murid ini, karena ia secara personal merasa bahwa tujuan tersebut sangat penting bagi diri sendiri bukan hanya penting bagi orang lain (orang tua, guru) (Wigfield & Eccles dalam Schonk et al, 2002) 4. Pengaturan integrasi Pengaturan intergrasi adalah perilaku yang menunjukkan bentuk paling bebas dari motivasi ekstrinsik, dimana kebutuhan, nilai, dan tujuan didukung dari diri sendiri. Individu mengintegrasikan berbagai sumber informasi baik yang internal maupun eksternal ke dalam skema diri mereka sendiri, serta menjalankan pemahaman tentang diri mereka sendiri. Pengaturan integrasi ini merupakan suatu bentuk determinasi diri dan bersifat otonomi. Dengan demikian, motivasi instrinsik dan pengaturan integrasi menyebabkan lebih banyak keterlibatan kognitif dan pembelajaran dibandingkan dengan pengaturan eksternal dan juga introjeksi (Ryan & Deci dalam Schonk et al, 2002)

Faktor-faktor basic needs (skripsi dan tesis)

 

 Faktor-faktor basic needs yang mempengaruhi determinasi diri adalah (Deci & Ryan, 2002): 1. Autonomy Autonomy adalah kebebasan yang dimiliki individu dalam melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya sendiri yang mengacu pada hal yang dirasakan dan bersumber dari dirinya sendiri. 2. Relatedness Relatedness adalah hubungan sosial atau relasi sosial individu dalam berinteraksi dengan individu lain dalam satu komunitas serta memiliki rasa saling bergantung satu dengan yang lain. 3. Competence Competence adalah kemampuan individu untuk menunjukkan apa yang dia bisa serta memberikan dampak bagi lingkungan

Definisi determinasi diri (skripsi dan tesis)

 

 Determinasi adalah sikap mental yang ditandai dengan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan tertentu meskipun terdapat hambatan dan kesulitan; suatu proses dalam pembuatan keputusan, mencapai kesimpulan, atau memastikan hasil akhir dari setiap proses (Vandenbos, 2008). Menurut Rogers (dalam Semium, 2006) self adalah pembawaan sejak lahir dan adanya konsistensi dan persepsi tentang karakteristik-karakteristik “saya” atau “aku” dan persepsi tentang hubunganhubungan “saya” atau “aku” dengan orang lain. Dengan demikian determinasi diri adalah kontrol perilaku yang berasal dari dalam diri seseorang, yang bukan berasal dari luar diri dimana keputusan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Teori determinasi diri adalah sebuah teori yang menekankan pentingnya kebebasan individu dalam bertindak sesuai pilihannya, dan juga adanya motivasi instrinsik dalam diri individu, sehingga ketika individu termotivasi secara ekstrinsik dan mengharapkan penghargaan eksternal maka hasil yang diperoleh akan negatif (Vandenbos, 2008). Manusia memiliki kebutuhan untuk merasa kompeten, dan juga perasaan otonomi terhadap pilihan-pilihan yang mereka ambil. Dengan kata lain, manusia memiliki kebutuhan akan determinasi diri (needs for self- determination). Seperti contoh ketika kita berpikir, “Aku ingin melakukan ini” , dan aku bebas untuk memilih sesuai dengan pilihanku , maka kita memiliki rasa determinasi diri yang tinggi, sedangkan “aku seharusnya melakukan ini”, dan diminta oleh orang lain untuk melakukannya, maka kita tidak mempunyai determinasi diri. (d’Aillyn, deCharms, Reeve, Ryan, & Deci dalam Ormrod, 2008)

Saturday, May 22, 2021

Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)

Menurut Kotler dan Keller (2009:188) yang diterjemahkan oleh Sabran, keputusan pembelian adalah suatu tahap evaluasi di mana para konsumen membentuk preferensi atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan pilihan. Konsumen dapat membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Menurut Peter dan Olson (2013:163) yang diterjemahkan oleh Dwiandani, proses inti dalam pengambilan keputusan konsumen adalah proses integrasi yang digunakan untuk mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih satu diantaranya. Hasil proses integrasi tersebut adalah suatu pilihan, secara kognitif menunjukkan intensi perilaku. Intensi perilaku merupakan suatu rencana (rencana keputusan) untuk menjalankan satu perilaku atau lebih. Adapun menurut Kotler dan Armstrong (2008:181) yang diterjemahkan oleh Sabran, keputusan pembelian adalah membeli merek yang paling disukai, tetapi dua faktor bisa berada antara niat pembelian dan keputusan membeli tentang merek mana yang dibeli. Berdasarkan beberapa pengertian keputusan pembelian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tahap keputusan pembelian ini seorang konsumen mengevaluasi beberapa alternatif merek produk dan hasil dari tahap ini adalah sebuah pilihan salah satu merek yang disukai diantara merek-merek produk yang tersedia. Menurut Griffin dan Ebert (2006:290) yang diterjemahkan oleh Wardhani, keputusan membeli oleh konsumen didasarkan pada tiga motif, yaitu motif rasional, motif emosional, dan motif gabungan dari keduanya. Motif rasional merupakan alasan membeli produk tertentu yang didasarkan pada evaluasi yang logis atas 32 sejumlah atribut produk, atribut produk ini contohnya seperti biaya, kualitas, atau kegunaannya. Sedangkan motif kedua adalah motif emosional. Motif emosional adalah alasan membeli produk tertentu yang didasarkan pada faktor-faktor nonobyektif, seperti kemampuan bersosialisasi, meniru orang lain, atau estetika. Dan terakhir adalah motif gabungan dari motif rasional dan emosional, yang mana alasan membeli produk didasarkan pada evaluasi logis atas atribut produk namun tidak lepas dari pengaruh faktor non-obyektif seperti kemampuan bersosialisasi, meniru orang lain, dan estetika. Jadi, setiap keputusan pembelian seseorang memiliki motif yang berbeda-beda, ada yang melakukan pembelian berdasarkan alasan logis terkait produk, atau terdapat juga individu yang melakukan pembelian karena alasan untuk meniru orang lain, dan terakhir keputusan pembelian yang dilakukan atas dasar kedua motif tersebut. Keputusan pembelian ini dapat dibagi ke dalam beberapa sub-keputusan, menurut Kotler dan Keller (2009:188) yang diterjemahkan oleh Sabran, dalam melaksanakan maksud pembelian, seorang konsumen membentuk lima subkeputusan. Kelima sub-keputusan menurut Kotler dan Keller (2009:188) yang diterjemahkan oleh Sabran antara lain sebagai berikut:  Pilihan merek  Pilihan penyalur  Jumlah pembelian  Waktu pembelian  Metode pembayaran Tidak berbeda jauh dengan pendapat Kotler dan Keller, menurut Sunyoto (2012:278) keputusan pembelian memiliki beberapa struktur di dalamnya, namun menurutnya struktur keputusan ini terbagi ke dalam tujuh sub-keputusan. Struktur dari keputusan pembelian tersebut antara lain adalah:  Keputusan tentang jenis produk  Keputusan tentang bentuk produk  Keputusan tentang merek  Keputusan tentang penjualnya  Keputusan tentang jumlah produk  Keputusan tentang waktu pembelian  Keputusan tentang cara pembayaran Berdasarkan dua pendapat tersebut, pada intinya struktur dari keputusan pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen melibatkan beberapa hal mendetail mengenai produk, seperti keputusan akan jenis produk, bentuk produk, merek, dan jumlah produk yang akan dibeli. Detail hal lainnya yaitu berhubungan dengan siapa yang menjualnya atau siapa penyalur produk tersebut. Dan terakhir, diperlukan keputusan mendetail terkait cara pembeliannya, yaitu kapan akan membeli produk tersebut dan bagaimana cara pembayaran untuk mendapatkan produk yang ingin dibeli.