Thursday, March 30, 2023

Pengertian Kesiapan Kerja

 


Kesiapan kerja terdiri atas dua kata, yaitu kesiapan dan kerja. Berdasarkan
pembahasan di atas, kata kesiapan dapat diartikan sebagai suatu kondisi seseorang
untuk menanggapi dan mempraktekkan suatu kegiatan yang mana sikap tersebut
memuat mental, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki dan dipersiapkan
selama melakukan keigatan tertentu, sedangkan kata kerja memiliki arti suatu
kegiatan yang dilakukan seseorang dengan menggunakan tenaga dalam usaha
untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu dan memperoleh bayaran atau
upah. 
Jadi, pengertian kesiapan kerja adalah suatu kondisi seseorang untuk
menanggapi dan mempraktekkan suatu kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan tenaga dalam usaha untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu
dan memperoleh bayaran atau upah.
Menurut Harjono (1990, halaman 23) mengemukakan bahwa kesiapan
peserta didik untuk memasuki dunia kerja adalah segala sesuatu yang harus
disiapkan dalam melaksanakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan. Kesiapan
peserta didik sebagai calon tenaga kerja merupakan suatu kondisi individu dari
hasil pendidikan dan latihan atau keterampilan yang mampu memberikan jawaban
terhadap situasi dalam suatu pelaksanaan pekerjaan.

Pengertian Kerja

 


Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005, halaman 554) “kerja
diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan sesuatu yang dilakukan atau
diperbuat dan sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian”.
Sependapat dengan Moh. Thayeb Manribu (1998, halaman 27) “kerja diartikan
sebagai suatu kelompok aktivitas, tugas atau kewajiban yang sama dan dibayar,
yang memerlukan atribut-atribut yang sama dalam suatu organisasi tertentu”.
Menurut Wjs. Poerwadarminta (2002, halaman 492) ”kerja adalah
melakukan sesuatu”, sedangkan menurut Taliziduhu Ndraha (1991, halaman 1),
“kerja adalah proses penciptaan atau pembentukan nilai baru pada suatu unit
sumber daya, pengubahan atau penambahan nilai pada suatu unit alat pemenuhan
kebutuhan yang ada”.
Menurut Koontz dan O’Donnel (1964) mengatakan bahwa pengertian
kerja yaitu penggunaan tenaga dalam usaha untuk menyelesaikan atau
mengerjakan sesuatu. Usaha yang dilakukan bisa secara mental atau fisik, serta
secara sukarela atau terpaksa. Selanjutnya penyelesaian yang dilakukan bisa
sampai tuntas atau hanya sebagian saja.
Menurut B. Renita (2006, halaman 125) kerja dipandang dari sudut sosial
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, terutama bagi orang-orang terdekat (keluarga) dan 
masyarakat, untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan, sedangkan
dari sudut rohani atau religius, kerja adalah suatu upaya untuk mengatur dunia
sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Dalam hal ini, bekerja merupakan suatu
komitmen hidup yang harus dipertangungjawabkan kepada Tuhan.
Menurut Dewa Ketut (1993, halaman 17) “kerja adalah sebagai suatu
rangkaian pekerjaan-pekerjaan, jabatan-jabatan dan kedudukan yang mengarah
pada kehidupan dalam dunia kerja”

Pengertian Kesiapan

 


Kesiapan menurut kamus psikologi adalah “tingkat perkembangan dari
kematangan atau kedewasaan yang menguntungkan untuk mempraktekkan
sesuatu” (Chaplin, 2006, halaman 419).
Menurut Slameto (2003) “kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang
atau individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di
dalam cara tertentu terhadap suatu situasi dan kondisi yang dihadapi”.
Menurut Dalyono (2005, halaman 52) juga mengartikan “kesiapan adalah
kemampuan yang cukup baik fisik dan mental. Kesiapan fisik berarti tenaga yang
cukup dan kesehatan yang baik, sementara kesiapan mental berarti memiliki minat
dan motivasi yang cukup untuk melakukan suatu kegiatan”.
Menurut Oemar Hamalik (2008, halaman 94) “kesiapan adalah tingkatan
atau keadaan yang harus dicapai dalam proses perkembangan perorangan pada
tingkatan pertumbuhan mental, fisik, sosial dan emosional”.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

 


Berdasarkan beberapa penelitian di bawah ini, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu:
a. Usia
Usia dapat mempengaruhi dimensi-dimensi kesejahteraan
psikologis, antara lain adalah otonomi, penguasan lingkungan,
tujuan hidup, dan perkembangan individu yang akan meningkat
seiring dengan bertambahnya usia (Ryff, 1989). Selain itu, dimensi
penerimaan diri dan perkembangan individu tidak ditunjukkan
karena adanya perbedaan usia (Keyes & Waterman, 2003).
b. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu yang
mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Wanita
cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik
daripada laki-laki. Hal ini berhubungan dengan pola pikir yang
mempengaruhi strategi coping dan aktivitas sosial seseorang,
wanita cenderung memiliki kemampuan interpersonal yang lebih
baik daripada laki-laki (Lopez & Snyder, 2003). 
c. Dukungan Sosial
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan
kesejahteraan psikologis, dukungan sosial di sini yaitu dukungan
informatif dengan dukungan emosional yang baik. Hal tersebut
dirasa dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada individu
(Desiningrum, 2014). Dukungan sosial dari keluarga terlebih orang
tua juga dapat meningkatkan psychological well being seseorang
(Ryff & Keyes, 1995).

Definisi Kesejahteraan Psikologis

 


Karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis
merujuk pada pandangan Rogers (1965) tentang orang yang berfungsi
penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow (1965) tentang
aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung, Baynes, dan
Beebe (2016) tentang individuasi, konsep Allport (1952) tentang
kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson (1980) dalam
menggambarkan individu yang menggapai integrasi dibanding putus
asa (Lopez & Snyder, 2003). Berdasarkan teori psikologi positif dari
dua tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan keseluruhan keberfungsian diri yang ada pada diri individu.
Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis
merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis dan suatu
kondisi individu yang dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri,
memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan
orang lain, memiliki pribadi mandiri, mampu mengendalikan
lingkungan, dan memiliki pertumbuhan pribadi yang baik (Ryff, 1989;
Ryff & Keyes, 1995). Konsepsi kesejahteraan psikologis merupakan
integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, 
dan konsepsi mengenai kesehatan mental (Ryff, 1989). Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Ryff, kesejahteraan psikologis
merupakan kondisi individu yang terintegrasi dari teori psikologi
perkembangan dan klinis.
Huppert (2009) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis
merupakan segala persoalan mengenai hidup yang dapat berjalan baik,
sebagai gabungan dari perasaan baik dan bagaimana individu dapat
berfungsi secara efektif. Menurut Bradburn (1969) kebahagiaan
merupakan sebagai hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan
tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Seseorang
merasa memiliki kesejahteraan psikologis yang baik karena ada
beberapa hal yang juga mempengaruhi hubungan positif dengan orang
lain seperti bersosialisasi dengan orang lain. Berdasarkan teori
tersebut, kesejahteraan psikologis merupakan tujuan tertinggi pada
setiap manusia yang membantu manusia dalam kehidupannya sehingga
individu dapat berfungsi efektif.

Pengaruh Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) pada Komitmen Karir (Career Commitment)

 


Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan
menyukai pekerjaannya atau perasaan positif pada pekerjaannya (Goulet & Singh,
2002: 78). Ketika karyawan merasa puas dengan sifat pekerjaan itu sendiri, puas
dengan atasan dan rekan kerjanya, serta menganggap kebijakan kompensasi dan
peluang untuk promosi dalam organisasi sudah memadai, maka karyawan pada
umumnya akan merasa puas dengan pekerjaannya saat ini (Myrtle et al., 2011:
698). Karyawan yang berkomitmen pada organisasi dan merasa puas dengan
pekerjaannya, kemungkinan besar berada dalam situasi pekerjaan yang
menguntungkan dan sejalan dengan karirnya, maka komitmen karir akan
meningkat (Goulet & Singh, 2002: 86). Pada dasarnya, komitmen karir berkaitan
dengan sejauh mana karyawan menilai profesi dan usaha yang telah dikeluarkan
untuk memperoleh pengetahuan dalam bekerja (Goulet & Singh, 2002: 75).
Kepuasan kerja dapat meningkatkan komitmen karir apabila semua faktor
yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut sudah terpenuhi, seperti gaji,
promosi, kondisi kerja yang lebih baik, dan lainnya (Adio & Popoola, 2010: 181).
Karyawan yang memiliki kepuasan kerja akan menyukai pekerjaannya dan
cenderung berkomitmen pada karir (Melya & Zaitul, 2019: 10). Selain itu,
karyawan yang berpengalaman dalam pekerjaannya akan merasa puas dan lebih
berkomitmen pada karir daripada karyawan yang sering berpindah dari satu karir
ke karir lainnya (Adio & Popoola, 2010: 182). Artinya, apabila Aparatur Sipil
Negara (ASN) sudah merasa puas dengan pekerjaannya maka dapat mendorong
komitmen karir lebih tinggi, sehingga dapat menjadi motivasi untuk mencapai
kesuksesan karir yang lebih besar

Pengaruh Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well-Being) pada Komitmen Karir (Career Commitment)

 


Komitmen karir merupakan suatu hal penting bagi karyawan yang
kompeten, karena karyawan tersebut akan berkomitmen pada pekerjaannya.
Komitmen membantu dalam membangun motivasi karyawan untuk
memanfaatkan potensi atau kemampuan yang dimiliki, agar tujuan pribadi dan
organisasi dapat tercapai (Singhal & Rastogi, 2018: 462). Komitmen karir
karyawan didapatkan melalui pengalaman kesejahteraan subjektif dalam
memaksimalkan kinerja terhadap penetapan tujuan karir (Locke & Latham, 2006:
266). Karyawan cenderung memilih rencana untuk dirinya sendiri, karena jika
rencana tersebut berhasil dan menyelesaikan pekerjaan dengan maksimal akan
menyebabkan kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi. Sehingga, komitmen
untuk pekerjaan mengarahkan kepada tujuan karir dan hal tersebut menjadi
pengalaman yang menguntungkan bagi karyawan (Singhal & Rastogi, 2018: 468).
Karyawan dikatakan memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi jika
merasa puas dengan kondisi hidup, merasakan emosi yang positif, dan jarang
merasakan emosi negatif (Diener et al., 1999: 277). Apabila karyawan sudah
merasa puas dengan kehidupannya begitu juga dengan emosi positif yang 
menganggap hidupnya telah ideal maka akan merasakan kesejahteraan subjektif
dan tidak ada keinginan untuk merubah kehidupan yang telah baik tersebut,
sehingga akan meningkatkan komitmen karir (Melya & Zaitul, 2019: 11). Selain
itu, emosi positif yang dirasakan Aparatur Sipil Negara (ASN) akan berpengaruh
pada pekerjaannya yaitu merasa lebih bahagia dan merasa sukses dalam karirnya.
Perasaan-perasaan inilah yang dalam bekerja akan mampu mempengaruhi
peningkatan komitmen karir menjadi lebih tinggi.